Disukai
0
Dilihat
216
Kopi dan Rindu
Slice of Life

Andi menatap layar komputernya dengan pandangan kosong. Jarum jam di sudut kanan bawah layar menunjukkan pukul 10 malam, tetapi meja kerjanya masih dipenuhi tumpukan dokumen dan laporan yang harus diselesaikan sebelum besok pagi. Suara keyboard yang ia ketik berirama cepat, sesekali terhenti ketika ia menghela napas panjang.

Telepon di sampingnya bergetar, memecah kesunyian ruangan. Andi melirik layar ponselnya, "Ibu". Ia menghela napas lagi, kali ini lebih dalam. Sebenarnya, ia ingin mengabaikan panggilan itu. Pekerjaan menumpuk, dan ia tidak punya waktu untuk berbicara panjang. Namun, entah mengapa, jarinya bergerak sendiri menyentuh tombol hijau.

"Andi, kamu masih sibuk?" suara ibunya terdengar lemah di seberang telepon.

"Iya, Bu. Ada deadline besok. Kenapa?" jawab Andi singkat, matanya masih tertuju pada layar komputer.

"Ayahmu... ayahmu sakit, Nak. Dokter bilang kondisinya tidak terlalu baik. Kamu bisa pulang sebentar?"

Andi terdiam. Jari-jarinya berhenti mengetik. Pikirannya langsung melayang ke masa kecilnya, ke sosok ayahnya yang dulu selalu tegar. Ayahnya yang selalu bangun pagi untuk membuatkan kopi, meski ia tahu Andi lebih suka minuman manis. Ayahnya yang dulu selalu duduk di teras rumah, menunggunya pulang sekolah.

"Bu, aku... aku sedang sibuk sekali sekarang. Mungkin minggu depan?"

"Ibu tahu kamu sibuk, Nak. Tapi... tolong, ya? Ayahmu sering menanyakanmu."

Andi menutup matanya sejenak. Pekerjaan, karir, deadline, semua itu tiba-tiba terasa tidak penting. "Baik, Bu. Aku akan pulang besok."

Setelah menutup telepon, Andi menatap layar komputernya lagi. Tapi kali ini, ia tidak bisa fokus. Pikirannya sudah melayang ke kampung halaman, ke rumah kecil yang dulu selalu terasa hangat.

_____

Andi menyusuri jalan tol yang sepi, hanya ditemani suara mesin mobil dan nyanyian radio yang pelan. Langit sudah gelap, tetapi pikirannya tidak bisa berhenti melayang. Setiap kilometer yang ia lewati seolah membawanya semakin dekat dengan masa lalu yang ia tinggalkan.

Ia teringat masa kecilnya, ketika ayahnya selalu bangun pagi untuk membuatkan kopi. Aroma kopi yang kuat selalu memenuhi rumah kecil mereka, dan Andi sering duduk di meja makan, menunggu ayahnya selesai menuangkan kopi ke dalam cangkir tua mereka.

"Kopi ini pahit, Yah," keluh Andi kecil, mencoba menirukan cara ayahnya menyeruput kopi.

Ayahnya tertawa. "Nanti kamu akan suka, Nak. Kopi itu seperti hidup, semakin pahit, semakin kuat kamu menghadapinya."

Andi tidak pernah benar-benar mengerti maksud ayahnya saat itu. Tapi sekarang, ketika ia menyeruput kopi dari cangkir termonya, ia mulai memahami. Hidup di kota besar memang pahit; tekanan kerja, kesepian, dan rutinitas yang melelahkan. Tapi ia tidak pernah sekalipun meminta nasihat ayahnya lagi.

Mobilnya melintasi jembatan kecil yang ia ingat sejak kecil. Jembatan itu adalah penanda bahwa kampung halamannya sudah dekat. Hatinya berdebar-debar. Sudah berapa tahun sejak ia terakhir pulang? Dua? Tiga? Ia tidak ingat. Yang ia tahu, setiap kali ibunya menelepon, ia selalu punya alasan untuk tidak pulang.

"Maaf, Bu. Aku sibuk."

"Maaf, Bu. Ada proyek besar."

"Maaf, Bu. Mungkin lain kali."

Kali ini, ia tidak bisa lagi mengatakan "maaf".

_____

Mobil Andi berhenti di depan rumah kecil yang dulu selalu terasa hangat. Rumah itu masih sama; catnya yang mulai mengelupas, pagar kayu yang sedikit miring, dan pot bunga di teras yang masih dirawat ibunya. Tapi ada sesuatu yang berbeda. Suasana yang dulu ramai dengan tawa dan obrolan, kini terasa sunyi.

Ibunya sudah menunggu di depan pintu, wajahnya terlihat lelah tetapi tersenyum lega melihat Andi turun dari mobil. "Nak, akhirnya kamu pulang juga," ujarnya, memeluk Andi erat.

"Maaf, Bu. Aku terlambat," bisik Andi, merasa bersalah.

"Ibu tahu kamu sibuk. Yang penting kamu di sini sekarang."

Andi mengangguk, matanya langsung mencari sosok ayahnya. "Ayah di mana?"

"Ia di dalam. Sudah tidak bisa bangun dari tempat tidur sejak seminggu yang lalu."

Andi menghela napas dalam-dalam sebelum mengikuti ibunya masuk ke dalam rumah. Ruang tamu yang dulu dipenuhi foto-foto kenangan sekarang terasa kosong. Hanya ada satu foto yang masih tergantung rapi; foto Andi kecil, berdiri di samping ayahnya, tersenyum lebar dengan piala di tangan. Ia ingat hari itu, ia baru saja memenangkan lomba menggambar di sekolah, dan ayahnya adalah orang pertama yang memeluknya.

"Ayahmu sering melihat foto itu," kata ibunya, seolah membaca pikiran Andi. "Ia selalu bilang, kamu anak yang hebat."

Andi menelan ludah, mencoba menahan emosi yang tiba-tiba membanjiri hatinya. Ia mengikuti ibunya ke kamar tidur, di mana ayahnya terbaring lemah.

"Ayah, Andi pulang," bisik ibunya, membangunkan ayahnya yang sedang tertidur.

Ayah Andi membuka matanya perlahan, dan untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, Andi melihat kelemahan di mata ayahnya yang dulu selalu tegar. "Andi... kamu pulang," ucap ayahnya dengan suara parau.

"Iya, Yah. Aku di sini," jawab Andi, mencoba tersenyum tapi hatinya terasa berat.

_____

Andi duduk di samping tempat tidur ayahnya, menatap wajahnya yang kini terlihat lebih tua dan lemah. Pikirannya melayang ke masa lalu, ke pagi-pagi cerah ketika ia masih kecil.

Setiap pagi, sebelum matahari terbit, ayahnya sudah bangun dan membuat kopi. Aroma kopi yang kuat selalu membangunkan Andi, meski ia lebih suka tidur lebih lama. Tapi ayahnya selalu memanggilnya, "Andi, ayo bangun! Kopi sudah siap!"

Andi kecil akan duduk di meja makan, menguap lebar, sambil menatap ayahnya menuangkan kopi hitam pekat ke dalam cangkir tua mereka. "Ini terlalu pahit, Yah," keluhnya, mencoba menirukan cara ayahnya menyeruput kopi.

Ayahnya tertawa. "Kopi itu seperti hidup, Nak. Semakin pahit, semakin kuat kamu menghadapinya."

Andi tidak pernah benar-benar mengerti maksud ayahnya saat itu. Tapi ia selalu menikmati momen itu; duduk bersama ayahnya, menyeruput kopi pahit, dan mendengar cerita-cerita tentang masa kecil ayahnya.

"Suatu hari nanti, kamu akan mengerti," kata ayahnya suatu pagi, sambil menatap Andi dengan mata yang penuh kebanggaan. "Ayah percaya kamu akan menjadi orang hebat."

Andi tersentak dari kilas baliknya ketika ayahnya batuk pelan. Ia segera mengambil gelas air di meja samping tempat tidur dan membantunya minum.

"Terima kasih, Nak," bisik ayahnya, suaranya lemah tapi penuh kasih sayang.

Andi menatap ayahnya, hatinya dipenuhi rasa bersalah. "Maaf, Yah. Aku... aku sudah lama tidak pulang."

Ayahnya tersenyum tipis. "Ayah tahu kamu sibuk. Tapi ayah selalu bangga padamu, Nak."

Andi menunduk, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang di matanya. Ia teringat cangkir kopi tua mereka, yang mungkin masih ada di dapur.

_____

Setelah ayahnya tertidur, Andi memutuskan untuk membersihkan kamarnya. Ia membuka laci kecil di samping tempat tidur, berharap menemukan sesuatu yang bisa membantu merapikan barang-barang ayahnya. Tapi yang ia temukan justru membuatnya terpaku.

Sebuah buku catatan kecil, kulitnya sudah usang dan halamannya menguning. Andi membukanya perlahan, dan matanya langsung terbaca oleh tulisan-tulisan tangan ayahnya yang rapi.

- "Hari ini Andi memenangkan lomba menggambar. Aku bangga padanya. Ia punya bakat yang luar biasa."

- "Andi mulai sibuk dengan pekerjaannya di kota. Aku rindu obrolan pagi kita, tapi aku tahu ia harus mengejar mimpinya."

- "Aku ingin memberitahunya betapa bangganya aku, tapi aku tidak ingin mengganggunya. Ia sudah terlalu sibuk."

- "Aku harap suatu hari nanti ia akan mengerti bahwa kopi itu seperti hidup; semakin pahit, semakin kuat kita menghadapinya."

Andi menutup buku catatan itu, tangannya gemetar. Air matanya akhirnya menetes, menghangatkan pipinya yang dingin. Ia tidak pernah menyadari betapa dalamnya cinta dan kebanggaan ayahnya padanya. Selama ini, ia mengira ayahnya tidak peduli, padahal ayahnya justru selalu ada, diam-diam memperhatikannya dari jauh.

Ia kembali ke samping tempat tidur ayahnya, memegang tangan ayahnya yang dingin. "Maaf, Yah. Aku tidak pernah menyadari... aku tidak pernah mengerti."

Ayahnya membuka matanya perlahan, tersenyum lemah. "Tidak apa-apa, Nak. Ayah selalu bangga padamu."

_____

Pagi hari, Andi bangun lebih awal. Ia pergi ke dapur, mencari cangkir kopi tua yang dulu selalu mereka gunakan. Cangkir itu masih ada, tersimpan rapi di lemari atas. Ia membersihkannya perlahan sebelum mulai membuat kopi, seperti yang dulu selalu dilakukan ayahnya.

Aroma kopi yang kuat memenuhi rumah kecil itu, membangkitkan kenangan-kenangan indah. Andi menuangkan kopi ke dalam cangkir tua itu dan membawanya ke kamar ayahnya.

"Ayah, aku buatkan kopi untukmu," ujar Andi, mencoba tersenyum.

Ayahnya membuka matanya perlahan, terkejut melihat cangkir tua itu. "Kamu masih ingat?"

"Tentu saja, Yah. Aroma kopi ini selalu membangkitkan kenangan tentang kita."

Ayahnya tersenyum, matanya berkaca-kaca. Ia mencoba duduk, dan Andi membantunya dengan hati-hati. Mereka duduk bersama, menyeruput kopi dari cangkir tua mereka, seperti dulu.

"Kopi ini pahit, Yah," kata Andi, tersenyum kecil.

Ayahnya tertawa lembut. "Tapi kamu sudah kuat menghadapinya, bukan?"

Andi mengangguk, hatinya dipenuhi rasa syukur. "Terima kasih, Yah. Untuk segalanya. Aku... aku mencintaimu."

Ayahnya memegang tangan Andi erat. "Ayah juga mencintaimu, Nak. Selalu."

_____

Beberapa Bulan Kemudian

Andi duduk di teras rumahnya di kota, menyeruput kopi dari cangkir tua yang ia bawa dari kampung halaman. Aroma kopi yang kuat mengingatkannya pada ayahnya, pada pagi-pagi cerah ketika mereka duduk bersama di teras rumah kecil itu. Cangkir tua itu kini menjadi salah satu harta berharganya, pengingat akan momen-momen berharga yang hampir ia lewatkan. 

Teleponnya berdering. "Andi, kapan kamu pulang lagi?" tanya ibunya di seberang telepon, suaranya terdengar lebih cerah dari sebelumnya. 

"Besok, Bu. Aku sudah minta cuti," jawab Andi sambil tersenyum. Ia menutup telepon dan menatap langit pagi yang cerah. Hidup memang pahit, tapi seperti kata ayahnya, semakin pahit, semakin kuat kita menghadapinya. 

Sejak kunjungan terakhirnya, Andi memutuskan untuk lebih sering pulang. Ia menyadari bahwa pekerjaan dan kesibukan di kota tidak akan pernah bisa menggantikan kebersamaan dengan orang-orang yang mencintainya. Ayahnya kini sudah bisa duduk di teras lagi, meski masih lemah. Mereka kembali memiliki ritual pagi mereka; minum kopi bersama, bercerita, dan tertawa.

Suatu pagi, ayahnya berkata, "Kamu sudah kuat, Nak. Ayah bangga padamu." 

Andi tersenyum, menatap ayahnya dengan mata berkaca-kaca. "Aku belajar dari yang terbaik, Yah."

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Rekomendasi