Di sebuah desa kecil yang sepi di pinggiran kota, hiduplah seorang guru honorer bernama Melkior.
Setiap hari ia bangun sebelum ayam berkokok untuk menyiapkan segala sesuatunya sebelum pergi mengajar di sekolah dasar setempat.
Ia adalah sosok yang dikenal baik dan bijaksana oleh para muridnya. Namun, di balik senyum dan kelembutannya, tersembunyi beban hidup yang begitu berat.
"Bangun, Pak, ayam belum berkokok," bisik Maria, istrinya, sambil mempersiapkan sarapan sederhana.
Melkior tersenyum lelah. "Harus cepat-cepat, Bu. Nanti terlambat sampai sekolah," jawabnya sambil mengenakan sepatu yang sudah mulai usang.
Melkior adalah tulang punggung keluarganya. Ia hidup bersama istrinya, Maria, dan anak bungsunya, Damar. Anak sulung mereka, Radit, sedang kuliah di kota.
Gaji Melkior sebagai guru honorer hanya 400.000 rupiah sebulan, dan itu pun dibayar setiap tiga sampai enam bulan sekali. Sangat miris jika dibandingkan ada yang memakan kue yang harga se bijinya 400.000 di pesawat jet.
"Sungguh miris, Pak, gaji Bapak tidak cukup buat biaya hidup," ujar Maria sambil memandangi sayur-sayur di kebun.
"Begitulah, Bu. Tapi kita harus bersyukur. Setidaknya kita masih bisa makan dari hasil kebun ini," jawab Melkior sambil memetik daun ubi.
Memang sesuatu yang tidak berperi kemanusiaan, karena honor Melkior itu untuk biaya hidup saja tidak cukup, karena jauh di bawah UMR. Tapi begitulah kebijakan Guru Kepala sekolah itu, padahal mobilnya sudah beberapa buah dan hidupnya penuh foya-foya.
Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Melkior menanam sayur di sekitar rumahnya. Daun ubi, katu, pakis pantai, pakis merah, pakis kera, kecombrang, sawi, kacang panjang, mentimun, nangka, peringgi, pisang, yang di sayurnya bergiliran sehingga tidak bosan.
Setiap pagi dan sore, ia akan merawat tanaman-tanamannya dengan penuh kasih sayang. Selain itu, ia juga memberikan les privat kepada anak-anak di desa itu untuk menambah penghasilannya.
Walau hidupnya penuh perjuangan, Melkior selalu berusaha untuk tetap bersyukur. Ia berjalan kaki setiap hari ke sekolah, memberi les privat, bahkan ke pasar untuk menjual sayur-sayurnya.
Radit membawa motor semata wayang mereka ke kota untuk kuliah, sehingga Melkior harus mengandalkan kakinya untuk mobilitas sehari-hari.
Di sisi lain, adik ipar Melkior, Budi, adalah seorang yang cukup berada. Budi memiliki lima buah sepeda motor, namun tak satu pun ia pinjamkan kepada Melkior.
Budi bahkan tak pernah menawarkan bantuan saat melihat Melkior berjalan kaki ke mana-mana. Namun, Melkior tak pernah marah atau merasa dendam kepada adik iparnya.
Ia sadar betul bahwa Budi berhak atas motor-motor miliknya dan terserah padanya apakah ingin meminjamkannya atau tidak. Melkior justru menyalahkan dirinya sendiri yang tak kunjung bisa keluar dari kemiskinan meskipun sudah bekerja keras.
Suatu pagi, saat Melkior sedang berjalan kaki menuju sekolah, ia mendengar langkah kaki cepat di belakangnya. Saat menoleh, dilihatnya Budi yang sedang menyalipnya dengan sepeda motor.
Budi hanya melirik sekilas dan melanjutkan perjalanannya. Melkior tersenyum pahit dan melanjutkan langkahnya yang berat. Hari itu, seperti biasa, ia mengajar dengan penuh semangat, meskipun hatinya terluka.
"Pak, hari ini ada les privat?" tanya Maria saat Melkior bersiap pergi mengajar.
"Ada, Bu. Semoga cukup untuk membeli beras," jawab Melkior sambil menghela napas.
Waktu terus berjalan, dan kondisi ekonomi keluarga Melkior semakin sulit. Maria jatuh sakit karena terlalu banyak bekerja. Damar sering mengeluh lapar karena makanan yang ada di rumah sangat terbatas.
Melkior semakin tertekan melihat keluarganya menderita. Ia mulai kehilangan harapan, tetapi ia tahu bahwa ia harus tetap kuat demi mereka.
Pada suatu malam, setelah selesai memberikan les privat, Melkior pulang dengan langkah lelah. Hujan turun dengan deras, membuat jalanan menjadi berlumpur dan licin. Melkior berjalan sambil memegang payung yang sudah berlubang di sana-sini.
Ketika ia sampai di rumah, ia mendapati Maria sedang terbaring lemah di tempat tidur. Wajahnya pucat dan tubuhnya panas. Damar duduk di sampingnya dengan mata berkaca-kaca.
"Pak, Ibu sakit," bisik Damar dengan suara bergetar.
Melkior segera mendekati Maria dan merasakan keningnya yang panas. Ia tahu bahwa mereka tak punya uang untuk membeli obat atau membawa Maria ke dokter.
Dengan hati yang berat, ia memutuskan untuk meminta bantuan Budi. Meski ia merasa enggan, ia tahu bahwa ini demi kesehatan istrinya. Tapi mengingat Maria itu bersaudara kandung dengan Budi, maka Melkior memaksakan dirinya juga.
Melkior berjalan ke rumah Budi yang tak jauh dari rumahnya. Ia mengetuk pintu dan menunggu dengan cemas. Setelah beberapa saat, Budi membuka pintu dengan wajah bingung.
"Ada apa, Melkior? Kenapa malam-malam begini?" tanya Budi dengan nada datar dan nadanya tidak senang karena malam-malam terganggu.
Melkior menundukkan kepala, berusaha menahan air mata yang hampir jatuh. "Budi, aku butuh bantuanmu. Maria sakit parah dan aku tak punya uang untuk membawanya ke dokter. Bisakah kau meminjamkan sedikit uang atau mungkin satu motor saja agar aku bisa membawanya ke rumah sakit?"
Budi menghela napas panjang. "Maaf, Melkior. Aku juga sedang banyak pengeluaran. Motor-motor itu sudah ada yang pakai semua. Lagipula, aku tak bisa meminjamkan uang sekarang."
Melkior merasakan hatinya hancur mendengar jawaban itu. Namun, ia tak bisa memaksa. Dengan berat hati, ia kembali ke rumahnya dengan tangan hampa.
Sesampainya di rumah, ia melihat Maria semakin lemah. Damar tertidur di samping ibunya dengan mata sembab.
Malam itu, Melkior tak bisa tidur. Ia duduk di samping Maria, menggenggam tangannya erat-erat. Ia berdoa dalam hati, memohon agar istrinya diberikan kekuatan.
Hujan terus turun dengan deras, seolah-olah langit pun turut merasakan kesedihan yang melanda hati Melkior.
Keesokan paginya, Melkior terbangun oleh suara tangisan Damar. Ia segera melihat ke arah Maria, dan hatinya serasa tercabik-cabik. Maria tubuhnya sangat panas. Karena keletihan, rupanya Melkior tertidur dan tidak sadar istrinya mengalami demam panas tinggi.
"Pak, Ibu panas sekali," teriak Damar panik.
Melkior tak kuasa menahan air mata. Ia memeluk tubuh istrinya yang kini yang sangat kepanasan, tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa, karena betul-betul tidak ada uang.
Tuhan juga sepertinya tidak mendengar doa-doanya yang dia panjatkan dalam ketidak-berdayaan dan kesedihan yang mendalam. Bukannya dia tidak keras berusaha, tetapi sepertinya memang nasib baik enggan singgah padanya.
Damar menangis histeris di sampingnya, memanggil-manggil ibunya yang dalam keadaan sangat panas itu. Hari itu, langit desa seolah ikut bersedih. Awan gelap menggantung rendah, dan hujan turun tanpa henti.
Beberapa hari kemudian, panas Maria mulai turun, tetapi tubuhnya kaku dan kedua kakinya tidak bisa digerakkan. Dia lumpuh, tetapi yang lainnya normal. Bertambah lagi beban Melkior.
Tetapi Melkior tetap tabah, karena tubuhnya sangat sehat, maka itulah kekayaan yang sangat berharga bagi dirinya. Dia tetap beraktifitas seperti biasa, bahkan sekarang bertambah lagi dengan merawat istrinya dengan herbal.
Berita sakitnya dan lumpuhnya Maria segera tersebar di desa. Para tetangga datang memberikan dukungan moral kepada Melkior dan Damar. Budi pun datang, namun hanya berdiri di sudut ruangan dengan ekspresi datar.
Ia tak tahu harus berkata apa. Di satu sisi, ia merasa bersalah karena tak bisa membantu saat Maria jatuh sakit. Di sisi lain, ia tak ingin terlibat lebih dalam dengan masalah keluarga Melkior.
Setelah tidak bisa berjalannya Maria, hidup Melkior semakin berat. Ia harus merawat Damar sendirian sambil tetap bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Radit yang mendengar kabar sengsara itu segera pulang dari kota, namun kehadirannya hanya sementara karena ia harus kembali kuliah. Melkior pun paham dengan anak tuanya itu, karena dia harus kuat dan punya bekal untuk masa depan.
Waktu berlalu, dan Melkior berusaha untuk bangkit kembali. Ia tahu bahwa ia harus kuat demi Maria yang sakit, serta Damar dan Radit. Meskipun rasa sakit dalam menjalani hidup itu masih sangat membebani hatinya, ia tak ingin mengecewakan Maria yang sakit dan berjuang bersamanya selama ini.
Meskipun bukan dokter, Melkior selalu melihat di Google kira-kira apa obat herbal yang bisa menyembuhkan Maria yang lumpuh. Demikianlah Melkior setiap pagi, selain kegiatan rutinitasnya, dia juga harus merawat Maria sebelum berangkat bekerja.
Suatu hari, saat Melkior sedang berjalan pulang dari pasar dengan membawa sayur hasil tanamannya, ia melihat Budi sedang memarkirkan motornya di depan rumah. Budi menoleh dan melihat Melkior yang berjalan kaki dengan beban di punggungnya.
Ada rasa bersalah yang menghantui hati Budi, namun ia tetap diam dan masuk ke dalam rumah tanpa sepatah kata. Budi itu sudah sangat kaya, tetapi dia korupsi di kantornya, karena kalau dengan gajinya, maka tidak cukup untuk barang-0barang sebanyak itu.
Tetapi karena dia sudah berbuat begitu, maka melakukan korupsi itu sudah di anggap biasa. Karena orang lain juga berbuat seperti itu, bahkan parahnya lagi mereka menyertakan Tuhan dalam doa-doa mereka, seolah Tuhan memberikati tindakan mereka itu.
Melkior tersenyum pahit. Ia sadar bahwa dalam hidup ini, tidak semua orang akan peduli atau mengerti perjuangannya. Namun, ia juga tahu bahwa ia tidak boleh berhenti berusaha. Hidup terus berjalan, dan ia harus terus berjuang demi masa depan anak-anaknya.
Dia menyayangi Maria, dia berusaha merebus daun-daun herbal untuk obat kesembuhan Maria. Meskipun sepertinya tidak ada harapan, dia tetap melakukannya dengan cinta.
Hingga suatu ketika, keajaiban kecil terjadi. Seorang dermawan dari kota yang pernah mendengar kisah hidup Melkior melalui seorang teman datang ke desa. Ia menawarkan bantuan finansial kepada Melkior untuk membiayai pendidikan Damar dan juga memberikan modal untuk usaha kecil-kecilan.
"Pak, ada tamu dari kota yang ingin membantu kita," seru Damar dengan semangat.
Melkior tak kuasa menahan air mata bahagia. Ia menerima bantuan itu dengan rasa syukur yang mendalam. Hidupnya perlahan mulai berubah. Ia bisa membeli sepeda motor bekas untuk mempermudah mobilitasnya.
Ia juga bisa membuka warung kecil di depan rumahnya yang menjual sayur-sayuran dan kebutuhan sehari-hari. Meskipun dia tidak bisa full mengerjakannya, tetapi sekarang les nya dilakukan di rumah dan anak lesannya yang datang ke rumah, sehingga dia bisa sambil berjualan.
Meskipun Maria sudah sakit bertahun-tahun, suatu hari dia mulai bisa menggerakan kakinya. Hal itu membuat semangat hidup dalam hati Melkior berkobar. Ia tahu bahwa Maria suatu saat pasti bisa berjalan kembali.
"Pak, lihat! Aku bisa menggerakkan kaki lagi," seru Maria dengan mata berbinar.
“Sungguh?” tanya Melkior seolah tidak percaya.
“Benar,” jawab Maria. “Coba lihat,” sambung Maria lagi sambil menggerakkan kakinya.
"Tenang, Bu. Aku akan merawatmu sampai sembuh. Kita pasti bisa," jawab Melkior sambil menggenggam tangan istrinya erat-erat.
Hatinya sangat senang, ternyata semua usahanya selama ini tidaklah sia-sia.
Perjuangan hidup Melkior yang penuh liku-liku menjadi inspirasi bagi banyak orang di desa itu. Ia membuktikan bahwa dengan ketekunan dan kesabaran, segala kesulitan bisa dihadapi.
Melkior mengajarkan kepada anak-anaknya bahwa meskipun hidup penuh dengan cobaan, selalu ada harapan bagi mereka yang tidak pernah menyerah. Dan pada akhirnya, kebahagiaan pun akan datang kepada mereka yang sabar menanti.
Dengan penuh rasa syukur, Melkior terus menjalani hidupnya. Ia tetap menjadi guru yang penuh dedikasi, pekerja yang ulet, dan ayah yang penuh kasih. Ia tak lagi merasa sendiri, karena ia tahu bahwa di setiap langkahnya, ada cinta dan doa dari Maria yang selalu menyertainya.
"Pak, aku bangga sama Bapak," kata Radit saat mereka berkumpul di rumah sederhana mereka.
"Terima kasih, Nak. Kita jalani hidup ini bersama-sama, dengan doa dan usaha," jawab Melkior sambil memeluk anak-anaknya erat-erat.
Suatu hari, kehidupan mereka sudah berubah jauh lebih baik. Ke bahagiannya yang paling terasa adalah Radit telah berhasil menjadi sarjana dan kaki Maria yang lumpuh sekarang bisa di pakai untuk berjalan kembali, meskipun tidak selancar sebelum dia sakit.
Tinggal sekarang dia memikirkan sekolah anak bungsunya, tetapi itu tidak terlalu berat lagi, karena sekarang hidup keluarga Melkior sudah jauh lebih baik dari sebelumnya.
***
By Yovinus