Berumah tangga adalah seni mempelajari kehidupan yang sebenarnya, seperti kisahku yang dimulai di kontrakan Sakinah milik Bu Dibyo. Namaku Senja, aku baru menikah tiga bulan dengan suamiku, Maheswara.
Awalnya, aku merasa tidak kerasan tinggal di kontrakan kamar layaknya rumah susun seperti ini. Namun ... apa mau dikata, gaji Bang Mahes belum cukup untuk mengontrak satu rumah yang dibayar per tahun. Akhirnya, kami terdampar di sini.
Selamat datang di kontrakan Sakinah, kontrakan penuh kisah dan cerita di dalamnya. Ada tetangga julid, kepo, sombong, introvert, tukang jualan, dan masih banyak lagi.
Kamarku berada di lantai dua nomor 10. Kamar yang diincar banyak pengunjung kala itu, bagaimana tidak! Posisi kamarku terdapat di deretan pertama, dekat mushola, balkonnya menghadap ke taman komplek.
"Neng Senja!" teriak Bu Marni mengetuk pintu.
"Iya, sebentar!" jawabku membuka pintu dengan rol di rambutku dan daster menutupi tubuh kurusku.
"Waduh! Belum mandi toh! Ndak ngajar?" tanya Bu Marni.
"Iya, mau berangkat sebentar lagi, ada apa Bu Mar?" tanyaku membalasnya.
"Ini loh, biasa ... mau minta gula, kebetulan kosong di stoples, belum beli, hehehe!" kekeh Bu Marni.
"Ya udah, ambil aja! Sudah tahu kan dimana disimpannya?" tanyaku masuk ke kamar.
"Iya sudah, ta' bawa dulu ya stoplesnya ntar dibalikin lagi, tanggung, biar gak bolak-balik." Ujar Bu Marni tetangga sebelah kamarku itu.
Belum sempat kujawab, dia sudah berlalu membawa stoples berisi gula putih yang baru semalam kuis, ke kamarnya.
"Sayang! Teh manis Abang mana?" tanya Bang Mahes.
"Oya! Maaf ya, Bang! Aku lupa buatin, sebentar! Aku bawa dulu gulanya ke Bu Mar!" sahutku melangkahkan kaki ke luar kamar.
"Bu Mar!" panggilku.
"Masuk aja, Neng Senja!" sahutnya.
"Mau ambil gula, mau buatin Bang Mahes teh, tadi saya lupa!" ujarku tersenyum.
"Ambil saja Neng, tuh! Di dapur!" katanya.
Aku masuk berjalan menuju dapur Bu Marni, seketika mulutku sedikit terbuka, terkejut saat kulihat stoples gula yang penuh, mendadak hilang beberapa bagian. Kira-kira isinya hanya tinggal tiga sendok makan saja.
"Wadidaw! Bu Mar! Kok, gulaku tinggal dikit aja sih! Bu Mar pakai apa aja? Aku sampai disisain segini?" kataku merengek.
"Aih, maaf Neng Senja! Tadi Kania suruh bawa bekal pancake, jadi Ibu pinjem dulu gula yang ada di stoples Neng Senja, maaf ya! Jangan kapok loh!" tuturnya tersenyum tanpa dosa.
"Yaah, Bu Marni mah! Kebiasaan!" jawabku sambil berlalu menuju kamarku.
Aku merasa jengkel, pengin marah gak bisa, tapi hati dongkol setengah mati. Akhirnya aku kembali ke kamarku dalam diam.
"Kenapa Sayang?" tanya Bang Mahes.
"Ini loh, Bu Mar! Masa minta gula nyisain dikit buat aku nya, kebiasaan kalo minta suka gak kira-kira, kalo kutanya bilangnya pinjem dulu. Jengkel kan jadinya!" ketusku.
"Ya udah, gak usah jengkel! Resikonya kasih ke dia ya begitu, makan aja penyesalan!" kata Bang Mahes mentertawakanku.
"Yaah Abang, sukanya ngegodajn terus!" kataku mendelik.
Kemudian aku membuatkan Bang Mahes teh manis dengan muka masam. Belum selesai masalah Bu Marni, datang lagi tetangga depan kamar.
"Senja ... buka pintunya dong!" Panggil Sari senyam senyum-senyum sendiri.
"Apa? Pasti mau pinjem tas, ya kan?" kataku tersenyum sinis.
"Hehe, kok tahu! Iya bener banget, aku mau pinjem tas kamu." Jawabnya.
Sari tiba-tiba masuk ke kamar membuka lemari tempat sepatu dan tas, lalu memilih tas yang dia inginkan.
"Yang ini ya, Senja! Makasih loh, kamu baik banget, pinjemin tas baru kamu!" teriaknya sambil berlalu.
Aku yang sedang mekap-an tiba-tiba terkejut mendengar Sari, sampai alisku panjang sebelah.
"Apa! Tas baru?" ucapku terkejut.
Sari hanya bernyanyi gak karuan seraya berlari kecil menuju kamarnya. Dia nampak senang berhasil meminjam tas baru yang sama sekali belum pernah kupakai itu.
Aku pun dibuat jengkel lagi dengan tingkah kedua tetanggaku. Sebenarnya mereka baik, hanya terkadang mereka tak tahu malu, dan suka selonong boi.
"Sabar ... sabar ... nyebut, Senja Sayang!" kata Bang Mahes mengusap punggungku.
"Nyebut ... nyebut ... eh, Astaghfirullah!" jawabku mengelus dada.
"Ayo, cepetan! Kita berangkat! Nanti kesiangan lagi." ajak Bang Mahes memantau jam tangannya.
"Iya, ayo!" jawabku.
Aku dan Bang Mahes sama-sama bekerja, karena Bang Mahes merasa kasihan padaku jika hanya berdiam diri di rumah, tanpa siapa pun yang menemani, profesi sebagai guru Sekolah Dasar pun masih kutekuni hingga saat ini. Sementara Bang Mahes masih bekerja sebagai menejer di salah satu supermarket di Bandung.
Wajah Bang Mahes yang tampan nan menawan membuat janda genit di kamar nomor 15 itu selalu memandangi Bang Mahes tanpa berkedip sambil senyum-senyum sendiri. Parahnya, dia sering kali meminta Bang Mahes menemaninya makan atau meminta antar kemana pun sesuka hatinya, padahal dia tahu Bang Mahes pria beristri. Namun, beruntungnya aku, karena Bang Mahes tidak pernah mengikuti maunya.
Bang Mahes memang menawan, rambutnya yang lurus jatuh, kulitnya putih, tubuhnya tinggi dan hidungnya yang mancung selalu membuat janda genit itu julid padaku.
"Hai Kak Mahes, berangkat?" tanya Mita janda genit itu.
"Ya iyalah, masa pulang, basa-basi banget sih!" ketusku.
Mita mendelik, dia tidak suka padaku, dia malah sengaja menggoda Bang Mahes.
"Kak! Ikut bareng dong, saya juga kan searah ke tempat kerja Kak Mahes!" katanya merajuk manja.
"Maaf, sebaiknya Mita berangkat sendiri aja ya, kan seperti biasanya saya barengan sama istri saya." Jawab Bang Mahes menggandeng tanganku.
"Hati-hati!" jawabnya membanting pintu kamar.
"Aneh ya, Bang! Orang-orang yang ngontrak disini pada muka tembok, Si Mita lagi! Ada aku aja berani!" kesalku.
"Abang juga gak ngerti kok ada ya, mahluk seksi dan cantik kayak Mita. Eh, salah ngomong!" kekeh Bang Mahes menggodaku.
"Abang! Awas loh ya, gak akan aku temenin tidur! Nanti malem, Abang tidur di sofa aja!" ketusku mencebik.
"Maaf, Sayang! Abang kan bercanda, jangan ngambekan gitu jelek, masa bu guru kok jutek!" kata Bang Mahes merajuk.
"Bodo amat!" jawabku.
Bang Mahes pria yang baik, setia dan perhatian, walau terkadang dia mudah tersinggung.
Hari demi hari kulalui, tanpa terasa ... sudah hampir setahun kami tinggal di Kontrakan Sakinah.
Sore itu, hujan turun dengan derasnya, petir pun bersahutan diiringi angin yang bertiup kencang. Aku tidak pergi mengajar, karena aku mendadak merasa tak enak badan, pusing dan mual. Ada perasaan tak enak di hatiku, tak seperti biasanya, rasanya aku merasa takut, cemas dan galau. Aku berdiri di bibir jendela, memandangi anak-anak yang sedang bermain di taman komplek, tiba-tiba saja terlintas dalam benakku, "Bagaimana jika Bang Mahes pergi meninggalkanku?"
Pukul 19.10, Bang Mahes pulang ke rumah dengan wajah yang muram, lemas dan tak bersemangat.
"Kenapa Bang? Kok lemes, mukamu juga masam begitu?" tanyaku.
"Gak apa-apa, tolong buatkan Abang coklat panas ya, sama roti bakar kalau masih ada stok." Titah Bang Mahes.
"Oke, Bang! Tunggu ya!" sahutku.
Aku terus bertanya dalam benakku, mengapa Bang Mahes lemas dan tak bersemangat? Pasti ada sesuatu yang terjadi.
Aku menyodorkan secangkir coklat panas dan roti bakar permintaan Bang Mahes. Lalu duduk di sofa di sampingnya, kuusap lembut jemari tangannya, akhirnya dia bercerita tentang yang terjadi padanya hari ini.
"Sayang, maafin Abang ya, hari ini Abang diberhentikan kerja, ada pemangkasan karyawan di kantor, karena perusahaan sedang diambang kebangkrutan. Abang pun jadi korban!" Kata Bang Mahes.
"Kamu di berhentikan?" tanyaku terkejut.
"Iya, Sayang! Maafin Abang." Sahutnya.
"Sudah Bang! Itu bukan salah kamu, jangan merasa sebersalah itu, kita sama-sama cari kerja lagi yuk." Ajakku menghibur nya.
"Terima kasih ya, Sayang! Kamu sudah faham sama kondisi Abang!" jawab Bang Mahes mengusap kepalaku.
Singkat cerita, Bang Mahes masih dalam pencarian pekerjaan, dia masih terus berusaha mendapatkan penghasilan untuk menafkahiku, dia mencari lowongan pekerjaan demi pekerjaan dari lowongan kerja online hingga surat kabar, bahkan dia tak segan untuk bertanya pada temannya jika ada informasi lowongan kerja.
Sore itu, di hari Sabtu. Ketika penghuni kontrakan rata-rata off bekerja, Bu Dibyo mengetuk pintu dengan kencang, aku tahu maksud kedatangannya yang tak lain ialah menagih pembayaran kontrakan.
"Neng Senja! Maaf ya, ini sudah mau bulan berikutnya, tapi Neng Senja nunggak sebulan! Kalau Neng Senja sama suami mau dilanjutkan ngontraknya, tolong bayar sisa tunggakannya kemarin. Kalau tidak dibayar juga, dengan berat hati silakan kalian angkat kaki dari tempat ini!" bentak Bu Dibyo.
"Iya, Bu! Akan saya sampaikan ke Bang Mahes, maaf atas ketidaknyamanannya." Jawabku menunduk.
"Yo wes! Saya pergi, ingat kata-kata saya!" bentaknya sambil menenteng dompet tebalnya dan gelang emas yang bertumpuk di tangan kanannya.
Bu Rani yang suka kepo, nampak buru-buru menutup gorden jendela kamarnya, dia takut ketahuan sedang menguping dan menonton keributan di depan pintu kamarku.
"Aya naon, Neng Senja? Bu Dibyo marah? Eta teh yah, padahal emasnya renceum begitu, dompet tebel kok gak mau maklum ya sama Neng Senja, yang abis bangkrut!" tutur Bu Rani pura-pura tidak tahu dan mengejekku.
"Permisi Bu Rani, saya mau lanjutin lagi setrika pakaiannya, mangga!" Tuturku pamit seraya menutup pintu kamar.
Aku duduk di kursi rotan yang berada di balkon, merenungi nasibku saat ini. Tak terasa bulir-bulir air mata jatuh membasahi pipiku, aku tak menyangka Bu Dibyo yang selama ini kukira baik ternyata tega mempermalukanku di depan tetangga yang lain. Hingga Bu Rani segera beraksi mengajak bergibah bersama tetangga lainnya. Kejadian hari ini pun ditonton oleh mereka, dan aku tak tahu harus ditaruh dimana mukaku ini.
Tiba-tiba disaat aku tengah merenung, perasaan mual dan pusingku muncul lagi, ada apa sebenarnya dengan diriku ini? Aku seperti lemah hilang keseimbangan.
Beberapa menit kemudian, Bang Mahes pulang dan membuka pintu yang lupa kukunci.
"Senja, Sayang! Kenapa mata kamu sembab? Ini lagi, kok pintu gak dikunci, jangan biasain kayak gitu lagi! Kalau Abang gak ada jangan lupa selalu kunci pintunya." Ujar Bang Mahes.
"Iya, maaf Bang! Tadi Bu Dibyo nagih uang kontrakan, katanya kalau bulan ini gak masuk juga, kita harus pergi dari sini. Aku malu Bang! Tetangga pada tahu kalau kita nunggak!" Jawabku sedih.
"Duh Bu Dibyo kok tega sih, nagih di depan orang, sengaja banget!" kata Bang Mahes.
"Iya, Bang! Sampe aku digosipin Bu Rani. Rupanya Bu Dibyo baiknya kalau kita lancar bayar aja, kalau kita lagi macet, sombong! Nyapa juga gak pernah kalau ketemu. Gitu ya Bang!" keluhku.
Bang Mahes memijat-mijat kepalanya sendiri, dia merasa pusing mendengar keluhanku.
"Bang! Akhir-akhir ini, aku pusing-pusing melulu, kenapa ya? Dikerok Bu Marni pusingnya gak mau ilang!" keluhku lagi.
"Kata Bu Marni, sebaiknya aku beli test pack aja." Ucapku lagi bersandar di bahunya.
"Oke, kalau gitu Abang pergi dulu ke apotik ya, Abang belikan test pack." Kata Bang Mahes.
Beberapa menit berlalu, Bang Mahes datang membawa test pack. Kemudian aku menggunakannya, dan hasilnya menakjubkan, aku yang selama ini mengharapkan buah hati nampaknya terwujud dengan bukti garis dua merah ini.
"Bang! Lihat ini!" seruku menyodorkan hasil test pack.
"Wow! Garis dua, Sayang! Seneng banget aku, tapi ... kasihan juga ya, dia hadir saat Abang lagi jatuh." Keluhnya.
"Hey Bang! Jadikan dia penyemangat kamu, cari kerja lagi, atau usaha, siapa tahu kehadiran dia justru merubah menjadi lebih baik." Tuturku menyemangati.
"Iya, juga ya, bener juga apa yang kamu bilang." Sahut Bang Mahes.
Singkat cerita, delapan bulan pun berlalu. Bang Mahes sudah aktif bekerja lagi di perusahaan ekspor impor dengan gaji yang lumayan. Kehamilanku sudah menginjak usia delapan bulan lebih satu minggu, belum ada tanda-tanda kelahiran. Aku semakin tak sabar menunggu kedatangan bayiku terlahir ke dunia ini.
Saat malam menjelang, aku masih menunggu Bang Mahes pulang bekerja. Jam 18, jam 20 , jam 23 belum juga datang, kemana dia, kok gak seperti biasanya dia terlambat seperti ini, biasanya dia memberi kabar padaku.
"Bang dimana kamu?" tanya batinku.
Tiba-tiba seorang teman sekantor Bang Mahes memberiku kabar kalau Bang Mahes kecelakaan ketika hendak pulang. Bang Mahes, meninggal saat perjalanan menuju rumah sakit.
Perasaanku hancur, tak tentu arah, Bang Mahes meninggalkanku selamanya, aku tak tahu harus berbuat apa jika dia tiada, mengapa aku mengalami semua ini, anakku, bagaimana dia? Ketika dia tahu ayahnya sudah tak lagi bersamanya.
"Tuhan, adilkah ini?" ucapku terisak mengusap jenazah Bang Mahes yang hendak dimandikan.
Para tetangga di Kontrakan Sakinah berbondong menemaniku di rumah sakit, bagaimana pun menyebalkannya mereka, mereka masih memiliki jiwa penolong, kompak dan tak pandang bulu.
Mereka merangkulku, dan menemaniku hingga Bang Mahes dimakamkan.
"Nak, sekarang tinggal kita berdua, Ibu janji akan selalu menjadi teman terbaikmu." Kataku mengelus perutku.
Hari ini, usia kehamilanku tepat sembilan bulan, tiba-tiba perutku mulas dan sakit sekali, rasa mulas itu muncul lalu datang lagi, aku meringis dan mengetuk pintu Bu Marni.
"Ya Allah! Senja! Bu Mar! Semuanya! Tolong ... Senja kayaknya mau lahiran, kumaha ieu teh?" teriak Bu Rani.
"Waduh Senja! Ayo semua! Kita bawa Senja ke Rumah Sakit!" teriak Sari.
Para tetangga di Kontrakan Sakinah segera membawaku ke Rumah Bersalin, mereka tak meninggalkanku. Aku ditemani hingga saat bersalin tiba.
Tak lama kemudian bayi perempuan berparas cantik mirip Bang Mahes terlahir ke dunia ini, para tetangga bergembira menyambutnya, pada akhirnya, aku hidup berdua tanpa Bang Mahes. Namun, tetangga di Kontrakan Sakinah ini, selalu kompak mengasuh Jihan putriku. Terima kasih tetangga, seberapa julid dan keponya kalian. Kalianlah yang paling pertama datang menolong.
Aku tak menyangka akan seperti ini, namun dari semua pelajaran hidup yang kualami, aku mulai sadar bahwa apapun yang terjadi tetanggalah orang yang pertama kali menolong.
Maka berbaik-baiklah pada tetangga, bagaimanapun karakternya, mereka tetap tetangga, orang yang pertama kali tahu tentang semua hal yang terjadi pada kita.
"Mas, ini putrimu Jihan. Dia cantik, wajahnya mirip denganmu. Semoga dia menjadi anak yang salehah membanggakan kita orang tuanya, kamu lelaki dan suami terbaik, kamu pasti berada di surga-Nya." Ucapku seraya menggendong baby Jihan lalu menaburkan bunga di atas makam Bang Mahes.