Disukai
0
Dilihat
667
LITTLE UNA
Komedi
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Aku tengah tertidur dipangkuan ibuku, disebuah halaman rumah yang penuh dengan bunga indah.

Ibuku, tengah mengelus kepalaku sembari bercerita, tentang aku dimasa kecilku dulu.

"Kamu tau gak dulu......" Ibu mulai bercerita tentangku dimasa kecil.

***

Dari dulu sampai sekarang, aku adalah anak ibu satu-satunya, cucu pertama dari Ibu-nya Ibu dan Keponakan pertama dari Saudara Ibu yang hanya satu.

Aku selalu diratukan oleh semua anggota keluarga, sampai jika aku menangis atas kecerobohan sendiri, yang dimarahi adalah orang yang sedang berada di dekatku. Setiap kali aku berbuat salah, yang disalahkan adalah orang yang sedang bersamaku.

Ketika aku hadir diantara mereka, mereka akan bahagia dan bergembira. Aku akan diajak bermain seharian, dituruti semua keinginan, juga melakukan semua hal yang belum pernah kucoba sebelumnya.

Dulu aku sering sekali datang ke rumah Nenek ketika hari Minggu atau hari libur sekolah. Ketika aku datang, Kakek juga Pamanku akan pulang dari perantauan, hanya untuk bermain bersamaku dan tak lupa memberi banyak oleh-oleh untukku.

Di Bulan juli itu, kebetulan setiap hari Minggu, aku dan Ibu selalu mengunjungi rumah Nenek. Jaraknya tidak terlalu jauh, membuat kami bisa kapan saja mengunjunginya selagi mau.

"Nek, lusa kan hari Senin. Aku libur sekolah lho. Aku sama ibu ke rumah Nenek ya!" Aku tengah berbincang dengan Nenek dari balik telepon.

"Hunan, ayo makan dulu! Sup-nya nanti keburu dingin!" Pinta Ibu membuatku mengakhiri teleponnya.

Aku menghampiri ibu yang tengah sibuk memasukan beberapa makanan awet ke dalam tas bingkisan.

"Besok kita jadi ke rumah Nenek kan Bu?" Aku memastikannya.

"Iya, besok kita sama-sama kesana." 

"Yang ibu kerjakan itu apa?" 

"Oh, ini. Bingkisan untuk Nenek." 

Bingkisan itu terlihat kecil, berbeda dengan bingkisan yang biasa Nenek beri untuk kami. Biasanya lebih besar dua kali lipat dari yang ibu siapkan saat ini.

Malam berganti, matahari telah menyinari bumi, Aku dan Ibu telah siap untuk pergi.

"Udah, siap. Udah cantik anak Ibu. Kita pergi sekarang!" Wajahku dipenuhi dengan bedak tabur yang tidak merata.

Tak lama, kami sampai di rumah Nenek. Terlihat ketika kami turun dari mobil, Nenek dan Kakek tengah berdiri di halaman rumah.

Sepertinya mereka sedari tadi menunggu kami tiba.

"Neneeeeek!" Panggilku sembari berlari dari kejauhan lalu memeluknya.

Kakek yang berada tepat di samping Nenek iri terhadapnya. "Nenek aja yang di peluk, Kakek enggak!" 

"Huuu, Kakek iri ya sama Nenek!" Ledek Nenek.

Aku direbut dari pelukan Nenek, dipangku kakek lalu diajak masuk ke dalam rumah. Ibu menyusul dari belakang bersama Nenek.

Diatas meja, sudah dipenuhi camilan kesukaanku. Ada cokelat bar, ada susu kotak, ada cake, permen rasa buah, buah anggur, strawberry dan masih banyak camilan lain yang disuguhkan.

"Nginep ya! Besok kan libur sekolahnya!" Pinta Nenek.

"Iya, nginep aja. Sore Paman pulang juga katanya!" Timpal Kakek.

Banyak mainan yang Nenek keluarkan dari lemari. Tapi Kakek mengajakku untuk bermain hal lain.

"Tangkap ikan yuk! Nanti kita bakar sama-sama." Sepertinya aku tertarik dengan tawarannya.

"Astaga Kek, Jangan aneh-aneh deh! Cucu Nenek perempuan!" Gerutunya karena sudah mengeluarkan semua mainan dari lemari.

"Anaknya juga mau kok, Ya Una ya?" Kakek memastikan jawabanku dan membuat Nenek sedikit kesal.

Kakek tampak gagah membawa jaring ikan yang terlihat berat dengan rantai besinya yang menempel disetiap sisi jaring ikan. 

Aku berjalan mengikuti langkah kakek bersama Ibu dan Nenek yang membawa ember kosong.

"Kamu tunggu disini. Kakek akan melempar jaring ikannya. Nanti kalau kakek angkat jaringnya, kamu ambil ikannya ya!" Pinta Kakek.

Namun, aku penasaran dengan berat jaring itu. Aku ingin mencoba untuk melemparnya. 

Kakek juga mengizinkanku untuk mencobanya, namun ternyata sangat berat dan tidak terangkat sama sekali ketika aku coba, malah aku yang jatuh terduduk diatas tanah. 

"Astaga, Cucu Nenek! Kamu gak apa-apa?" Aku yang tidak menangis, hanya menjawab dengan anggukan kepalaku. Lalu Nenek membawaku duduk bersamanya.

Kakek tampak gagah berdiri dan bersiap di pinggir kolam ikan untuk melempar jaringnya.

"Tiga..... Dua..... Satu!" Kakek melempar jaringnya dengan Aba-aba.

Byuuuuuuur.

Aku, Ibu dan Nenek yang menunggu di pinggir kolam tertawa terbahak-bahak melihatnya. Tawa kami semakin tidak tertahankan ketika melihat ekspresi wajah kakek yang menggemaskan karena dipenuhi lumpur dan air kolam.

Ternyata, kakek tidak segagah itu. Pupus sudah ekspektasi ku tentang kakek yang profesional bak nelayan laut yang pandai menangkap ikan.

Kakek tercebur, terbawa bersama jaring ikan yang ia lempar sendiri ke dalam kolam.

"Astaga, kenapa malah masuk kolam!" Omel Nenek.

"Kalau tidak bisa, bilang saja. Nanti kita suruh orang buat tangkap ikannya. Lagian ribet harus masak, mending beli aja!" Nenek tak berhenti mengomeli Kakek.

"Astaga, diem dulu. Serahkan semuanya sama Kakek. Kakek lebih handal menangkap ikan pakai tangan sendiri!" Kakek tetap memperjuangkan harga dirinya yang sudah tercebur kolam.

"Astaga, udah naik aja. Itu basah bajunya, nanti rematik lagi!" Nenek terus mengomeli Kakek.

"Stttt, diem dulu. Aku akan berjuang demi cucuku!" Keukeuh Kakek yang sudah basah kuyup.

Kakek masih bertahan di kolam ikan, berusaha menangkap ikan dengan tangannya. Namun sampai matahari tepat diatas kepala kami, kakek tidak kunjung mendapat ikan juga.

"Aku bilang Naik! Kita beli aja dipasar banyak!" Pinta Nenek lalu dituruti Kakek.

Ketika kakek sampai di tepi kolam, terlihat di perut Kakek ada yang bergerak, membuatnya kegelian. Kebetulan, pakaian atas kakek dimasukan kedalam celananya.

Kakek membuka pakaiannya lalu Ikannya jatuh tepat di hadapan kakek. 

"Ikaaaaaan. Waaah kakek hebat. Ikannya sembunyi di perut Kakek." Ucapku membuat Kakek tersenyum.

"Eh iya ada ikan. Tuh kan Nek, kakek bisa tangkap ikan!" Bela nya.

Kamipun memutuskan untuk pulang karena sudah kepanasan. Ibu membawa jinjingan ember berisi satu ikan yang jatuh dari pakaian Kakek, sementara aku berjalan kaki bersama Nenek tanpa membawa apa-apa.

"Mandi dulu gih! Nanti aku antar air hangatnya ke kamar mandi!" Perintah Nenek.

"Una, mau main air dulu bareng Kakek gak?" Bisik kakek pelan namun masih terdengar Nenek.

"Jangan macam-macam. Mandi sana!" Nenek sepertinya masih kesal dengan perilaku kakek hari ini.

Selepas kami membersihkan badan, kami berbincang di teras rumah sembari memakan camilan buatan nenek.

"Unaaaaaaa!" Paman menghampiriku, tangannya penuh sekali dengan tas dan bingkisan.

Aku ditinggal bermain bersama paman, sedangkan Nenek dan Ibu memasak ikan hasil tangkapan kakek di dapur.

"Una, paman punya hadiah banyak buat kamu. Mau buka sekarang?" Paman memberi banyak sekali bingkisan ke hadapanku.

"Uwaaaaa, ini semua untuk aku?" 

"Iya, coba buka!" 

Aku membukanya dengan semangat satu persatu, aku senang namun sedikit kecewa.

"Paman, aku perempuan!" Tegasku pada paman yang selalu memberikan hadiah dengan gambar-gambar yang disukai anak laki-laki.

Hadiahnya memang banyak dan bermanfaat. Beberapa yang aku buka ada Tas, buku tulis, buku baca, buku mewarnai, meja belajar lipat, ada juga jas hujan, alat tulis dan lainnya. Namun semuanya bergambar Spiderman.

"Iya paman tau kamu perempuan. Tapi Spiderman sekarang lagi disukai banyak perempuan tau!" Belanya.

"Yaudah makasih paman, aku ambil ya semua hadiahnya."

Lalu Ibu menghampiri kami dan bergabung bermain.

"Una, tau gak ibu kamu waktu kecil suka nangis sama kaya kamu kalau gak dikasih ice cream!" Bisik paman.

"Sembarangan kamu!"

"Una, paman kamu waktu kecil jailnya jorok tau. Mau tau gak?" Balas Ibu.

"Sama, ibu kamu juga gitu. Kok jadi aku doang sih kak!" Debat Paman.

"Kamu mau coba jailin Kakek gak?" Tawar Paman padaku didepan Ibu.

"Aish, anak aku ini. Jangan diajarin kaya gitu!" 

"Kali-kali doang kak. Sini Paman bisikin!" 

"Dulu, waktu kecil paman sama Ibu kamu suka jailin Kakek pake upil!"

"Iiiii Paman jorok. Upilnya warna apa?" Jawabku polos.

"Warna item. Sini dulu dengerin!"

"Upilnya dibentuk bulet pake jari, terus ditempel di dinding. Nanti kalau udah, bilang sama Kakek 'kakek, ada nyamuk!' kaya gitu. Kalo kakek kesini, nanti kamu coba oke!" 

Aku yang saat itu masih duduk di bangku taman kanak-kanak, masih memiliki rasa penasaran yang tinggi. 

Aku mencoba perintah paman dengan antusias. Kuambil upilku dan kutempelkan pada dinding dengan hati-hati.

Kakek datang, aku masih terdiam menunggunya santai terlebih dahulu. Ia dengan tenang menonton televisi sembari meminum kopi hangat.

Saat kopi digelasnya habis, Paman memberikan kode padaku untuk memberitahu kakek.

"Kakek, ada nyamuk!" Teriakku sembari menunjuk dinding yang tertempel upil.

Kakek yang menyayangiku dan cemas takut nyamuknya menggigit cucu tersayangnya, dengan sigap menepuk nyamuk upil itu dengan telapak tangannya.

"Iyuhhhhh, upil Una pak!" Paman memberi tahu.

"Astaga, kalian ini! Siapa yang ngajarin kamu Una?" Ucapnya sedikit meninggi membuatku merunduk.

"Paman. Paman yang suruh Una!" Aku berkata jujur sembari menunjuk paman dengan wajah tertunduk.

"Astaga, cat ulang pake Cutton Bud!" Canda Kakek lalu tertawa.

"Kalian sungguh menjunjung tinggi budaya!" Kakek kembali duduk di kursinya.

"Maaf pak, dia keturunanku sekaligus penerus budaya upil kita!" Ucap Ibu membuat kami tertawa.

Ternyata, Kejahilan nyamuk Upil ini sudah dilakukan ketika zaman Kakek kecil, lalu Ibu dan paman menirunya dan sekarang aku yang meniru.

"Apasih kalian ketawa-ketawa gak ajak Nenek." Nenek bergabung bersama kami.

"Itu upil nyamuk!" Timpal Kakek.

"Astaga, Nenek tadi goreng ikan. Tapi ekornya masih bergerak. Kaya gini nih!" Nenek mengibaskan lengannya seperti gerakan ekor ikan yang tengah berenang tepat di depan hidungku.

Tapi, udaranya semakin lama semakin berbau. Nenek juga malah tertawa melihatku terdiam.

"Paman, tangan Nenek habis pegang apa? Kok agak bau ya?" Bisik ku pada paman namun terdengar oleh semuanya membuat mereka tertawa terbahak-bahak. 

"Kentut nenekmu itu!" Kakek memberitahuku lalu mengulang dengan perlahan cara Nenek melakukannya.

Kakek kentut lalu udaranya ia genggam dan mengibaskannya ke arahku seperti gerakan ekor ikan yang tengah berenang.

"Kakek bauuu!" Keluhku lalu kami semua tertawa.

"Eh, Una. Mau belajar menggambar gak sama Paman!" Ajak Paman membawa buku tulis kosong yang dibelinya untukku.

Paman mengajariku membuat lukisan dengan judul 'Buto Ijo di dalam Gua'. Aku menunggunya hingga selesai menggambar. Namun, ketika aku lihat hasil gambar yang prosesnya secepat kilat itu seperti hanya coretan pensil hitam sembarang saja.

"Buto ijonya mana?" Tanyaku.

"Ada di gua. Guanya gelap, jadi Buto Ijonya gak keliatan!" Paman nyengir dengan gigi berkilaunya.

"Ah, paman ngajarin gambarnya jelek. Sini sama Kakek!" Kakek membawaku ke pangkuannya lalu menunjukan cara menggambar tikus masuk lubang.

"Kakek, itu hurup Q." Ucapku percaya diri ketika melihat hasilnya.

"Wah, pinter ponakan paman. Kok tau itu huruf Q?" 

"Aku kan udah sekolah!" Jawabku seperti sudah bertahun-tahun sekolah padahal baru masuk Minggu kemarin.

"Mana tikusnya? Lubangnya mana?" Aku semakin bingung karena lelucon ini.

"Yang bulat lubangnya, itu ekornya!" Menunjuk huruf Q yang berekor.

"Kan tikusnya kebetulan masuk lubangnya kepala dulu. Jadi yang kelihatan cuma ekornya aja!" Jelas kakek.

"Aku pusing dengerin Paman sama Kakek. Nonton Televisi saja yuk!" Ajakku pada paman lalu ia menuruti permintaanku.

"Ciaaaaaaaat, berubah jadi ufoo!" Paman menirukan gaya anak kecil dihadapan kami. Padahal usia paman terpaut sangat jauh denganku, mungkin sekitar 20 tahunan lebih tua dariku.

"Astaga, udah gede kamu! Ngapain!" Paman menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Yah, paman. Itu untuk laki-laki, aku mau nonton Barbie!" Pintaku lalu segera dituruti.

Selesai menonton televisi, kami lalu tidur bersama di ruang tamu beralaskan kasur lipat yang digunakan bersama. 

Pagi tiba, ayam kecil berwarna hitam milik kakek berkokok riang. Aku masih tertidur bersama paman, sedangkan Kakek tengah menyiram tanaman lalu Ibu bersama Nenek Tengah memasak makanan.

"Bangun hey! Udah siang ini! Masih aja merem!" Titah Kakek.

Ibu membawa hasil masakannya berupa goreng pastel kentang yang kebetulan menu kesukaan paman. Ia sengaja menaruhnya dihadapan wajah paman yang masih tertidur lelap.

"Ah, enaknya. Siapa yang masak ini?" Paman langsung bangkit dari posisi tidurnya, tanpa cuci muka ia memakan pastelnya.

"Anter aku sama Una Pulang ya dek!" Pinta Ibu pada Paman.

"Hah? Sekarang?" Dengan suara khas bangun tidurnya sembari mengunyah pastel.

"Siangan aja, santai. Mandi dulu, makan dulu!" Ucap Ibu lalu Paman menganggukan kepalanya.

"Una, udah mandi belum?" Tanya Paman padaku.

"Belum, nanti aja mandinya. Sekarang masih dingin!" 

"Dih, jorok. Mandi sana!" Ledeknya.

"Paman aja belum mandi."

"Udah, kata siapa belum?" 

"Kata Una tadi!"

"Paman udah mandi tau, kemarin tapi." Ucapnya membuatku sedikit kesal.

"Aku juga udah mandi kemarin." 

Aku dan Paman kemudian merapikan bekas tidur kami dan membersihkannya. Setelahnya, paman mandi sementara aku minum susu hangat bersama Kakek yang tengah meminum kopi.

Ibu tengah memasak menu sarapan kami lalu Nenek tengah membungkus bingkisan yang terlihat banyak sekali.

"Nenek lagi apa?" Tanyaku.

"Lagi packing oleh-oleh buat Una." Jawab Nenek membenarkan prediksiku.

Seperti yang aku katakan sebelum mengunjungi rumah Nenek, bingkisan dari nenek akan dua kali lipat lebih besar dibanding bingkisan yang diberi Ibu.

"Una, paman lupa. Kemarin paman bawa celengan buat Una. Ada di koper. Buka aja!" Titah Paman yang baru keluar dari kamar mandi.

"Wahhh, celengan. Oke Una buka!" Aku bersemangat membuka koper Paman.

Tidak banyak barang di dalam kopernya. Celengan bentuk Ayam itu memenuhi ruangan dalam koper Paman.

"Buka ya Bu!" Aku tidak sabar membukanya.

Bukan hanya paman saja, Biasanya Kakek juga memberi celengan bentuk Ayam yang sama dengan isinya juga. Tidak tanggung-tanggung, biasanya Isi celengannya sudah sangat penuh bahkan terkadang isinya berjatuhan karena terlalu penuh.

Aku memecahkan celengan itu bersama Kakek sehingga Isinya berserakan semua di lantai. Uang koin pecahan lima ratus rupiah dan seribu rupiah aku pisahkan.

Ibu membawa pleaster transparan untuk menyatukan uangnya menjadi sepuluh ribu rupiah setiap tumpukan.

Aku menghitung uang bersama Ibu dibantu Nenek saking banyaknya.

"Berapa jumlah semuanya?" Tanya Kakek melihat seluruh Uang yang sudah rapi.

"Tujuh ratus lima puluh ribu rupiah lebih lima ratus rupiah Pak!" Jawab Ibu.

"Nih, Kakek tambah!" Kakek memberiku uang sebanyak dua ratus lima puluh ribu rupiah.

"Uwaaaa, Una banyak uang! Besok bisa jajan sepuasnya!" Aku bahagia melihat banyak Uang koin yang mengelilingi tempat dudukku.

"Jangan lupa Ditabung ya!" Pesan Nenek.

"Oh iya, lupa. Nenek juga punya hadiah buat Una!" Nenek membawa bingkisan kecil untukku.

Aku membukanya dengan semangat, ternyata isinya adalah set baju tidur bergambar monokurobo berwarna hitam dan putih, tak lupa sandal jepit berwarna biru bergaris Kuning terletak di dalamnya.

"Wah, terimakasih Nek!" Ucapku senang walau baju tidurnya bergambar babi. 

Sebenarnya, Nenek dan Kakek baru tiba dari luar kota tiga hari lalu. Nenek ikut menemani Kakek bekerja disana. Kebetulan, urusan pekerjaan Kakek sudah selesai disana lalu Nenek memutuskan untuk pulang. Nenek dan Kakek tidak bisa jika tidak melihatku lama.

Paman selesai berganti pakaian, kamipun pamit pada Nenek dan Kakek untuk pulang ke rumah dengan banyaknya bingkisan yang kami bawa.

"Dah Una, nanti kapan-kapan Nenek deh ke rumah Una ya!" Nenek melambaikan tangannya.

"Dah Nenek, dah Kakek!" Balasku melambaikan tangan juga.

Paman mulai menginjak gasnya, membuat kami semakin menjauh dari rumah Nenek.

"Masuk dulu gak dek? Kakak bikinin kopi!" Tawar Ibu.

"Iya deh, yuk Una!" Ajak Paman padaku untuk masuk ke rumah bersama.

Sesampainya di rumah, Paman mampir dahulu ke rumah Ibu.

Aku duduk bersama paman di depan televisi sementara Ibu membuat kopi untuk paman di dapur.

"Una....... unaa....." Temanku berteriak dari luar pagar rumah.

"Ibu, paman, aku mau main dulu ya! Aku mau pake sandal yang dari Nenek!" Semangatku lalu berlari keluar rumah tanpa menunggu jawaban dari Ibu.

Saat itu, aku bersama teman-teman sedang bermain petak umpet di salah satu rumah kami. Tidak banyak, hanya ber-empat.

Salah satu temanku bernama Widi sedang mencari kami yang bersembunyi.

Aku mendengar, temanku yang lain sudah ditemukan. Sisa aku yang masih belum muncul, aku tetap bertahan dalam persembunyian sampai Widi menyerah mencariku dan mengaku kalah.

Aku bersorak bersama ketiga temanku yang lain karena aku memang, namun tidak dengan Widi yang beranjak pulang lebih dulu.

Tak lama, karena situasi yang semakin tidak enak, Aku dan teman yang lainnya memutuskan untuk pulang.

Saat aku keluar dari rumah itu, aku terkejut karena sandalku hilang sebelah. 

Aku bertanya-tanya, mencari ke seluruh ruangan rumah juga halaman tapi tak kunjung ku temukan. Tidak ada orang yang tahu bahkan mengaku menyembunyikannya.

Aku menangis sepanjang jalan pulang, berjalan tanpa alas kaki dengan satu tanganku yang membawa sebelah sandal dari Nenek.

Sampai di rumah, aku mengadu pada Ibu tentang semuanya. Ibu juga berusaha mencari sandalku setelah ia mengetahui semuanya.

"Udah, jangan nangis. Nanti kita beli lagi ya!" Bujuk Ibu agar aku berhenti menangis.

Aku sudah melupakan sandal itu setelah tiga hari lamanya tidak ketemu. 

Namun, seorang tetangga datang padaku di pagi hari sembari membawa pakan Ayam ditangannya.

"Una, ini sandal kamu bukan?" Tanyanya sembari memperlihatkan sandal yang sudah tidak layak pakai.

"Iya, itu sandalku. Tante Nemu dimana?" Aku mengambil sandalnya.

"Di kandang Ayam Tante. Tante kira itu bukan sandal, pas mau ambil telur, eh ternyata sandal. Ibu kamu kemarin nyariin sandal warna biru, Tante pikir ini punya kamu!" Jelasnya lalu pulang.

Aku berterimakasih dan bergegas membawa sandal itu ke hadapan Ibu.

Sandal itu sudah sobek dan berlubang karena gigitan semut, talinya sudah putus, kotor dan banyak tanahnya.

"Ibu sandal Una!" Aku menunjukannya pada Ibu.

"Astaga, kok udah kaya gini? Nemu dimana?" 

"Sama Tante, tetangga sebelah katanya Nemu di kandang Ayamnya." 

"Ibu, ayam bisa curi sandal ya?" Tanyaku karena heran kenapa sandalku berada di kandang Ayam sampai berhari-hari.

"Nggak mungkin nak, ayam Tante tetangga gak pernah dilepas keluar kandang. Mungkin ada yang jahil. Udah gak apa-apa nanti kita beli lagi aja ya!" Ucap Ibu.

Entah siapa yang menyembunyikan sandalku, tapi kepalaku tertuju pada satu orang itu.

"Una..... Main yuk!" Widi mengajakku bermain.

"Nggak, lagi gak punya sandal. Nanti mainnya kalo udah ada sandal!" Ucapku kesal lalu Widi pergi dari hadapanku.

"Nak, ko gak main?" Ibu menghampiriku.

"Nggak, Una masih kesel sama Widi. Una yakin, pasti Widi yang ngumpetin sandal Una!" Ocehku.

"Eh, gak boleh kaya gitu. Mungkin aja yang lain, atau gak sengaja kebawa." Ibu selalu menasihati ku agar tetap menjadi orang baik walau disakiti.

***

"Gitu, cerita kamu waktu kecil lucu-lucu." Pungkas Ibu mengakhiri ceritanya.

"Iya, Una masih ingat sampai sekarang kejadian sandal itu. Gak ada yang ngaku sama sekali tau Bu!" Celotehku.

"Yaudah, lupain aja. Udah lama juga!" Ucapnya masih tetap sama.

Aku masih tertidur dipangkuan Ibu sembari Ibu mengelus kepalaku halus. 

Dari kejauhan, aku melihat dua orang berjalan mendekat menuju aku dan Ibu. Semakin aku pandang, aku semakin mengenal wajahnya.

"Unaaaa, kakek datang!" Serunya sembari tersenyum dan menghampiriku.

Kakek dan Nenek sengaja mengunjungi aku dan Ibuku. Sekarang, aku jarang sekali mengunjungi rumah Nenek bersama Ibu. Jika pun Ibu pergi, aku jarang ikut dengannya karena sekarang aku sudah duduk di sekolah menengah atas dan itu membuatku tidak punya waktu senggang yang banyak.

"Wah, Nenek bawa apa?" Tanyaku melihat Nenek menaruh bingkisan.

"Bawa makanan kesukaan kamu." Ucap Nenek lalu menyuruh Ibu untuk menyimpannya ke dalam rumah.

"Nenek sama Kakek jalan kaki kesini?" 

"Nggak, Nenek sama Kakek naik mobil online. Apatuh namanya nenek lupa. Emmmm, pokoknya itu lah yang pesannya di HP. Ibu kamu yang pesankan." Jelasnya.

"Aku pikir Nenek jalan kaki sama Kakek. Masuk yuk Nek, aku tadi siang masak sesuatu lho. Masih aku simpan di dalam kulkas!" Ajakku lalu kami masuk ke dalam rumah.

Hidup kami memang sederhana, namun kami tetap bahagia karena bisa terus berkumpul bersama.

"Woy, kenapa gak bilang mau kumpul disini sih!" Teriak Paman membawa banyak bingkisan di tangannya.

"Lagian kamu gak nanya. Kakak kira gak akan gabung kita!" Ibu menjahili Paman dengan tidak memberitahu kami akan berkumpul di rumah Ibu.

Paman yang sedang bekerja di luar kota bergegas pulang saat mengetahui kami tengah berkumpul. Aku yang memberitahunya.

"Untung si Upil Una ngasih tau!" Ledeknya padaku membuat emosiku sedikit menaik.

"Aish, dasar pak guru Upil!" Ledekku kembali.

Lalu kami berkumpul bersama, berbincang sembari sesekali tertawa didepan banyak makanan yang kami makan sebagai camilan sore itu.

Keluarga kecil kami sangat menjaga kerukunan dan tali silaturahmi, karena dikota ini kami hanya tinggal berlima dan tak jarang Kakek, Nenek juga Paman meninggalkanku dan Ibu berdua saja.

Di kota ini, kami hidup bersama, saling menyayangi, saling menghargai satu sama lain juga saling menolong diantara sesama. Karena jika bukan keluarga, siapa lagi yang akan peduli dengan kami. 

Seburuk-buruknya sikap mereka, kami tetap keluarga. Segera minta maaf jika berbuat salah, segera tolong jika butuh bantuan, segera datang ketika diperlukan tidak lupa untuk segera berterimakasih atas apa yang dilakukan. Karena kami adalah saudara, kami adalah keluarga.

Tidak akan bahagia dengan harta jika kita tidak punya keluarga.

Written by: Irma Noor

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar