Disukai
1
Dilihat
196
Keresahan Robin Setiap Pagi
Slice of Life
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, karakter, tempat kejadian atau pun peristiwa, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan. Semoga bisa menghibur para pembaca sekalian.

***

Pagi-pagi sekali tak biasanya Robin murung. Di kursi bambu panjang di beranda rumahnya itu ia duduk sambil melamun menatap gelas berisi kopi hitam dengan tatapan kosong. Berbagai suara keresahan dalam benaknya pun bermunculan, mengapa istrinya harus kehilangan benda berbentuk segitiga itu berkali-kali? Siapa pelakunya?

“Yah, semalam hilang lagi,” kata Sari, istrinya.

“Haduh, kok bisa sih, Bun?” Robin melihat ke arah istrinya yang baru saja keluar dari dalam rumah.

“Semalam aku lupa masukin kerumah Yah, karena masih basah,” jawab Sari.

Robin tidak menjawab, ia melamun lagi dan kembali menatap gelas berisi kopi yang isinya sudah setengah itu.

Mendengar laporan dari istrinya yang bukan hanya sekali dua kali itu membuat Robin akhirnya geram. Ia ingin sekali mencokok dan bila perlu menangkap maling spesialis celana dalam itu dengan tangannya sendiri. Robin ingin sekali membuat orang itu kapok dan berhenti mencuri pakaian dalam milik istrinya.

Lima belas menit berlalu, lamunan Robin dibuyarkan oleh suara laki-laki tua yang lewat di depan rumahnya.

“Wah… Pak Robin pagi-pagi udah melamun aja nih, awas nanti kesambet!” gurau, lelaki tua yang sudah rapi dengan setelan berkebun itu.

“Eh, Pak Demit. Wah rajin sekali, pagi-pagi gini sudah mau nyangkul saja.” Robin menoleh ke arah lelaki itu sambil meletakkan gelas di depan meja.

“Iya, biasalah Pak Robin, lagi banyak kerjaan di ladang, sekalian bantu-bantu karyawan,” ujarnya sambil berjalan perlahan meninggalkan Robin menenteng cangkul di bahu kanannya.

Entah kenapa laki-laki tua itu dipanggil Demit. Mungkin karena badannya yang tambun dan tubuhnya yang tinggi sekira 180 senti dan dua gigi depannya yang maju sedikit ke depan, membuat laki- laki berusia enam puluh tahunan itu akhirnya lebih sering dipanggil Demit.

Memang agak seram kalau dilihat dari kejauhan. Langkah kakinya yang lebar dan suaranya yang menggelegar ketika sedang tertawa membuat Pak Demit sesekali menjadi ancaman bagi sebagian warga. Apalagi kalau semisal di suatu malam, tiba-tiba Pak Demit muncul dari kegelepan, lalu mengagetkan orang yang ada di depannya, sudah pasti orang tersebut akan langsung lari terbirit-birit dan terkencing-kencing di celana, karena mengira orang yang ada di belakangnya itu adalah makhluk astral yang berasal dari dunia lain.

Tapi meski begitu, Pak Demit ini adalah orang yang tak pernah kekurangan uang. Ia adalah seorang Mandor perkebunan kopi dan punya banyak sepetak tanah di kampungnya. Belum lagi sawah-sawah yang kadang tak sempat ia urus, terpaksa ia meminta orang lain untuk mengurusi semuanya, sehingga ia hanya perlu sesekali saja untuk mengontrolnya.

Pantas saja berkat kekayaannya yang melimpah ruah itu, Edoh salahsatu janda bahenol yang ada di kampung sebrang tak butuh waktu lama untuk langsung menerima lamaran Pak Demit untuk menjadi istrinya. Pak Demit yang sudah sekian tahun menduda itu pun akhirnya bisa melampiaskan seluruh hasrat terpendamnya pada Edoh.

Bisa dibilang Pak Demit ini adalah tipe laki-laki yang maniak perempuan. Bahkan di setiap hajatan warga yang menampilkan orkes dangdut lengkap dengan biduan-biduan cantiknya, Pak Demit selalu menjadi laki - laki yang mengalahkan pemuda manapun yang naik ke atas panggung.

Lembar demi lembar uang warna merah yang ada di saku celananya ia aur-aurkan begitu saja di hadapan para biduan yang sedang asyik meliuk-liukkan tubuh bohaynya. Setiap kali Edoh melihat suaminya beraksi seperti itu, ia hanya bisa mengelus dada, lalu mengurung diri di kamar sampai akhirnya ia kembali membuka mulut tiga hari kemudian.

***

Keesokan harinya masih di tempat yang sama dan di jam yang sama, Robin kembali murung. Lamunannya kian menjadi-jadi. Yang biasanya hanya menyeruput kopi, kali ini Robin mulai menyedot dan menghirup batang kertas yang berisi tembakau padat ke dalam mulut dan hidungnya.

Di tengah-tengah lamunannya itu, istrinya kembali menghampirinya.

“Yah, bagaimana kalau rumah kita dipasangi CCTV saja?” Sari bertanya sambil menyodorkan sepiring pisang goreng panas pada suaminya.

“Bunda ini bagaimana, tagihan listrik dan cicilan seragam anak kita aja bulan ini belum lunas, apalagi kalau pasang CCTV. Mahal ah, Bun.” Robin menjawab tanpa menoleh ke istrinya.

“Tapi kalau enggak dipasang, bagaimana kita bisa tahu siapa malingnya, Yah?” Sari menjawab sambil melengos ke dapur.

Robin kembali diam, tidak menjawab. Pisang goreng panas yang ada di hadapannya pun ia biarkan dingin begitu saja.

Lagi - lagi, di tengah-tengah lamunannya itu Pak Demit kembali lewat di depan rumahnya. Tapi kali ini Pak Demit tak sekadar lewat, ia berhenti sejenak tepat di depan gerbang pagar bambu sederhana yang membentengi rumah Robin.

“Pak Robin,” sapa Pak Demit.

“Eh, ada Pak Demit lagi. Sini Pak, mampir ngopi-ngopi dulu.”

Kali ini pakaiannya rapi, Pak Demit lalu duduk di kursi bambu panjang di samping Robin.

“Begini Pak Robin, saya ada perlu sama Pak Robin,” kata Pak Demit.

“Oh iya, ada Perlu apa Pak?” tanya Robin.

“Kayu jendela di kamar saya kan sudah lapuk, kalau bisa saya mau minta tolong sama Pak Robin untuk ganti.”

“Sekalian juga Pak, kalau bisa keramiknya diganti sama yang berwarna. Bagaimana, Pak Robin bisa ngerjainnya?” tanya Pak Demit.

“Wah, dengan senang hati Pak, kebetulan sudah satu minggu ini saya enggak dapat proyek,” jawab Robin semringah.

“Kalau begitu pengerjaannya dimulai besok saja ya, Pak Robin.”

Pak Demit pun pamit pulang sembari mengunyah pisang goreng buatan istri Robin yang sudah dingin.

Mata Robin kembali berbinar, agaknya kini dadanya sudah tidak terasa sesak lagi karena saking terlalu pusing mikirin tagihan listrik dan cicilan seragam anaknya yang sudah jatuh tempo.

***

Pukul tujuh pagi saat ayam jantan sudah berlomba-lomba melengkingkan suara kokok dari paruhnya, Robin sudah tiba di rumah Pak Demit. Seperti biasa, ia membawa peralatan kumplit seperti palu, paku, kapak, linggis dan lain-lain di dalam tas kerjanya. Pak Demit tidak ada di rumah karena sudah lebih dulu berangkat ke ladang. Namun ia sudah berpesan pada Edoh agar menyiapkan cemilan serta hidangan makan siang untuk Robin.

“Pak Robin nanti siang makannya mau sama apa lauknya?” tanya Edoh di depan teras rumahnya.

“Wah Bu, kalau saya mah sama apa saja jadi, yang penting kenyang hehe,” jawab Robin sambil mengeluarkan barang-barang yang ada di tasnya untuk mulai bekerja.

“Yasudah Pak, saya tinggal ke warung dulu ya.”

“Siap Bu.”

Robin mulai bekerja dibantu satu anak buah Pak Demit di rumahnya. Sebenarnya Robin bisa saja mengerjakannya sendiri, karena ia sudah berpengalaman selama dua puluh tahun menjadi tukang. Namun rupanya Pak Demit sedang berbaik hati, sehingga menugaskan anak buah yang biasanya bekerja di perkebunannya untuk membantunya.

Tanpa diduga hanya butuh waktu satu hari saja bagi Robin untuk mengganti kayu jendela kamar Pak Demit yang sudah lapuk itu. Sisanya hanya tinggal mengganti keramik yang sudah usang itu dengan keramik yang berwarna. Itu permintaan Pak Demit tempo hari.

Singkat cerita, Robin selesai mengerjakan apa yang ditugaskan Pak Demit. Hasil kerjaanya memuaskan sehingga Robin mendapatkan bayaran lebih daripada seharusnya. Dikeluarkanlah sejumlah uang dari dalam saku celana Pak Demit.

“Terimakasih ya, Pak Robin sudah membantu saya. Ini diterima uangnya silahkan.”

Robin menghitung uang yang diberikan Pak Demit. Setelah dihitung ternyata ada 25 lembar uang merah yang diterimanya. Sontak saja Robin kaget dan merasa senang bukan kepalang. Tentu saja istri dan anaknya kali ini bisa makan enak sepulang dari rumah Pak Demit.

“Sama-sama Pak Demit. Wah, ini terlalu banyak Pak.”

“Enggak papa Pak Robin, diterima saja ya.”

“Sekali lagi makasih Pak Demit, saya pamit.” Robin tersenyum semringah.

Sesampainya di rumah, Robin langsung saja menyetorkan uang itu ke Sari.

“Ini Bun, Alhamdulillah hasil kerja dua hari di rumah Pak Demit.”

Sari yang baru saja bangkit dari kasur lantai tipis di rumahnya itu langsung terkejut.

“Wah Yah, ini mah bakalan cukup buat bekal kita dua bulan,” jawab Sari sambil melompat-lompat kecil kegirangan.

“Iya Bun, yang penting jangan lupa bayar listrik saja.”

Keduanya lalu mengobrol hal-hal lain ngaler-ngidul ke sana ke mari. Mulai dari tetangga yang baru aja dapat arisan, sodara yang baru beli motor sport baru, sampai tetangga sebelah yang berencana mau pergi umroh. Tapi Robin adalah tipe suami yang selalu menghindari soal gosip. Ia tak pernah mau ambil pusing dengan apapun yang dikatakan istrinya. Hanya menambah beban pikiran saja, pikirnya.

Hingga obrolan keduanya pun sampai di topik tentang Pak Demit.

“Yah, Pak Demit itu sebenarnya baik ya.” Sari memulai obrolan tentang Pak Demit.

“Iya Bun, enggak nyangka juga kemarin Ayah sampai dapat bayaran segede itu.”

“Ya, wajarlah Yah, Pak Demit kan emang orang berduit.”

“Tapi Bun, Pak Demit enggak biasanya kayak gitu ah, tempo hari juga pas temen Ayah yang ngerjain ruang tamunya bayarannya standar-standar aja.”

“Cuman, mukanya aja yang serem, mungkin hatinya baik,” celetuk Sari tiba-tiba.

“Huss! Jangan ngejelekin orang kayak gitu ah, gak baik. Udah ya, Ayah capek mau istirahat dulu.”

Robin langsung bergegas ke kamar, merebahkan tubuhnya yang seharian ini sudah sangat lelah.

***

Seperti biasa Robin memulai pagi dengan segelas kopi di tangan kiri dan sebatang rokok di dua jari tangan kanannya.

Pagi itu Robin tidak murung, kebiasaannya melamun setiap pagi juga sudah mulai berkurang. Kini tagihan listrik sudah lunas, cicilan seragam anaknya pun sudah lunas dibayarkan oleh Sari. Namun sepertinya, masih ada sesuatu yang mengganjal di benaknya. Siapa pelaku yang sering mencuri pakaian dalam milik istrinya itu?

Robin makin intens memikirkan bagaimana caranya supaya ia bisa menemukan pelakunya. Robin ingin sekali ia yang melihat langsung dengan mata kepalanya sendiri siapa sebenarnya maling iseng yang kurang kerjaan itu? Berbagai macam skenario di kepalanya pun bermunculan, hingga keluarlah sebuah ide yang menurutnya cukup ampuh untuk mencokok maling itu.

“Bun, mulai malam nanti Ayah mau ngeronda sampai pagi.” Robin menjelaskan rencana itu pada Sari.

Sari baru keluar dari dalam rumah menghampiri suaminya yang sedang asyik nongkrong.

“Serius, Yah? Perlu Bunda temenin gak?” jawab Sari sambil menyodorkan sepiring makanan yang nampaknya lezat apabila tercium dari aromanya.

Kali ini Sari tidak menggoreng pisang, melainkan roti bakar dengan isian telur lengkap dengan sayur-sayuran di tengahnya.

“Tumben Bun, bikin roti bakar, biasanya juga pisang goreng.” Robin malah fokus pada makanan yang dibawa sari di atas piring.

“Iya Yah, kan uang semalam dari Ayah hasil kerja dari Pak Demit itu Bunda beliin roti aja, biar Ayah gak bosen,” sahut Sari.

“Enggak papa nanti biar Ayah sendiri aja yang ngeronda Bun. Bunda tidur aja sama anak-anak,” kata Robin melanjutkan jawaban yang sempat terpotong oleh roti bakar tadi.

“Tapi hari ini Bunda gak jemur celana dalam Yah, semuanya sudah pada kering.”

“Taruh aja Bun di jemuran. Satu aja yang menurut Bunda sudah jelek.”

“Adanya yang ini Yah, udah robek-robek, warnanya juga sudah kusam,” kata Sari sambil menunjukkan celana dalamnya sendiri. “Tadinya mau Bunda jadikan lap buat angkat wajan di dapur.”

“Gak masalah Bun, gak perlu yang bagus jugalah,” sahut Robin.

Sejak hari itu Robin jadi rajin ngeronda tiap malam.

Memang lucu kedengarannya, di saat tetangga lain ngeronda tiap malam untuk menjaga ayam peliharaan atau kambing-kambingnya dari serangan maling, Robin malah mati-matian ngeronda sampai pagi hanya untuk menjaga celana dalam. Itu pun celana dalam yang sudah kusam dan robek. Yang awalnya berwarna putih bersih, kini sudah berubah kekuning-kuningan.

Tapi demi menunjukan rasa cinta dan sayang pada istrinya, Robin tetap menunaikan tugas itu dengan baik.

Satu hari…. Tiga hari…. Lima hari….. hingga tak terasa sudah dua minggu berlalu Robin tiap malam berjaga dan tidur di depan rumah, di kursi bambu panjang yang biasa ia gunakan nongkrong tiap pagi. Namun hasilnya nihil. Selama masa-masa ngeronda itu Robin tak pernah berhasil menemukan siapa pencurinya.

Robin hampir putus asa, namun Sari selalu mampu membuat Robin kembali bangkit. Sari yakin suatu saat nanti maling itu pasti akan tertangkap, entah secara sengaja atau pun kebetulan. Yang jelas hanya waktu yang bisa menjawabnya.

“Sudahlah Yah, nggak perlu galau gitu, nanti juga pasti ketemu pencurinya.” Sari memberi suntikan semangat pada suaminya yang sedang terlihat kurang semangat.

“Tapi siapa Bun, orangnya? Ayah sudah berjaga dua minggu dua malam tapi tak ada satu pun orang yang mencurigakan yang datang.” Robin menoleh ke istrinya dan kembali menunduk.

“Yang penting kan, Ayah sudah berusaha.”

***

Pagi itu adalah pagi yang entah pagi keberapa, Robin lagi-lagi terlihat murung. Usahanya selama dua minggu dalam mengungkap kasus pencurian celana dalam milik istrinya tak mendatangkan hasil apapun. Ia merasa sangat kecewa terhadap dirinya sendiri.

Robin sempat ingin melapor ke Polsek terdekat, tapi apa daya ia tak punya modal yang cukup dan tidak punya alat bukti yang mendukung untuk bisa membawa masalahnya ke ranah hukum. Apalagi kalau kasus itu semisal lanjut ke meja hijau, dari mana uangnya untuk membayar Lawyer? Ah, sungguh rumit.

Selama ini Robin hanya mengandalkan intuisi dan jadi detektif alakadarnya saja, dengan terus berharap pencurinya segera ditemukan.

Tapi meski suasana hati Robin sedang mendung, awan di hari itu justru malah sangat cerah, sangat berbeda dengan hari-hari sebelumya. Robin tak ingin melewatkan momen indah yang ada di depan matanya begitu saja. Ditataplah langit itu lekat-lekat.

Robin mulai menengadahkan kepalanya keatas, melihat awan demi awan yang berjalan itu dengan sangat serius. Lama sekali. Seolah berharap awan itu memberikan wangsit mengenai langkah-langkah selanjutnya yang perlu dilakukan. Namun Awan itu tetap saja membisu, pikiran Robin kembali berkecamuk.

Ritual menatap awan itu berlangsung selama lima belas menit. Kalau anda melihatnya secara langsung, mungkin anda akan langsung berpikir kalau Robin sudah mulai tidak waras, aneh, dan lain sebagainya. Tapi Robin sangat enjoy sekali melakukan itu tanpa peduli ada yang memperhatikannya atau tidak. Robin kali ini sudah benar-benar putus asa.

Dan tak berapa lama kemudian, perhatian Robin pun teralihkan oleh sekumpulan gadis-gadis kampung yang sedang berkumpul di depan Posyandu yang jaraknya hanya lima puluh meter dari depan rumahnya. Gadis-gadis itu terlihat saling berbisik dan berbicara satu sama lain, seolah-olah ada gosip terbaru yang wajib mereka bagi. Mereka semua terlihat antusias dan serius.

Robin yang biasanya selalu tak peduli soal gosip pun kali ini mulai penasaran dengan apa yang sedang mereka bicarakan. “Ada apa?” gumamnya dalam hati. Tak biasanya Posyandu di depan rumahnya itu tiba-tiba ramai seperti itu. Gadis-gadis itu berdiri melingkar selayaknya orang yang sedang rapat, meski panas matahari sedang terik-teriknya. Mereka tak peduli dan terus melanjutkan obrolan.

“Wah, tumben yang cantik-cantik pada ngumpul di sini,” sela Robin di tengah-tengah obrolan.

“Ah, Pak Robin ngangetin aja nih,” respon salahsatu gadis.

“Kita lagi ngobrol serius nih Pak,” kata gadis yang satu lagi.

“Iya, belakangan ini kita lagi ngerasa resah banget, Pak. Malah kejadiannya baru aja tadi subuh, pas saya lagi mandi di MCK, di belakang tembok yang ada bolongnya itu, tiba-tiba ada orang yang ngintip.” Gadis yang satunya lagi menjelaskan.

“Mbak tahu siapa orangnya?” Robin bertanya penasaran.

“Nah, itu masalahnya Pak, pas dia udah ketahuan, dia buru-buru lari dan saya gak ingat persis seperti apa orangnya. Yang jelas, orang itu pakai masker ninja, Pak.”

Tatapan Robin makin intens kali ini. Bukan karena terpincut oleh kecantikan gadis-gadis yang ada di hadapannya, tapi Robin terpincut oleh cerita yang mereka sampaikan. Robin berpikir, ini bukan gosip murahan yang biasa ia dengar dari istrinya. Bahkan Robin mulai berasumsi, kalau kejadian ini ada kaitannya dengan masalah yang saat ini sedang ia alami.

Pada saat Robin sedang asyik berpikir seperti itu, tiba-tiba saja ada satu gadis yang nyeletuk, “Aku yakin sih, itu Pak Demit orangnya.”

“Iya, aku juga yakin banget. Waktu itu dia lari pakai celana olahraga kepergok sama Ayah aku. Dari langkahnya dan juga dari bentuk tubuhnya aku yakin kalau itu Pak Demit!”

Seperti itulah pengakuan gadis-gadis di siang itu. Tapi Robin adalah tipe orang yang anti menelan informasi mentah-mentah. Ia paling anti berita hoax. Robin baru akan percaya seratus persen kalau ia sudah melihat buktinya dengan mata kepalanya sendiri.

***

Malam kali ini Robin tidak meronda lagi. Ia sudah kadung malas karena sudah tahu hasilnya akan seperti apa. Toh, selama dua minggu capek, ngantuk, susah payah mengorbankan waktu jam tidur, tetap saja hasilnya nihil. Akhirnya ia jadi tak bisa tidur. Semalaman hanya berguling-guling ke sana ke mari saja badannya, namun matanya tetap tidak bisa terpejam.

Tiga jam berlalu… jam dinding kamarnya sudah menunjuk angka dua belas, suasana hening. Namun baru saja Robin akan memejamkan matanya karena rasa kantuk yang sudah menyerang, tiba-tiba suara gaduh terdengar dari luar rumahnya. Robin melihat melalui jendela, ah rupanya hanya suara kucing yang sedang berantem. “Sialan!” umpatnya dalam hati.

Ketika Robin akan menutup gorden jendela kamarnya itu, tak sengaja Robin melihat penampakan aneh yang ada di balik pagar bambu depan rumahnya. Robin melihat penampakan setengah kepala. Matanya terperanjat, Robin melohok ke arah penampakan itu. Adrenalin dalam tubuhnya meningkat. Makhluk apakah itu? Ia bertanya-tanya dalam hati.

Tak berselang lama, kepala itu muncul utuh. Hanya badan, tangan, dan kakinya saja yang tak terlihat karena tertutupi oleh pagar bambu. Matanya agak melotot, dua gigi depannya agak sedikit maju ke depan, dan diatas kepalanya hanya tersisa beberapa helai rambut saja.

Robin kaget bukan kepalang, sekujur tubuhnya tiba-tiba kaku. Badannya gemetar dan tangannya tiba-tiba lemas, seperti orang yang sedang kesurupan. Rupanya itu adalah Pak Demit! Iya benar, itu adalah Pak Demit! Robin memastikannya sekali lagi dengan mata kepalanya sendiri.

Ternyata laki-laki tua itu yang sedari tadi celingak-celinguk bersembunyi di balik pagar bambu rumahnya itu.

Diam-diam Robin memerhatikan dari balik jendela kamarnya. Setelah celingak-celinguk beberapa saat, Pak Demit mulai memasuki depan teras rumah. Dari gelagatnya sudah kelihatan, ada sesutu yang sedang diincar oleh Pak Demit.

Pak Demit berjalan membungkuk ke arah rak jemuran yang ada di samping kanan beranda rumah Robin. Ketika Pak Demit akan mengambil sesuatu, “Ehemmmmm!” Robin mendeham. Karena mungkin panik setelah mendengar suara itu, Pak Demit pun kabur sembari menenteng sepasang sandal di kedua tangannya.

Hanya malam itu yang mungkin malam yang paling mencekam yang dirasakan langsung oleh Robin. Bulu kuduknya merinding, sudah seperti ketemu setan sungguhan saja. Bahkan yang ini lebih seram dari setan. Perasaan Robin bercampur aduk, ia harus tidur setelah mengalami peristiwa buruk malam itu.

***

Malam berganti lagi dengan pagi. Sudah tak perlu diceritakan lagi bagaimana kebiasaan Robin setiap pagi. Karena sudah pasti seperti itu kegiatan yang selalu ia lakukan.

Tapi kali ini beban di dadanya sudah mulai agak berkurang. Ia tak perlu harus bergadang meronda sampai dua minggu lagi untuk menemukan pelakunya. Ia sudah melihat dengan mata kepalanya sendiri.

Sari yang sedang menyapu di teras depan rumahnya pagi itu buru-buru menoleh ke arah suaminya. Ia melihat seperti ada hal janggal pada suaminya pagi ini.

“Yah, kenapa kok muka Ayah pagi ini pucat banget?” tanya Sari.

“Semalam Ayah liat pelakunya Bun, sekarang Ayah sudah tahu siapa pelakunya!”

“Hah, serius Yah? Gimana ciri-ciri orangnya?” Sari kembali bertanya penasaran.

“Dia ternyata orang yang pernah berbuat baik sama kita, Bun.”

“Maksud Ayah, Pak Demit?”

Robin mengangguk dan ia sudah malas menceritakan bagaimana kronolgis terpergoknya Pak Demit malam itu. Kejadian itu masih terus terngiang-ngiang di kepala Robin hingga hari ini. Robin masih tak percaya kalau pelakunya ternyata adalah Pak Demit.

“Sepertinya Ayah akan buat perhitungan pada dia, Bun!” kata Robin pada istrinya sambil mengepalkan dua tangannya kuat-kuat. Raut mukanya memerah.

“Perhitungan gimana maksud Ayah?” Sari masih belum mengerti maksud ucapan suaminya.

“Besok jam empat pagi Ayah akan pergi ke kota sebelah. Ayah akan temui orang pintar di sana yang katanya tak pernah gagal dalam mencabut nyawa seseorang!” Robin tak bisa menahan amarahnya yang kian memuncak.

“Ah, sudah seperti Malaikat saja, Yah.”

“Mungkin hanya dengan cara ini Ayah bisa melindungi martabat Bunda!”

“Tapi Yah, uangnya dari mana? Kalau kita pakai jasa-jasa seperti itu kan, pasti mahal.”

“Uang gajian Ayah tiga minggu yang lalu itu masih ada kan, Bun?”

“Hmmm, ada sih Yah, palingan cuma cukup buat dua minggu ke depan,” sahut Sari tampak keberatan.

Robin tetap dalam pendiriannya. Berbekal sisa uang dari istrinya itu ia nekat pergi ke kota sebelah yang jaraknya empat puluh kilo dari kampunya. Tak masalah, pikirnya. Yang penting masalah yang selama ini membebani pikirannya itu segera sirna. Robin ingin hidup tenang.

Karena Robin sadar, tak mungkin ia berkonflik langsung secara terbuka dengan Pak Demit. Secara postur fisik saja Robin sudah kalah. Bagaiamana mungkin tubuhnya yang hanya berbobot 55 kilo itu bisa menjungkalkan Pak Demit yang tinggi besar. Belum lagi wajahnya yang sangat mengintimidasi seperti itu membuat Robin semakin ketakutan.

Pun kalau semisal ia harus berkonflik di meja hijau, sudah pasti Pak Demit lebih unggul. Ia pasti mampu membeli Lawyer dan Jaksa manapun yang ia inginkan. Robin pasti tidak akan menang. Head to head ini tidak seimbang dan sudah pasti lebih merugikan Robin sendiri.

Sesampainya di kota yang dituju dan bertemu dengan orang pintar itu, tanpa basa-basi Robin langsung mengutarakan niatnya untuk mengirim Pak Demit ke neraka!

“Pak Dukun, kata orang-orang, Anda ini sakti mandra guna. Saya mohon dengan sangat agar Anda membantu saya melenyapkan orang ini!” pinta Robin serius pada dukun itu sambil menunjukkan foto Pak Demit.

“Ini orangnya?” tanya si dukun sambil melihat foto yang diberikan Robin.

“Betul, Pak Dukun.”

“Ini malah lebih seram dari Jin-jin pelirahaan saya Pak,“ kata si dukun.

“Bagaimana, Pak Dukun bisa melakukannya? Saya sudah jauh-jauh datang ke sini Pak, jangan buat saya kecewa!” Robin merengek.

“Baiklah kalau begitu, saya akan lakukan. Prosesnya dua hari ya Pak,” kata si dukun sambil menyiapkan menyan dalam wadah kayu kotak di depan meja kerjanya.

“Enggak bisa dipercepat, Pak? Saya pengen dia segera lenyap! Kalau bisa hari ini juga!”

“Wah, enggak bisa Pak, beberpa jin andalan saya ada yang lagi cuti. Kalau mau dipercepat, biayanya nambah jadi dua kali lipat Pak,” ujar si dukun.

Asap mulai mengepul, putih tebal sekali. Bau kemenyan pun tercium dari seisi ruangan.

Robin yang sudah tidak punya uang lagi akhirnya mau tidak mau harus mengikuti prosedur dukun sakti itu. Yasudahlah, pikirnya. Yang terpenting perjuangannya jauh-jauh melintasi kota selama berjam-jam demi menuntaskan amarahnya itu tidak sia-sia.

***

Dua hari berlalu…. Warga seisi kampung geger dengan kematian Pak Demit yang mendadak sekali. Di dalam tubuhnya ditemukan sejumlah benda-benda aneh. Entah paku atau kawat, yang jelas benda itu membuat Pak Demit mengerang kesakitan sejak malam. Ia muntah-muntah darah, panas dingin, lalu satu persatu benda-benda aneh itu keluar dari tubuh melalui mulutnya.

Akhirnya sejak pagi itu Pak Demit memejamkan mata untuk selama-lamanya dan meninggalkan Edoh yang kini kembali menjanda. Air matanya tak terbendung. Ia tak menyangka suaminya akan mati dengan cara mengenaskan seperti itu. Bahkan sesaat sebelum akhirnya Pak Demit akan dikebumikan, Edoh tiba-tiba tersungkur jatuh, lalu tak sadarkan diri.

Pagi itu Robin tak ikut melayat, meski ia sebenarnya tahu kalau Pak Demit kini telah tiada. Bersamaan dengan kematian Pak Demit, keresahan yang membelenggu hati dan pikirannya itu pun akhirnya lenyap.

Namun aneh, senyum semringah tak terlihat dari wajah Robin meski ia sudah berhasil melenyapkan Pak Demit. Kali ini yang ada di pikiran Robin adalah tinggal bagaimana ia bisa membayar tagihan listrik dan juga biaya kelulusan sekolah anaknya bulan depan.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar