Disukai
0
Dilihat
67
Keluarga, Tempat Pulang
Drama
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Yang paling menyenangkan dari waktu menjelang Maghrib adalah menyaksikan matahari terbenam, melihat bagaimana gelap datang disambut dengan sunyi yang menenangkan.

"Kebiasaan, kalau Maghrib itu masuk ke dalam, bukannya duduk disini menyambut angin dan menantikan sakit," aku terkekeh mendengar kalimat ibu yang dipaksakan menjadi puisi itu. Perempuan panutan yang menjadi alasan aku masih bisa tertawa dengan lepas, yaitu ketika melihatnya masih tegak berdiri.

"Senja itu indah, maka dari itu, aku rela menanti sakit yang dibawa angin demi menemani matahari itu pergi." Ibu yang sudah duduk di sampingku tersenyum lagi. "Seorang puitis yang hidupnya stetik, tidak akan pernah kehabisan kata-kata, tapi demi puisi-puisi dan demi cerita-cerita yang belum terselesaikan naskahnya masih berserakan di kamar kamu, tolong rawat diri agar tetap sehat." Ibu berdiri dan hendak meninggalkan aku setelah pesannya diutarakan.

"Ibu, tunggu,"aku menahannya agar tetap duduk. "Bu, kenapa sih Anum didukung untuk jadi penulis? Bukannya kata orang jadi penulis itu gak punya masa depan ya, dan kenapa ibu gak nuntut Anum mengikuti jejak kak Zilmi jadi dokter?" Ibu memperbaiki posisi duduknya dan mulai menatapku.

"Kamu serius kan mau jadi penulis?" Bukannya menjawab pertanyaan, ibu malah menyuguhkan pertanyaan balik padaku. Aku mengangguk antusias, menjadi penulis yang karyanya bisa dibaca banyak orang adalah cita-citaku dari dulu.

"Itu sudah menjawab semuanya. Ayah dan ibu tidak akan pernah memberatkan dan memaksakan kamu dan kakak kamu Zilmi untuk menjadi apa kedepannya. Tanggung jawab kami hanya mendukung dan memfasilitasi. Soal mau menjadi apa, itu adalah pilihan kalian. Jangan keseringan dengerin omongan orang, nanti cerita yang ditulis gak tamat-tamat loh gara-gara konflik cerita kamu bercampur sama konflik mereka."aku terkekeh mendengar jawaban ibuku yang selalu tidak menghakimi itu.

"Tapi kalau jatuh cinta dan pacaran boleh,gak?" Ibu benar-benar berdiri untuk melangkah. Sebelum pertanyaanku dibantai oleh jawabannya yang selalu sarkas soal pertanyaan sama yang selalu kutanyakan.

"Boleh kalau lima buku karya kamu sendiri sudah terpajang di Gramedia."

"Syaratnya gitu amat,sih,"aku menyangkal syarat yang terdengar menggetarkan.

"Kamu tahu kan, Ibu dan Ayah gak akan izinin kamu pacaran. Itu membuang-buang waktu doang, lagian, sebesar apa pun niat kamu punya karya dan selalu belajar, itu gak akan maksimal kalau dibarengi dengan hal seperti itu. Ingat, nak. Ilmu dan maksiat tidak akan pernah bisa berdampingan." 

"Waktu Maghrib hampir habis. Masuk ke dalam rumah, lalu salat dan tutup semua jendela" Ibu pergi setelah mengakhiri sesi menasehati selesai. Aku mengikuti perintah ibu lalu meninggalkan tempat duduk ku.

Aku heran kenapa Ibu dan Ayah melarang aku dan kak Zilmi pacaran, padahal itu adalah hal lumrah yang banyak sekali aku temui, bahkan sesuatu yang kusaksikan setiap sudut kota Jakarta ini. Bukannya jika aku melakukan hal yang sama, Ayah tidak perlu repot-repot menjemput dan mengantar aku sekolah. Dia bisa berada di toko seharian.

Aku berjalan menuju gerbang sekolah setelah jam pelajaran terakhir selesai. Tentang keinginanku yang selalu ingin kuwujudkan itu, aku harus menguburkannya dalam-dalam. Jangankan mencari orang lain untuk mengantarkan pulang, aku selalu melihat lebih dulu mobil Ayah saat aku akan pulang sekolah. Dia selalu datang bahkan sebelum pelajaran terakhir selesai.

"Ayah ke butik Ibu dulu,ya. Tadi Ayah dikirimkan pesan untuk menjemput ibu,"aku mengangguk mengiyakan. Setelah mengantarkan aku sampai ke rumah, Ayah pergi untuk menjemput ibu. Biasanya mereka akan menjemputku di sekolah bersama-sama, tapi hari ini Ayah sendirian. Mungkin di butik lagi banyak pelanggan.

Aku masuk ke dalam rumah dengan mengucapkan salam. Sengaja tidak kukeraskan suaraku karena memang di rumah tidak ada orang, tapi salam itu wajib ku ucapkan. 

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatu." Jawaban itu terdengar lirih ditelingaku, dan pemiliknya tidak asing lagi kudengar.

Aku menyimpan sepatuku lalu menghampiri pemilik suara itu.

"Ibu, udah ada disini ternyata, bentar, aku mau hubungin Ayah dan memberitahu kalau ibu sudah ada di rumah dan Ayah bisa kembali,"aku membuka ransel yang menyimpan handphone ku disana.

"Tidak usah, ibu sudah menghubunginya." Ada yang aneh dan berubah dari ibu, dia terlihat marah dan suaranya dingin sekali di telingaku.

Aku berjalan menghampiri ibu, "Ibu kenapa?"tanyaku sambil mencium tangannya. Ibu tetap saja dengan ekspresinya. Tidak seperti biasanya, senyum khas Ibu tidak kudapati hari ini.

"Jangan tanya tentang ibu, tapi jelaskan tentang ini." Sebuah Poto disuguhkan padaku dari handphone ibu, bahkan sebelum aku duduk. Saat melihat itu, sekarang aku sadar kenapa ibu berbeda hari ini. Poto yang ditunjukkan adalah Poto aku dan Rafiq saat aku dan dia sedang berada di taman, berdua saja dan itu seminggu yang lalu. 

"Ibu, itu Rafiq, ketua kelas Anum." 

"Ketua kelas, jalan berduaan dan bolos les?" Itu bukan pertanyaan, tapi pernyataan yang seratus persen benar.

"Itu tidak seperti yang ibu katakan,"aku menyangkal kalimat ibu.

"Kalau tidak seperti yang Ibu katakan, coba jelaskan sebenarnya," aku diam, apa yang akan aku jelaskan jika yang dikatakan Ibu itu benar adanya, aku bolos less dan pergi bersama Rafiq.

"Tidak bisa menjelaskan,kan?"aku menunduk ketakutan. Baru kali ini aku melihat ibu murka seperti ini. Meski nada bicaranya masih tenang, kurasa ibu sudah marah besar padaku.

"Kenapa bolos dan memilih jalan sama Rafiq? Ibu tidak suka dan kamu tahu itu." Karena tidak mengatakan apa pun, Ibu kembali memarahiku dengan nadanya yang sudah naik.

"Kenapa Anum tidak bisa melakukan itu, dan kenapa yang Ibu tidak sukai harus Anum laksanakan juga? Anum juga mau merasakan apa yang orang lain rasakan, Anum ingin jalan bersama orang yang Anum suka,Ibu." Meski belum berani menatap, aku sudah mengutarakan pikiranku. Aku ingin tahu jawaban Ibu atas larangannya selama ini.

Posisi aku dan Ibu sekarang sama, dia berdiri setelah mendengar kalimat yang kuutarakan. "Ibu gak pernah menuntut kamu untuk jadi apa, Ibu tidak pernah meminta kamu jadi siapa-siapa, Ibu hanya meminta kamu untuk nurut satu perintah Ibu, jangan pacaran." 

"Ibu selalu melarang Anum untuk melakukan itu, tapi Ibu gak pernah menjelaskan alasannya."

"Karena itu gak baik untuk kamu,Anum." Suara Ibu terdengar gemetar.

"Ibu hanya bilang itu gak baik untuk Anum, tapi pernah tidak bertanya sama Anum tentang keinginan itu. Anum juga ingin seperti teman-teman Anum,Ibu. Bisa merasakan dan menikmati masa-masa remajanya dengan perasaan seperti itu, dan tidak ada larangan. Seharusnya Ibu mengerti karena Anum yakin Ibu pernah melewati masa remaja seperti Anum." Kalimat panjang yang kuutarakan dengan nada memberontak, berhasil membuat amarah Ibu semakin menjadi, karena kalimat yang diucapkannya setelah itu, membuat ku paham segalanya.

"Stop Anum, stop kamu menyinggung tentang masa remaja Ibu. Kamu tidak paham, karena kamu tidak pernah mau paham tentang larangan Ibu dan Ayah." Ibu resmi mengeluarkan air mata dari suara gemetar nya.

"Kamu pernah berpikir kenapa umur Ayah, Ibu, dan Zilmi bedanya hanya delapan belas tahun? Kamu pernah bertanya sama Ayah dan Ibu kenapa hanya lulusan SMA saja? Kamu pernah mencari tahu tentang keluarga Ayah,Ibu, tentang nenek kakek kamu yang tidak pernah kamu temui? Kamu pernah tanya tentang masalalu Ibu dan Ayah? Tidak tahu,kan? Karena kamu tidak pernah mau tau" aku menunduk, tidak tahu bagaimana ekspresi Ibu saat ini, tapi aku bisa mendengar suaranya dan mengatakan bahwa Ibu sedang marah. Aku memang tidak pernah bertanya tentang yang dikatakan ibu, kukira selama ini semuanya baik-baik saja.

"Ibu melarang kamu dan Zilmi pacaran karena Ibu pernah ada di posisi kamu, posisi remaja yang mencintai sampai jatuh cinta itu membawa petaka bagi Ayah dan Ibu. Ayah dan Ibu saat SMA begitu dekat, sampai kami melakukan hal yang seharusnya tidak dilakukan, dan akhirnya apa, kami menanggung semuanya. Kami diusir dari keluarga, dan dituntut hidup mandiri saat lulus SMA."

"Kamu juga tidak pernah kan bertanya kenapa Ibu selalu menyuruh kamu untuk bercerita apa pun sama keluarga, menyuruh Ayah pulang saat kamu sudah pulang sekolah? Itu semua agar kamu tidak pernah merasa kehilangan kasih sayang orang tua, supaya kamu tidak mencari orang lain untuk dimintai kasih sayang seperti Ayah dan Ibu lakukan dulu."

"Ibu tidak mau hal yang sama terjadi sama kamu dan Zilmi seperti yang Ibu dan Ayah rasakan. Umur delapan belas tahun harus dituntut jadi orang tua, terpaksa mengubur segala cita-cita. Banting tulang sana sini agar bisa menghidupi keluarga, itu yang Ayahmu lakukan, sedangkan Ibu, harus terbiasa dengan air mata. Sampai sekarang pun, tidak ada yang mencari kami sebagai anaknya, mereka menganggap kami aib sampai harus dibuang seperti ini."

"Ibu tidak mau kamu merasakan apa yang Ibu rasakan,nak." Ibuku luruh dan terduduk. Mengetahui itu, aku terdiam. Trauma Ibu besar sekali. 

"Ibu"aku memanggilnya. Aku salah, aku sangat salah telah membuat Ibu kembali mengingat masa kelamnya. Aku ikut menangis, menyesali telah membuat Ibu sesenggukan seperti itu. Aku melangkah.

"Maaf, Ayah lama karena ban..."kalimat Ayah tertahan melihat kondisi Ibu, sekaligus langkahku tertahan karena Ayah segera menghampiri Ibu dengan kecemasan.

"Ayah,Maaf."

"Kamu ke kamar dulu, Ayah bawa Ibu istirahat dulu." Dua kalimat lirih tadi yang kuutarakan, dibalas Ayah dengan begitu.

Dengan sangat merasa bersalah aku mengikuti perintah Ayah. Perasaan bersalah itu terus menghantuiku tanpa mau menyelesaikannya. Dari sore hari sejak aku dan Ibu berselisih hebat, sampai pagi hari ini aku sama sekali belum menemuinya. Aku sangat merasa bersalah pada Ibu, aku egois rasanya telah membuat Ibu menangis seperti kemarin.

Pagi ini harus kulalui, aku tidak akan ke sekolah sebelum menemui Ibu dan meminta maaf padanya.

"Sarapan dulu." Kalimat itu menahanku ketika menuruni tangga.

Aku duduk di meja makan dan Ayah sudah lebih dulu duduk disana. Ibu datang dan menyuguhkan nasi goreng sebagai menu sarapan hari ini. Sosok Ibu itu hebat sekali, wanita yang tidak pernah menaruh dendam pada anaknya sekali pun kesalahan yang diperbuat banyak sekali.

"Ibu, Anum minta maaf. Anum tidak akan bolos lagi dan akan menuruti apa yang Ibu perintahkan." Kami semua duduk dan aku memegang tangan Ibuku.

"Ayah dan Ibu terlalu keras sama peraturan tentang perasaan, kami minta maaf tentang itu. Ibu hanya tidak ingin hal yang Ibu dan Ayah rasakan harus kamu rasakan juga. Tidak salah tentang rasa itu, tapi jika kamu berada di dalamnya, tolong jaga diri baik-baik" seperti biasa, Ibu dengan kalimat nasehatnya tidak akan pernah gagal.

"Anum cukup mencintai Ibu, Ayah, dan kak Zilmi. Itu yang harus Anum lakukan. Kalau sudah punya lima Karya di Gramedia, mungkin bisa dipertimbangkan," Ibu terkekeh ketika aku mengulang kalimatnya.

"Benar ya, perempuan itu tidak akan pernah kehabisan kata-kata" Ayah nimbrung dengan kalimat singkatnya, dia irit bicara sekali.

"Sore nanti kakak kamu akan datang, proses pendidikannya sudah selesai. Dia akan resmi jadi dokter. Kita akan adakan acara kecil-kecilan. Ayah dan Ibu akan ajak karyawan butik dan toko."

"Yey.. kak Zilmi datang, siap,Bu. Anum akan segera membantu saat datang sekolah." Aku pamitan dan berangkat sekolah, seperti biasa Ayah yang mengantarkan ku. 

Tentang masalah aku dan Ibu, selesai tanpa dibumbui pertengkaran. Ibu hatinya sangat lapang sekali, dia bahkan tidak menyinggung apa pun karena hatinya telah kulukai. Hati Ayah dan Ibu adalah hati yang harus selalu kutautkan dengan perasaanku, tidak mencari dari siapa pun termasuk yang diinginkan perasaan.

Aku percaya, yang Ibu larang adalah keburukan, sehingga aku harus belajar menerima semuanya.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar