Disukai
0
Dilihat
38
Kena Batunya
Slice of Life
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Langit sore menguning ketika Fandi memasuki lobi hotel mewah itu dengan senyuman lebar. Dengan wajah penuh percaya diri, ia menyapa resepsionis seperti biasa, “Kamar 305 sudah siap?”

Perempuan di belakang meja menyodorkan kunci elektronik, “Sudah, Pak Fandi. Seperti biasa.”

Ia mengambil kunci itu dengan anggukan kecil. Dalam sekejap, Fandi menghilang menuju lift, otaknya berputar-putar dengan rencana pertemuannya nanti malam. Malam itu istimewa. Dina, perempuan yang baru dua bulan dikenalnya lewat media sosial, akan datang. Fandi sudah terbiasa dengan skenario semacam ini. Sejak dulu, ia selalu memiliki selera untuk merayu perempuan-perempuan cantik, bermain di belakang layar, dan meninggalkan mereka saat sudah puas.

Namun, kali ini ada yang berbeda. Sesuatu tentang Dina membuatnya lebih berhati-hati. Dia tidak seperti perempuan-perempuan lain yang gampang ditaklukkan oleh kata-kata manis. Dina, dengan pesonanya yang misterius, adalah tantangan baru bagi Fandi.

Sesampainya di kamar, Fandi membuka pintu dan segera merapikan tempat tidur serta mematut diri di depan cermin besar di dinding. 

“Sempurna,” gumamnya, puas dengan penampilannya yang rapi dan elegan.

Lima belas menit kemudian, ketukan halus terdengar di pintu. Fandi bergegas membukanya, dan di balik pintu, berdiri Dina dengan senyuman lembut di bibirnya.

“Maaf menunggu lama?” Tanya Dina dengan nada sedikit menggoda.

“Tidak sama sekali,” jawab Fandi, membukakan pintu lebih lebar dan mempersilakan Dina masuk. Matanya menyapu tubuh Dina yang mengenakan gaun merah dengan potongan yang cukup berani.

Mereka duduk di sofa, berbincang sebentar tentang hal-hal ringan. Fandi tahu, ia harus bersabar, menarik perempuan ini lebih dekat sebelum akhirnya memulai permainan yang sesungguhnya.

“Dina, kau sungguh berbeda dari yang lain,” kata Fandi sambil menggenggam tangan Dina lembut.

Dina tertawa kecil, “Kau terlalu banyak memuji, Fandi.”

Namun, sebelum Fandi sempat berkata lebih jauh, ponselnya bergetar di dalam saku. Ia melirik sekilas, wajahnya berubah tegang. Nama istrinya, Maya, muncul di layar. Dengan cepat ia mematikan panggilan itu, meletakkan ponsel di meja, dan kembali tersenyum pada Dina, mencoba menyembunyikan kegelisahannya.

“Telepon penting?” Tanya Dina, melihat perubahan ekspresi Fandi.

“Ah, tidak. Hanya rekan kerja,” Fandi menjawab cepat, “Jangan khawatir, malam ini milik kita.”

Dina mengangguk, tapi ada sesuatu di matanya yang membuat Fandi tidak nyaman. Seolah-olah dia tahu sesuatu yang seharusnya tidak diketahuinya. Namun, Fandi mengabaikan firasat itu, meyakinkan dirinya bahwa malam ini akan berjalan seperti rencana.

---

Beberapa jam berlalu, percakapan semakin mendalam, dan Dina akhirnya bersandar di bahu Fandi. Ketika suasana semakin intim, ketukan keras terdengar di pintu kamar. Fandi melompat dari sofa, terkejut.

“Siapa itu?” Dina bertanya dengan nada penasaran.

Fandi berjalan menuju pintu, sambil berusaha menenangkan dirinya. Mungkin hanya layanan kamar, pikirnya. Namun ketika pintu terbuka, wajahnya seketika pucat. Di sana, berdiri Maya, istrinya, dengan wajah marah dan mata yang berkobar penuh kebencian. Entah bagaimana cara Maya bisa mengetahui Fandi, sang suami, sedang asyik dengan perempuan lain di kamar tersebut.

“Kau!” Seru Maya dengan suara tinggi, “Apa kau pikir aku tidak akan bisa menemukanmu?”

Fandi terdiam, jantungnya berdetak kencang. Dina berdiri di belakangnya dengan wajah tampak bingung, tapi ada secercah senyum di sudut bibirnya yang tidak bisa dijelaskan.

“Ma-ma-maafkan aku, Maya. Ini tidak seperti yang kau pikirkan,” Fandi mencoba merangkai kata-kata, tapi suaranya terdengar begitu lemah.

Maya masuk ke dalam kamar tanpa diundang, menatap Dina dengan tajam, “Dan kau! Apa kau tahu siapa dia? Dia suamiku!”

Dina hanya tersenyum tipis dan berkata, “Aku tahu. Lebih dari yang kau kira, Maya.”

Maya tampak kebingungan, “Apa maksudmu?”

Dina melangkah maju, menatap Fandi dengan penuh arti, “Aku bukan perempuan bodoh yang kau kira, Fandi. Aku sudah tahu tentang istrimu sejak awal. Aku tahu semua perempuan lain yang sudah kau tiduri. Tapi aku tidak peduli.”

Fandi mundur, tak percaya dengan apa yang didengarnya, “Kau... Kau sudah tahu?”

Dina mengangguk pelan, “Ya, dan aku datang bukan untuk menjadi bagian dari permainanmu. Aku datang untuk mengakhirinya.”

Sebelum Fandi sempat merespons, pintu kamar terbuka lagi dengan suara keras. Kali ini, dua pria berpakaian rapi masuk, wajah mereka tegang. Mereka mendekati Dina dengan hormat, “Nona Dina, semuanya sudah siap,” salah satu dari mereka berkata.

Maya, yang masih kebingungan, melihat kedua pria itu dengan cemas, “Siapa mereka?”

Dina melangkah maju, tangannya bermain dengan gelang emas di pergelangan tangannya, “Oh, ini suami-suami Fandi yang lain,” ucap Dina dengan nada dingin yang membuat ruangan seakan membeku.

Fandi membeku di tempat, “Suami-suami? Apa maksudmu?”

Dina tertawa kecil, dingin, “Kau tidak menyadari, Fandi? Kau bukan satu-satunya yang bisa bermain permainan ini. Aku sudah menikah berkali-kali, dan semua suamiku sudah mengetahui siapa dirimu. Kau akan bergabung dengan mereka, dengan satu perbedaan: Kau tidak akan bisa melarikan diri kali ini.”

Pria-pria itu mendekati Fandi dan memegang kedua lengannya. Dia meronta, tapi mereka terlalu kuat, "Lepaskan aku! Maya, tolong aku!"

Namun, Maya hanya berdiri diam, tidak tahu harus berbuat apa. Dina berjalan mendekat, menatap Fandi dengan mata yang berkilat.

"Kau pikir bisa bermain-main dengan perasaan orang lain tanpa konsekuensi? Aku sudah bertemu banyak pria sepertimu, dan semuanya berakhir sama."

Dina mengeluarkan sebuah cincin dari tasnya, cincin yang tidak pernah dilihat Fandi sebelumnya, "Ini adalah simbol dari semua pernikahanku. Kau akan memakai cincin ini, Fandi, dan dengan itu, kau akan menjadi bagian dari permainanku."

---

Fandi akhirnya terjerat dalam jaring yang tak pernah dibayangkannya. Dina adalah wanita yang jauh lebih licik daripada dirinya. Dalam beberapa minggu ke depan, hidup Fandi berubah menjadi mimpi buruk. Dina, yang sebenarnya seorang wanita kaya raya dengan kekuatan besar, menggunakan pengaruh dan koneksinya untuk menghancurkan hidup Fandi. Karirnya sedikit demi sedikit hancur, rumah tangganya dengan Maya pun berakhir di pengadilan.

Namun, itu bukan akhir dari segalanya. Fandi masih tidak tahu bahwa permainan Dina belum selesai. Setiap kali ia berusaha memulai hidup baru, selalu ada sesuatu yang datang menghancurkannya. Seperti bayangan, Dina selalu berada di belakang, memastikan bahwa Fandi tidak akan pernah lepas dari cengkeramannya.

Hingga suatu malam, di saat ia berpikir telah berhasil melarikan diri, Fandi menerima panggilan telepon dari nomor yang tak dikenalnya.

"Selamat malam, Fandi," suara di ujung telepon itu dingin dan tenang. Suara yang sangat ia kenal—suara Dina.

"Kau pikir kau bisa lari dariku? Permainan ini baru saja dimulai."

Fandi berusaha menenangkan dirinya, tapi hatinya tak bisa berhenti berdegup kencang. Seluruh tubuhnya terasa gemetar. Dina kini menguasai hidupnya. Bahkan, setiap kali ia melangkah keluar rumah, ia merasa sedang diawasi.

Dalam minggu-minggu berikutnya, Fandi mendapati dirinya terjebak lebih dalam. Setiap gerakan yang ia lakukan, setiap kesempatan untuk memulai kembali, dihancurkan oleh Dina. Suara ketukan di pintunya kini menjadi hal biasa, dan setiap panggilan telepon membawa ancaman mengusik rasa aman yang semakin rapuh.

Suatu hari, ketika Fandi sedang duduk di apartemen kecilnya yang kumuh—setelah menjual rumah mewahnya akibat tekanan finansial—ia mendengar ketukan yang lain. Bukan ketukan biasa, tapi suara yang terlalu akrab. Dengan tangan gemetar, ia membuka pintu, dan di sana, berdiri seseorang yang tak pernah ia duga akan datang: Dina.

“Permainan belum berakhir, Fandi,” kata Dina dengan senyum dingin, “Kau akan terus bermain, sampai aku puas.”

Fandi mundur, lututnya melemas. Dina melangkah masuk, mengambil kendali atas hidupnya sepenuhnya. Tak ada tempat untuk bersembunyi, tak ada cara untuk melarikan diri dari bayangan yang terus menghantuinya.

–TAMAT–

Pesan moral dari cerita ini adalah:

1. Perbuatan buruk akan selalu membawa konsekuensi: Fandi, yang terbiasa berselingkuh dan mempermainkan hati wanita, akhirnya mendapatkan balasan dari perbuatannya. Tidak peduli seberapa pintar seseorang mencoba menyembunyikan keburukan, pada akhirnya perbuatan tersebut akan terungkap dan membawa dampak yang menghancurkan.

2. Hidup penuh tanggung jawab: Mempermainkan perasaan orang lain, terutama dalam hubungan, bukanlah tindakan yang bisa dilakukan tanpa konsekuensi. Cerita ini mengajarkan bahwa kita harus bertanggung jawab atas tindakan dan pilihan kita dalam hidup, terutama terkait dengan hubungan yang melibatkan perasaan orang lain.

3. Karma dan keadilan selalu datang pada akhirnya: Dalam cerita ini, Dina mewakili karma yang akhirnya menghampiri Fandi. Meskipun awalnya tampak seolah Fandi bisa lolos dari perbuatannya, karma datang dalam wujud yang tidak terduga dan menghancurkan hidupnya. Ini mengingatkan bahwa keadilan, meskipun terlambat, akan selalu terwujud.

4. Kejujuran adalah fondasi dari hubungan yang sehat: Fandi tidak jujur dalam pernikahannya dengan Maya dan banyak perempuan lainnya. Akhirnya, kebohongan dan pengkhianatan tersebut merusak hidupnya. Kejujuran adalah kunci dalam membangun hubungan yang kuat dan penuh kepercayaan.

5. Manipulasi tidak pernah berujung baik: Baik Fandi maupun Dina menggunakan manipulasi dalam hubungan mereka, dan pada akhirnya, keduanya terjebak dalam lingkaran ketidakbahagiaan. Ini mengajarkan bahwa memanipulasi orang lain hanya akan membawa kehancuran bagi semua pihak yang terlibat.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Slice of Life
Rekomendasi