Disukai
15
Dilihat
217
Laskar Pengarsip
Slice of Life
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

"Ingatan, serupa pedang tajam penghimpun kekuatan. Simpanlah pedangmu seperti bayangan. Kemana kau berjalan, ia akan melekat membangun ruang kebebasan”.

Musim Hujan, 2023.

Detak jarum memutar menunjuk angka empat. Tahu-tahu dini hari sudah lewat, mengirim ruwetnya pagi hari di depan komplek. Tak ada satupun rindu melekat di kesendiriannya yang sunyi. Ia hanya memikirkan bagaimana cara mendapatkan penghasilan, ketika suara Ibu kembali berdenyut-denyut di kepala.

“Uang pangkalnya harus segera dibayarkan! Dia tidak bisa belajar tenang, kalau masih ditagih-tagih.”

Rami tahu, tak mudah menjadi kakak asuh disaat tak punya pekerjaan tetap. Menulis lepas bukanlah solusi permanen, jika punya tanggung jawab besar membiayai adik asuhnya bersekolah. Persaingan antar penulis lepas media digital, membuatnya kerap kerja berjempalitan. Kadang tulisannya tembus, lebih banyak karyanya ditampik dengan alasan yang tak pasti. Namun Rami –seperti tali rami, yang mengikat jangkar dan layar– tetap bertahan dan bersabar. 

“Kamu tahu kenapa namanya ‘penulis lepas’?” Ibu kembali menuntut. “Karena seringnya, rejeki lepas dari tangan. Kalau rejeki selalu mudah didapat… namanya ya cuma ‘penulis’.”

Rami mengelus dada. Baginya, menulis itu seperti bernapas. Ia membutuhkannya untuk hidup, bukan sekadar untuk mencari uang. Begitulah alasan klise setiap penulis lepas, jika tak berhasil mendapatkan honor menulis.

Rami membuka peramban, menepuk-nepuk layar gawainya dengan cekatan. Kata-kata perlu dirangkainya agar segera mendapat uang. Ia berdecak, setiap kali membaca artikel politik, ekonomi, sosial dan budaya, mulutnya pun turut bersungut-sungut sebal. Menulis opini tentang kondisi sosial politik negara, kadang membuatnya mual, tapi ini adalah kolom paling laku yang dikunjungi pembaca, selain berita pembunuhan dan pemerkosaan.

Rami mengetikkan beragam pilihan judul, mencoba beropini tentang kejadian-kejadian menggelikan di sekitarnya. Banyak data dan berita yang tiba-tiba menghilang, setiap kali negaranya mau suksesi. Dari mulai pemilihan tampuk pimpinan pusat, hingga pemilihan kepala di daerah. Ia menggumam, data digital kadang memang sulit dipercaya. Beberapa waktu lalu sebuah artikel masih ada, eh, tak berapa lama kemudian menghilang. Tiba-tiba ingatannya tertambat pada satu masa, ke sosok Om Joni yang mengajarkannya teknik mengarsip dan mendokumentasi.

Musim hujan, 2005.

Ibu sudah memberengut sejak ia memulai pekerjaan rumah. Ibu tampak tak suka jika koran-koran yang mau ditimbang, harus disisihkan –apalagi diguntingi. “Kalau kamu potong-potong korannya, mana laku dijual ke tukang loak?” 

Rami diam tak mau berdebat. Guntingnya masih melelai di tangan. Ibu masih merungut, wajahnya semakin ditekuk senderut. Rami tahu, Ibu begitu karena ia tak mau membuang-buang uang.

“Bikin kliping, ya memang harus dipotong, Bu.” Rami membela diri. Yang dibalas ibunya dengan dengkusan.

Minggu depan adalah hari terakhir pengumpulan lomba karya ilmiah. Meski baru SMP, minat menulisnya sudah sangat membuncah sejak dini. Obrolan dengan Ibu terhenti, ketika bunyi bel sepeda terdengar melengking. Sontak Rami meloncat, menjatuhkan buku-buku di meja. “Hai, Om!”

Lelaki berkulit legam itu memarkir sepedanya sambil membuka jas hujan. Kulit hitam, bibir tebal dan gigi besar-besar, Om Joni menyeringai. “Lho, tidak sekolah?”

Rami geleng-geleng. “Hari ini diliburkan. Guru-guru sedang penataran.”

Om Joni terkekeh. Ia duduk di teras, mengamati gerimis yang melungsur kian deras. Rami duduk berjongkok di hadapannya. “Aku boleh tanya?” ucap Rami, dengan bola mata mengerjap-ngerjap.

“Jangan yang susah-susah.” Om Joni masih mengamati gerimis, ia tampak khawatir menatap tas belacunya. Koran dan majalah ia tutupi dengan plastik rapat-rapat.

“Kenapa Om cuma mengantarkan koran ke rumah aku saja?”

Ia tergelak, lalu menyusuri jalanan komplek dengan sorotnya yang tajam. “Orang-orang sini, jarang yang suka membaca.” Sambil menepuk betis kaki yang tebal, ia mengedikkan dagu. “Cuma Rami dan Ibu.”

“Eh, Pak Joni kehujanan?” Tiba-tiba Ibu melongokkan kepalanya dari celah pintu. “Buatkan teh hangat, Rami.”

Rami pun beringsut. Secangkir teh hangat akan sedikit melumerkan udara dingin di luar, pikirnya. “Dari rumahku, Om Joni lanjut ke mana?”

“Ke kantor kecamatan.” Ia menyeruput teh hangat, dengan jemari yang gemetaran.

Sambil menyodorkan kertas yang sedari tadi masih digenggamnya, Rami lanjur berbicara. “Aku sedang membuat kliping,” unjuknya pada selembar kertas dan tumpukan koran.

Om Joni seperti tertarik, ia mengamati gerak-gerik Rami. Dibukanya lembaran koran yang ditandai. “Membuat kliping itu butuh ketekunan dan ketelitian.” 

Dari sekian orang yang Rami butuhkan hari ini untuk membantu, Tuhan mengirimkan loper koran ini demi menyelamatkan. Rintik hujan, udara dingin, dan gerutuan Ibu adalah harga yang pantas untuk mengutusnya datang. Om Joni lalu memilah beberapa lembar kertas, sambil menunggu gerimis reda. Binar di matanya menyala-nyala. “Kliping itu berfungsi menyimpan dan melestarikan kekayaan intelektual manusia.” Ia meracau.

Rami tersentak, ia belum pernah mendapatkan ilmu dari hobinya menggunting dan mendokumentasi selama ini. Segala yang ia sukai, dilakukannya dengan naluri dan rasa cinta, tanpa ada yang memaksa.

“Orang-orang seperti kamu yang begitu mencintai buku, koran dan majalah tentu akan bertambah seiring waktu.” Lelaki itu menarik napas, lalu kembali bicara penuh antusias. “Hasil pemikiran manusia, budaya, penelitian, dan pengalaman ini perlu diarsipkan, agar generasi mendatang dapat mengembangkan dan merasakan manfaatnya.”

Pendar di bola mata Rami kian berbinar, ada harapan bertumbuh di sudut-sudut hatinya yang menghangat. “Om sering membuat kliping?”

Ia mengangguk. “Waktu masih sekolah, wali kelas menyuruh muridnya membuat kliping tentang liputan hari kemerdekaan di seluruh pelosok negeri. Saya bisa tahu banyak hal terjadi di luar sana, lewat liputan-liputan koran seperti ini.”

Rami akhirnya paham, bagaimana lembaran potongan berita bisa membawa gambaran penting di masa lalu. Berita-berita yang dipotong menjadi kolase itu, disusun sedemikian rupa sesuai tema yang diinginkan. Hal-hal remeh yang dianggap sepintas lalu, adalah irisan ingatan yang kan melekat di kepala.

Om Joni terlihat merenung. “Kliping ini adalah arsip penyimpan kebenaran. Bahkan jika suatu berita sengaja dihilangkan, ketika ia disimpan baik-baik dengan teknik mengarsip, suatu saat akan berguna sebagai dokumen otentik.” 

Setiap kalimat yang terucap, setiap alasan yang terungkap, membangunkan rasa penasaran dan hasrat dalam benak Rami. “Dari mana Om tahu tentang semua ini?”

Lelaki itu tak menjawab. Namun Rami tahu, sekian lama Om Joni berjibaku menjadi seorang loper koran, dunia pemberitaan lantas menyatu dalam dirinya. Setiap informasi dan lembar berita, menjadi buana yang membuatnya tetap bertahan hidup.

Pintu ruang tamu terkuak. Ibu melongokkan kepalanya, mengamati apa yang dikerjakan Rami dan loper koran itu. Ibu tak berkata apa-apa, ia hanya diam dengan ujung bibir berkedut. 

Om Joni menyeringai lebar ke arah Ibu. “Suatu saat nanti, Rami pasti akan jadi seseorang yang hebat, Bu,” pungkasnya serta merta.

Musim hujan, 2023.

Langkahnya tersendat, kecipak genangan air mengotori betisnya yang berjalan cepat. Raungan kendaraan bersahutan, mengiringi jejaknya membelah kemacetan menuju sekolahan. Gedung tinggi dengan pagar besi menjulang itu tampak angkuh, tetapi Rami berjalan penuh percaya diri. Ada harapan yang tersimpan dalam lipatan amplop di tasnya.  

“Ini kakak angkat Andreas?” Wali kelas setengah baya itu memicingkan matanya, ia tampak menilai. Kulit Rami yang putih, rambutnya yang tertutupi hijab, sama sekali tak menyiratkan dirinya mirip dengan adik asuhnya itu.

Wali kelas itu kembali memaparkan, kenapa Rami dipanggil. Tatapannya seolah masih menilai dan menghakimi. “Andreas menunggak uang SPP bulan lalu. Kalau masih belum dibayarkan, ia tidak bisa mengikuti ujian semester ini,” tukasnya tajam.

Serta merta, Rami mengeluarkan amplop dari dalam tas, membungkam ucapan tajam perempuan itu, agar tak menghakimi perbedaannya dengan sosok Andreas. Dalam hati ia bertanya-tanya, apakah berbeda suku, berlainan keyakinan, lantas tak membolehkannya mengentas kebodohan? Satu amplop berisi uang pun ia serahkan, benih kerja kerasnya minggu lalu. Tanpa perlu mengucap apa-apa, Rami menyelesaikan kewajibannya sebagai kakak.

Seminggu lalu, Rami menulis artikel kontroversial pertamanya tentang pemilu yang akan dijelang. Tulisan pedasnya menuai pro dan kontra –tetapi tak bisa dipungkiri, media digital tempatnya bernaung mendapatkan banyak pujian. Lalu lintas pengunjung platform itu pun meninggi. Data-data yang Rami miliki, telah berhasil menyulap tulisannya menjadi sebuah artikel bernas di halaman utama. Ia menyoroti fenomena politik terbesar tahun depan, menyingkap sebuah fakta dari tragedi kemanusiaan di masa lampau. Beberapa arsip miliknya, berhasil menggiring analisis yang cergas. 

“Kliping mengajarkan kita untuk menyimpan dan melestarikan khasanah kekayaan intelektual umat manusia.” Ucapan Om Joni terngiang-ngiang di kepalanya.

Ada kebersahajaan dalam sebuah teknik pengarsipan –pikir Rami– ketika menuliskan paragraf pertamanya. Kadang seringkali dilupakan –karena manusia digital– hanya mengandalkan teknologi pencarian. Manusia boleh berpikir maju, sesuai semangat zaman, akan tetapi banyak metode lama yang masih bisa digunakan untuk mengungkap kebenaran. Ketika profesi loper koran sudah ter-disrupsi oleh media digital, apa yang akan terjadi dengan mereka? 

Musim hujan, 2010.

“Apa yang akan terjadi pada anak saya di masa depan nanti?” bisik lelaki itu, tampak rapuh.

Ibu tak banyak bicara, ia hanya menoleh ke arah Rami, lanjur berucap, “ada saya dan Rami yang akan menjaga pendidikannya, Pak.”

Lelaki itu kembali tersedu, wajahnya yang gelap karena terbakar matahari, pun memerah. Ia mengamati Rami dengan saksama, tangannya semakin gemetar. “Literasi tak hanya memberi pengetahuan.” Sambil mengusap kelopak mata, suaranya menggeletar. “Literasi juga menghidupkan nurani, seperti yang dimiliki Ibu dan Rami.”

Rami hanya terpekur, menatap Ibu dan lelaki itu bergantian. Debar di dadanya bersahutan, mengukir kata-kata itu dalam ingatan.

Sepedanya bergerak menjauh, menuju kantor kecamatan. Kedua roda itu berputar cepat, membawa kayuhnya membelah jalanan komplek yang lengang. Lumpur dari genangan air bersibaran, diurai laju ban. Ia tak berhenti mengayuh, hingga tunai tugasnya mengantar amanah. Tangan mungil di kursi boncengan memegang erat pinggangnya, mengantar Sang Papa menembus hujan, demi menghantarkan koran-koran.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Waraas nya emut jaman ngliping, ayeuna mah bororaah kliping, arapaleun na ge kipling boa, eta ge sanes Rudyard 😆😆 nyepeng koran ge jiganamah tos henteu nya pami di indo mah?
Jadi andreas ini anaknya om joni?
Seperti biasanya, tulisan yang menakjubkan 😍
Semoga dipermudahkan dan Karya2 Bunda bestseller. Aamiin Allahumma Aamiin
@jesstress : nah yaaa kan, saat data digital bisa dikendalikan siapa aja, dihapus seenaknya. arsip-arsip yang begini ini kadang dilupakan. nuhuun Din 🤍
@darmalooooo : Do'akan ya 😊
Antara sedih & feeling nostalgic. Mengingat masih kebagian masa2 mengguntingi kolom berita & foto2 untuk kliping. Sepertinya kata "Kliping" tidak hadir di vocabulary anak2 masa kini 🥲
Sama-sama Bunda 🥰 btw, buat cerpen Kompas juga?
@cacasuraca : Teh Aliiin makasih sudah dibaca 🙏 (sungkem)
@darmalooooo : terima kasih banyak Darma 🤍
Rekomendasi dari Slice of Life
Rekomendasi