Debu beterbangan, tipis seperti kabut abu-abu yang tak pernah benar-benar hilang dari udara. Setiap pagi, suara batuk bersahut-sahutan dari rumah-rumah kecil yang berjajar di sepanjang jalan berdebu. Di sela-sela retakan tanah kering, sisa-sisa hujan semalam menguap cepat, meninggalkan bau tanah basah yang bercampur dengan asap hitam dari truk-truk tambang yang hilir-mudik. Di kota kecil ini, tambang batubara adalah nadi yang memompa ekonomi, tapi juga racun yang menyusup ke paru-paru setiap warganya.
Aji, pria bertubuh kekar dengan wajah yang mulai keriput meski usianya belum genap lima puluh, menyandarkan tubuhnya ke dinding rumahnya yang retak-retak. Ia menarik napas panjang, lalu terbatuk keras. Batuk yang semakin hari semakin parah, semakin sulit diabaikan. Istrinya, Lira, memandangnya dari dapur kecil mereka, matanya dipenuhi kecemasan yang ia coba tutupi dengan senyum lelah.
“Kau harus ke dokter, Ji,” suara Lira pelan, namun tegas. Ia tahu, ucapan itu sudah diulanginya berkali-kali tanpa hasil. Aji hanya menggeleng, menghirup rokoknya lebih dalam seolah itu bisa melawan rasa sakit yang menyelinap di dadanya.
“Dokter mana yang bisa menyembuhkan udara buruk?” jawab Aji singkat, tanpa menoleh. Tatapannya terpaku pada anaknya, Laras, yang tengah mempersiapkan sesuatu di atas meja makan.
Laras sudah lama ingin keluar dari kota ini. Ia tahu, semakin lama tinggal di sini, semakin besar risiko yang harus dihadapi keluarganya. Sebagai mahasiswa yang aktif dalam gerakan lingkungan, Laras sering berdebat dengan ayahnya. Bagi Aji, tambang batubara adalah sumber nafkah, sementara bagi Laras, tambang itu adalah kutukan yang perlahan-lahan membunuh semua orang di kota ini.
Di luar, suara bising truk tambang semakin dekat. Setiap harinya, truk-truk besar itu mengangkut batubara dari perut bumi, melewati jalanan kota yang penuh dengan retakan, menimbulkan goncangan setiap kali roda-rodanya menghantam jalan. Aji menghela napas, mengingat hari-hari ketika kota ini masih tenang, sebelum debu dan batubara mendominasi setiap sudut kehidupan mereka.
“Laras, kau akan ikut aksi lagi?” tanya Aji tiba-tiba. Matanya menyipit, menatap anak perempuannya yang sudah berdiri dengan poster-poster di tangan.
“Harus, Ayah. Kalau kita tidak bergerak sekarang, tidak akan ada yang berubah. Apa kau tidak lihat? Setiap hari ada saja orang yang sakit. Pak Burhan sudah tidak bisa bekerja karena paru-parunya kena. Mau sampai kapan kita diam?”
Aji menunduk, tangan kekarnya menggenggam rokok yang hampir habis. Ia tahu apa yang dikatakan Laras benar, tapi ia juga tahu bahwa aksi protes tidak akan memberikan makanan di atas meja. “Kau pikir dengan teriak-teriak di jalan, semuanya akan selesai? Kita butuh kerjaan, Ras. Tanpa tambang ini, kita makan apa?”
Suasana di ruang kecil itu berubah hening. Hanya suara kipas angin tua yang berderit pelan, berusaha keras mendinginkan udara panas yang penuh debu. Laras menggigit bibirnya, menahan kata-kata yang ingin ia keluarkan. Ia sudah tahu, debat ini tidak akan berujung. Setiap kali ia membicarakan tentang lingkungan, ayahnya selalu menutup percakapan dengan argumen yang sama. Uang. Kebutuhan hidup. Kenyataan pahit yang tak bisa dipungkiri.
Namun, Laras tak mau menyerah. Ia tahu, ini lebih dari sekadar soal uang. Ini soal masa depan, soal udara yang mereka hirup, soal hidup yang layak untuk mereka semua.
“Aku hanya ingin kita bisa hidup tanpa harus takut sakit, Ayah,” ucap Laras akhirnya, suaranya melembut. “Aku tahu in...