Matahari baru saja tergelincir ke barat, menebarkan semburat jingga yang menyapu langit sore. Di dalam rumah berarsitektur semi-modern milik keluarga Alena, keheningan pelan-pelan digantikan oleh tawa kecil, aroma camilan hangat, dan suara langkah kaki yang saling menyusul.
Karil, dengan celemek ungu bergambar kucing yang entah sejak kapan jadi warisan tiap kali ada kerja kelompok berdiri di dapur, mencoba menenangkan dirinya di antara panci-panci yang meringis karena terlalu panas. Di ruang tamu, Alena sedang menyusun print-an materi, sementara Eca dan Rian sibuk berdebat soal urutan slide PowerPoint.
Dandy? Tidak tahu di mana, yang jelas, manusia satu itu hanya beban bagi keempat teman satu kelompoknya. ‘Numpang nama doang.’
Sore itu tenang. Terlalu tenang, sampai semesta seolah menahan napas, tahu bahwa kekacauan tinggal menunggu detik berikutnya.
“Aduh! Tai siapa nih?! Bau banget, sumpah! Woy! Siapa yang modol?! Ini sih bukan tai manusia lagi, ini tai siluman!” teriak Karil sembari menutup hidung dengan ekspresi panik.
Mendengar itu, Dandy yang kebetulan sedang berada di dalam kamar mandi menjawab dengan emosi campur gengsi. “Woy! Lo bisa gak sih diem? Namanya juga tai, ya baunya tai lah! Lo kira minyak wangi kasturi?!”
Karil menjauh sambil kipas-kipas pakai penutup kotak nasi. “Gila ya, ini sih udah level senjata biologis! Paru-paru gue minta maaf!”
“Lo tuh, perkara modol aja satu RT ikut tahu!”
“TAU AJA GAK MAU, BAU DOANG DIKASIH!!” Karil masih dengan teriakan khasnya. Tak lupa dia kipas-kipas sambil jalan ke sofa dengan ekspresi menderita. “Gila, gue butuh terapi paru-paru. Atau … alat penyedot aroma kenangan buruk!”
Melihat aksi dramatis itu, ketiga temannya asik tertawa sambil memegangi perut mereka yang kegelian. Bahkan, Rian sudah guling ke sana kemari di lantai.
Dari kamar mandi, mulai terdengar suara flush dan guyuran air. “Lo kayak gak pernah modol aja, Karil.”
“Gue tuh bukan masalah modol, Dandy. Tapi intensitasnya! Ini udah kayak ledakan nuklir rasa rendang basi!!”
Pintu kamar mandi terbuka, Dandy keluar sambil meneteng botol pengharum ruangan yang udah penyok kayak abis perang. “Tenang saudara-saudara … gue udah siapin senjata pamungkas. Si pengharum Vanilla asap neraka!”
Rian berhenti tertawa, dia mengubah posisinya menjadi duduk. “Lagian, lu makan apa sih, Dan? Gila baunya ampe menyengat ke seluruh ruangan.”
“Bisa-bisa ambruk rumah gua gegara bau tainya si Dandy,” celetuk Alena.
“Udahlah kalian, tengsin banget gue jadinya.”
Setelah insiden “tai siluman” itu, Karil dengan penuh dendam kembali ke dapur. Sambil masak mie goreng, dia ngomel-ngomel sendiri.
“Dasar Dandy, siluman septic tank … ntar gue kasih bonus cabai setan dua kilo biar tahu rasa!”
Sementara itu, di ruang tengah, Eca lagi nyari-nyari gambar candi Borobudur untuk slide power point. Tapi fokusnya buyat gara-gara Rian sibuk ngasah pensil pakai pisau dapur. Padahal tugas mereka hanya mengetik, bukan menggambar menggunakan tangan.
“Lu manusia dari zaman apa sih, Rian?!” bentak Eca.
“Gue butuh pensil runcing buat coret-coret timeline sejarah. Biar estetik, lumayan kan dapat nilai tambahan dari Bu Nani,” jawab Rian, serius tapi nggak masuk akal.
Alena yang sedari tadi fokus berkutat di laptop akhirnya menolehkan wajah pada mereka. Sebenarnya ia ma marah, tapi gagal karena tiba-tiba lampu dapur kedap-kedip. Karil yang kebetulan mendiami tempat berteriak kembali seperti kasus Dandy tadi.
“ALENA! Kompor lo ngambek! Ini mienya goyang-goyang sendiri, kayak kesurupan!”
Alena buru-buru lari ke dapur, disusul Eca yang penasaran. Begitu mereka masuk ke area dapur, tempat itu sudah penuh dengan asap. Karil berdiri sambil kipas-kipas pakai piring.
“Gue cuma tinggal sebentar ke kulkas, mie nya meledak kayak mercon tahun baruan.”
Eca ketawa ngakak, “Ini mah bukan mie goreng, ini mie meteor bledag!”
Tiba-tiba dari kamar mandi, Dandy yang selesai dengan buang hajat kloter keduanya keluar dengan muka segar. Tapi sialnya, dia keluar sambil nyanyi dangdut keras-keras. “Tai ku … Jadi saksiiii …”
Semua orang beku di tempatnya. Rian menjatuhkan kembali dirinya ke kursi, Alena langsung lempar bantal ke arah Dandy, dan Karil menyusul dengan melempar piring plastik kosong. Untung saja nggak kena.
“YA ALLAH! INI KERJA KELOMPOK APA DRAMA MAJAPAHIT SIH?!” teriak Alena frustasi.
Rian mengangkat tangan kayak anak SD, “Bu guru, saya usul kita kerja kelompoknya di Kafe aja. Lebih damai.”
“Halah, gak usah sok suci deh kalian!”
Mereka akhirnya memesan makanan lewat fitur online, karena rasa lapar mulai menggerogoti perut. Di tengah kegiatan mengerjakan tugas, tertawa adalah hal yang paling banyak dilakukan karena kejadian-kejadian barusan. Presentasi? Ya … minimal mereka punya cerita legend buat dikenang seumur hidup.
Next gak nih? Next dong ya!
…
Hari Presentasi
Pagi itu, suasana kelas XII IPS 1 jauh dari kata damai. Suara sepatu, tawa gugup, dan bisik-bisik panik jadi musik latar. Di pojokan, lima sekawan sedang berkumpul dengan ekspresi antara pasrah dan panik akut.
“Gue udah bilang, jangan pake template ungu! Ini kayak undangan tahlilan, bukan presentasi sejarah!” keluh Eca, matanya nyaris melotot melihat slide terakhir.
“Daripada biru, nanti dikira presentasi tentang BPJS!” sahut Karil.
Dandy duduk santai sambil ngemil wafer, “Santai dong, yang penting kita kompak. Gue udah hafal bagian gue kok.”
Alena melirik tajam, “Hafal dari mana? Tadi malem lo ngorok sambil bilang ‘Gajah Mada bersumpah, nggak akan mandi sebelum menguasai Indonesia!’ Itu mah sumpah lo, Dandut!”
Sementara itu, Rian sibuk mencari flashdisk yan entah kenapa selalu hilang saat detik-detik krusial. “Gue naruh di tas, sumpah! Tapi kenapa isinya malah skripsi kakak gue? Kenapa bisa ke-swap gitu sih?!”
Tiba-tiba suara Ibu Nani, guru sejarah, terdengar dari depan kelas. “Kelompok Alena, silakan maju!”
Karil refleks bisik, “Innalillahi …”
Dengan langkah gemetar tapi penuh drama, mereka maju ke depan kelas. Karil pegang pointer, Dandy pegang senyum palsu, Alena coba kontrol nafas, Eca bawa kertas contekan, dan Rian … masih nyari flashdisk di kantong celana sebelah kiri.
Slide pertama muncul. Judul presentasi mereka adalah “Perkembangan Kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia.”
Next ke slide kedua, melompat ke foto Karil yang lagi megang panci gosong. Latar belakang dapur Alena penuh asap. Tulisan besar di atasnya “Legenda Mie Rasa Dendam : Pahit dan Menyakitkan”
“Astaga!!” Alena refleks loncat ke depan laptop.
Kelas hening dua detik, lalu tawa pecah. Ibu Nani terbatuk menahan senyum. Sementara wajah Karil berubah menjadi merah dan mulut yang mengulum umpatan-umpatan kasar yang sebentar lagi akan keluar.
“E-eh, itu … cuma ilustrasi awal, Bu! Supaya teman-teman lebih engaged sama materi. Hehe …” Dandy langsung buka suara cepat-cepat.
“Fuck! Ini antara dua kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah Dandy, kemungkinan kedua adalah Rian. Siap-siap ya, lo berdua. Setelah ini gue bikin hidup lo menderita.”
Rian maju ke mikrofon, “Begini Bu, seperti mie yang kami masak dengan penuh perjuangan, begitu juga sejarah Indonesia. Panas, penuh perjuangan, tapi tetap mengenyangkan.”
Bu Nani melirik, “Mengenyangkan?”
Eca ikut nimbrung, “Maksudnya menambah wawasan, Bu.”
Suasana jadi cair. Meski presentasi mereka penuh improvisasi dan slidenya sempat berubah jadi galeri meme pribadi, pada akhrinya Bu Nani tersenyum.
“Saya akui, presentasi kalian unik. Saya suka cara kalian menyampaikan materi dari tiap-tiap poin, bonus ada unsur hiburan juga. Tapi, tetep ya, jangan dicampur sama dapur gosong!”
Seluruh kelas tertawa. Kelompok Alena kembali ke bangku dengan perasaan campur aduk. Malu, lega, dan lapar.
Karil berbisik pada Rian, “Next time kita belajar di perpus aja ya. Lebih aman buat peradaban.”
Rian mengangguk, “Setuju. Tapi jangan lupa bawa mie. Gue kangen rasa penderitaan itu.”
…
Epilog—
Semenjak kejadian “Legenda Mie Rasa Dendam”, nama Karil jadi viral di kalangan anak kelas XII. Bahkan, ada yang bikin stiker WA dengan wajah Karil pegang panci gosong dengan caption ‘Masak Mie, rasakan sejarah.’
Di kantin sekolah, Karil duduk sendirian, menatap mie instan di mangkoknya dengan penuh trauma.
“Kenapa lo nangis, Ril?” tanya Eca sambil bawa es teh jumbo.
“Gue gak nangis, Ca. Ini air mata kenangan,” jawab Karil dramatis.
Dandy datang sambil nyodorin brosur. “Gue nemu tempat kursus masak, Ril. Gratis kalau bawa panci bekas tragedi.”
“Serius lo?” Karil langsung ambruk ke lantai kantin. “Kenapa hidup gue begini, Ya Allah … Kenapa di dunia ini hanya gue yang waras? Kenapa temen-temen gue enggak?!”
“Najis.”
Di sudut lain, Alena dan Rian sibuk diskusi. “Kita bikin presentasi pakai lagu aja yuk minggu depan?” usul Alena.
“Boleh, asal jangan lagu dangdut waktu bahas VOC ya,” jawab Rian.
Semua tertawa. meski penuh kekacauan, lima sekawan tahu satu hal pasti. Kerja kelompok itu bukan tentang hasil saja, tapi soal tawa, bencana, dan mie gosong yang mempererat persahabatan mereka. Hehehe …
selesai.