Disukai
1
Dilihat
97
LELAKIMU ADALAH
Drama

"Mas, jangan pergi!" serumu sambil meraih tangan Yoga, lelaki yang telah lama kau sebut sebagai pujaan hati. Suaramu bergetar, penuh kepanikan, sementara matamu mulai berkaca-kaca. Kau menggeleng cepat, seolah ingin menolak kenyataan yang ada di depanmu, memperlihatkan kesenduan yang sulit disembunyikan.

Yoga menghentikan langkahnya. Ia berbalik dengan senyum hangat yang selalu berhasil menenangkan hatimu. Tanpa berkata-kata, ia sedikit menunduk, mengusap lembut puncak kepalamu dengan sentuhan penuh kasih. "Aku akan segera kembali, Mira," ujarnya dengan nada meyakinkan. "Aku hanya pergi untuk mencari pekerjaan di kota. Setelah itu, aku pasti akan meminangmu."

"Tapi, Mas Yoga ...." Kau berusaha membalas, suaramu patah di tengah kekhawatiran yang membuncah.

Yoga tersenyum lebih lebar, seolah ingin menegaskan bahwa tak ada yang perlu kau takutkan. "Tidak perlu khawatir, Sayang. Aku akan menepati janji. Bukankah aku selalu jujur tentang segala hal padamu?"

Kata-katanya yang tulus itu hanya membuat hatimu terasa semakin berat. Kau tahu dia berbicara dengan sepenuh hati, tapi kenyataan bahwa ia harus pergi tetap saja menusuk perasaanmu. Yoga, lelaki dengan wajah bulat yang selalu menenangkan, kini berdiri di hadapanmu untuk mengucapkan perpisahan sementara. Kau tahu ia tak punya banyak, hanya seorang petani yang sederhana. Tapi cinta Yoga untukmu begitu tulus, dan itu lebih dari cukup untukmu.

Kau menatapnya dengan penuh harap, tapi tak ada lagi yang bisa kau katakan. Hanya ada diam yang menggantung di antara kalian. Perlahan, Yoga mulai melangkah pergi, mengayunkan langkah-langkah kecil yang terasa begitu berat bagimu. Setiap jarak yang ia ambil terasa seperti jarum yang menusuk hatimu. Kau berdiri terpaku, membiarkan air matamu jatuh, membasahi pipimu yang mulai memerah karena menahan sedih.

Kau memandang punggungnya semakin jauh, hingga akhirnya ia menghilang dari pandangan. Saat itu, seolah dunia di sekitarmu menjadi sunyi. Kau menutup mulutmu dengan tangan, mencoba menahan isak yang justru semakin meledak. Tak mampu menahan diri lagi, kau berlari pulang.

Langkahmu terburu-buru, tanpa peduli pada jalan yang berlumpur di hadapan. Kau berkali-kali tersungkur di sawah Pak Tino, lumpur kental menyelimuti tubuhmu. Namun, kau tidak peduli. Kau bangkit lagi, berlari lebih cepat, membiarkan rasa sakit dan dingin dari tanah yang kotor mengalir begitu saja. Isakmu memenuhi udara sore, bercampur dengan gemuruh di dadamu.

Hanya satu hal yang berputar di benakmu: Yoga. Namanya terulang-ulang di pikiranmu, bersama kenangan manis yang kini terasa begitu jauh. Kau terus menangis, sejadi-jadinya, berharap suara tangismu bisa menghapus segala rasa sesak yang memenuhi hatimu. Tapi kau tahu, perpisahan ini adalah bagian dari perjuangan cinta kalian. Dan kau hanya bisa berharap, janji Yoga akan segera terwujud.

 

-II-

 

Setahun berlalu, tanpa sepucuk surat atau sepenggal kabar dari Yoga, lelaki yang dulu kau panggil belahan jiwamu. Waktu berlalu, dan perlahan kau mulai terbiasa hidup tanpa bayangnya. Rindu yang semula mencengkeram, kini hanya menjadi gelegak samar di sudut hati. Namun, bukan hanya waktu yang mengubahmu, Mira. Kau mulai menemukan dirimu terjebak dalam pusaran perasaan baru.

Darwin. Lelaki bertubuh besar dengan dada bidang yang dihiasi bulu-bulu lebat itu tiba-tiba hadir, mengisi kekosongan di hatimu. Jauh berbeda dari Yoga yang sederhana dan lembut, Darwin menonjol dengan gaya maskulin yang begitu kentara. Berewoknya rapi, tangannya dipenuhi bulu tebal, dan suaranya berat—semua itu membuatmu takluk. Namun, ada satu hal yang tak pernah gagal membuatmu terpesona: bulu-bulu lebat di dadanya. Kau merasa seperti anak kecil dengan mainan baru, ingin terus menggoda dan memainkan "keindahan" itu.

Perubahanmu tak terelakkan. Kau bukan lagi Mira yang memimpikan pernikahan sederhana bersama Yoga. Kini, kau adalah Mira yang senang menghabiskan waktu bersama Darwin, menikmati petualangan yang ia tawarkan.

Sore itu, Darwin mengajakmu ke kota dengan sepeda motor modifan yang terlihat seperti simbol kejantanannya. Motor itu berderu keras, dan setiap kali kau duduk di jok belakang, tubuhmu seolah terangkat sedikit—seperti motor itu sedang bercanda dengan penumpangnya. Kau mengenakan lipstik merah menyala, mempertegas aura beranimu yang kian kentara. Darwin sesekali melirik ke arahmu, matanya berbinar penuh hasrat.

Namun, perjalanan yang semula menyenangkan mulai berubah aneh. Darwin tiba-tiba berbelok ke jalan yang tak kau kenali, jalur sepi yang bahkan mentari pun enggan menyinari. Langit mulai beranjak gelap, dan keheningan di sekitar membuatmu cemas.

"Mas Darwin? Kita mau ke mana?" tanyamu dengan suara ragu, mencoba menahan kekhawatiran yang mulai menyelinap di dadamu.

"Lewat sini lebih dekat, Dik," jawabnya dengan nada tenang yang sedikit memaksa.

Kau terdiam, mencoba meyakinkan diri untuk percaya padanya. Namun, firasat buruk mulai mengendap di hatimu ketika motor itu berhenti di pinggir jalan. Tempat itu begitu sunyi, tak ada tanda-tanda kehidupan di sekitarnya. Angin malam berembus, dinginnya menyusup ke tulang-tulangmu, membawa rasa was-was yang kian membesar. Kau menelan ludah, mencoba memahami ke mana tujuan dari perjalanan ini sebenarnya.

Darwin melangkah mendekatimu dengan sorot mata yang kini berubah liar.

"Mas, ada apa?" tanyamu dengan nada gelisah, turun dari motor mengikuti langkahnya. Namun, Darwin tak menjawab. Sebaliknya, ia mendekat dengan gerakan yang membuat jantungmu berdebar kencang, bukan karena cinta, tetapi ketakutan yang merayap.

Tanpa peringatan, tubuhmu diraihnya dengan kasar. Ia memelukmu erat, bukan dengan kasih, melainkan dengan nafsu yang membara. Kau mencoba melawan, tapi pelukannya seperti belenggu. "Mira, aku sudah lama menginginkan tubuhmu," desisnya di telingamu, napasnya menderu penuh kegilaan.

Lehermu dijilatinya, menciptakan rasa jijik yang membakar batinmu. Kau meronta, berusaha melepaskan diri. Tapi Darwin lebih kuat, dan usahamu hanya berakhir sia-sia. Bajumu yang cukup ketat terkoyak oleh tangannya yang beringas. Ia meraba, membelai, dan mencium setiap inci tubuhmu tanpa ampun.

Di tengah ketakutanmu, satu nama melintas di pikiranmu—Yoga. Lelaki yang pernah kau cintai sepenuh hati, lelaki yang kau khianati. Dalam hatimu, kau memohon pertolongan, meskipun kau tahu ini adalah karma atas pengkhianatanmu.

Darwin semakin liar. Ia membalik tubuhmu, mengincar bagian yang paling kau lindungi, yang seharusnya hanya menjadi milik suamimu kelak. "Tidak ...," bisikmu lirih, air mata mengalir deras. Kau merasa tamat.

"Tolong—"

Namun, sebelum segalanya menjadi mimpi buruk yang tak terhapuskan, Darwin tiba-tiba limbung. Darah mengucur deras dari kepalanya. Tubuh besar itu jatuh ke tanah, tak bergerak lagi. Kau terdiam, tubuhmu gemetar. Lalu kau melihatnya—Yoga.

Ia berdiri di sana, menggenggam sebuah balok kayu yang kini penuh darah. Matanya menatapmu dengan campuran emosi yang sulit dijelaskan—marah, sedih, dan kecewa.

"Mas ...." Suaramu hampir tak terdengar. Kau memanggilnya dengan lirih, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.

"Betulkan pakaianmu, Mira," ucapnya dingin, dengan suara yang nyaris retak. Yoga membuang pandangannya darimu, seolah enggan melihatmu dalam kondisi seperti ini. Ia menahan air mata yang hampir tumpah, melawan rasa sakit di hatinya.

"Mas Yoga ...." Kau hanya bisa memanggil namanya, tubuhmu gemetar penuh penyesalan. Kau ingin menjelaskan, tapi lidahmu kelu.

Saat itu, suara mobil mendekat. Sebuah mobil polisi berhenti di dekat kalian, dan lima aparat keluar dengan senjata siap siaga. Mereka mendekat dengan langkah cepat, wajah mereka penuh kewaspadaan.

"Jangan bergerak!" teriak salah satu dari mereka, senjatanya diarahkan langsung ke Yoga. Kau tertegun, tak mengerti apa yang sedang terjadi.

"Apa yang terjadi?!" tanyamu panik, tubuhmu bergerak mundur dengan tangan yang gemetar.

Yoga hanya diam. Ia mengangkat tangannya perlahan, membiarkan mereka memborgolnya. Pandanganmu dan Yoga bertemu sekali lagi, tapi ia tetap bungkam, hanya menatapmu dengan mata penuh luka.

"Anda kami tangkap karena telah meresahkan warga sekitar," kata salah satu polisi sambil membawa Yoga masuk ke mobil patroli.

"Mas! Apa maksudnya?!" Kau berteriak, mencoba mencari jawaban. Namun, Yoga tetap tak berkata sepatah kata pun.

Kau akhirnya dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan. Di sana, kau mendengar kebenaran yang menghancurkan duniamu. Yoga, lelaki yang kau tunggu dan cintai, ternyata adalah seorang buronan—perampok yang telah lama diincar polisi.

Kau hanya bisa menangis. Penyesalan menghantammu dengan keras, membuatmu terkapar dalam duka yang mendalam. Segalanya runtuh. Kau kehilangan Darwin, kehilangan Yoga, dan kehilangan dirimu sendiri. Kini, kau hanya terkapar dalam penyesalan tanpa akhir.[]

-III-

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Rekomendasi