Disukai
8
Dilihat
313
Lesung Semringah
Misteri

Lelaki Separuh Baya terlihat mempunyai Tangan Tangan Umum yang menghujam-hujam lesung batu dengan alunya. Lesung dihujamkan sekuat-kuatnya, hingga harum semerbak kopi mampu memecah peluh yang bersembunyi di kerutan kulitnya. Lesung dihujamkan lagi, kali ini untuk memutar Mata Mata Saya dan menikamnya sampai menembus pekak Lubang Lubang Hidung Saya.

Ada secangkir kopi yang disiapkan untuk menyambut dan melepaskan kehangatan pahit yang senantiasa menyerap aroma kedamaian.

Ada pula kepulan asap hangat yang diembuskan oleh semilir angin dari secangkir kopi tadi, yang membuat semuanya terjadi begitu lamban dan begitu membosankan. Mungkin ini adalah bentuk dari ketidakwarasan yang sudah menyelubungi isi kepala, karena perpisahan yang tak kunjung kembali.

"Bocah Ingusan."

Bibir saya melirih. "Saya kenal suara itu."

Seperti sudah menempel lama dalam gendang telinga. Meskipun telinga saya sulit untuk mempercayainya. Apakah ini adalah pembatas realita atau mimpi. Saya menyelusup melalui Orang Orang Umum I dan Orang Orang Umum II yang sedang menelisik sebuah bisikan yang tak lembut.

"Bocah Ingusan."

Bibir saya kembali melirih. "Saya kenal suara itu."

Lelaki Separuh Baya mengangkat secangkir kopi dan menyesapnya.

"Kopi ini sangat sederhana."

Menurut saya, selain sederhana juga terasa konyol. Apa mungkin Lelaki Separuh Baya itu tak memasukkan air buatan, tapi yang ia masukkan adalah air peluhnya.

Tiga jarum sudah memindahkan angka-angkanya. 48 kali pada jarum pendek, 2880 kali pada jarum panjang dan 172800 kali pada jarum paling panjang. Selama itu sudah saya menjadi penyelesai urusan di warung kopi Lelaki Separuh Baya. Lantas kali ini saya seolah tersihir untuk terus saja menatap lurus ke arahnya. Lesung dihujamkannya lagi, demi menyemai puluhan bahkan sampai ribuan biji kopi yang masih tak jelas apa gerangannya.

Secangkir kopi yang saya tenteng memunculkan uapan putih melayang, membumbung, memudar, lalu meredam setelah bersentuhan dengan Mulut Mulut Umum Tak Terdeteksi di peraduan rumah kayu yang disulap menjadi warung kopi. Banyak butiran kopi yang saya tenteng belum tergiling halus. Mungkin karena lesungnya sudah tua atau karena biji kopinya berjumlah ribuan.

Ada Lelaki Tua Renta yang menyunggingkan dua belah bibirnya, membentuk setengah lingkaran ke arah saya. Entah dari mana kemunculannya.

"Bocah Ingusan."

Bibir saya kembali melirih. "Saya kenal suara itu."

Saya rekomendasikan kepada Lelaki Tua Renta, untuk mencoba secangkir kopi konyol, tetapi Lelaki Tua Renta itu mengelak secara semringah.

"Karena pahit teramat pekat?" tanya, saya lirih.

Setelah saya menyelesaikan rekomendasi, saya beradu dengan Kaki Kaki Saya sembari menunggu ungkapan dari Lelaki Tua Renta. Tiga jarum mulai memindahkan angka-angkanya, tetap tak kunjung terdengar ungkapan dari Lelaki Tua Renta tentang rekomedasi saya. Saya mencoba merogoh saku untuk menumpahkan uang recehan. Namun, urung tangannya tak seperti apa yang saya ingin selami. Lantas membuat saya mengerjitkan dahi. 

Lelaki Separuh Baya sudah membuat saya memorak-perandakan otak saya dengan segala urusan secangkir kopi konyolnya. Kini diperparah lagi oleh semringahnya Lelaki Tua Renta yang memiliki selera abstrak. Mungkin hanya kursi lapuk saja yang bersedia menjadi saksi bisu kami bertiga.

Dengan tak terduga, Lelaki Tua Renta menghargai saya dengan memperlihatkan pertunjukan pahatan lesung kayunya. Saya terpana melihatnya, bukan karena kayu lebih bagus ketimbang batu. Tetapi, karena pahatan kayunya tertata dengan teratur.

Cangkir terombang ambing di atas meja mengubah pola pikiran saya, yang awalnya ingin bersantai menonton bertunjukan lesung kayu, dengan seketika berubah menjadi ingin melanjutkan memorak-perandakan kepala dengan urusan secangkir kopi konyol kembali.

"Sudah ada tiga urusan yang datang di jam-jam rendah ini," lirih saya.

Namun, hanya satu yang sangat tangguh dengan urusan pertunjukan pahatan lesung kayunya. Tanpa bisa diduga, Lelaki Paruh Baya dan Lelaki Tua Renta memiliki kemampuan untuk saling berpendapat tentang lesung.

Dengan sorot matanya yang membinar dengan kekagumaannya yang sangat amat kepada lesung batu miliknya. Lelaki Separuh Baya takut kalau lesungnya tersaingi. Ia membuat suatu perjanjian. Setelah selesai membuatnya, kemudian ia menjelaskan isi perjanjiannya. Begini isinya, jika Lelaki Separuh Baya tak menyesap secangkir kopi konyolnya yang memiliki aroma khas konyolnya. Maka Lelaki Tua Renta diperintahkan untuk tidak menghadiri pertemuan tanpa adanya undangan di warung kopi ini lagi.

"Kopi ini sangat sederhana," ucap Lelaki Separuh Baya sembari menghembuskan napas kasarnya.

Dan, Lelaki Tua Renta ini lebih cerdas dari yang saya duga. Ia tak menyesapi secangkir kopi dari Lelaki Separuh Baya. Kopi konyol tak hanya berada di pojokan sisi-sisi cangkir tapi juga masih tergenang basah di secangkir kopi konyol. Lelaki Tua Renta, menentang perjanjian dari Lelaki Separuh Baya.

Saya terus menstimulus otak saya agar dapat memecah kebuntuan yang diakibatkan dua lelaki tadi.

Tiga jarum sudah memindahkan angka-angkanya. Dari kejadian itu, hanya dua urusan yang bisa terselesaikan, satunya lagi membutuhkan penjagaan yang ketat. Kini selain menyelesaikan urusan secangkir kopi konyol, saya ada ketertarikan untuk menjadi seorang penjaga di warung kopi konyol ini.

Jam-jam kian menjadi tinggi, dan merambat makin kehitaman di tengah rasa kantuk Orang Orang Umum Tak Terdeteksi (Tak Berangka). Sedangkan, rasa kantuk saya tak kunjung mulai menjalari Mata Mata Saya. Saya berusaha mengalihkan arah kejadian di jam-jam rendah tadi, agar tidak menyesatkan isi kepala saya.

Entah mengapa, saya jadi nyaman bercengkerama pada jam-jam yang tinggi. Agar rasa kantuk menjalari mata-mata saya, apa sebelum jam tinggi saya harus berjalan-jalan seperti Orang Orang Umum Tak Terdeteksi (Tak Berangka). Yang melewati lengkungan garis dengan warna putihnya yang pucat atau melintasi segilima runcing yang hilang muncul itu, yang mempunyai kemampuan untuk memanjakan Mata Mata Umum Tak Terdeteksi (Tak Berangka).

"Bocah ingusan." 

Bibir saya kembali melirih, "saya kenal suara itu."

Kata lelaki separuh baya, satu korban (Orang Orang Umum I) ditemukan terkulai dan terkapar di jam-jam tinggi kehitaman, yang terlihat lebih pekat dari kelamnya warna kopi konyolnya Lelaki Separuh Baya. Penyelidikan terhadap kasus pembunuhan itu menggiring nama Lelaki Tua Renta, tanpa adanya bukti yang menyertai. Kasus ini harus segera tersibak, sebelum kejahatan lain menyusul. Lelaki Separuh Baya tidak bisa memperpanjang segalanya tentang kasus ini.

Sampai jam-jam merendah, tidak ada juga silauan dari bola lingkaran padat yang hangatnya meresap dalam setubuh Orang Orang Umum Tak Terdeteksi (Tak Berangka). Air alami turun lebih laju dilengkapi dengan wewangian dari tanah.

Setibanya Lelaki Separuh Baya menghujam-hujam lesung batunya. Menjadi pertanda urusan segelas kopi konyol akan segera diselenggarakan.

Warung kopi ini, sepertinya sudah berhasil menghancurkan benteng kokoh air alami hingga Orang Orang Umum Terdeteksi I (Berangka I, II, III, IV, V dan VI) bersedia dengan suka citanya meletakkan diri mereka di sana sini warung kopi konyol. Ungkapan Orang Orang Umum Terdeteksi I (Berangka I, II, III, IV, V dan VI) warung kopi ini bisa menumbuhkan segenap harapan yang keluar dari uapan kopi konyol. Uapan yang bisanya terlihat menggumpal indah di udara. Yang senantiasa menyerap aroma kedamaian.

"Bocah ingusan."

Bibir saya kembali melirih, "saya kenal suara itu."

Harum debu tanah menjadi terasa menyengat di Lubang Lubang Hidung Saya mungkin karena bercampuran dengan aroma kopi konyol.

Penambahan temaram dari alat bercahaya membuat suasana menjadi harmonis untuk Orang Orang Umum Terdeteksi I (Berangka I, II, III, IV, V dan VI).

Saya mendengar suara air yang menyentuh cangkir, berpadu dengan suara awan yang melontarkan air murni, tidak lama setelah mendengar suara tadi. Lelaki Tua Renta, menghadiri pertemuan tanpa adanya undangan. Ia mempersembahkan pertunjukan lesung andalannya untuk kedua kalinya, secara semringah di warung kopi konyol.

Setelah kasus pembunuhan menyeret namanya, tidak sedikitpun kegelisah bisa terdeteksi di panca indranya.

Saya menonton pertunjukan itu. Seakan-akan menyukainya. Padahal saya hanya menontonnya saja. Sedangkan, Lelaki Separuh Baya sedang rajin-rajinnya berurusan dengan lesung batunya saja untuk mengumpulkan reremahan serbuk kopi yang ia cairkan hingga menebarkan kehangatan. Urusan secangkir kopi konyol sedang banyak-banyaknya hari ini.

Lelaki Tua Renta akhirnya menghentikan pertunjukan pahatan lesung dengan cara semringah. Tetapi ia malah membuka pergelaran pameran lesung kayu buatannya, yang lagi-lagi dengan cara semringahnya.

Pergelaran pameran lesung kayu memindahkan Mata Mata Umum Terdeteksi I (Berangka I, II, III, IV, V dan VI). Saya belum bisa menyimpulkan, keadaan apa yang akan terjadi, jika Lelaki Separuh Baya mengetahui Mata Mata Umum Terdeteksi I (Berangka I, II, III, IV, V dan VI) memutuskan untuk pindah.

Tiga jarum mulai memindahkan angka-angkanya. Lelaki Separuh Baya menjadi malas untuk melanjutkan urusannya dengan lesung batu, saat menyadari Mata Mata Umum Terdeteksi I (Berangka I, II, III, IV, V dan VI), sudah pindah. Untuk mengetahui penyebab perpindahan Mata Mata Umum Terdeteksi I (Berangka I, II, III, IV, V dan VI). Ia menulusuri peta di tubuh Orang Orang Umum Terdeteksi I (Berangka I, II, III, IV, V dan VI). Penulusuran Lelaki Separuh Baya tak terberangus saat menerima kenyataan penyebab pindahnya Mata Mata Umum Terdeteksi I (Berangka I, II, III, IV, V dan VI).

"Bocah Ingusan."

Bibir saya kembali melirih. "Saya kenal suara itu."

Pikiran saya menerawang, semuanya termasuk saya akan menjadi terkulai dan terkapar setelah menonton pertunjukan lesung Lelaki Tua Renta.

Saya kembali menatap sendunya ampas di secangkir kopi yang terbuang tak ada yang menghiraukannya lagi nantinya.

Jam-jam mulai tinggi kehitaman, yang terlihat lebih pekat dari kelamnya warna kopi konyolnya Lelaki Separuh Baya.

"Bocah Ingusan."

Bibir saya kembali melirih. "Saya kenal suara itu."

Mata Mata Umum Terdeteksi I (Berangka I, III dan VI) dan Orang Orang Umum Terdeteksi I (Berangka I, III dan VI) kata lelaki separuh baya menjadi terkulai dan terkapar. Penyelidikan terhadap kasus pembunuhan kali ini menggiring nama Lelaki Tua Renta, tanpa adanya bukti yang menyertai. Kasus ini harus segera tersibak, sebelum kejahatan lain menyusul lagi. Dan penerawang saya mendapatkan penilaian terbaik, karena nyaris benar.

Geletar jiwa saya menganga pada ketakutan akan keragaman rasa pahit dan rasa manis yang akan sulit untuk menyatu lagi. Kegelisahan menyemai tumbuh dalam dada. Gemuruh bibir tak kuasa saya singkirkan dalam kepala. Dan jika jejak Kaki Kaki Saya sudah terbendung maka akan sulit menelisik ke bagian tempat lainnya.

Maka saya harusnya bertahan di warung kopi konyol saja. Jika tidak, saya akan dipindahkan ke bagian tempat lainnya. Tapi, saya tidak saling kenal jika ke bagian tempat lainnya. Maka saya lebih memilih bertahan di warung kopi konyol saja.

Perlahan warung kopi konyol terisi oleh nostalgia masa kelam. Sewaktu langit merona merah, angin dingin menyuak dengan semburan cahaya yang redup. Pedagang Umum I Terdeteksi (Berangka I dan II) dengan jumlah kaki sebanyak lima, saling menumpahkan kicau dan barang berharganya. Sampai berhamburan dan mengendap, sebagai bubuk susu dingin di peraduan jalanan.

Saya dibujuk memunguti yang sebagai bubuk susu dingin, harapan saya mungkin itu bisa melenyapkan ingusan saya. Saya memasukkannya ke dalam secangkir kopi Orang Orang Umum I, Mata Mata Umum Terdeteksi I (Berangka I, III dan VI) dan Orang Orang Umum Terdeteksi I (Berangka I, III dan VI).

Saya tau cara menjalin buhul dengan benar untuk mengandam selentingan isu agar tidak terhirup angin kencang. Tapi, menelisik kasus yang sudah terjadi. Saya tak tahu menahu apa semua korban sudah terpelanting jauh pada kelabu atau sudah terkubur kalut.

Jam-jam mulai merendah ditandai dengan kemunculan silauan dari lingkaran bola padat yang hangatnya meresap dalam setubuh Orang Orang Umum Tak Terdeteksi (Tak Berangka). Namun, tak tampak arah angin sejuk yang seharusnya sudah merebah.

"Ke manakah arah angin sejuk itu?" tanya saya lirih.

Satu Mata Saya berjalan mencari arah itu sendirian, sedangkan Mata Saya satunya lagi sibuk melirik tulisan dari Nenek Moyang yang bertuliskan begini. Arah angin sejuk bisa menyejukan jiwa yang sedang gersang dan tak berperasaan. Jiwa gersang dan tak berperasaan, yang mungkin lagi bertebaran dalam jiwa Lelaki Tua Renta di saat ini. Tapi, sekalipun ada angin sejuk menurut saya, jiwa Lelaki Tua Renta tetap gersang dan tak berperasaan.

Mungkinkah lesung kayu yang membuat angin sejuk tak bisa berkutik atau karena cara semringah. Yang saya tau, cara semringah adalah cara terlicik bagi jiwa yang gersang dan tak berperasaan untuk menutupi Mata Mata Umum Terdeteksi I (Berangka I, III dan VI) dan untuk mengelabui Orang Orang Umum I, dan Orang Orang Umum Terdeteksi I (Berangka I, III dan VI).

Kemunculan Lelaki Tua Renta menenteng lesung kayunya dengan cara semringah. Membuat Mata Mata saya menjalar pada pikiran yang pendek. Lantas saya menggeleparkan waktu dan menjarah seluruh napasnya dengan lesung kayunya sendiri, sampai perjalanannya habis.

Butir demi butir darah tumpang tindih di kepala Lelaki Tua Renta, tubuhnya goyah serupa reranting yang ditebas oleh binatang buas yang mengganas.

Jam-jam mulai merendah, ketenangan dan kegelisahan bercampuran mengarungi kerumitan jiwa saya. Sedangkan Lelaki Separuh Baya menghujam-hujam lesung batu dengan alunya, menjadi pertanda urusan segelas kopi konyol akan segera diselenggarakan.

Orang Orang Umum I, Mata Mata Umum Terdeteksi I (Berangka I, III dan VI) dan Orang Orang Umum Terdeteksi I (Berangka I, III dan VI). Kembali meresapi Mata Mata Saya.

"Bocah Ingusan."

Bibir saya kembali melirih. "Saya kenal suara itu."

Kantung Mata Mata Saya, saya usap untuk memisahkan nyata dan tak nyata. Dan hasilnya tak bisa dipisahkan karena semuanya adalah nyata. Orang Orang Umum I, Mata Mata Umum Terdeteksi I (Berangka I, III dan VI) dan Orang Orang Umum Terdeteksi I (Berangka I, III dan VI) bermunculan lagi.

Mereka tak ingin menyesap secangkir kopi konyol, mereka hanya mempertanyakan perkara terkulai dan terkapar, yang membawa tempias ke rengkuhan benak saya. Lelaki Separuh Baya menunjukkan bahan-bahan kopinya yang tak melanggar aturan pembuatan.

"Bocah Ingusan."

Bibir saya kembali melirih. "Saya kenal suara itu."

Panggilan bocah melekat dengan ngeyel. Mungkin karena saya berjenis perempuan tak bisa umum. Padahal kemunculan saya pada bola padat penerima cahaya yang berisi Benda Benda Hidup Tak Terdeteksi dan Benda Benda Mati Tak Terdeteksi sudah sampai dengan pergantian kalender penomoran yang ke 30 kalinya.

Saya kemudian ikut menunjukan bahan tambahan dari saya yaitu yang sebagai bubuk susu dingin. Sebagai bubuk susu dingin menjadi gurauan yang kemudian menertawakan diri saya sendirian. Yang tidak taunya, sudah melanggar aturan pembuatan kopi. Sebagai bubuk susu dingin sudah tidak sesuai dengan zaman pengunaannya lagi.

Saya menyusuri sepanjang jalan yang jalang dan buntu. Keinginan saya menuju waktu yang bertumbuh namun nyatanya punah dan rapuh. Tersisa sesal yang hening dari kesalahan yang gaduh. Barangkali rundingan lirih yang terbata-bata dari suara lirih isi kepala akan menjadi riwayat ruas-ruas masa depan saya. Masa depan yang saya garap menjadi kado di penghujung kisah, yang akan dibungkus dengan besi berjeruji.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Mantap
Menarik ceritanya 🫶
Sama-sama
@darmalooooo : Hi makasih Kak udah mampir
Terbaik ❤️❤️❤️❤️
Rekomendasi dari Misteri
Rekomendasi