Disukai
22
Dilihat
2,320
KETIKA KEMATIAN MENGEDIPKAN SEBELAH MATANYA.
Thriller

Aku sedang tak ingin tersenyum, ketika Bapak bercanda soal jagung rebus yang di-kerikit dengan rakus. Bapak bilang, malam pertandingan begini tak selayaknya kuhabiskan dengan muram dan berkeluh kesah, apalagi sampai mengungkit-ungkit urusan rejeki. Raut wajahku mengusut, ketika sanak keluarga datang dari Mahakam dengan semringah. Mereka terbahak tanpa menggubris sama sekali, bekerja untuk siapakah bapak dan inai-ku di rumah ini.

Mendatangi kami di Pulau Jawa, adalah sebuah kemewahan tak terhingga. Khususnya bagi keluarga besar yang menggantungkan hidupnya dari joran pancing dan serok jaring. Mereka telah datang dengan banyak kisah pilu, tentang siapa lagi yang telah pergi dari kehidupan kami di Paser Balik.

Keberuntungan bernama Menteng Rumbun Simpei, telah membawa keluarga kami meniti undak-undakan derajat kehidupan yang lebih baik. Pantas inai-ku tak pernah mengkhianati kebaikan lelaki pemilik rumah ini. Meski harus mengasuh anaknya dari merangkak, hingga gadis kecil itu kini duduk di bangku kelas 1 Sekolah Dasar. Tak pernah ada satu keluhan pun lolos dari bibir Inai, begitupun dengan  Bapak. Lantas, bagaimana denganku?

***

“Danum sudah tumbuh jadi gadis dewasa, ya, Bu. Apa sudah ada lelaki yang melamarnya?” Berkali-kali Rumbun Simpei menanyakan hal yang sama pada inaiku. 

Perempuan senja yang telah melahirkan aku itu hanya tersenyum. Ia kembali menyisiri rambut lebat Arinara, dengan tangan gemetar.

“Saya sudah kehilangan banyak hal, sejak kematian ibunya Nara.”

Inai bergeming, sorot matanya lantas menangkap kecemasan di wajahku.  

“Aku belum mau menikah, Pak Menteng.” Kujawab ketakutan Inai yang tak bisa dibahasakannya. Leherku menegang, tak berani menengadah ke arah lelaki tinggi besar itu.

“Sanak saudaramu... biarkan mereka tinggal di rumah ini selama berada di ibu kota. Sampai Piala Presiden usai.” Rumbun Simpei berdeham. “Tanpa perlu memikirkan untuk segera pulang ke desa nelayan, dan kembali menjaring ikan di sana.”   

“Terima kasih, Pak Menteng.” ucapku ragu. “Maafkan, saudara-saudaraku yang mengganggu ketenangan rumah ini.”

Rumbun Simpei hanya terkekeh dengan suara seraknya, kemudian dahinya mengerut, menatapku dengan sorot mata ganjil. 

Aku lantas beranjak menjauh, masih mengenakan seragam akademi sekretarisku.

Dari kejauhan, Bapak masih mengkerikit jagung rebus dingin sisa semalam. Ia duduk di posnya, sambil sesekali menyisir jalanan komplek yang lengang lewat pandangannya. Dengan peci miring ke kiri, helai-helai ikal keperakan itu terlihat berantakan. Ada bulir jagung yang melompat dari mulutnya, ketika ia mengumpati pemain bek di layar televisi kecil. Nahrowi Jambrong memang mengesalkan, kata Bapak, pertahanan selemah itu harusnya mampu ia bobol dengan mudah.

Aku berjalan ke arah Bapak, menghindari tatap liar Rumbun Simpei yang masih mengekori langkahku menuju pos rumah mewahnya. Ada rasa was-was yang merayap hingga tengkuk leherku, mengetahui sorot lapar mata lelaki itu.

Goool! Bapak berteriak kegirangan, ketika tanpa disangka-sangka, Nahrowi Jambrong menghantam gawang lawan dengan tendangan bergas andalannya. Bapak mengepalkan jemari bulatnya ke udara. Kemeja yang kancingnya sudah lucutan itu, menampakkan udel perutnya yang tambun.

“Mau menonton, Nak?” Bapak menggeser kursinya.

“Tak usah, Pak.” Aku menggeleng, dan tersenyum pada beberapa sanak saudara yang sengaja ikut menonton Piala Presiden di layar televisi pos jaga.

“Ramai sekali penontonnya?” tanyaku, mengedikkan kepala ke layar yang menggantung. “Padahal, stadionnya dekat sini, tapi tak terdengar sorak-sorai.” 

Mantikei –seorang sepupu jauh menyela ucapanku. “Danum pernah pergi ke sana?” 

Aku menggeleng, tak berani menengok padanya. Ia yang dulu bermain hujan dan bermandikan air sungai bersamaku, kini tumbuh menjadi sosok pemuda tinggi tegap, berdada lapang.

“Danum ini, sehabis kuliah langsung pulang ke rumah. Tak pernah berani main-main di jalanan ibu kota,” ujar Bapak sambil menyeruput teh yang sudah kadung dingin.

“Hmm, Danum tak suka bermain dengan kawan?” 

Mungkin suara Mantikei mengandung gendam, sampai-sampai leher ini tak bisa menahan diri untuk tak menengok padanya. Binar bola mata itu berkilat-kilat seperti sembrani, berat dan mengikat siapapun yang menatapnya. Konon daya magis inilah, yang membuat keturunan berdarah Paser Balik mampu memikat manusia lain. Aku menggeleng pelan.

“Tak punya kawan?” Ia masih penasaran.

Bapak menggeser kursi plastik di sebelahnya untukku lagi. Sambil menepuk joknya, tanpa berucap apa-apa. Tatapan malas ia lemparkan ke arah Mantikei, agar pemuda itu tutup mulut, dan berhenti menggodaku.

Lalu, semua diam hingga pertandingan usai. Maka, babak penyisihan Piala Presiden pun berakhir di penghujung senja.

“Sudah mau malam, Danum. Masuklah ke dalam, bantu inaimu memasak untuk Pak Menteng.” Bapak menepuk puncak perutnya. “Sebentar lagi, waktunya makan malam.”

Kedatanganku ke pos jaga, dikawal sorot liar Rumbun Simpei. Dan kepergianku dari sana, diekori oleh tatapan janggal Mantikei yang kini menggaruk isi sarungnya.

***

“Arinara membutuhkan seorang ibu, Danum.”

“Lantas, apakah aku yang harus jadi ibunya?”

Inai-ku tak menjawab, dengan tekun ia melampas bak mandi dengan cairan asam klorida. Baunya yang menyengat, menguar ke udara.

“Tutuplah hidungmu, Inai. Cairan itu bahaya untuk paru-paru manusia.” Aku menyodorkan secarik kain yang kupakai jadi kerudungku.

“Pakai lagi kerudungmu, Danum! Jangan sampai laki-laki menatap rambut legammu.”

Sambil bersungut, kain menerawang itu kembali kupakai, dan membiarkan Inai bergumul dengan aroma asam klorida yang membumbung memenuhi kamar mandi khusus pegawai rumah besar ini.

“Bapakmu tak akan sampai ke penghujung tahun ini. Setelah Piala Presiden usai, Bapak akan mangkat dari rumah ini.” 

“Kenapa Bapak memanggil sanak keluarga kita dari Mahakam datang ke ibu kota, Inai?” 

“Untuk menyaksikan pernikahanmu, Danum.” Inai akhirnya mengangkat kepalanya. Ia mengernyitkan hidung, dengan peluh merembuh-renai berbentuk bulir jeruk, inai-ku semakin tampak renta.

“Mengapa Piala Presiden yang dipilihnya?” 

Inai mendengkus. “Para lelaki, mengibaratkan perlagaan sebagai pakaian kebesaran bagi mereka. Bahkan, saat menentukan masa depan untuk anak-anaknya.” 

Aku mengerjapkan mataku, yang tiba-tiba lembab. Bapakku yang tampak bersahaja, tak beda dengan jutaan lainnya yang begitu memuja pertarungan dan kemenangan.

“Bapak menyekolahkanku setinggi ini, untuk dijadikan cendera mata?” 

“Bapak menyekolahkan kamu, supaya bisa jadi majelis ilmu untuk anak-anak Pak Menteng, Num.”  

“Sekolahku mencetak murid menjadi sekretaris, Inai. Untuk diberdayakan di perusahaan.” Aku menggeleng kuat-kuat. “Lantas, bagaimana dengan suaraku? Apakah suaraku akan didengar? Apa aku bisa memilih, untuk jalan hidupku sendiri?” 

“Dengarkan inaimu, Num. Pilihan hidupmu luas, tengok perempuan-perempuan lain di pulau kita sana,” tutur Inai dengan suara mengecil. “Tengok nenek moyangmu.” 

Aku tak sepakat... belum sepakat.

Sampai, suara Arinara membangunkan kesadaranku. “Aku ingin minum susu, Mina.” Gadis kecil itu menggamit lenganku.

“Kembalilah ke kamarmu, Nak. Biar Mina Danum yang membawakanmu susu hangat,” lirih Inai, sambil mengurai poni gadis mungil itu.

Mina, tidur di kamar dengan Nara,” rayunya.

Aku pun membeku. Ucapan gadis ini laksana titah untukku, yang hanya putri dari seorang karyawan rumah tangga. Ada sececah rasa iri yang tersembunyi, berdegup setiap kali aku memandang sekian banyak keberuntungan yang dimiliki gadis piatu ini.   

“Di mana babamu, Nak?” 

Bola mata itu mengerjap, mulutnya memberengut. “Baba mengulang-ulang pertandingan Piala Presiden di televisi, Tambiyaku.” 

Gadis mungil ini, memanggil inaiku dengan sebutan “Nenek”. Sebegitu dekatnya kah mereka? 

Sambil berjalan bersisian, tangan mungil itu menggenggam jemari kurusku. Ia mempererat cengkeramannya, ketika melewati sebuah kamar dengan pintu bercelah. Langkahnya tersendat. Gelas susu di sebelah tanganku nyaris tumpah.

“Kamu masih teringat padanya, Nara?” tanyaku dengan sedikit sendu.

“Mamaku sudah tak sakit lagi sekarang.” 

Aku mengangguk pelan. Ya, mamamu sudah terbebaskan. Kematian melepaskannya dari pasung kehidupan.

***

Puluhan orang datang silih berganti ke rumah Menteng Rumbun Simpei. Beberapa terlihat marah, yang lain tampak semringah, pulang dengan mengipas-ngipas segepok uang.

Bapak ada di garis depan pengamanan, memilah satu persatu tamu mana yang akan didahulukan. Mereka yang hendak bertemu dengan Pak Menteng, dan menagih janji padanya. Bapak membusungkan dada. Lantas di seberangnya, Mantikei berdiri tak kalah tegapnya –mengenakan seragam baru.

“Danum belum tidur?” Mantikei menyapaku, sambil mencomot pisang goreng panas yang kuberikan untuk Bapak dan para penjaga.

“Belum,” bisikku. 

“Num....”

“Ya?”

“Besok sekolah?”

“Kuliah,” ralatku.

“Iya, kuliah.” Ia terkekeh, sambil mengipasi mulutnya dengan tangan karena kepanasan.

“Pisang gorengnya masih panas,” cegahku.

“Sudah terlambat, Num. Sudah kumakan,” ucapnya sambil mengerling ke arahku.

Sudah kubilang, suaranya pun mengandung gendam. Ada laras asing yang mengalun dari bisikannya, yang sanggup membuat jantungku melompat-lompat kegirangan.

“Besok aku kuliah, Kak.”

“Jangan kamu panggil aku dengan sebutan Kakak, Num.” Ia berdiri bersisian denganku, tingginya yang menjulang, menaungi tubuh tinggiku dari pandangan orang yang berlalu-lalang. “Panggil Mantikei saja, seperti dulu.” 

“Baik, Mantikei....”

“Sama seperti dulu, Danum. Seperti masa kecil kita.” 

Ia hendak meraih satu potong pisang goreng lagi, ketika piring di tanganku terjatuh, isinya tumpah berantakan. 

“Bapak...,” cicitku nyaris tak bersuara.

Dari seberang pos, Bapak mencengkeram dadanya, matanya membelalak seperti sedang dirajam rasa sakit yang menghunjam. Tubuhnya terjengkang, diikuti oleh jerit Inai di kejauhan. 

“Manok!”

Aku hendak berlari ke arah Bapak, ketika Mantikei mencengkeram lenganku. “Diam di sini, biar aku yang menolong bapakmu.” Suaranya berubah memberingas. Ia mendorong tubuhku, masuk ke dalam pos jaga. 

Dari jauh, aku menatap Inai yang masih menjerit-jerit, dengan sorot mata liar, sama sekali tak menemukan ketenangan di binar matanya yang mulai terlihat senja. Manok dan Marijanti, sepasang pejuang Paser Balik yang menitipkan nasib hidupnya di ibu kota, demi kehidupan yang lebih baik untukku.

***

Empat puluh dua hari berlalu, sejak kepergian Bapak. Piala Presiden telah usai, orang-orang yang berdatangan, hendak menukar kupon dengan uang pun sudah mulai mereda. Menteng Rumbun Simpei, semakin dibuat kaya oleh mereka yang kalah bertaruh.

Sebagian sanak keluargaku telah pulang ke seberang pulau, untuk kembali bergelut dengan jaring dan ikan tangkapan di Mahakam.  Mereka pulang, persis di malam pernikahanku. 

Tinggal Mantikei yang tak kembali pulang, karena ditugaskan menggantikan bapak di pos jaga. Mantikei berseragam, yang disemati identitas sebagai kepala pos penjagaan yang baru, kini tak ubah anjing penjaga Rumbun Simpei yang menurut akan segala titahnya.

***

“Aku tak sudi memanggilmu Mama.” 

Arinara kian membenciku, ketika aku harus menempati kamar dengan pintu setengah terbuka itu. Bahkan pigura-pigura berisi gambar nyonya rumah, tak pernah dibiarkan turun dari singgasana sang ratu. Aku pun berbaring di sana setiap malam, di tengah bayang-bayang  beliau dan tatapan pilu seorang perempuan yang menikahi lelaki penguasa.

“Kenapa Mina harus jadi mamaku, Tambiyaku?” 

Inaiku tak menjawab. Ia masih sibuk menggosok keramik di kamar Mama Arinara, dengan asam klorida.

“Biar kubantu, Inai,” tawarku sambil menyodorkan sejumput kain yang biasa dipakai sebagai kerudung. “Tutup hidungmu dengan ini, kalau tak ingin paru-parumu lekas rusak.”

Inai tetap membisu, bahkan ia tak melarangku melepas kerudung yang menampakkan rambut legamku.

Tambiyaku tak suka Mina tidur di sini.” Arinara kecil berkacak pinggang, ia ikut-ikutan menyerangku dengan tatapan dingin.

“Mina tak bermaksud untuk merebut kasur milik Mama.” Aku membela diri. “Mulai sekarang, Nara panggil Inai sama Mina.” 

Sekonyong-konyong, Arinara menjerit-jerit tersakiti. “Kamu jahat!” jeritnya sambil menunjukku. “Mama hanya ada satu. Dan itu bukan kamu.”

Gadis mungil yang tadinya sanggup jadi pereda rasa dukaku karena kehilangan sebelah orang tua, tak ubahnya seperti pisau yang menoreh kelukur dengan kata-katanya.

Kita senasib, Nara. Kematian telah mengedipkan sebelah matanya pada kita berdua. Mewariskan pilihan hidup yang seolah jenaka, namun isinya duka semua.

***

Jika ada yang tahu caranya, tak menggubris pahitnya kenyataan, itu adalah Bapak. Ia yang sepanjang hidupnya tak pernah peduli akan omongan nyinyir orang lain, mengalir entah ke mana arus akan membawanya. Hingga ajal menjemput, Bapak masih menunaikan tugasnya dengan tekun, meski tahu yang mempekerjakannya adalah sebuah bayangan besar yang ditakuti di ibu kota. Seorang iblis, yang menjelma menjadi suamiku.

Sejak menjadi Nyonya Menteng Rumbun Simpei, tak pernah sekalipun gerak-gerikku tak diawasi oleh Mantikei, Sang Algojo. Dalam hitungan hari, daya pikat Mantikei berubah menjadi teror kelam sepanjang hari. Ia menjelalatkan tatapannya menyapu wajahku, tetapi juga memerintahkan aku untuk tetap menuruti segala kemauan Rumbun Simpei. Entah apa yang telah diberikan suamiku pada Mantikei, sehingga ia sanggup mengubah dirinya jadi anjing penurut Pak Menteng.

Malam menjelang pagi, ketika seisi rumah terlelap dalam hening. Sepasang langkah mengendap di luar pintu kamarku yang tak pernah menutup rapat.

“Danum.” Inai berbisik.

Sontak aku terlonjak, dan menghampirinya. Rasa panas di tubuhku masih terasa hingga pangkal kaki, seluruh ragaku seperti tengah dijerang air mendidih.

“Kamu sakit, Num?”

Aku terdiam di balik daun pintu. Tak berani menampakkan wajah.

“Kamu sakit?” Inai mengulang pertanyaannya. “Pak Menteng menyakitimu, Num?”

Aku hanya tersengut, menahan jerit yang terjebak di kerongkongan.

Celah di pintu kamarku perlahan melebar, tangan kurus keriput di baliknya menggapai ke arahku. Ia menyerahkan sesuatu.

“Ambil apa yang ada di dalam kain sarung ini. Gunakan saat kamu merasa terdesak.”

Aku tergemap. Inai tak pernah seberani ini. “A-apa ini, Inai?”

“Gunakan saat kamu merasa terdesak.” Ia mengulang kata-katanya, suaranya pun menjauh.

Hingga tengah malam, aku masih terduduk di lantai kamar mandi, dengan lebam yang melingkar di leherku. Suara besi berkelontang membuatku sadar, sesuatu terjatuh ke lantai yang dingin. Sebuah mandau ukuran sedang, tergeletak di antara kakiku yang gemetaran. Inai membekaliku sebuah senjata.

***

Mantikei kadang seperti iba menatap wajahku yang mulai dipenuhi memar dan carut. Namun, ia hanya diam dan memalingkan wajah, agar tak perlu menangkap pesan yang ingin kusampaikan lewat sorot mataku yang meredup. Mantikei selalu berkata iya, pada apapun yang Pak Menteng titahkan padanya, termasuk mengurungku di lantai atas, di kamar yang tak pernah benar-benar tertutup itu berada.

“Kenapa kamu tak pernah menolongku?” 

Suatu hari, rasa penasaran menohokku, ketika ia menjaga pintu kamar dengan siaga. Aku terduduk di lantai dingin, persis di balik pintu, memainkan gaun tidurku yang banyak sekali noda.

Mantikei tak menjawab. Ia hanya berdiri tegak dengan gagahnya.

Setiap malam, selepas Pak Menteng melepaskan gelora kebinatangannya, Mantikei akan berdiri di balik pintu, menjagaku agar tak hilang meninggalkan rumah besar itu. Di saat yang sama, Mantikei akan membiarkan Inai membawakan baskom air hangat dan membiarkannya membasuh tubuhku yang penuh noda dan luka.

“Sudah setahun, Num.” 

Bisikan Inai di telingaku begitu lirih. Sudah tak ada tangis tersembunyi lagi di balik suaranya.

“Sudah setahun, Inai.” Aku membeo.

“Kenapa tak kamu gunakan benda itu?” 

Aku menggeleng kuat-kuat.

“Bapakmu akan tersiksa di kuburnya. Menyaksikan luka-lukamu yang membekas seperti ini.” 

Aku masih membisu. Sampai celoteh gadis mungil itu terdengar hingga ke kamarku. “Dia alasanku bertahan, Inai.” 

“Dengan mengorbankan harga diri, masa depan, dan tubuhmu sendiri.” Inai berbisik, sambil membasuh betisku yang penuh luka.

“Aku tak bisa memberinya putra mahkota.”

“Dan mencipta iblis yang sama sepertinya,” desis Inai.

“Atau manusia sederhana seperti Bapak.” 

Inai tersedu, suaranya nyaris tak terdengar.  “Bapakmu salah menilai orang, Num. Dipikirnya, seorang penolong selamanya tak akan meminta pamrih. Bapakmu pikir, seorang penolong tak sanggup menoreh luka luar dalam, seperti yang iblis itu lakukan padamu, pada nyonya besar, pada Arinara, pada inaimu ini.”

“Bapak hanya orang berpikiran sederhana, Inai. Sama seperti kita semua di sini, mudah sekali dikelabui dengan mimpi.” Aku berjengit ketika Inai membasuh organ dalamku. “Tunggu sampai Piala Presiden berikutnya datang. Aku akan menemukan jalan keluar,” yakinku padanya, meredakan pilu seorang ibu.

Inai hanya menggeleng. “Pertarungan hanya akan memuaskan nafsu mereka. Perlagaan hanya akan mencipta korban-korban baru.”

Inai tak bicara begini tahun lalu,” sesalku.

Inai belajar dari luka-lukamu, Num.” 

Aku meremas dadaku, menunduk dengan bahu gemetar. “Pelajaran berharga selalu membutuhkan korban, Inai. Manusia tak belajar, hingga seseorang harus tersakiti dahulu.” 

Perempuan dengan keriput memenuhi telapak tangannya itu, kini membasuh punggung yang perih dihunjam cemeti. Tangisnya tercekat. “Maafkan Inai, Num. Maafkan Bapak.”

Mantikei berdehem. Waktu kunjungan untuk inaiku telah habis.

***

Nahrowi Jambrong yang sering dihujat Bapak, kini menjadi tamu bulanan yang datang berkunjung ke rumah besar Pak Menteng. Seringkali ia menatapku dari balik ruang tamu. Menyusuri wajahku saat aku tengah berbicara padanya, menawarkan segelas teh atau kopi untuk menemaninya menunggu Pak Menteng yang belum pulang.

“Kamu istri mudanya?” Suatu saat ia bertanya dengan lugas, mengetahui tak ada siapa-siapa di sana.

Aku mengangguk dan tersenyum. Ketika hendak berlalu, Nahrowi membersihkan tenggorokannya, dan melempari cemoohan.

“Kamu bekas peliharaannya?”

Tiba-tiba Mantikei muncul dari balik pintu. Tingginya yang menjulang, mengintimidasi orang. Ia melotot ke arah tembok, tak berucap apa-apa, hanya mengayunkan tangannya menyuruhku berlalu.

“Terima kasih,” bisikku.

Entah apa yang mereka perbincangkan, tetapi tak lama, Nahrowi Jambrong tertawa terbahak-bahak, tandanya suamiku telah tiba.

“Siapa di depan, Mama?” Arinara kini memanggilku Mama, sesuatu yang membuat beban di dadaku kian membelenggu. “Pemain bola?” 

Aku mengernyitkan dahiku. “Kamu tahu dari mana?” 

Tambiyaku yang bilang.” 

“Apa katanya?”

“Ia bilang, kalau aku sudah tumbuh besar, harus menikah dengan laki-laki seperti orang di depan. Peraih piala presiden.” 

Aku mendengkus. “Inai tak belajar,” bisikku.

“Kenapa, Mama?” 

Aku mencengkram bahu mungilnya. “Kalau kamu sudah besar. Berdirilah diatas kakimu sendiri, belajar dan berusahalah karena kamu mampu. Tak peduli siapa yang akan menikahimu kelak.” 

Bola matanya membulat. Ia menggeleng kuat-kuat.

“Ingat itu, Nara,” tegasku sambil berlalu ke kamarku di atas.

Arinara masih melongo, menatapku dari kejauhan. 

***

“Piala Presiden ditangguhkan tahun ini,” ucapnya dengan bau alkohol menguar dari mulutnya. Ia masih mencengkram kedua tanganku dengan kuat. “Perempuan-perempuan memang mengganggu. Istri presiden sakit, jadi tak ada kompetisi tahun ini.”

Aku membuang pandanganku, menghindar dari mulutnya yang pasti akan menggigit kulit wajahku, yang dianggapnya halus seperti kapas.

“Tahun ini aku pasti merugi!” geramnya. Ia kembali menguatkan cengkeramannya. Niscaya, besok kedua pergelangan ku akan membiru.

Ketukan di pintu, yang terbuka beberapa jengkal, membuyarkan kemarahannya. Ia pun beringsut dan mengenakan pakaiannya kembali.

“Ada apa, Mantikei?!”

Suara laki-laki di luar berdeham, terdengar sungkan. “Nahrowi ada di bawah, Pak Menteng. Saya biarkan ia menunggu.”

Rumbun Simpei mengumpat pelan. Ia lantas berlalu dengan langkahnya yang masih sempoyongan. “Ganggu orang sedang bermain-main,” umpatnya.

Aku menggeser tubuhku, agar tak terlihat dari pintu yang setengah terbuka. Lantas mengenakan mukena yang tersampir di kursi. 

“Kamu tak apa, Danum?” Mantikei berbisik dari luar.

Aku hanya menghela napas. Tak menjawab.

“Aku bungkuskan pisang goreng panas untuk kamu makan, Num.” Sebuah lengan besar menyuruk dari celah pintu, menyodorkan sekantong plastik makanan yang harum. “Kamu berhenti makan sejak kemarin malam,” ucapnya lirih.

“Apa peduli mu?”

Ia kembali berdehem. Sama sepertiku, ia tak banyak berucap setelah aku mengambil pisang goreng dalam kantong plastik. Lantas menyantapnya dengan lahap.

Inai-ku ada di mana?”

“Menggosok lantai kamar mandi di kamar tamu. Nahrowi hendak menginap di sana.”

Aku terpekur lama. Laki-laki menyebalkan itu, satu rumah denganku. Dan Inai menyiapkan segala sesuatu untuknya. Inaiku betul-betul tak belajar dari pengalaman, nama besar orang selalu membuatnya silau.

“Danum....”

“Hmm?”

Suara laki-laki di luar meredup cukup lama. Apa ia masih di sana?

“Apa yang tampak, tak selamanya sama, seperti apa yang ada di hati.”

Aku diam, menekuri kata-kata yang keluar dari mulut Mantikei.

“Aku tahu kain sarung yang inai bekalkan untukmu, Num.” Ia kembali berdehem. “Jangan kotori tanganmu.”

Tiba-tiba ada rasa geram yang naik ke ubun-ubunku. “Kamu mau mengadukan aku?”

Ia kembali terdiam. Seperti suara mendengkur, napas di dadanya terdengar hingga ke tempatku duduk.

“Mantikei?”

“Aku rela mengotori tangan dan masa depanku untuk menyelamatkanmu, Num.”

Secercah harapan, menggelombang menjadi sebuah kekuatan yang memenuhi dadaku. Kasih sayang yang kupendam sejak usiaku masih belia, menyembul kembali ke permukaan. Mantikei yang kupuja sejak usia kanak-kanak.

“Jika malam ini, Pak Menteng menyuruhmu menginap di kamar Nahrowi. Turuti kemauan dia, Num.” 

“A-apa?” Sebiji bola kekecewaan tersangkut di kerongkonganku.

“Aku akan menyelamatkanmu.” 

***

Dini hari, tepat ketika kepak lelawa membuatku terjaga. Entah itu Pak Menteng, ataupun Nahrowi --seperti yang Mantikei katakan sebelumnya, tak datang menemuiku. Hingga kantuk dan lelah menguasai kesadaranku. 

Sentuhan tangan mungil di telapak kaki, menyadarkanku dari tidur sekian lama. Suara tangis lirih Arinara, membuatku terjaga dan sontak terbangun.

“Mama....”

“Nara?” 

“Mama,” tangisnya seperti bisikan. “Laki-laki jahat itu mengejarku, Mama.” 

“Si-siapa, Nara??”

“Pemain bola,” ucapnya parau.

Cukup bagiku untuk tahu, kalau Nahrowi hendak menyakiti Arinara. Tanpa berpikir jauh, aku memelesat meraih kain sarung dan sebilah besi tajam di dalamnya. “Nara sembunyi di lemari. Tunggu sampai Tambiyaku menemuimu.” 

Setengah berlari, dengan tatapan penuh teror, Arinara menuruti setiap kata-kataku.

Aku mengendap menuju lantai bawah, bayang-bayang tubuhku menyerupai batang pohon yang mengayun disoroti lampu temaram dari teras. Tiba-tiba cengkeraman kuat membelenggu pergelangan tanganku. Hembusan hawa panas dari napas seseorang meniup tengkukku.

“Danum,” bisiknya. “Jangan lakukan.” 

Mantikei melingkarkan satu lengannya, ia melumpuhkan senjata dalam genggamanku.

“Ia menyakiti gadis kecilku.” 

“Ia bukan gadis kecilmu, Num. Ingat itu, jangan kamu korbankan dirimu untuk urusan yang bukan kepentinganmu.” 

Aku terbelalak mendengar setiap ucapan dari mulutnya.

“Kita bertahan hidup di sini. Aku, kamu, bapak dan inai-mu.” Mantikei kembali berbisik di belakang kepalaku. “Biarkan iblis itu merajalela, hingga kejahatannya menelan dirinya sendiri.” 

Aku memutar leherku, berdiri tegak menghadapi lelaki di hadapanku. “Pengecut!” makiku.

Mantikei meringis. “Aku tak akan membiarkannya menyakitimu lagi. Tapi di luar itu, bukan urusanku, Num.” 

“Binatang! Kalian semua seperti binatang!” Aku menjerit, dan meronta sekuat tenaga. 

Tepat ketika itu, seseorang berlari menghampiri kami dan menodongkan senjata api berlaras pendek. “Ada apa ini??” Menteng Rumbun Simpei mengacungkan larasnya ke arahku dan Mantikei bergantian. “Kenapa kamu membawa mandau itu, hei, Mantikei? Hendak membunuhku, hah?” 

Gelagapan, Mantikei tak sanggup menjawab. Ia lantas berdiri di hadapanku, berusaha melindungi sambil mengacungkan mandau itu ke arah Rumbun Simpei. “A-aku mencintai Danum, Pak Menteng.” 

Sontak Menteng Rumbun Simpei tertawa terbahak-bahak. Diikuti derai tawa seseorang di belakangnya, gelak Nahrowi Jambrong.

“Kamu pikir, aku tak tahu bagaimana kamu setiap hari menelanjangi kehormatan istriku dengan tatapan liarmu itu, hei, bocah ingusan!” 

Lengan Mantikei gemetar. Suara dia bergetar. “Aku tak akan melucuti kehormatannya, Pak. Tidak sepertimu.” 

Rumbun Simpei kembali terbahak. “Dengan membiarkan aku mengangkangi kehormatan keluarganya, kamu sudah ikut melecehkan perempuan ini, bocah goblok!” 

Gelegak kemarahan, dan darah Paser Balik-ku seperti dihujam rasa malu bertubi-tubi. Kedua tanganku mengayun, merebut Mandau tajam itu dari genggaman Mantikei. 

Tepat ketika tubuh kami saling beradu, dari balik pintu dapur, Inai berlari sambil mengguyurkan sebotol cairan dari genggamannya ke wajah Rumbun Simpei. Asam klorida yang selama ini ia gunakan untuk memoles lantai kamar mandi, menyembur dari mulut botol yang ia ayunkan dengan sigapnya. Namun, geraknya kalah cepat dari letupan pistol di tangan Rumbun Simpei, yang menghunjamkan sebuah peluru tajam tepat ke dada inaiku. 

Inai terhuyung, darah merembes dari seragam kerjanya. Tubuh rentanya roboh di lantai marmer yang keras dan dingin.

Inai!” Suaraku hilang ditelan letusan yang kedua, kali ini laras di tangan Rumbun Simpei mengarah ke tubuh Mantikei. Lelaki yang ingin melindungiku itu, menghunuskan mata mandau yang tajam ke leher Rumbun Simpei. Keduanya roboh berlumuran darah. Napas Menteng Rumbun Simpei tersengal-sengal, gelegak darah kental keluar dari mulutnya, ia tak bisa berucap apa-apa.

Melihat tubuh keduanya tergolek di lantai, Nahrowi berlari kencang ke luar ruangan. Ia berteriak mencari pertolongan.

Tubuhku gemetar, mulutku terbuka tetapi tak bisa mengucap sepatah katapun. Bahkan untuk menarik udara sekalipun, aku tak punya daya. Menatap ketiga tubuh yag terbujur kaku di hadapanku dengan pandangan gelap dan nanar.

***

Danum Marijah dituntut hukuman penjara seumur hidup terkait kasus pembunuhan berencana,  seorang korban bernama Menteng Rambun Simpei yang merupakan suaminya sendiri. Korban yang berprofesi sebagai pengusaha ini, disinyalir merupakan bos judi yang telah dikenal namanya di seluruh pelosok ibu kota. Bersama dengan pacar gelap dan ibu kandungnya, Danum menghabisi nyawa sang suami menggunakan mandau, dan sempat terjadi baku hantam di antara para pelaku dengan korban. Menanggapi tuntutan dari jaksa penuntut umum (JPU) itu, Danum Marijah bakal menyiapkan pledoi atau pembelaan untuk menepis pasal pembunuhan berencana.

"Kami meminta waktu dua minggu untuk memberikan pledoi. Kami akan semaksimal mungkin untuk membuktikan bahwa 340 (Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana) itu tidak terbukti," kata kuasa hukum Danum Marijah, usai sidang agenda pembacaan surat tuntutan JPU di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur, pada hari Kamis lalu.

***

Dari balik teralis, aku masih bisa menatap sorot mata sendunya. Pipinya dibasahi air mata. Menurut pengacara dari LBH yang membantuku, hak pengasuhan Arinara akan diserahkan ke negara. Masih menurutnya juga, seorang atlit berprestasi tengah mengajukan diri untuk mengadopsi gadis kecil itu untuk dijadikannya anak asuh. Nahrowi Jambrong, adalah pemain bola peraih piala kehormatan presiden yang dirinya maksud.

Darahku naik ke ubun-ubun, gelegak kemarahan menjegal seluruh pikiran jernih. Aku mengumpat, mencengkeram besi teralis, hingga buku-buku jemariku memutih. Aku membuang ludah ke lorong penjara yang suram.

Kali ini, kematian kembali mengedipkan sebelah matanya padaku. Membisiki kepalaku pelan-pelan, terkadang hidup memang tragis dan sebercanda itu.

 

“The greatest tragedy is not death, but a life lived without purpose.” 

-Nikolai Gogol- 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
@mikhaangelo : Terima kasih, Kak sudah membaca cerpen ini. Saya penulis asli Jawa Barat, yang lahir di Solo, Kak :)
Kakak aseli mana? Tempo hari bercerita tentang Sultra, kali ini lain lagi, dan tulisan kakak selalu bagus2. Izin beri tanda favorit
@ariyyy : Nah, ini lebih enak tempo bacanya. Nice, thank you!
Penggambaran yang detail dan menarik. Suka gaya nulisnya. Seperti ini misalnya: Ia duduk di posnya, sambil sesekali menyisir jalanan komplek yang lengang lewat pandangannya. Dengan peci miring ke kiri, helai-helai ikal keperakan itu terlihat berantakan. Ada bulir jagung yang melompat dari mulutnya, ketika ia mengumpati pemain bek di layar televisi kecil.
@regzasajogur31 : Betul, Kak. Tapi tidak secara lugas mendeskripsikan setting geografis 😊 Mencoba untuk membuat makna simbolik sih, Kak. Terima kasih sudah mampir dan membaca 🙏🙏
Mbak, keluarga tokoh di sini dari Kalimantan, ya?
Suka dengan gaya berceritanya. Klasik tapi modern.
@nadyawijanarko : Hahaha Mba Nad, aku paling seneng deh kalo dapet pembaca skeptis. Ibarat main bowling, pinnya kena semua 😁❤️ Makasih, Mba! 🔥
@nimasrassa : Hajar, Teh! 🤭🔥
@donnymr : Kritik dan saran well noted, hatur thank you 🤭❤️
entah kenapa pas baca ini pikiranku traveling ke mana-mana. ada beberapa yang aku pikir merupakan simbolisasi terhadap sesuatu, lebih dari satu malah. dan ada juga yang aku merasa kayak sindiran. bahkan seperti ada seolah rekonstruksi suatu kasus. secara keseluruhan, ini outstanding. ⭐⭐⭐⭐☀
Rekomendasi dari Thriller
Rekomendasi