Aku menarik rem mendadak. Motor sedikit oleng, roda belakangnya hampir kehilangan keseimbangan, dan jika aku tidak sigap menapak kaki ke aspal, mungkin kami sudah mencium trotoar.
Di belakangku, Rina tetap diam. Tangannya masih di pinggangku, tetapi cengkeramannya lebih erat dari biasanya. Jakarta tetap ramai seperti biasa—klakson bersahutan, pedagang kaki lima berteriak menawarkan dagangan, dan seorang pengamen melantunkan lagu Dewa 19 dengan gitar yang senarnya tinggal tiga.
Namun, bagiku, semua kebisingan itu seolah meredup.
Karena beberapa detik yang lalu, tepat ketika kami melintasi lampu merah di perempatan, Rina berkata dengan suara datar, “Bang, gue perempuan transgender.”
Aku berkedip beberapa kali.
Pikiranku seperti GPS yang salah membaca peta. Aku mencoba memahami arah yang benar, tetapi semakin dipikirkan, semakin aku merasa tersesat di jalan yang tak kukenal.
Aku melirik ke spion, berharap ada tawa kecil, senyum iseng, atau kedipan mata yang mengonfirmasi bahwa ini hanyalah candaan. Tetapi yang kulihat hanyalah wajah Rina yang tenang, terlalu tenang, seolah ia telah menyiapkan momen ini berhari-hari dan kini sedang menunggu reaksiku.
Aku menelan ludah.
Aku sudah menyiapkan banyak skenario untuk malam ini. Martabak masih tersimpan di bagasi motor—aku membelinya dengan harapan bisa mencairkan suasana sebelum akhirnya menyodorkan cincin perak sederhana yang ada di saku jaketku. Aku telah menghafal kalimat pembuka selama seminggu penuh, mencoba menyusunnya agar terdengar spontan tetapi tetap berkesan.
Aku siap dengan kemungkinan ditolak. Aku siap jika Rina mengatakan bahwa dia tidak memiliki perasaan yang sama denganku.
Tapi aku tidak siap dengan skenario ini.
Mataku tanpa sadar melirik ke kiri. Di seberang jalan, ada plang kuburan bertuliskan: “Mati Itu Pasti, Hidup Itu Belum Tentu.”
Luar biasa. Bahkan semesta pun tampaknya tidak yakin dengan masa depanku.
Aku menarik napas panjang. Tanganku mengetuk-ngetuk gagang gas, mencari sesuatu untuk dipegang, meskipun yang ada hanya getaran mesin motor yang masih menyala.
Aku bisa saja mengabaikan ini, berpura-pura tidak mendengar, atau mengalihkan pembicaraan. Tapi ada sesuatu dalam tatapan Rina—sebuah harapan tipis yang hampir tak terlihat.
Jadi aku menoleh ke spion sekali lagi, menatapnya langsung, lalu berkata dengan nada datar:
"Oke. Terus kenapa?"
***
Rina tidak langsung menjawab. Dia masih duduk di belakang, napasnya teratur, tapi aku tahu dia sedang menunggu sesuatu—entah itu keterkejutan, kepanikan, atau bahkan aku yang tiba-tiba membatalkan perjalanan dan memutar balik ke arah lain.
Namun, aku hanya menarik gas pelan, kembali melaju menyusuri jalanan Jakarta yang masih sibuk meskipun malam semakin larut.
Di pinggir jalan, seorang tukang angkringan sedang mengaduk kopi, bercakap dengan temannya yang duduk santai di bangku plastik. Suaranya samar, tetapi aku masih bisa menangkap sepotong kalimatnya.
"Perempuan zaman sekarang makin misterius, ya, bro?"
Aku melirik ke spion. Rina tetap diam, tatapannya lurus ke depan. Aku tidak tahu apakah dia mendengar percakapan itu, tetapi aku sendiri merasa seakan dunia sedang memberi komentar tentang situasi yang baru saja terjadi.
Sementara itu, pikiranku berputar lebih cepat dari biasanya.
Apa yang berubah? Apakah perasaan ini tiba-tiba hilang begitu saja hanya karena sebuah pengakuan? Apakah wajah Rina berbeda dari yang kulihat setiap hari? Apakah pecel lele di warung langganan kami masih terasa enak kalau suasana hatiku seperti ini?
Kami melewati plang kuburan yang tadi sempat kulihat. Tulisan "Mati Itu Pasti, Hidup Itu Belum Tentu" masih jelas terbaca dalam cahaya lampu jalan.
Aku menarik napas panjang. Jika ini adalah ujian semesta, maka semesta perlu memperjelas instruksinya, karena saat ini aku hanya merasa bingung.
Aku melirik spion lagi, kali ini bukan untuk mencari jawabannya, tapi untuk memastikan sesuatu: Rina masihlah Rina.
Tangannya tetap memegang helm di pangkuannya, kakinya masih bergoyang pelan seperti kebiasaannya jika sedang berpikir. Udara malam sedikit lebih dingin dari biasanya, tetapi aku bisa merasakan napasnya di tengkukku, halus namun nyata.
Aku menyadari satu hal.
Aku tidak perlu memikirkan apa yang akan dikatakan orang lain. Aku tidak perlu memikirkan apakah dunia menganggap ini aneh atau tidak. Yang perlu kupikirkan adalah satu hal: apakah aku masih ingin makan pecel lele bersamanya malam ini?
Dan jawabannya, tanpa ragu, adalah iya.
Aku menekan gas sedikit lebih dalam, melewati lampu merah yang baru saja berubah hijau.
"Udah, yuk. Pecel lelenya keburu dingin."
Aku menangkap bayangan Rina di spion. Awalnya ia tampak kaget, tetapi kemudian bibirnya perlahan melengkung.
Dia tersenyum.
***
Dulu, saat pertama kali mengantar Rina, aku mengira dia tidak berbeda dengan pelanggan lain.
Pelanggan yang rutin memesan ojek dengan fitur Langganan, yang selalu membayar dengan saldo tanpa banyak basa-basi, dan yang tidak pernah mengeluh meskipun aku mengambil jalan memutar karena salah membaca peta.
Tapi, lama-lama, ada yang terasa berbeda.
Dia bukan tipe pelanggan yang hanya duduk diam di belakang. Rina selalu melakukan sesuatu—menyetel musik, membaca buku, atau sekadar berbicara dengan dirinya sendiri. Kadang, dia menyenandungkan lagu Efek Rumah Kaca, kadang dia membaca puisi Afrizal Malna dengan suara pelan, seolah sedang menguji bagaimana kata-kata itu terdengar di atas motor yang bergetar.
Suatu hari, di lampu merah, dia tiba-tiba bertanya, "Bang, lo percaya nggak kalau kita semua hidup di timeline yang salah?"
Aku sempat tertawa saat itu. "Lho, kenapa tiba-tiba?"
Dia mengangkat bahu. "Nggak tahu. Kadang gue merasa hidup ini seperti salah belok di perempatan, terus nggak bisa muter balik."
Aku tidak benar-benar memahami maksudnya saat itu. Tapi sekarang, setelah mendengar pengakuannya tadi, aku mulai mengerti.
Mungkin ini yang dia maksud.
Mungkin ini belokan yang tidak bisa diputar balik.
Aku meliriknya di spion. Dia masih duduk diam, matanya lurus menatap jalan, tetapi dari caranya memegang helm di pangkuannya, aku bisa merasakan kegelisahan yang ia tahan.
Aku menarik napas, membiarkan pikiran-pikiran itu mengendap sebentar sebelum akhirnya berkata, "Rin, lo percaya nggak kalau kita semua hidup di timeline yang benar?"
Rina mengangkat wajahnya sedikit, keningnya berkerut seolah mencoba memahami pertanyaanku. Lalu, untuk pertama kalinya sejak tadi, dia tertawa kecil.
"Kalau ini timeline yang benar, Bang, berarti kita berdua sudah gila."
Aku tersenyum. "Mungkin memang begitu."
Jakarta malam ini terasa lebih sepi, atau mungkin hanya pikiranku yang mulai mereda. Aku masih tidak tahu ke mana jalan ini akan membawaku, tapi setidaknya, aku tahu satu hal.
Aku masih ingin mengantarnya pulang.
Dan, lebih dari itu, aku masih ingin terus mengantarnya ke mana pun dia ingin pergi.
***
Kami terus melaju, melewati lampu jalan yang temaram, membelah Jakarta yang mulai lengang. Sesekali, aku mencuri pandang ke spion, memastikan Rina masih di sana, masih duduk tegak di jok belakang, masih dengan ekspresi yang sulit kubaca.
Aku ingin bertanya, ingin mengatakan sesuatu, tapi otakku masih sibuk memilah kata.
Haruskah aku menanyakan kenapa dia baru mengungkapkan ini sekarang? Haruskah aku bertanya apakah dia pernah ragu untuk mengatakannya?
Atau, lebih sederhana—haruskah aku bertanya apakah ini berarti aku harus berpikir ulang?
Aku menarik napas, bersiap mengeluarkan satu pertanyaan yang mungkin bisa sedikit meringankan kebingungan di kepalaku.
"Rin," panggilku pelan.
Dia mendongak sedikit. "Iya, Bang?"
Aku menelan ludah, lalu berkata, "Kenapa lo baru cerita sekarang?"
Sejenak, Rina terdiam.
Dia menunduk, jari-jarinya memainkan ujung helm yang ada di pangkuannya. Aku bisa merasakan dia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya menjawab,
"Bang... gue cuma ngeprank lo."
Aku refleks menginjak rem.
Motor sedikit oleng, hampir menyerempet tukang odong-odong yang lewat. Seorang bapak tua di trotoar menatap kami dengan heran.
"Apa?!" Aku menoleh ke spion dengan mata membelalak.
Rina sudah tertawa. Bukan tawa kecil, bukan tawa ragu, tapi tawa yang benar-benar lepas. Dia menutupi mulutnya dengan tangan, tapi bahunya naik turun, tanda dia berusaha menahan agar tawanya tidak semakin keras.
"Ya Allah, Bang! Muka lo priceless banget!" katanya di sela tawanya.
Aku masih diam, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Otakku terasa kosong. Aku tidak tahu harus merasa lega, kesal, atau sekadar pasrah pada nasib yang terus mempermainkanku malam ini.
"Tunggu," kataku akhirnya, masih berusaha memastikan, "jadi lo ngeprank gue? Itu tadi bohong semua?!"
Rina masih terbahak. "Bang, lo kira gue siapa? Ayu Ting Ting versi plot twist? Gue cewek asli, lah!"
Aku masih tidak berkata apa-apa. HP di kantong jaketku bergetar, mungkin ada notifikasi pesanan masuk, tapi aku bahkan tidak peduli.
Aku menarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan.
Setelah beberapa detik, aku menyalakan mesin motor lagi.
"Lo siap, kan?" tanyaku.
Dia mengerutkan dahi. "Siap buat apa?"
Aku tersenyum kecil, lalu menarik gas lebih kencang.
"Siap buat kena prank balik."
Dan motor melaju lagi, kali ini menuju arah yang hanya aku yang tahu.
***
Rina masih tertawa kecil di belakangku, bahunya naik turun, napasnya masih belum stabil setelah berhasil membuatku hampir kena serangan jantung.
Aku diam saja, tetap fokus ke jalan, tapi di kepalaku ada banyak hal yang ingin aku katakan.
Aku harusnya kesal. Aku harusnya merasa ditipu mentah-mentah. Tapi yang lebih membuatku bingung adalah… kenapa aku malah merasa semakin sayang?
Aku menekan gas, membiarkan angin malam sedikit meredakan panas di kepalaku.
Kami melewati sebuah billboard besar yang bertuliskan "Cinta Itu Pilihan." Aku melirik sekilas dan dalam hati mendengus.
Iya, pilihan. Tapi kenapa aku merasa seperti karakter utama dalam reality show yang lupa membaca skripnya sendiri?
Di sebelah kanan jalan, seorang tukang tambal ban duduk santai, memperhatikan kami dengan ekspresi datar khas bapak-bapak yang sudah kebanyakan ngopi. Aku hampir ingin berhenti di sana dan bertanya, “Pak, menurut Anda saya harus bagaimana?”
Rina mulai menyadari keheninganku. Dia menepuk bahuku pelan. "Bang, kok lo diem?"
Aku tetap tidak menjawab.
"Bang?" Suaranya sedikit lebih serius sekarang.
Aku menepi di depan warung pecel lele langganan kami, mematikan mesin motor.
Aku turun tanpa bicara, langsung duduk di bangku plastik merah yang selalu terasa goyang. Rina mengikuti di belakang, menatapku dengan sedikit ragu sebelum akhirnya duduk juga.
Pelayan datang tanpa menunggu kami memesan. Ia sudah tahu kebiasaan kami.
Sambil mengaduk es teh di gelas plastik, Rina akhirnya membuka suara lagi.
"Lo marah?" tanyanya hati-hati.
Aku tidak langsung menjawab. Aku mengambil sepotong tempe goreng, mencelupkannya ke sambal, mengunyahnya perlahan.
Rina menatapku tanpa berkedip, menunggu jawabanku.
Setelah menelan makanan, aku akhirnya menoleh padanya.
"Gue lagi mikir."
Dia mengernyit. "Mikir apa?"
Aku menyandarkan punggung ke kursi, menatapnya datar.
"Mikir… cara ngeprank lo balik."
Mata Rina membesar. Seketika wajahnya berubah panik.
"Bang… jangan becanda."
Aku mengambil sepotong lele goreng, tersenyum kecil.
"Siapa yang becanda?"
Aku kembali makan dengan santai, sementara di seberang meja, Rina mulai gelisah.
Akhirnya, aku bisa sedikit bernapas lega.
Karena untuk pertama kalinya malam ini, aku yang memegang kendali.
***
Rina duduk di seberangku, menatap dengan waspada. Sesekali dia menyeruput es teh, tapi aku bisa melihat jari-jarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja plastik yang sudah sedikit lengket karena sambal.
Aku tetap tenang, menikmati pecel lele seperti biasa. Tapi dalam hati, aku sedang menyusun strategi.
Dia mengira hanya dia yang bisa memainkan permainan ini?
Baiklah, kita lihat siapa yang lebih unggul.
Aku menghabiskan makananku tanpa tergesa-gesa, sementara Rina masih menunggu dengan tatapan penuh curiga. Setelah selesai, aku mengelap tangan dengan tisu, lalu menatapnya sambil tersenyum.
"Ayo, ikut gue sebentar," kataku, sambil mengambil helm.
Rina mengerutkan dahi. "Ke mana?"
Aku hanya tersenyum misterius. "Sudah, ikut saja."
Dia tidak punya pilihan selain mengikuti. Kami kembali naik ke motor, dan aku membawa kami keluar dari jalanan utama, menuju sebuah gang kecil dekat rumahku.
Rina semakin gelisah. "Bang, kita mau ke mana? Gue makin nggak enak nih."
Aku tetap diam, fokus menyetir. Setelah beberapa menit, akhirnya kami berhenti di depan sebuah kios kecil dengan dinding triplek yang sedikit kusam. Tulisan di depannya sudah mulai pudar, tapi masih bisa dibaca dengan jelas:
"Bordir & Sablon: Custom Jaket dan Seragam"
Rina menatapku dengan alis terangkat. "Bang… jangan bilang lo mau bikin seragam ojek buat gue?"
Aku hanya tersenyum, masuk ke kios, lalu keluar beberapa menit kemudian dengan dua jaket ojek online di tanganku. Tapi yang membuatnya berbeda adalah tulisan bordir di bagian belakangnya.
Aku menyerahkan salah satunya pada Rina.
Dia membalik jaket itu, membaca tulisan yang tertera, lalu membelalakkan mata.
"Driver Seumur Hidup: Bang Ojek & Rina."
Dia menatapku dengan mulut sedikit terbuka. Aku bisa melihat otaknya sedang mencoba memproses apa yang baru saja terjadi.
"Bang… lo serius?" suaranya lebih pelan sekarang.
Aku mengenakan jaketku sendiri, yang memiliki bordiran serupa.
"Lo pikir gue bakal lamar lo di mana?" tanyaku santai.
Rina masih terdiam, lalu tiba-tiba… dia tertawa.
Bukan tawa mengejek. Bukan tawa iseng. Tapi tawa yang bercampur antara keterkejutan, haru, dan mungkin—sedikit kebahagiaan.
Aku tersenyum kecil, menyalakan mesin motor.
"Ayo naik. Kita belum selesai."
Dan tanpa ragu, Rina naik ke jok belakang, masih memegang jaket itu erat-erat.
***
Rina masih diam sepanjang perjalanan, meskipun aku bisa merasakan bahwa dia mulai tersenyum kecil di belakang.
Jaket bordir itu masih ia pegang erat-erat, sesekali ia lirik, seolah memastikan bahwa tulisan di punggungnya bukan sekadar halusinasi.
Aku, sementara itu, tetap menyetir dengan tenang. Dalam hati, aku tahu betul bahwa aku sudah menang dalam permainan ini.
Setelah beberapa menit, aku melambatkan laju motor dan menepi di sebuah taman kecil yang agak sepi. Lampu-lampu jalanan menerangi bangku kayu yang sudah mulai lapuk, sementara beberapa orang duduk di sana, menikmati angin malam.
Aku mematikan mesin motor, melepas helm, lalu menoleh ke Rina yang masih tampak kebingungan.
"Kenapa berhenti di sini?" tanyanya.
Aku menatapnya, lalu tersenyum. "Gue cuma mau tahu satu hal, Rin."
Dia mengangkat alis. "Apa?"
Aku menyandarkan tangan di setang motor, menatapnya lebih dalam.
"Jadi… lo masih mau nggak pakai jaket itu?" tanyaku santai.
Dia menatap jaket di tangannya, lalu kembali menatapku. Ada sesuatu di matanya—sebuah kebingungan yang bercampur dengan sesuatu yang lebih lembut, sesuatu yang selama ini mungkin belum pernah benar-benar ia tunjukkan.
Aku melanjutkan, "Lo yang tadi bilang, hidup ini seperti salah belok di perempatan dan nggak bisa muter balik, kan?"
Rina mengangguk pelan.
Aku tersenyum lebih lebar. "Mungkin kita emang nggak bisa muter balik, tapi gue rasa kita masih bisa jalan terus bareng-bareng."
Rina terdiam beberapa detik. Lalu, tanpa peringatan, dia tertawa kecil.
"Bang, lo itu tukang ojek atau motivator?" godanya.
Aku ikut tertawa. "Ya gimana, gue harus pastikan penumpang gue nyaman selama perjalanan."
Dia menatap jaket itu sekali lagi, lalu perlahan mengenakannya.
Aku memperhatikannya diam-diam, memperhatikan bagaimana dia tampak begitu pas dalam jaket itu, seolah-olah memang sudah dirancang untuknya sejak awal.
Saat dia akhirnya menghela napas panjang, seolah menerima sesuatu yang sudah lama ia ragukan, aku tahu aku telah menang lebih dari sekadar prank ini.
Aku menyalakan motor lagi, meliriknya dari spion.
"Siap?" tanyaku.
Rina tersenyum, kali ini lebih tulus.
"Siap, Bang."
Dan dengan itu, kami kembali melaju, menuju perjalanan yang baru saja dimulai.
***
Aku menarik gas, membawa kami kembali ke jalanan utama. Angin malam masih berembus, lampu-lampu jalanan berpendar lembut, sementara Jakarta tetap sibuk seperti biasa—mobil-mobil melintas, pedagang kaki lima masih setia menjaga dagangannya, dan warung-warung tenda penuh dengan orang-orang yang menikmati makan malam.
Di jok belakang, Rina kini duduk lebih santai. Tangannya tidak lagi mencengkeram jaket dengan erat, seolah dia mulai terbiasa dengan kenyataan bahwa ini bukan lelucon semata.
Tapi kemudian, ponselku bergetar di saku jaket.
Aku menepi sebentar, berhenti di depan minimarket yang masih buka. Saat aku mengeluarkan ponsel, notifikasi grup WhatsApp mulai membanjiri layar.
Grup WA Driver Online
Udin: "Bang, serius lo mau nikah sama dia?"
Damar: "Lo nggak bercanda, kan? Itu cewek… ya lo tahulah."
Anto: "Bro, pikirin lagi deh. Kasihan keluarga lo."
Aku membaca pesan-pesan itu dengan ekspresi datar. Ini bukan hal yang mengejutkan. Dunia selalu punya sesuatu untuk dikatakan, entah itu benar atau sekadar asumsi tanpa dasar.
Rina, yang ikut melihat layar ponselku dari belakang, terdiam. Wajahnya sedikit berubah, matanya tidak lagi berbinar seperti beberapa menit lalu. Aku bisa melihat pikirannya mulai bergerak ke arah yang gelap, ke arah yang mungkin selama ini sudah sering ia tempuh sendirian.
Aku mengunci layar ponsel, memasukkannya kembali ke saku, lalu menoleh ke Rina.
"Lo masih takut sama omongan orang?" tanyaku pelan.
Dia tidak langsung menjawab. Dia menunduk, jari-jarinya memainkan ujung resleting jaket barunya.
"Gue cuma nggak mau lo nyesel, Bang," katanya akhirnya.
Aku tersenyum kecil, lalu kembali menyalakan motor. Saat aku menarik gas, aku berkata dengan santai,
"Omongan orang itu kayak knalpot bocor. Berisik, tapi nggak bikin kita berhenti jalan."
Aku melihat Rina menatapku dari spion. Matanya sedikit membesar, seolah dia baru saja mendengar sesuatu yang tidak ia duga.
Lalu, perlahan, dia tersenyum.
Aku tahu ini belum selesai. Dunia tidak akan berhenti berbicara. Tapi untuk saat ini, yang penting adalah bagaimana kami tetap melaju.
Jakarta masih berisik, tapi di antara semua kebisingan itu, aku merasa seperti akhirnya menemukan jalan yang benar.
***
Rina masih diam sejak tadi.
Motor terus melaju, tapi aku bisa merasakan pikirannya berputar. Biasanya, dia akan menyandarkan kepalanya ke punggungku atau bersenandung pelan mengikuti lagu dari headset-nya. Tapi sekarang, dia hanya duduk tegak, sesekali menghembuskan napas panjang.
Aku menepi di sebuah tempat parkir kecil dekat taman kota. Lampu jalan berpendar redup, ada beberapa pasangan yang duduk di bangku-bangku beton, mengobrol pelan di bawah pohon-pohon yang bergoyang diterpa angin malam.
Aku melepas helm, menoleh ke belakang. "Lo kenapa diem?" tanyaku.
Rina menghela napas, kemudian ikut melepas helmnya. Dia menatap jalanan yang lengang, bukannya menatapku.
"Bang," suaranya lirih, "lo yakin ini jalan yang lo mau ambil?"
Aku menatapnya lekat-lekat. "Maksud lo?"
Dia memainkan ujung jaketnya, seperti sedang mencari cara untuk menjelaskan sesuatu yang sulit.
"Gue tahu lo orangnya santai, bisa nerima banyak hal. Tapi... kalau nanti ada omongan orang yang lebih tajam dari sekadar chat di grup itu? Kalau nanti lo kehilangan temen lo? Kalau keluarga lo mulai nanya-nanya?"
Aku terdiam sebentar. Ini pertanyaan yang mungkin sudah dia pendam sejak tadi, sejak pertama kali dia melihat pesan-pesan di ponselku.
Aku menarik napas, kemudian tersenyum kecil.
"Lo pikir gue nggak kepikiran itu?" tanyaku pelan.
Dia mengangkat bahu. "Gue cuma nggak mau lo ngerasa terjebak, Bang."
Aku mengamati wajahnya. Untuk pertama kalinya malam ini, aku melihat keraguan yang sebenarnya ada sejak awal. Rina bukan takut aku akan pergi. Dia takut aku akan tetap tinggal, tapi dengan penyesalan.
Aku mencondongkan tubuh sedikit ke arahnya.
"Rin, kalau gue bakal nyesel, gue nggak akan duduk di sini sekarang."
Dia menatapku, matanya berbinar sedikit. Tapi aku tahu dia masih butuh sesuatu untuk meyakinkannya.
Aku menepuk jok motor, memberi isyarat.
"Ayo, naik. Kita keliling bentar."
Dia mengernyit. "Ke mana?"
Aku tersenyum lebih lebar. "Percaya sama gue."
Rina menatapku lama, sebelum akhirnya menghela napas dan naik ke motor lagi.
Aku menarik gas, membawa kami kembali ke jalanan.
Jakarta belum tidur. Tapi malam ini, aku tahu pasti—jalan yang kupilih adalah jalan yang aku inginkan.
***
Motor melaju pelan di antara jalanan Jakarta yang semakin sepi. Di belakangku, Rina masih diam. Aku bisa merasakan napasnya, tapi tidak ada lagi suara tawa kecil atau obrolan ringan seperti biasanya.
Aku tahu ini bukan tentang aku. Ini tentang dirinya. Tentang sesuatu yang mungkin sudah ia pikirkan lama sebelum aku ada dalam hidupnya.
Aku menarik gas sedikit lebih dalam, membiarkan motor melewati jalanan yang lebih lengang. Di kejauhan, sebuah minimarket 24 jam masih terang benderang, seorang pegawai berdiri di depan pintu, merapikan susunan keripik di etalase.
Aku menepi di dekat trotoar, mematikan mesin motor. Rina tidak langsung turun.
"Kenapa berhenti?" tanyanya, suaranya terdengar lebih pelan dari biasanya.
Aku melepas helm, lalu menoleh ke arahnya. "Karena lo masih kelihatan ragu."
Dia menghela napas. Kali ini, dia turun dari motor, duduk di pinggir trotoar. Aku mengikutinya, duduk di sampingnya, membiarkan angin malam menyapu keheningan di antara kami.
Beberapa detik berlalu sebelum akhirnya dia bicara.
"Bang, gue takut," katanya akhirnya.
Aku menoleh, menatap wajahnya yang diterangi lampu jalan yang temaram. "Takut apa?"
Dia menggigit bibirnya sebentar sebelum menjawab.
"Takut lo nyesel."
Aku mengamati ekspresinya. Matanya menerawang jauh ke arah jalanan, seolah sedang melihat sesuatu yang tidak bisa kulihat.
Aku menarik napas pelan. "Lo pikir gue bakal nyesel?"
Dia mengangkat bahu. "Gue tahu ini nggak akan gampang. Gue tahu orang bakal ngomong, dan gue tahu... lo bakal dengar semuanya, Bang."
Aku tersenyum kecil. "Iya, gue bakal dengar. Tapi apa yang mereka omongin lebih penting dari apa yang gue rasain?"
Rina menatapku lama, matanya mencari sesuatu di wajahku, sesuatu yang mungkin bisa meyakinkannya.
Aku kembali menyalakan motor, menepuk jok belakang.
"Kalau lo masih ragu, ayo kita jalan lagi."
Dia mengernyit. "Ke mana?"
Aku tersenyum. "Muter Jakarta. Sampai lo yakin."
Dia menatapku lama, lalu akhirnya, perlahan, senyum kecil terbit di bibirnya.
Tanpa berkata apa-apa, dia naik ke motor.
Aku menarik gas.
Dan malam itu, kami berdua tidak hanya keliling Jakarta. Kami sedang mencari jawaban.
***
Udara malam semakin dingin, tapi kami tetap melaju. Jalanan Jakarta semakin lengang, lampu-lampu jalan berpendar kuning pucat, dan suara knalpot motor lain yang melintas terdengar seperti latar belakang film dokumenter tentang kehidupan kota.
Rina duduk lebih rileks sekarang, tangannya tidak lagi mencengkeram jaketnya erat-erat. Tapi aku tahu, pikirannya masih berputar.
Aku menarik gas lebih dalam, lalu membelokkan motor ke arah sebuah tempat yang sudah aku pikirkan sejak tadi.
"Bang, kita ke mana?" Rina akhirnya bertanya.
Aku tersenyum kecil. "Percaya aja."
Dia mendesah, tapi tidak protes lebih lanjut.
Beberapa menit kemudian, kami sampai di sebuah tempat yang mungkin tidak dia duga. Sebuah kios kecil yang pintunya masih terbuka meski sudah hampir tengah malam. Di depan kios itu, seorang pria tua sedang duduk di kursi plastik sambil merokok, matanya menatap layar ponsel yang terlalu terang untuk matanya yang sudah berkerut.
Aku mematikan motor dan turun. Rina masih menatapku dengan bingung.
"Bang... ini tempat apa?" tanyanya curiga.
Aku tidak menjawab, hanya masuk ke dalam kios sebentar, lalu keluar sambil membawa sesuatu yang sudah kupesan sebelumnya.
Sebuah jaket ojek online—dua buah, tepatnya. Tapi di bagian belakangnya ada sesuatu yang spesial.
Aku menyerahkan salah satunya ke Rina. Dia membaliknya dan membaca bordiran yang tertera di sana.
"Driver Seumur Hidup: Bang Ojek & Rina."
Dia membeku. Matanya melebar, lalu bergeser ke arahku yang kini sudah mengenakan jaket dengan bordiran yang sama.
Aku tersenyum. "Gue serius, Rin. Lo pikir gue bakal lamar lo di mana?"
Dia masih terdiam. Aku bisa melihat otaknya mencoba memproses semuanya, mungkin masih tidak percaya bahwa aku benar-benar melangkah sejauh ini.
Lalu, tiba-tiba, dia tertawa.
Bukan tawa mengejek. Bukan tawa panik. Tapi tawa yang penuh kelegaan.
Aku kembali naik ke motor, menepuk jok belakangnya.
"Ayo naik. Kita belum selesai."
Rina masih tertawa kecil saat dia mengenakan jaketnya, lalu naik ke belakangku.
Saat aku menarik gas, aku mendengar suaranya di telingaku.
"Bang, lo gila."
Aku tersenyum lebih lebar.
"Mungkin. Tapi ini perjalanan yang paling masuk akal buat gue."
Dan kali ini, aku tahu pasti, dia tidak akan turun di tengah jalan.
***
Kami melaju di jalanan Jakarta yang masih hidup meski malam semakin larut. Lampu-lampu kendaraan menari di aspal, membentuk bayangan yang memanjang setiap kali kami melewati terowongan. Angin malam berembus pelan, membawa aroma jalanan—bau aspal basah, wangi sate dari gerobak pinggir jalan, dan sedikit aroma bensin dari kendaraan yang berhenti di lampu merah.
Di spion, aku bisa melihat Rina tersenyum kecil, masih mengenakan jaket yang tadi kuberikan. Jaket itu sedikit kebesaran, tapi aku tahu dia tidak peduli.
Aku menarik gas sedikit lebih kencang, lalu berkata, "Jadi, gimana rasanya jadi driver seumur hidup?"
Rina tertawa kecil. "Kayaknya nggak ada orang yang nikah pakai jaket ojek kayak kita, Bang."
Aku mengangkat bahu. "Justru itu, kita spesial."
Kami berhenti sebentar di lampu merah. Di sebelah kami, seorang bapak tua di atas motor bebek melirik ke arah kami dan membaca tulisan di jaket kami. Dia mengernyit, lalu bertanya, "Ini… komunitas baru, ya?"
Aku dan Rina saling pandang sebentar sebelum aku menjawab santai, "Iya, Pak. Komunitas yang nggak bisa ditolak masuknya."
Bapak itu hanya mengangguk pelan sebelum lampu hijau menyala dan dia melaju.
Aku tertawa kecil, lalu kembali menatap jalanan di depan.
"Bang," suara Rina lebih lembut sekarang.
"Hmm?"
Dia menghela napas. "Lo nggak pernah kepikiran buat mundur, ya?"
Aku menggeleng pelan. "Kalau gue mau mundur, gue nggak bakal ngelewatin macet Jakarta tiap hari cuma buat jemput lo."
Rina diam sebentar, lalu akhirnya menyandarkan kepalanya di punggungku.
Aku bisa merasakan napasnya, ritme tubuhnya yang perlahan mulai selaras dengan gerakan motorku.
Kami melewati gedung-gedung tinggi yang masih menyala, restoran 24 jam yang tetap ramai, dan tukang parkir yang masih bekerja meski malam hampir habis. Dunia terus berjalan, dan kami tetap melaju di dalamnya.
Dulu, aku mengira hidup hanya soal muter-muter cari poin, mencari jalan tercepat, mencari tujuan yang paling masuk akal.
Tapi malam ini, aku sadar.
Hidup bukan soal cari poin.
Hidup adalah soal perjalanan.
Dan sekarang, aku tahu pasti.
Aku nggak lagi muter-muter sendirian.
Aku muterin dunia bareng Rina.
2025