Jefri hanya sendiri dimasa tuanya, anaknya banyak tapi pergi semua. Istri yang manis pun tak betah. Di Usia 56 tahun ini ia terlihat seperti korban, padahal dulu ia gagah, suaranya tinggi dan tangannya begitu kuat menghakimi anak-anak dan istrinya.
Ia menangis dan mengutuk mereka, meraung-raung dengan sumpah serapah tak henti. Sepertinya ia lupa alasan apa yang membuat belahan jiwa dan buah hatinya pergi.
“Pergi kau anak jahanam!, tak tau balas budi. Harusnya Kau tak tolak lamaran itu.” Jefri mengusir anak perempuan sulungnya hanya karena Zafia menolak lamaran lelaki tua yang tak lain adalah kenalan Jefri. Padahal Jefri bapak kandung, tapi ia tak segan memukuli Zafia hingga hidungnya berdarah. Semua itu karena Lelaki berusia sekitar 40 tahun yang mengiming-imingi jefri sebidang sawah dan sebuah rumah tua. Motivasi Jefri jelas menukar anaknya. Padahal Zafia tulang punggung keluarga. Anak sulung itu memang telah berusia hampir genap kepala tiga, ia mendahulukan kepentingan keluarga diatas dirinya. Seorang wanita tangguh pekerja keras. Terbukti Jefri dan keluarga tak pernah kekurangan bahkan Zafia membelikan Jefri dan si bontot sepeda motor. Rumah pun kini dua lantai dan masing-masing punya kamar sendiri. Namun, loyal-nya kepada keluarga tak berarti. Kala Jefri mengusir Zafia, Maimun sang ibu dan ketiga adiknya bungkam. Diketahui Maimun pun terhasut oleh Jefri. Cita-cita Maimun dari dulu ialah memiliki sawah, sedang Zafia hingga kini belum juga memenuhi permintaan itu. Padahal dulu Zafia memberikan uang puluhan juta. Namun, Maimun tak sedikit pun teringat akan Cita-citanya. Uang itu habis digunakan untuk Ziarah katanya, tapi banyaknya jalan-jalan. Waktu itu Maimun malah ikut memberikan tanda merah dipipi Zafia bahkan meludahinya, Zafia meminta ampun dengan derai tapi tak ada yang mau mendengarkan. Adik-adik tak berkutik ketika Zafia mengetuk pintu kamar mereka satu persatu untuk meminta tolong. Entah karena takut atau memang tidak tertanam rasa empati dihati mereka. Akhirnya Zafia pun pergi. Padahal Zafia bukan menangisi dirinya ketika keluar dari rumah itu. Ia takut keluarga yang berada didalam rumah yang ia bangun dan terlihat rukun dari luar itu runtuh dan berantakan tanpa dirinya. Zafia pergi membangun hidupnya sendiri.
Apalagi Arini Anak kedua Jefri, minta kawin terus. Sebelum Zafia pergi hidupnya tak terlalu berat. Uang gaji yang dulunya hanya untuk sendiri, kini harus dibagi karena Maimun tak lagi mendapatkan setoran bulanan Zafia yang kini entah dimana. Arini tukang mengeluh itu berencana untuk pergi dari rumah tapi tak sanggup. Jika keluar, ia berpikir tentang gajinya yang tak cukup untuk menyewa kontrakan, bayar listrik dan lainnya. Akhirnya ia merengek minta dikawinkan dengan seorang pegawai negeri. Picik Jefri, uang ratusan juta dan sebidang tanah menjadi syarat. Kebetulan Arini paling cantik diantara tiga anak perempuannya, lelaki mana yang bisa menebus Arini maka ia akan menyetujui. Ini yang membuat Arini gagal nikah tiga kali. Malu dan frustasi membuat Arini membangkang hingga ribut dengan Jefri, namun kali ini Maimun membela Arini. Ada sedikit rasa takut jika Arini pergi dari rumah. Beras dirumah bakal tambah menipis meski orangnya berkurang. Pikirnya. Jefri ngamuk, tangannya melayang-layang di udara menggapai tubuh,rambut dan wajah Arini. Ada sedikit darah di ujung bibir Arini, tapi tak membuat Jefri iba. Ia tambah menyeret Arini keluar “pergi kau anak perempuan yang tidak berguna!”
“ kusumpahi kau tak akan menikah selamanya.”
Arini pergi, Maimun tak bisa melangkahkan kakinya keluar rumah. Sangat takut lapar, takut pula jika tak ada rumah.
Dirumah itu tinggal berempat, dua anak lagi belum jadi sasaran. Masih sekolah. Hidup Jefri makin sulit tanpa Zafia dan Arini. Tapi Jefri gengsi mengakui. Akhirnya dua anak putus sekolah. Hafizah anak ketiga itu sudah tidak tahan, ia kabur dari rumah. Frustasi karena impiannya berhenti ditengah jalan. Jefri pura-pura terpukul hingga minum racun, ramai orang membicarakan dan mencap anak-anak perempuan Jefri durhaka semua. Padahal Jefri menyesali asetnya raib. Gagal mendapat menantu kaya. Tinggallah Bayu si bontot yang pura-pura tidak tahu masalah rumah yang sudah jelas terlihat berantakan. Selama uang jajan lancar, putus sekolah tak mengapa. Selama bisa keluyuran dan tidur sepanjang hari hidupnya terasa diberkahi. Hobinya keluyuran tengah malam. Tapi Jefri sayang. Anak laki-laki satu-satunya.
Kini Jefri baru rasakan,Karena racun Jefri menderita. Tak disangka kakinya membusuk. Entah bagaimana cara kerja racun yang Jefri telan, kakinya perlahan membusuk. Dua bulan lamanya ia dirawat di rumah sakit tanpa anak dan istri disampingnya. Motornya pun dijual demi membayar biaya perawatannya. Maimun tak terlihat batang hidungnya, ia enggan menemani suaminya, kadung malu juga kesal. Ada-ada saja kelakuannya semakin tua semakin jadi.
Hari terus berlalu, uban Jefri terus bertambah tapi dompetnya tidak. Ia semakin pusing, tak ada yang bisa diharapkan lagi. Sedang anak bungsunya hanya kelayapan dan tidur sepanjang hari. Datanglah tuntutan Maimun yang sebelumnya tak peduli saat ia sakit kemarin. Bibirnya manyun tiap hari, tudung saji bersih. Akhirnya muncul ide mendapatkan uang banyak tapi tidak kerja. Diserahkannya uang bertumpuk ke tangan Maimun, tanpa rasa curiga wanita yang bibirnya mengkerut kemarin jadi tersenyum lebar. Padahal uang yang dikasih Jefri pada Maimun hanya beberapa persen saja dari apa yang dia dapat, sisanya masuk kantongnya sendiri. Mereka menghambur-hamburkan uang tanpa pikir panjang. Jefri beli motor lagi, motor gede buat touring katanya. Mimpi saat muda. Padahal kakinya belum begitu kering. Pergilah ia dengan motornya menyusuri jawa, lalu ke Kalimantan dan kemudian ke pulau Sumatera. Tak ada tujuan, hanya memenuhi koleksi foto di media sosialnya saja. Berharap teman-temannya tahu jika ia punya uang banyak. Sedang Maimun, ia lupa lagi mewujudkan mimpinya untuk membeli sawah. Ia merenovasi kamar nya, membeli perlengkapan rumah dan emas rantai kapal, orang banyak sebut begitu. Maimun tak peduli apa yang dilakukan Jefri, yang penting dia sudah dapat. Tak jua mempertanyakannya dari mana uang tersebut. Hingga beberapa orang datang dengan sticker ditangan, kemudian menempelkannya di dinding rumah. Oh ternyata Jefri meminjam uang ke bank dengan jaminan rumah. Maimun meraung-raung, menepuk jidatnya karena Teledor menyimpan kertas berharga. Percuma ia memperindah kamarnya sedang rumah kini disita. “Zafia dimana kini engkau kiranya.” Batin Maimun.
Jefri pulang dari melanglang buana dengan terpincang. Rupanya ia sempat mengalami kecelakaan, kakinya koyak. Dompetnya pun begitu. Matanya melotot melihat sticker merah bertuliskan ‘Rumah Disita’ telah tertempel di dinding rumah. “Alamak, secepat ini?”. Sangking asyiknya berkelana ia lupa waktu batas pelunasan pinjaman terlewat. Awalnya ia berharap dapat menemui Zafia, seberapa jauh ia mencari ternyata tak ketemu jua. Yang ia dapatkan hanya informasi Arini dan Hafizah, anak-anak itu tak akan bisa memberikannya banyak. Makanya Jefri mengabaikan. Jefri memanggil-manggil Maimun untuk dibukakan pintu, tapi yang dipanggil tak menyahut. Sambil meng-Aduh karena merasakan sakitnya kaki yang koyak, Jefri menggedor pintu kuat hingga memancing perhatian para tetangga. “Kenapa baru pulang, bu Maimun dan Bayu sudah pergi dua minggu yang lalu.” Ucap Soleh tetangga sebelah rumah. Jefri menanyakan kepergian Maimun dan Bayu tapi tak ada yang tahu. Jefri merengek seperti anak kecil. Para tetangga yang sudah bosan dengan sikap Jefri membubarkan diri. Mereka malas meladeni orang yang penuh tipu muslihat. Jefri selalu berkata dia bukan orang jahat, tidak mabuk-mabukan, bukan preman, pembunuh atau penjudi tapi keluarga tak ada yang nurut dan orang sekitar tak ada yang memandangnya baik. “Lebih baik berhadapan dengan orang jahat, sudah jelas perbuatannya tinggal dihakimi.” Celetuk Soleh yang sering menguping dibalik tembok yang memisahkan rumahnya dengan rumah keluarga jefri.
Kini tinggal lah Jefri sendiri dengan dompet dan perut yang kosong. Kaki yang membusuk tak sempat lagi mendapat pengobatan. Motor gedenya ikut disita. Jefri adalah korban. Korban semu, korban kejahatan yang dilakukan sendiri.