“Kamu inget waktu pertama kali kita ketemu?”
Mata Mutia menerawang. Ia bergeming sejenak namun tatapannya tak kosong. Pikirannya mengembara, berusaha mencari kenangan yang masih disimpannya tentang pria kurus berambut putih yang sekarang duduk di sebelah kanannya.
Kenangan tentangnya masih menggenang. Keriput dan mata yang makin menyipit tak menutupi kehangatan dan kebersahajaan yang masih terpancar dari wajahnya, membuat Mutia semakin larut dalam pikirannya.
Mutia mengingat pertemuan pertamanya dengan Sebastian kala itu. Sebastian yang memukul kepalanya dengan buku cerita Sangkuriang di perpustakaan sekolah saat mereka masih sama-sama mengenakan bawahan merah. Sebastian yang langsung lari terbirit-birit karena rupanya ia salah menjahili orang. Untung saja buku cerita itu tipis dan Mutia tak sampai menangis dibuatnya.
Sejak saat itu, anak-anak lain yang sering dijahili oleh Sebastian yang nakal sepatutnya berterima kasih pada Mutia. Sebastian tak pernah lagi mengganggu mereka. Sebastian juga harus berterima kasih pada Mutia karena tak mengadukannya ke guru atau orang tuanya.
Bermula dari pukulan di kepala, berlanjut ke perasaan di hati Sebastian. Dari kembang gula merah berbentuk bunga hingga sekotak cokelat murah berbentuk hati pernah diberikan oleh anak laki-laki berusia 9 tahun itu pada Mutia. Semua teman ramai meledeki Sebastian dan Mutia, namun Sebastian sedikit kecewa karena Mutia malah membagi-bagikan cokelat dan kembang gula itu pada teman-teman perempuannya. Tak menyerah, sepulang sekolah Sebastian membeli setangkai bunga mawar plastik dan diam-diam diletakkan dalam tas Mutia, beserta dengan secarik kertas lusuh bertuliskan, “Boleh minta nomor telepon rumah kamu?”
Di luar sana mungkin ada berbagai penelitian yang mengklaim bahwa cinta monyet atau cinta masa kanak-kanak jarang ada yang berhasil. Kalaupun berhasil, paling hanya sepersekian persen. Sebastian dan Mutia adalah sepasang dari sepersekian persen tersebut. Dari pukulan di kepala, berlanjut ke perasaan di hati. Dari bermain kejar-kejaran, berlanjut ke berjalan beriringan di pelaminan. Dari drama putus nyambung karena berbagai hal termasuk restu orang tua Mutia, keduanya akhirnya berkomitmen untuk selalu bersama.
“Floren mirip sekali dengan Clementine, ya.” Jawab Mutia, walau pernyataannya tak menjawab pertanyaan Sebastian. Wajah Mutia semakin mendung. Matanya terlihat berkaca-kaca namun ia berusaha tetap tegar dan tersenyum meski getir.
Sebulan setelah pernikahan mereka, Mutia hamil. Keduanya tentu saja sangat gembira. Mutia ingin anak perempuan, sementara jenis kelamin apapun tak masalah untuk Sebastian. Yang penting sebentar lagi ia jadi ayah. Sembilan bulan kemudian, Tuhan seolah mengabulkan permintaan Mutia. Sabtu, lewat jam malam, lahirlah seorang bayi perempuan, anak pertama Sebastian dan Mutia.
“Siapa namanya, Bu?” Tanya seorang perawat selepas persalinan Mutia.
Keduanya belum sempat memikirkan nama untuk anak mereka. Lalu kemudian Sebastian melirik majalah bekas yang tergeletak di sisi ranjang Mutia. Halaman depannya menampilkan seorang fotomodel berwajah kebarat-baratan yang cantik dan tertulis dengan besar dan tebal nama ‘Clementine’ di sana.
“Clementine ...” Jawab Sebastian dengan mantap dan Mutia yang masih lemah setelah melahirkan hanya menatapnya heran.
Pada akhirnya, Mutia setuju juga dengan nama anak pertama mereka. Dengan kehadiran Clementine, sukacita mereka terasa bertambah walau seiring dengan sukacita itu, Sebastian dan Mutia jadi lebih sering bertengkar. Selama bertahun-tahun saling mengenal, Sebastian baru sadar bahwa begitu banyak hal dalam dirinya dan Mutia yang saling bertentangan, apalagi dalam urusan mendidik Clementine. Meskipun lama kelamaan sukacita itu terasa terkikis, Sebastian berusaha memaklumi Mutia karena ia tahu keduanya sama-sama punya maksud yang baik untuk masa depan anak mereka.
“Aku tinggal sebentar ya. Awas, jangan ajak dia main sepeda dulu.” Mutia pamit kepada Sebastian karena ia ingin pergi sebentar. Sebenarnya akhir-akhir ini ia kurang memercayai Sebastian untuk menjaga Clementine, tapi kali ini ia tak punya pilihan lain.
“Iya tenang aja. Udah sana, nanti kamu terlambat.” Jawab Sebastian.
Sebastian benar-benar menuruti kemauan Mutia, tapi sepertinya putri mereka tidak.
“Pa, ajarin aku sepeda lagi, yuk.” Ajak Clementine yang saat itu masih berusia 5 tahun. Sebastian memang sudah berjanji untuk mengajari Clementine bermain sepeda lagi. Namun karena terakhir kali Clementine jatuh dan terluka lumayan parah hingga membuat Mutia marah besar, Sebastian juga jadi ragu. Jauh di dalam lubuk hatinya, ia ingin anaknya tumbuh menjadi seorang yang pemberani dan mau mencoba segala hal. Inilah salah satu perbedaan besar di antaranya dengan Mutia yang tak pernah ia sadari sejak dulu.
“Nggak deh. Besok lagi ya. Nanti Mama marah.” Jawab Sebastian yang sebenarnya tak begitu suka memberi ancaman pada anaknya.
“Ayolah, kan Mama lagi gak ada, Pa … kapan aku bisanya?” Clementine terus merajuk dan akhirnya membuat Sebastian tak tega.
Sebastian menghela napas, kemudian tersenyum. “Ya udah, tapi harus dengerin Papa ya.” Ujar Sebastian yang disambut dengan anggukan antusias dari Clementine.
“Waktu kamu gowes, jangan liat ke bawah, liat ke depan. Gak usah takut jatuh, Papa pegangin dari belakang.” Dengan sabar Sebastian mengajari Clementine. “Kalo mau rem, kamu turunin kaki, atau tekan ini ke dalam.” Kemudian ia menuntun tangan kanan Clementine ke rem sepeda dan menekan remnya. “Ngerti?” lanjut Sebastian.
“Kok ini keras Pa?” Tanya Clementine sembari berusaha menekan remnya.
“Emang begitu kok.” Jawab Sebastian sambil ikut menekan rem sepeda mini itu. “Yuk, coba ya. Ayo, naikkin kakinya ke pedal.”
Senyum dan tawa Clementine membuat Sebastian sejenak terlupa dengan masalahnya. Hingga kemudian jeritan Mutia memecahkan kegembiraan mereka.
“Kan aku udah bilang, belum boleh naik sepeda!” Mutia langsung memarahi Sebastian.
Sebastian akhirnya tak tahan dan meluapkan isi hatinya. “Mau sampai kapan Mut? Nanti dia kalo udah besar jadi penakut kalo kamu larang-larang terus!” Baik Mutia dan Sebastian sendiri terkejut karena nada bicara Sebastian tak pernah setinggi itu sebelumnya.
“Tapi kan dia masih kecil, masih banyak waktu buat belajar. Kamu emang gak ngerti ya! Pantes aja dulu Mama gak gitu suka sama kamu. Sekarang aku baru tau kenapa.” Sahut Mutia sinis.
“Kenapa Mutia? Karena apa? Kenapa baru sekarang kamu nyeselnya?” Tanya Sebastian tak kalah pedas dan ia bahkan sudah tak tahu lagi bagaimana mengendalikan emosinya. Setelah adu mulut mereka berlangsung babak demi babak, keduanya baru sadar Clementine dan sepedanya sudah tak bersama mereka.
“Mana Clementine?” Tanya Mutia.
Air mata Mutia tak terbendung lagi. Ia menangis tersedu-sedu. Sementara Sebastian hanya diam. Ia juga sedih luar biasa namun tak setetes air matapun bisa menetes dari pelupuk matanya.
“Maaf …” Ucap keduanya kompak dengan getir. Kemudian mereka diam lagi. Hanya ada isak tangis Mutia yang sesekali memecah keheningan.
Sebastian dan Mutia tak lagi saling bicara sejak gundukan tanah terakhir menutupi peti mati Clementine. Pertengkaran membuat mereka tak sadar Clementine terus mengayuh sepedanya dan benar-benar tak kembali. Bayang-bayang sepeda yang sudah terguling dan darah Clementine yang tumpah ke aspal tak akan pernah lepas dari benak Sebastian dan Mutia.
3 hari setelah pemakaman Clementine, Mutia pergi meninggalkan Sebastian tanpa sepatah kata pun. Perasaan Sebastian sangat hancur. Namun rasa sedih dan bersalah yang mendalam anehnya tak sekali pun mampu membuatnya menangis atau meluapkan kesedihannya. Raganya hidup, namun jiwanya serasa mati. Bahkan tak ada hasrat dan tenaga untuk mengakhiri hidup sekalipun.
Sebastian tak pernah melihat Mutia lagi hingga dua tahun kemudian ia mendengar kabar kalau wanita itu sudah dinikahi seorang ekspatriat dan pindah keluar negeri. Sementara Sebastian masih berjuang melawan kesedihan dan rasa bersalahnya. Namun di tengah kesedihannya, Sebastian bersyukur karena Mutia mungkin sudah sembuh dari luka hatinya dan menata kehidupannya yang baru.
“Kalau Clement mirip Andrew ya, Mut. Tinggi, putih ...” Sebastian berusaha membuat nada bicaranya terdengar biasa saja, seolah ia sedang ngobrol dengan teman lama yang baru dijumpainya kembali.
“Gak seharusnya aku pergi dan nyalahin kamu ...” Ujar Mutia lirih. Sebastian diam saja, kemudian berusaha menyunggingkan senyumnya.
“Udah ada jalannya masing-masing Mut untuk kita.” Jawab Sebastian bijak walau ia tak memungkiri perasaannya masih sama setelah akhirnya bertemu Mutia kembali. Air mata perlahan membanjiri mata Sebastian bagai hujan yang turun di padang pasir.
“Tapi emang harusnya aku cek dulu rem sepedanya.” Lanjut Sebastian sambil tercekat. “Maaf …” Lanjutnya dan air matanya mengalir semakin deras.
Mutia tak berkata apa-apa. Tangan kanannya bergerak ingin menyentuh Sebastian, tapi diurungkannya. Memang sudah ada jalan masing-masing bagi mereka selepas kepergian Clementine. Mutia memilih pergi bersama Andrew sang ekspatriat dan Sebastian belajar merelakan kepergian Mutia dengan mencoba menata kembali hidupnya bersama Dian, sahabat lama yang ternyata pernah menyimpan rasa padanya namun mundur teratur setelah Sebastian memilih Mutia. Walau luka hatinya mungkin tak bisa sepenuhnya sembuh, Sebastian bersyukur karena ia bisa menjadi jawaban atas doa dari orang yang ternyata sudah lama menaruh hati padanya.
Air mata Mutia menetes kembali. Keduanya tenggelam dalam tangisan mereka. Kini setelah sama-sama ditinggal oleh Andrew dan Dian, Sebastian dan Mutia seolah bertemu lagi di ujung jalan yang sama, setelah sekian lama menempuh jalan pintas yang berbeda. Rasa yang ternyata masih sama tapi keduanya sadar bahwa mereka tak bisa kembali.
******
“Florentine Hadiwijaya ...”
“Clement Andrew Fisher …”
“Aku mengambil engkau menjadi istriku …”
“Aku mengambil engkau menjadi suamiku …”
“Untuk saling memiliki dan menjaga dari sekarang sampai selama-lamanya …”
“Pada waktu susah maupun senang ...”
“Pada waktu kelimpahan maupun kekurangan …”
“Pada waktu sehat maupun sakit …”
“Untuk saling mengasihi …”
“Untuk saling menghargai …
“Sampai maut memisahkan kita …”
“Dan inilah janji setiaku yang tulus.”
Semua hadirin bertepuk tangan menyambut janji setia Clement dan Florentine, termasuk Sebastian dan Mutia yang juga menyambutnya dengan tangis haru mereka. Terutama saat keduanya datang dan memeluk Sebastian juga Mutia, kedua orangtua mereka, yang tak pernah mereka ketahui kisah sesungguhnya.