Disukai
0
Dilihat
333
Kristal Filsuf
Slice of Life

Katanya, “Hanya berlaku bagi mereka yang percaya.” Kutimpali sambil kusentuh, “Hanya sebesar ini?”

Ia merenggut dan menenggelamkannya ke dalam saku jaket lalu terduduk, meluruskan kaki dan berdehem, “Mestinya kau percaya saja. Kau tak akan menyesal.”

Dan hari ini tepat lima tahun aku memercayainya. Atau, begini saja, aku memercayainya lebih tinimbang bola kristal sebesar testikel kambing itu. Seperti yang disampaikannya, simpan benda itu di kamarmu, letakkan di laci atau di dalam almari dan jauhkan dari sinar matahari, “Beberapa benda di bumi ini akan berkurang kekuatan alaminya bila terpapar matahari terlalu lama.”

Kami berkawan sejak masih sekolah dan hingga kini aku tak menemukan satupun dari perangainya yang berubah. Setelah beberapa kali gagal masuk sekolah calon tentara, ia rupanya menemukan jalan hidupnya sebagai pedagang barang antik. Dagangannya selalu mahsyur dan ia tak kapok keluar-masuk rumah tahanan yang ia juluki sebagai goa penempaan, “Besi yang tak kuat ditempa tak ubahnya batang singkong,” katanya.

Maka kuletakkan bola kristal itu di samping ranjang, di atas meja berbahan alumunium berwarna abu kusam yang sengaja kupesan di toko online. Di atas meja setinggi lutut itu hanya ada bola kristal, ponsel, dan jam tangan. “Tak perlu komat-kamit mengucap mantra, kristal itu tahu isi hati tuannya,” demikian pesannya di whatsapp setelah kutransfer satu juta ke rekeningnya.

Tak ada yang mengetahui transaksi ganjil itu. Bola kristal, atau yang disebutnya ‘Batu Filsuf’, memang benda yang selama ini kucari-cari. Bundar sempurna, berbahan licin seperti kaca dan memantulkan cahaya dengan aroma serupa terpentin yang tipis. Jauh belaka dari apa yang kubayangkan: batu suci yang rompal, lancip, berwarna jingga, dengan khasiat yang ajaib.

Seminggu setelah kristal itu menginap di kamarku, ia mengirim pesan, “Mulai dengan hal-hal sederhana. Mulai dengan pikiranmu,” katanya. Kubalas dengan emoji jempol. Kesederhanaan yang ia maksud merujuk ke pengalamannya sendiri dengan bola kristal itu. Ia memang tak pernah absen mengguruiku dan aku memercayainya. Meski untuk hal lain di luar perkara bola kristal, omongannya terlalu mudah menguap.

Suatu hari ia datang sambil menenteng sekantung buah dan menyuruhku mencicipinya. Pisang, jambu, dan apel. Rasanya manis, tak lebih tak kurang. Namun, setelah ia memintaku memejamkan mata dan menjilati pisang yang sudah bonyok, rasanya tiba-tiba berubah. Lidahku seperti tersengat asam, membuat dinding rahangku keram. Keterlaluan memang, tapi itu hanya satu dari lusinan keajaiban yang ia pamerkan dari hasil memeram bola kristal.

Berpindah tangannya bola kristal ke kamarku sungguh bukan untuk membuat pisang menjadi masam, atau apel menjadi pedas dan membuat perut orang yang menjilatinya keram seketika. Tujuanku hanya satu, mengubah dunia menjadi lebih baik dan agaknya alasan ini terlalu rumit untuk diterjemahkan oleh si bola kristal. Kusampaikan padanya sehari sebelum benda itu ia bungkus.

“Kau yakin tak ada alasan yang lebih sederhana?” katanya.

“Kau meragukan kemampuan kristal itu?”

“Tidak, hanya saja, apakah dengan dunia yang menjadi baik, kau akan mendapatkan sesuatu?”

“Aku tidak memikirkan apa yang kudapat setelahnya. Aku memikirkan dunia menjadi baik. Titik.”

Ia mengangguk, keesokan harinya bola kristal itu telah berpindah tangan. Tentu saja, tak ada yang dapat kita lakukan guna mengubah dunia dalam satu minggu. Aku bersabar dan tetap meyakini apa kata kawanku itu. Keajaiban membutuhkan proses. “Bila dalam sebulan tak ada yang berubah, uangmu kukembalikan,” pungkasnya. “Aku akan mencobanya seperti yang kausarankan.”

Di malam sebelum aku terlelap, aku kadang tergelitik menjawab rasa penasarannya. Aku tak akan melakukan apapun bila dunia ini lebih baik selain melanjutkan rutinitasku seperti biasa. Namun, alangkah indahnya bila hal-hal yang kita kerjakan kelak kita lakukan tanpa paksaan. Tidakkah membahagiakan bila keinginan kita untuk memilih satu dan ragam hal di dunia ini dapat terlaksana tanpa ada kekangan?

Seperti saban hari tayangan berita di televisi, atau cuplikan video yang bertebaran di media sosial. Hal yang senantiasa merogoh kocek nurani kita adalah kemanusiaan; mendorong orang-orang menuju batas terjauhnya akibat keterpaksaan. Sebut saja, seorang ayah dengan lima perut yang perlu diberi makan nekad membobol mesin ATM; dihadiahi timah panas, pemuda ini kapok merampok; demi melunasi hutang, janda ini terpaksa menjual diri; dan seterusnya.

Aku tak perlu memberi tahu bahwa keledai terpaksa memakan rumput liar, atau kucing terpaksa mengais sampah. Keterpaksaan, kau tahu, adalah hal yang datang belakangan setelah kita menyadari bahwa menjadi berguna adalah hal terakhir yang dapat dilakukan setelah mimpi dan harapan kita rontok satu persatu. Keledai dan kucing, cacing dan hiu megalodon, ribuan fauna lain di dunia ini diberkati makna yakni kegunaan.

Di minggu ketiga, aku melakukan apa yang pernah ia sampaikan, “Dekatkan daun telingamu pada bola itu,” katanya, “kau akan mendengar apa yang harus kau lakukan untuk membuatnya nyata.”

Kugenggam bola kristal, kulekatkan telingaku padanya. Suasana malam itu hening, anehnya pelupuk mataku seringan pukul sembilan pagi. Aku berharap bola kristal ini memberiku semacam tanda atau perintah sebagai titik berangkat menuju dunia yang lebih baik. Aku masih menunggu, tak ada suara setelah lima menit berlalu. Aku mencoba fokus, mengalihkan isi kepalaku dari gambaran-gambaran dunia yang tentram dan damai. Aku memusatkan pikiran hanya pada kristal filsuf yang menempel di telingaku.

Mulanya suara itu terasa jauh, lamat-lamat dan samar. Namun seiring fokusku makin tajam, suara itu perlahan terdengar jelas, menerobos lewat saluran telinga dan bergema di dalam kepalaku: “Bila engkau denganku –Dhuarrr!—dengarkanlah, haih haih haih.”

Esok paginya, aku memberitahu kawanku dan ia datang tepat waktu. Kami membicarakannya di rumah, berdua saja, dengan ketakjuban masing-masing yang sulit dibendung. Aku hampir menangis mendengar kesaksiannya yang serupa, sementara ia terbata-bata mengamini pengalamanku semalam.

“Kau beruntung! Aku harus menunggu satu purnama penuh untuk mendengar sebaris kalimat itu,” air mukanya berbinar.

“Aku hampir tak percaya, tapi kalau pun aku gila, mestinya kita sedang di bangsal rumah sakit jiwa.”

Aku sempat mengira ceritanya mendengar ilham dari batu filsuf itu tak lebih dari kata-kata mutiara kelas tiga, dengan bobot-bebet kelas bulu. Kuakui seratus persen salah, dan ia hanya terbahak-bahak mendengar pengakuanku. Kami mengingat kembali kalimat dari batu filsuf itu: “Bila engkau denganku –Dhuarrr!—dengarkanlah, haih haih haih.” Senyum yang kukulum sama ranum dengan yang ditampakkan parasnya. Kami berpelukan dan kukembalikan bola kristal itu padanya.

Lima tahun kemudian, aku masih mendengar kabar tentangnya. Namun seiring waktu, ia rupanya mengasah bakat lain selain menyewakan batu filsuf miliknya itu kepada orang-orang sepertiku. Ia memang pandai bercerita dan konon kerbau pun akan menitikan air mata bila mendengarnya. Sengaja aku tak menggubris pesannya selama ini dan menutup diri serapat mungkin darinya. Di kota yang jaraknya tiga ratus kilometer dari kediamannya, aku merasa aman untuk berbagi kisah ini.

Tentu saja kau bisa menduga-duga dari daerah mana ia berasal dan di mana aku tinggal sekarang, tetapi aku tidak akan menyampaikannya secara gamblang. Bagaimanapun, pengalamanku bisa dialami oleh siapa saja dan bisa terjadi di mana saja. Bahkan itu bisa terjadi juga padamu meski aku berharap tidak.

Aku masih memercayainya sebagai kawan sampai pada titik aku tergerak menulis kisahnya. Bukan karena pengalaman ini unik dan yang unik selalu menarik untuk diceritakan, tetapi aku yakin betul, kau tak akan menemukan kejadian serupa dalam kurun seratus tahun ke depan. Satu hal yang perlu kupertegas, batu itu tak memerlukan kepercayaanmu setaklid buta apapun kau menyembahnya. Kristal filsuf itu akan tetap bekerja meski kau tak mempercayainya.  

Syahdan, aku pun mengetiknya di komputer serapi mungkin. Aku berniat mengabarkannya pada dunia, melanggar janjiku dahulu untuk menutup mulut. Kebaikan itu, meski pahit, patut diberitakan, bukan? Maka kurapikan ketikanku, membubuhinya dengan pepatah dan sampiran-sampiran filosofis, lantas mengingat kembali kapan persisnya aku mengetuk pintu rumahnya dan menawarkan bola kristal itu padanya.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Slice of Life
Rekomendasi