Disukai
2
Dilihat
81
LALI
Romantis
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

JARUM JAM berdetak nyaring, mencipta bising pada ruang sempit berukuran sembilan meter persegi. Dominasi warna hitam-putih pada dinding kamar tak seiras dengan hati sang empunya yang menyemburkan berjuta warna girang. Penat akibat seharian bekerja lenyap begitu saja tatkala paras ayu seorang gadis terlintas dalam benaknya.

"Ah!" Lathief menggeram sembari mengusap wajah kasar.

Sejenak, denting jarum jam kembali mengisi kesunyian. Tiga puluh detik setelahnya, Lathief tertawa. Lalu berdecak putus asa. Menggeram lagi. Diam lagi. Tertawa lagi. Berdecak lagi. Begitu terus hingga setengah jam kemudian.

"Suwe-suwe aku bisa edan yen ngene carane!"¹ umpat Lathief, entah kepada siapa.

Merasa muak dengan gejolak rasa yang tak tertahankan, ia memilih beranjak dari bongkahan kapuk di atas dipan. Berjalan gontai menuju bilik di seberang kamar. Gemercik air terdengar beberapa saat. Tak selang lama, Lathief kembali memasuki kamar dengan sisa air keran di sekujur badan.

Ia bergegas ke sisa ruang di sudut kamar. Membentangkan sajadah di atas karpet anyam. Kain kotak-kotak melilit manja dari pinggang hingga mata kaki. Kemeja koko putih dengan bordiran batik Megamendung di sepanjang garis dada turut menutupi bagian atas tubuhnya. Koko pemberian sang kekasih yang telah lancang membikin hatinya kelojotan. Tak lupa jua peci beludru hitam yang mendekap erat untaian jambul yang menyembul.

Dalam hening ia bergeming. Deru bayu yang menembus jaringan epidermis tak membuatnya menyudahi aksi penghambaan. Dari kalbu ia berbisik, memohon segalanya pada Sang Khalik. Hingga tak menyadari bahwa menit demi menit telah berlalu.

Lathief mengakhiri ibadah dengan doa paling tulus agar dimantapkan hatinya. Ia tak ingin salah mengambil keputusan. Menurut Lathief, Tuhan harus selalu diikutsertakan dalam setiap urusan.

•••

Lathief berjalan riang menuju ruang makan. Sebakul nasi lengkap dengan lauk dan lalapan teronggok rapi di atas meja, menyambut kedatangannya. Aminah menyunggingkan senyum lembut kepada sang putra.

"Tumben belum mandi, Le²? Ndak kerja?"

"Sakniki dinten Ahad, Bu. Prei."³

Lathief menjawab sopan, memaklumi ibunya yang telah tua dimakan usia hingga lupa pada hari. Aminah hanya mengangguk sebagai jawaban.

Keduanya saling menikmati hidangan sarapan tanpa banyak bicara. Sudah menjadi peraturan tak tertulis dalam keluarga, bahwa tak boleh bersuara saat proses makan sedang terlaksana. Denting sendok stainless yang membentur piring seng lah yang menjadi backsound pagi ini.

Desahan helai daun di ranting pohon dekat jendela turut menyumbang suara. Setelahnya, jendela kayu di sisi kanan ruang makan terbanting oleh angin, seolah sengaja memecah keheningan.

"Tiba-tiba sekali ada angin besar. Sepertinya mau hujan," gumam Aminah sembari berjalan menuju jendela.

Sebagaimana lelaki pada umumnya, Lathief telah selesai makan, mendahului Aminah yang sangat teliti menikmati tiap-tiap suapan. Namun, ia tak beranjak pergi. Masih duduk di kursi, memandangi gelas yang airnya telah tandas. Sembari tersenyum kecil seperti orang tidak waras.

Merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan anaknya, Aminah cepat-cepat mengunyah hingga suapan terakhir. Ingin tahu perihal apa yang membuat putra semata-wayangnya bersikap demikian. Padahal, biasanya, selepas sarapan Lathief akan membaca koran atau memandikan burung perkutut piaraan di beranda depan.

"Bu, Lathief mau minta izin...." Lathief menggantungkan kalimatnya, menjadikan Aminah semakin penasaran. "Lusa, Lathief mau ke Bandung."

Aminah mengerutkan dahi, mencoba memahami. "Kamu ada tugas ke luar kota?"

Lathief mengangguk mantap. Binar keriaan berpendar dari sepasang matanya. Namun, lain halnya yang dirasakan Aminah. Mendengar anaknya akan ke luar kota—bahkan luar provinsi, kedua bahu Aminah merosot seketika.

"Ibu ndak perlu khawatir. Lusa Ibu juga ikut. Lathief ke Bandung mau mendatangi Pak Dudung. Lathief mau melamar Listia, Bu."

Binar di mata Lathief sekonyong-konyong sirna, ketika menyadari respons Aminah tidak seperti harapannya. Wajah ibunya yang telah dipenuhi keriput itu, tampak makin layu sebab didominasi raut sendu. Matanya merah dan keruh. Aminah mati-matian menahan diri agar tak sebulir pun air matanya jatuh.

"Ibu ndak setuju, Le. Dari dulu Ibu sudah bilang, cari perempuan lain saja. Kamu dan Listia itu ndak bisa bersatu. Kenapa kamu ndak mau dengar omongan Ibu?"

"Kenapa lagi, Bu? Apa lagi kurangnya Listia?"

"Kamu pernah bilang kan kalau Listia anak terakhir, nomor tiga. Sedangkan kamu anak sulung. Kalau digabung jadinya angka 13. Ndak baik, Le. Pamali! Ibu ndak mau kalau kehidupan rumah tangga kalian ndak bahagia gara-gara masalah ini."

"Sejak kapan Ibu percaya sama mitos?" Lathief berusaha agar suaranya terap pelan, meski dari nadanya terdengar jelas penuh penekanan. Biar bagaimana pun, Aminah adalah ibunya, dan ia harus tetap sopan.

"Ini bukan mitos. Ini kepercayaan turun temurun. Ibu ndak berani melanggar."

"Tahun lalu Ibu bilang aku masih kurang mapan. Baiklah, aku dan Listia sabar menunggu sambil menabung. Bulan lalu Ibu bilang kalau darah Sunda dan Jawa ndak bisa bersatu. Sekarang Ibu bilangnya anak pertama ndak boleh menikah dengan anak nomor tiga. Besok apa lagi, Bu? Aku yang lahir Senin Legi ndak boleh punya istri yang lahir Pahing?"⁴

Lathief menatap Aminah yang sedang menunduk dan meremas ujung taplak meja, seolah menahan rasa takut jika tiba-tiba Lathief murka.

"Ibu ini sebenarnya sayang sama Lathief ndak tho? Ibu ndak pengin lihat anaknya senang? Ibu ndak mau aku menikah dengan orang yang aku cintai?"

"Maksud Ibu bukan begitu, Le. Ibu cuma mau—"

"Terserah Ibu mau setuju atau ndak. Lusa Lathief tetap mau ke Bandung. Toh, wali mempelai laki-laki ndak jadi syarat sahnya akad."

Setelah memotong kalimat Aminah, Lathief meninggalkan ruang makan membawa seluruh amarahnya, entah ke mana. Tanpa ia tahu bahwa selepas kepergiannya, tangis Aminah tumpah begitu saja.

"Andai kamu tahu, Le...." ujar Aminah di sela isakannya. "Andai kamu tahu apa yang terjadi sebenarnya. Kamu ndak akan seperti ini."

•••

Hamparan tirta yang membiru-gerau berpayung layung tanpa mega menjadi background dari sepasang kekasih yang duduk terpaku di batang pohon kelapa. Keindahan penghujung hari di depan mereka tak selaras dengan hati sepasang sejoli yang gundah gulana.

"Lathief...." Gadis cantik berlesung pipi itu menggenggam erat tangan Lathief. Yang dipanggil hanya menatapnya sendu, seolah tak bisa ikhlas jika hubungan mereka harus kandas. "Kamu harus ikhlas. Pinta orang tuamu harus kau prioritaskan daripada perasaanku. Mungkin memang benar kata ibumu, kita tidak ditakdirkan untuk bersatu."

Kalimat Listia itu berhasil membuat Lathief terperangah. "Kamu percaya dengan alasan Ibu?"

Rupanya Lathief telah salah menemui kekasihnya sekarang. Setelah sehari suntuk berkendara tanpa tujuan, ia menelepon Listia untuk bertemu di pantai favorit mereka. Ia pikir Listia akan memberinya kekuatan untuk tetap melanjutkan hubungan. Nyatanya, jawaban gadis itu justru menambah sayatan di hatinya.

"Kamu Jawa, aku Sunda. Kita tidak akan pernah bisa bersama. Begitu kalimat yang selalu Ibu ucapkan setiap kali aku datang bertamu. Dan sejarah juga berkata demikian, Lathief. Perang dingin yang dilakukan leluhur kita berimbas kepada cucu-cucunya, kepada kita."

"Kamu juga percaya perihal angka 13 dan primbon?"

Lathief menatap Listia selama beberapa detik. Kemudian kembali membuang muka, seolah raungan riuk samudera lebih memikat retinanya. Bukan karena benci, mana mungkin ia bisa membenci wanita yang telah mengajarinya arti bahagia. Lathief hanya tak kuasa melihat ketenangan Listia, seolah perpisahan mereka bukan persoalan pelik bagi kekasihnya itu.

"Aku tidak pernah percaya, kamu tahu itu."

"Lalu, kenapa kamu lebih memilih menyudahi semuanya?"

Lathief mulai melepaskan genggaman tangan Listia. Percuma jemari saling bertaut jika ikatan di antara kedua hati mereka perlahan mengendur.

"Aku tidak ingin menjalin hubungan tanpa restu orang tua, Lathief. Maafkan aku."

"Aku tidak akan pernah berhenti memperjuangkan cinta ini, dengan atau tanpa kamu. Kalau kamu menyerah, baiklah, aku akan berjuang sendiri. Kamu pegang janjiku ini, Listia!"

Lathief berdiri, berjalan mendekati bibir pantai. Meninggalkan Listia yang masih di atas batang pohon kelapa.

"Sudah seharusnya kamu bahagia dengan sosok pengganti diriku, Sayang. Namamu Lathief, aku Listia, jika digabungkan akan menjadi LALI. Maka, sudah sepatutnya bagi kita untuk saling melupakan. Bahkan takdir sudah memberi isyarat melalui nama, lantas apa lagi yang perlu dipertahankan?"

Sayup-sayup terdengar suara Listia yang menembus gendang telinga. Simpang siur didera suara angin pantai dan riuh gemuruh ombak sore. Seketika Lathief menoleh ke tempat yang ia duduki beberapa detik sebelumnya. Matanya membelalak tak percaya. Tempat itu telah kosong melompong. Tak ada Listia di sana.

Dengan hati yang rapuh, Lathief memutuskan untuk menyeret kakinya menjauh. Ia enggan mencari keberadaan Listia. Lathief memilih pulang, mengistirahatkan hati dan pikirannya sejenak dari beribu sesak dan tanda tanya.

•••

Lima menit telah berlalu, tak ada yang membukakan pintu. Salam Lathief pun tak kunjung berbalas. Merasa cemas, Lathief berjalan melewati beranda samping rumahnya, berniat masuk dari pintu belakang yang biasanya tak pernah terkunci.

Begitu pintu terbuka, mulut Lathief lebar menganga. Pemandangan pencipta lara tergambar di depan netra. Aminah terkapar lemah tak berdaya di lantai dekat sofa ruang keluarga. Tanpa menunggu lebih lama, ia segera membaringkan Aminah di atas sofa. Tangannya merogoh saku celana, bersiap hendak menelepon dokter keluarga. Tepat saat ia hendak menekan tombol hijau berlogo telepon, lima jari ringkih menyekal pergelangan tangannya.

"Ibu sudah sadar?" Lathief segera menarik tangan Aminah, menciuminya tanpa henti. "Maafkan Lathief, Bu. Lathief minta maaf karena ndak mau nurut sama Ibu."

"Maafkan Ibu, Le. Seandainya Ibu jujur kepadamu, pasti keadaannya ndak akan seperti ini," jawab Aminah ambigu. Tak sesuai dengan pertanyaan yang Lathief lontarkan.

"Apa maksud Ibu?"

"Enam bulan lalu, setelah kamu mengancam akan pergi dari rumah, akhirnya Ibu merestui hubungan kalian. Kalian menikah dua minggu kemudian. Tapi saat kamu mau memboyong Listia ke sini, kalian mengalami kecelakaan, dan dia...."

Aminah terdiam. Perlahan air mata membanjiri pipinya. Lathief memeluk ibunya erat, berusaha memberinya kekuatan. Lathief sangat penasaran dengan kelanjutan kalimat Aminah, tetapi ia juga tidak mau egois dengan memaksa ibunya bercerita. Maka, Lathief berusaha tetap sabar menunggu.

"Listia ndak bisa diselamatkan."

Dera air mata menyeruak begitu saja. Dada Lathief telah basah penuh air mata Aminah yang bercampur dengan air matanya sendiri. Mereka saling berpelukan erat, menumpahkan segala pilu yang kian memburu. Pilu yang menyesakkan dada Aminah acapkali teringat peristiwa nahas yang merenggut nyawa menantunya. Merenggut kesadaran putranya.

"Lathief tahu Ibu ndak bohong, tapi kenapa Lathief ndak ingat kejadian itu?"

"Kepalamu kena benturan keras, Le. Kata dokter kamu kena ... Entah apa namanya, Ibu lupa. Pokoknya otakmu trauma, jadi ndak bisa mengingat kejadian beberapa bulan terakhir meskipun kamu tetap ingat kejadian saat kamu kecil."

Aminah mengusap ubun-ubun Lathief penuh kasih.

"Maaf karena Ibu mencoba menutupi ini, Le. Ibu ndak mau kamu kepikiran dan malah memperburuk kesehatanmu. Listia yang selama ini kamu temui cuma khayalan kamu. Bagian kecil dari hatimu memaksa agar kenangan bersama Listia selalu kamu ingat, tapi otakmu ndak mampu mengingat semuanya."

Lathief masik terisak. Ia membenamka kepala di pangkuan Aminah. Menyesapi sakit demi sakit yang dialaminya.

"Ibu minta tolong, sama seperti permintaan terakhir Listia, tolong mulai sekarang kamu lupakan dia, ya, Le. Kamu harus ikhlas supaya istrimu bisa tenang."

Seperti praduga pagi tadi. Gumpalan awan hitam kian merajalela. Tetesan air semesta membasahi bumi, seolah ia ikut berduka atas dera duka yang dialami Lathief. Angin bertiup kencang, menciptakan desau pada dedaunan. Tak ada guntur, tak ada badai. Suasana hati kedua insan yang saling berpelukan lebih buruk dari cuaca paling buruk sekali pun.

"Insyaallah Lathief akan mencoba mengikhlaskan Listia, Bu. Tapi Lathief butuh waktu."

Catatan:

Cerpen pernah diterbitkan dalam bentuk antologi dengan judul Sekotak Rasa dalam Aksara (2018).

Footnotes:

¹Lama-lama aku bisa gila kalau begini caranya!

²Panggilan kepada anak laki-laki, umum digunakan oleh masyarakat Jawa. Berasal dari kata kontole yang berarti penis.

³Sekarang hari Minggu, Bu. Libur.

⁴Hari dalam penanggalan Jawa: Kliwon, Legi, Pahing, Pon, dan Wage.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar