Sudah lebih dari satu jam Utari memandangi lipstik berwarna merah muda di hadapannya. Jika penjualnya tak memiliki kesabaran yang seluas samudera, maka habislah Utari kena omel sejak tadi. Beruntung, pemilik toko kosmetik itu dianugrahi hati yang serupa dengan wajahnya. Cantik.
Bukannya mengomel, ia justru memberi Utari sebotol air minum. Sebab wajah Utari nampak pucat dengan bibir kering pecah-pecah. Utari pun tersadar, mundur, lalu tersenyum canggung. Jelas, ia merasa tak enak hati.
“Saya akan kembali untuk membelinya besok.” Utari pamit. Pemilik toko mengangguk mahfum. Sudah tujuh kali Utari berkata demikian.
Lepas dari toko kosmetik, Utari membawa dirinya menyeberang jalan lalu berteduh di bawah pohon kersen. Di sampingnya, penjual es dawet tersenyum tipis. Utari membalas, senyumnya tak kalah tipis.
Sama seperti penjual kosmetik, Penjual dawet pun telah mahfum bahwa wanita yang saban hari berteduh di bawah pohon kersen untuk menunggui anaknya pulang sekolah itu nyatanya tak pernah sekalipun membeli dawetnya. Hanya lewat aksi balas berbalas senyum tipis, Utari dan penjual dawet pada akhirnya memiliki jalan sendiri dalam menemukan hubungan antar manusia. Tak perlu ngobrol, tak perlu repot.
Hari itu, sebuah truk berhenti tepat di depan Utari. Sekelompok wanita paruh baya kemudian turun. Sigap. Penjual meracik es dawet untuk mereka.
Tiga di antaranya duduk di bale-bale bambu tepat di samping Utari. Wajah ketiganya terlihat mirip. Kemiripan yang muncul akibat dari garis nasib yang serupa. Kemiripan yang dibentuk oleh lipatan keriput serta paparan sinar matahari yang sama intensitasnya.
Utari mengamati punggung tangan mereka. Otot-ototnya nampak menyembul, membentuk aliran menyerupai delta. Salah satu dari mereka kemudian tersenyum kepada Utari. Matanya sadar bahwa sepasang mata lain sedang mencoba menerka-nerka tentang dirinya.
“Heran ya, Nduk?”
Utari membuang pandangan pada delta di atas permukaan punggung tangan wanita-wanita tua perkasa. Ia merasa tak enak, sebab ketahuan. “Kuli batu memang begini, Nduk. Kasar seperti batu. Ha ha ha.”
Tawa ketiganya pecah seolah hal yang sangat lucu baru saja terjadi. Padahal, Utari tak menemukan apa yang sedang mereka tertawakan. “Tidak, Ibu. Ibu-ibu sekalian masih terlihat sangat bugar.’
Utari bergegas, tingkahnya seperti maling yang ketahuan sebelum bertindak. Untung saja, pintu gerbang sekolah telah dibuka. Anak-anak berlarian keluar seolah baru saja bebas dari kandang.
Ketiga perempuan tua menatap Utari yang berjalan menjauh dari warung. Sorot mata mereka menggambarkan kerinduan pada kemudaan yang mustahil untuk kembali menyapa.
Kemudaan. Betulkah Utari masih memilikinya? Sementara di mata Utari, perempuan-perempuan bertangan kasar itu terasa jauh lebih bebas dari dirinya. Sebab bagi Utari kemudaan sama sekali tidak terkait dengan usia, melainkan dengan kebebasan.
Sepanjang jalan pulang, Utari tak mendengarkan ocehan anak keduanya yang protes soal buah jambu biji yang seharusnya tak dimasukan ke dalam tas bekal. Sepertinya perkara jambu biji akan membuat anak keduanya rewel hingga waktu yang tak bisa ditentukan.
“Ibu! Baju putihku lusuh! Ibu salah cuci! Luntur!” Teriak Reksa, anak pertama Utari. Belum selesai tuntutan anak keduanya, anak pertamanya telah menyambut dengan tuntutan lain begitu ia membuka pintu rumah.
“Aku malu! Dika mengataiku monyet karena jambu biji, Bu! Besok Bumi tidak mau sekolah!”
“Tidak ada yang mengataimu monyet,” Sahut Utari. Ia paham betul bahwa anak keduanya memang hiperbolis. Terlalu hiperbolis hingga mengarah kepada kebohongan.
Keduanya terus mengoceh dan menuntut. Utari yang biasanya tidak kesal, kali ini ia muntab. Dilihatnya jam dinding sebelum ia masuk ke dalam kamar mandi lalu membanting pintu dengan sangat keras. Suara tersebut berhasil membuat kedua anaknya diam, walau hanya sekejap.
Satu jam lagi suaminya pulang. Ia merasakan kepalanya mendidih. Pergelangan tangan dan kakinya sakit. Dadanya pun sesak. Takutkah Utari dengan suaminya sendiri?
Di dalam ember besar berisi air dingin, kepala Utari terbenam sempurna. Sementara pikirannya terlempar jauh menembus waktu hingga dua belas tahun yang lalu.
“Uuut! Ut! Pulang cepat!” suara nyaring sang Ibu membuatnya berhenti bermain engklek. Dilepaskannya genggangam tangan pada rok biru tua yang sedari tadi ia singsingkan hingga lutut. Sang Ibu kian mendekat. Entah mengapa, dada Utari tiba-tiba berdebar kencang.
“Sekolah belum selesai, Bu. Baru istirahat pertama.”
“Sudah ayo pulang. Ibu sudah ijin kepada Pak Darman.”
Utari menurut. Ia pikir, ijin yang dimaksud ibunya hanya untuk satu hari. Tapi pada saat ia masuk ke dalam rumah. Ia sadar bahwa ijin Ibunya kepada kepala sekolah adalah untuk selamanya.
Suroto. Seorang lelaki yang amat ia kenal sedang duduk di ruang tamu bersama sang Paman. Seingat Utari, pertemuan terakhirnya dengan lelaki itu terjadi di pemakaman sekitar sebulan yang lalu. Saat itu, Suroto tersedu seperti seorang bayi di atas gundukan tanah sementara dua anak balitanya kebingungan memandangi kerumunan orang.
“Duduk, Ut.” Pamannya memerintah, bertindak dan berbicara seolah dirinya adalah Ayah dari Utari.
“Kamu tahu, Paman sudah menganggapmu seperti anak sendiri sejak Bapakmu menghadap gusti pangeran. Uut anak yang nurut. Paman bangga sama kamu.”
Utari belum juga duduk. Ibunya kemudian memegang pundaknya dan menuntunnya untuk duduk. Tepat di hadapan Suroto. “Kau sudah kenal baik dengan Nak Suroto, Nduk.”
Pamannya berdehem. “Saya, sebagai walimu sekaligus teman baik Suroto, sangat menyetujui jika kita bisa menjadi keluarga.”
Jantung Utari berdetak kencang. Marah? Sedih? Senang? Takut? Apa yang sesungguhnya dirasakan oleh gadis empat belas tahun itu? Utari sendiri tidak bisa mengidentifikasi bagaimana perasaanya.
Suroto berumur tiga puluh empat tahun. Saat Utari SD, ia memang mengagumi sosok lelaki di hadapannya. Suroto sempat menjadi guru mengaji di surau sebelum akhirnya lelaki itu pindah ke kota karena menikah dan menjadi Pegawai Negeri Sipil.
“Saya hendak meminta ijin kepada Ibu dan Pamanmu untuk menjadikanmu pendamping hidup, Ut.”
Tatapan Suroto membius masa puber yang baru saja merekah di dalam diri Utari. Fisiknya sendiri belum terlalu sempurna untuk disebut sebagai seorang wanita meskipun pancaran kegadisan sudah terlihat dengan amat jelas.
Saat itu, kakinya bahkan masih penuh debu dari tanah merah. Tangannya kotor akibat memainkan pecahan genting sebagai bidak bermain engklek.
Utari menatap mata Ibunya. “Tapi…bagaimana dengan Mba Lar-“
Sang Ibu buru-buru memegang tangan Utari. Kalimat Utari pun mandeg.
“Ut, Nak Suroto sudah menerima takdirnya yang harus kehilangan Mba Laras untuk selama-lamanya. Kini, takdirnya adalah membersamaimu.”
“Kamu sudah besar, sudah menjadi wanita dewasa.” Imbuh sang Paman.
Suroto mengeluarkan kotak berwarna merah. Di dalamnya, sebuah cincin emas menyelip di tengah kain beludru. Tentu saja Utari tertarik. Suroto adalah cinta pertamanya, perhiasan adalah sesuatu yang tidak mungkin dimilikinya. Ia dan sang Ibu sangat miskin, sama seperti kebanyakan orang di lingkungan itu.
Kesempatan untuk mengubah kehidupan dengan menjadi istri Pegawai Negeri Sipil tentu tidak bisa didapat oleh semua orang. Utari berwajah cantik, kesempatan berharga itu muncul karena ia dikaruniai wajah tersebut. Pikir Utari, belum tentu dirinya akan mendapatkan seseorang yang lebih baik daripada Suroto di masa depan jika ia melewatkan lamaran kali ini.
“Saya tidak bisa mengurus anak kecil,” celetuk Utari polos. Sebab, Suroto sudah memiliki dua anak dari pernikahan pertamanya. Pernikahan yang kemudian direnggut oleh takdir kematian.
Laras, sang Istri divonis menderita kanker payudara stadium akhir saat anak kedua mereka masih berumur dua tahun.
“Anak-anak saya bersama orang tua dari pihak Ibunya. Keluarga besar saya telah sepakat untuk seperti ini. Mereka pulalah yang menganjurkan saya untuk segera mencari pendamping. Uut adalah gadis pertama yang hinggap di benak dan hati saya begitu saya memikirkan kembali soal pernikahan.”
Utari luluh. Ia mengangguk tanpa sadar. Sang paman tersenyum lega. Kini, kewajiban berat menjaga anak gadis telah hampir dilepasnya. Sang Ibu menangis haru, membayangkan masa depan anak gadisnya yang nampak sangat cerah karena bersuamikan seorang Pegawai Negeri Sipil.
“Jangan hanya mengangguk saja, Nduk. Katakan langsung kepada Nak Suroto.”
Dengan tatapan bergetar karena malu, Utari berucap lirih,”Iya. Saya mau, Pak.”
“Bukan, Pak. Panggil saya, Mas.”
“Iya. Saya mau, Mas.”
“Tidaak!”
Nafas Utari tersengal begitu kepalanya keluar dari ember. Ia menangis. Menyesali ucapannya dua belas tahun yang lalu.
Dua belas tahun menikah, Utari tak lagi dipandang aneh karena telah menikahi duda diusianya yang masih empat belas tahun. Awalnya, mereka menikah secara agama karena umur Utari yang belum memenuhi syarat, tetapi kini mereka telah menjadi suami istri yang sah di mata Negara.
Tapi aneh. Semua rintangan yang telah mereka lewati tidak menjadikan Utari lega. Lambat laun, batin Utari justru kian morat-marit. Komentar miring yang kerap terjadi di masa lalu tak mampu mengoyak mentalnya seperti apa yang telah dialaminya pada masa kini. Utari gerah. Utari jengah.
“Berapa yang tersisa?” tanya Suroto tiap bulan.
“Tidak ada.”
“Boros. Sukses atau tidaknya keluarga tergantung bagaimana istri mengatur keuangan. Tidak heran hidup keluarga kita makin tak karuan.”
Suroto meletakkan ampol bertuliskan Keuangan September, “Anak pertamaku butuh uang banyak untuk kuliah tahun ini. Kita sebaiknya lebih menghemat. Mereka memang tidak tinggal bersama kita, tapi bukan berarti aku bisa menomor duakan mereka. Ingat, Utari. Anak kita ada empat, bukan hanya dua! Jika kau boros, masa depan mereka bisa terkena dampaknya.”
Utari ketar ketir, dibukanya amplop pemberian sang suami.“Jumlahnya bahkan hanya separuh dari bulan lalu.”
“Kamu terlalu boros atau kamu memang tidak pandai berhitung, Utari? Aku tahu kamu hanya lulusan SD. Tapi anak SD pun seharusnya masih bisa menghitung uang. Mendiang istriku yang lulusan sarjana saja tak pernah sekalipun mengeluh soal keuangan kepadaku!”
Utari mendidih. Suaminya sudah melampaui batas. Membandingkan dirinya dengan mendiang istri pertama tentu sangat melukai hati. Pagar kesabaran Utari roboh. Sebagai perisai, pikirannya kemudian tertuju pada lipstik di toko kosmetik dekat sekolah anak keduanya.
“Aku perlu uang untuk membeli lipstik.”
Suroto mengernyit. Matanya seolah tak percaya mendengar kalimat yang baru saja keluar dari mulut istrinya. Senyum meremehkan lalu tersungging dari sudut bibirnya. “Untuk apa?”
Utari. Dalam dua puluh enam tahun hidupnya sebagai seorang perempuan, hanya sekali bibirnya pernah tersentuh benda bernama lipstik. Hal itu terjadi di hari pernikahannya. Bagaimana tidak? Utari yang baru merekah menjadi seorang gadis remaja pun tak sempat merasakan berdandan layaknya remaja lain. Hari di saat ia menerima lamaran, Utari bahkan sedang bermain engklek.
Liptisk bagi Utari adalah benda yang penuh misteri . Ia ingin memakainya, Ia ingin terlihat cantik, setidaknya di matanya sendiri. Usianya baru menginjak dua puluh enam tahun. Tapi mengapa ia tak pernah mampu untuk memiliki benda sekecil itu?
Hingga pada suatu siang yang terik di bawah pohon kersen. Utari memberanikan diri bertanya kepada warsih. Perempuan bertangan kasar yang beberapa hari ini sering berbincang dengannya di bale-bale bambu. Perempuan paruh baya yang berprofesi sebagai kuli dan pemecah batu.
“Apakah masih ada lowongan?”
“Lowongan apa?”
“Bekerja seperti Ibu.”
Warsih tertawa. “Tidak ada lowongan dalam pekerjaan ini. Siapa yang mau, tinggal ikut naik truk! Dar Dar Dar! Angkat palu, pecahkan batu, aduk semen, sampai bikin kopi ke mandor-mandor. Ha ha ha.”
“Saya serius, Ibu...” Utari merengek.
Dengan Warsih, Utari merasa sangat nyaman meskipun kesan awal yang Utari buat cukup memalukan. Sebab sejak warsih masih di dalam truk kala itu, Utari sudah memberi tatapan aneh kepada rombongan wanita pemecah batu.
Dawet di bawah pohon kersen rupanya cukup membuat wanita-wanita paruh baya itu ketagihan. Beberapa kali dalam seminggu, mereka selalu mampir dan Warsih selalu aktif membuka obrolan dengan Utari. Pun dengan Utari, ia lebih suka bergaul dengan Warsih ketimbang bergabung dengan ibu-ibu wali murid yang menunggu di dekat gerbang sekolah. Dalam segala aspek, Utari merasa tak sanggup untuk bergaul dengan mereka.
Warsih kemudian menatap Utari. “Kau mau bercerai?”
“Tidak.”
“Kau bilang, suamimu seorang Pegawai Negeri Sipil.”
“Memang.”
“Untuk apa jadi tukang batu?”
Utari memandang toko kosmetik di seberang jalan. “Uut ingin membeli lipstik, Bu.” Tanpa sadar, Utari seolah berbicara kepada Ibunya sendiri. Ibu yang telah lama mati, setahun setelah pernikahannya dengan Suroto. Sang Ibu meninggal saat penyakit virus antraks menyerang beberapa wilayah di Gunung Kidul.
Warsih. Mungkin karena pengalaman hidupnya sebagai seorang perempuan yang telah begitu panjang membuatnya tak lagi bertanya banyak hal pada Utari. Ia paham. Paham bahwa untuk membeli dawet saja Utari nampak terlalu banyak berpikir, apalagi lipstik?
Mungkin Suroto akan memberinya uang jika Utari ngotot. Tetapi menahan ocehan, hinaan serta sindiran yang akan ia terima jika sang suami pada akhirnya membelikannya lipstik adalah sebuah perkara berat. Suaminya terlalu ketat perkara keuangan. Tiap sen yang keluar wajib dilaporkan. Utari tercekik, minta diselamatkan.
“Kau punya waktu?”
“Saya senggang sampai jadwal anak-anak pulang pada sore hari.”
“Suamimu bagaimana?”
“Tentu saya akan dikurung jika dia tahu aku bekerja. Apalagi sebagai kuli batu.”
“Nah. Terus bagaimana?”
“Tapi Uut ingin membeli lipstik, Bu.”
“Baiklah. Biasanya truk akan lewat jalan ini tiap pukul delapan pagi. Sedang ada proyek irigasi di desa sebelah. Akan ada banyak pekerjaan. Tunggu di sini dan ikut naik truk bersama kami besok.”
“Selesai jam berapa, Bu?”
“Pukul dua belas siang kami istirahat. Pekerjaan dimulai kembali pada pukul satu dan selesai pukul lima atau empat sore.”
Utari berpikir. “Tapi suami saya pulang pukul lima dan anak-anak pulang pukul empat.”
“Kau bisa pulang pada kloter pertama. Tidak usah ikut bekerja setelah istirahat siang.”
“Bisa?”
“Kami dibayar enam puluh ribu jika bekerja full hingga pukul empat sore. Kau bisa mengambil setengah hari. Untuk setengah hari, kami diberi bayaran setengahnya. Tiga puluh ribu.”
“Baik. Bu. Saya ikut.”
Utari kemudian menghitung dalam benaknya. Kapan sekiranya ia bisa membeli lipstik dengan bayaran sebesar tiga puluh ribu rupiah sehari. Harga lipstik pilihannya tidak terlalu mahal, tapi juga tidak murah. Untuk meyakinkan dirinya lagi, sebelum jam sekolah anaknya berakhir, ia pergi ke toko kosmetik guna memastikan apakah lipstik itu masih terpajang di sana.
“Ada diskon. Dua puluh persen.” Ucap pemilik toko.
Utari sumringah. “Terimakasih, Bu! Saya akan kembali satu minggu lagi!”
Keesokan harinya. Utari menunggu di bawah pohon kersen sesuai dengan arahan Warsih. Tepat pukul delapan, sebuah truk berhenti di depannya.
“Cepat naik!” teriak Warsih. Utari bingung, orang-orang di dalam truk bingung, sopir truk pun ikut bingung.
“Kamu mau ikut ‘ngeladen?” tanya sopir truk. Utari mengangguk. Sopir truk makin heran. “Naik kalau begitu. Tapi bajumu..”
“Naik saja. Saya bawa dua baju dinas!” teriak Warsih.
Pintu bak truk kemudian dibuka. Utari kesusahan menaikinya sebab rok biru langit sepanjang mata kaki membuatnya tak leluasa untuk bergerak.
“Besok pakai training dan kaos.” Warsih sudah menduga bahwa Utari akan salah kostum pada hari pertamanya. Ia kemudian memberikan sebuah plastik berisi celana training dan kaos panjang kepada Utari.
Di mata Utari, Warsih bukan hanya sosok wanita yang kuat secara fisik tetapi juga secara mental. Untuk beberapa alasan, Warsih mengingatkan Utari pada Ibunya. Meskipun kedua sosok tersebut sangatlah berbeda. Kekuatan mental dan fisik Ibunya justru berbanding terbalik dengan sosok Warsih.
“Terimakasih, Ibu.”
Di dalam truk, terdapat enam orang wanita paruh baya dan empat orang lelaki. Semuanya menatap Utari dengan heran. “Cantik begini kok mau jadi Laden to, Nduk?” tanya salah satu dari mereka.
Utari hanya tersenyum sambil berpegangan erat pada dinding bak truk. Ia tegang. Terakhir kali dirinya menaiki truk terbuka adalah dua belas tahun yang lalu saat menjenguk Pak RT di rumah sakit Sardjito.
“Jangan Berisik, Yu. Tidak ada larangan bagi wanita cantik dan muda untuk menjadi Laden.” Warsih membela.
Laden. Di beberapa Wilayah di jawa tengah dan Yogyakarta, perempuan-perempuan yang bekerja mengangkut batu atau pasir disebut Laden. Laden sendiri Berasal dari kata ‘Meladeni’. Tugas utama mereka adalah membantu atau meladeni tukang. Jika tukang membutuhkan batu, pasir, atau perkakas lainnya, para Laden lah yang bertugas menyediakan. Sementara tukang laki-laki mengerjakan pekerjaan teknis dan kontruksi.
Utari, perempuan berumur dua puluh enam tahun sekaligus istri dari seorang Pegawai Negeri Sipil kini telah sah berprofesi sebagai Laden. Tidak ada jawaban panjang lebar ketika banyak tukang dan Laden lain yang bertanya soal alasannya melakukan pekerjaan kasar tersebut.
“Uut ingin beli lipstik.”
“Nikah saja sama saya. Biar jelek dan bukan PNS, kalau hanya lisptik saya bisa belikan satu karung, Mbak yu. He he he.” Beberapa tukang kerap menggoda Utari. Sebab tidak butuh waktu lama, Utari pun telah menjadi Laden primadona.
Jarang sekali mereka bisa mendapatkan Laden yang muda, cantik, kuat sekaligus cekatan. Di mata tukang dan mandor-mandor lelaki, hanya ada satu kekurangan yang dimiliki oleh Utari. Perempuan cantik itu sayangnya sudah bersetatus sebagai seorang istri. Isteri seorang PNS pula.
Empat hari menjadi Laden, bukannya nampak lelah. Utari justru menjadi kian sumringah. Ocehan kedua anaknya tak lagi menjadi soal. Teguran suaminya mengenai pengeluaran pun tak menjadi perkara besar.
Ia tak lagi menenggelamkan kepalanya di dalam ember berisi air dingin tiap kali pulang dari menjemput anak-anak dan saat menjelang jam kepulangan sang Suami. Nampaknya lelah fisik sebagai Laden telah mampu menutupi kelelahan mental yang selama ini mendera batinnya.
“Ibu kelihatan senang terus dari kemarin?” tanya Reksa.
Suroto melirik sang istri. Dalam diam, lelaki itu juga mengamati prilaku isterinya akhir-akhir ini. Ia pun menunggu jawab atas pertanyaan anak sulungnya.
Utari tersenyum. Keceriaan Utari memang lebih terpancar pagi itu. “Ayo cepat selesaikan sarapan kalian. Sudah siang.” Utari beranjak dari meja makan. Diambilnya tas kain miliknya yang telah lusuh. Tas yang selalu dibawanya ke manapun selama dua belas tahun terakhir. Tas yang dibelikan oleh Suroto seminggu setelah mereka menikah. Juga tas satu-satunya yang pernah dibelikan oleh Suroto untuk Utari.
Minggu ini Utari berniat membeli tas baru. Sebab hari kemarin ia telah berhasil membeli lipstik. Sebab itu pula kah yang membuat pancaran kebahagiaan di wajah Utari kian terbaca?
“Sebentar.” Utari kembali masuk ke dalam kamar ketika anak-anak dan suaminya sudah siap di depan pintu. Saat keluar, kedua anaknya melihat ada perbedaan dari wajah Utari. Sementara Suroto menatap tajam sebelum akhirnya menghujani isterinya dengan kemarahan.
“Tidak patut, Utari! Jangan sampai orang-orang mengatai hal buruk di belakangku karena aku memiliki isteri genit! Hapus sekarang! Tak kuijinkan kau keluar rumah dengan bibir berwarna merah menjijikan seperti itu! Jangan-jangan kau punya kekasih baru? Untuk siapa sebenarnya kau memerah-merahkan bibirmu! ”
Utari terpaku. Dinginnya rantai besi seolah menjalari tubuh lalu mengikat tangan dan kakinya. Pikirannya kemudian terpaut pada Warsih. Dadanya sesak, terdesak perasaan iri. Ia iri dengan kemudaan seorang Laden bernama Warsih yang nyaris berusia enam puluh tahun itu. Sebab bagi Utari, kemudaan sama sekali tidak terkait dengan usia, melainkan dengan kebebasan. Sebab bagi Utari, Laden itu jelas jauh lebih muda dan bebas dibandingkan dengan dirinya.