Teluk Kelayan, di suatu senja, di tepian Sungai Martapura. Gumpalan awan putih, berlapis-lapis di cakrawala barat. Ruas-ruasnya indah, bertabur semburat sinar surya yang hampir melenggang ke batas garis bumi, seolah hendak menjangkau tubuh ringkihku yang terduduk di atas kursi malas. “Kursi malas Teluk Kelayan,” demikian banyak orang memberikan julukan padanya.
Kuseruput segelas kopi hitam tak bergula. Rasanya pahit, namun nikmat menyeruak di kerongkonganku. Aliran cairan hitam ini kemudian bergulir ke bagian rongga dadaku. Ada suasana hangat yang kemudian memeluk jantungku, hingga menciptakan rasa nyaman di dalam perutku. Perut yang sejak tiga hari terakhir tak pernah terisi makanan, meski hanya oleh sebutir nasi.
Kuhisap dalam-dalam sebatang...