Disukai
2
Dilihat
556
Keluarga Besar Kecil
Drama

Akhirnya, setelah sebulan menjalankan ibadah puasa, kita semua telah sampai di hari kemenangan. WAKTUNYA LEBARAN!!!

Seperti kebiasaan tiap lebaran, kami sekeluarga akan berkumpul di rumah Nenek dari sisi Bapak selepas Sholat Ied. Semua anak dan cucu nenek akan berkumpul untuk saling bermaaf-maafan. Namun lebaran kali ini sangat berbeda untuk aku dan Ibu. Kami kehilangan pemimpin kami, Bapakku, yang meninggal hampir setahun yang lalu.

Aku dan Ibu memutuskan untuk pulang sebentar ke rumah, karena Ibu ingin mengambil opor ayam yang semalam dimasaknya agar bisa dihidangkan saat di rumah Nenek nanti. Serasa tidak cukup menghabiskan semalaman di rumah Nenek memasak hidangan lain. Mungkin karena keluarga kami kedatangan anak kedua nenek yang sudah lama tinggal di luar negeri, makanya Ibu merasa perlu berusaha sekeras ini.

Aku memperhatikan Ibu keluar dari rumah, jalannya terbata-bara membawa wadah berukuran besar berwarna merah jambu di tangan kanannya. "Opornya dibawa semua?" tanyaku sementara menunggu di atas motor.

"Ibu udah simpen beberapa buat kamu," jawab Ibu singkat sembari naik di bagian jok belakang motor.

"Buat Ibu?"

"Gak usah. Yang penting ada buat kamu. Ibu udah bosen makan ayam."

Aku hanya mengangguk saja. Lalu mulai kujalankan motor bututku—motor yang sudah menemaniku selama kurang lebih dua belas tahun belakangan.

Jarak rumah Nenek tak begitu jauh dari rumahku. Hanya perlu berjalan di jalan tengah kota untuk beberapa menit; belok ke gang; beberapa kelokan; lalu bertemu dengan persawahan warga; kemudian sampai di sebuah jalanan terpencil.

Aku harusnya sudah terbiasa dengan jalan terpencil ini karena hampir tiap minggu aku datang untuk membawa makanan yang Ibu titip untuk diberi ke Nenek. Kebetulan Ibu menjual nasi kuning, sudah terkenal di sekitar rumah. Tapi pagi ini mungkin ujian pertama kami. Ban motorku pecah karena menginjak pecahan kaca—mungkin dari kecelakaan mobil beberapa hari lalu.

Aku sempat panik karena melihat sekeliling yang sunyi dan tak ada siapa-siapa. Namun Ibu berusaha menenangkanku. "Udah gak usah panik. Kita jalan aja ke rumah Nenek. Sudah dekat kok. Nanti di sana kamu perbaiki. Kamu tau cara benerinnya kan?" ucap Ibu menenangkanku.

"Ya tahu sih. Tapi emang mereka mau ngizinin? Keluarga Bapak kan pelit semua."

"Sst... gak boleh gitu. Masa ada saudara kesusahan, mereka gak mau bantu. Pasti dibantu."

Aku sebenarnya tidak mau mempercayai Ibu. Kepercayaanku terhadap keluarga Bapak sudah hilang. Pernah, Ibuku sakit dan tak ada seorang pun yang jenguk. Padahal tiap kali mereka kesusahan, mereka selalu datang ke rumah menenteng muka memelasnya.

Dulunya Bapakku punya usaha perbengkelan yang cukup besar, meneruskan punya Bapaknya. Tapi dua bulan selepas Bapak mengembuskan napas terakhir setelah lama menari-nari dengan malaikat maut akibat kecelakaan tunggal, bengkel itu dijual oleh keluarganya sendiri karena merasa rugi tidak ada yang mengontrol—entah aku ini tidak kasat mata atau bagaimana. Kakekku juga sudah tidak bisa karena sakit-sakitan, makanya ia sesegera mungkin ikut anaknya ke akhirat.

Adik-adik Bapak paling sering datang ketika kehabisan uang. Mereka lebih suka meminta daripada meminjam. Meskipun mereka tahu bahwa keuangan kedua orang tuaku bukan yang banyak seperti orang-orang. Aku ingin angkat bicara, namun teringat bahwa aku adalah pengangguran sejahtera sejak lulus SMA enam tahun lalu, aku memilih bungkam.

Tapi itu dulu. Sekarang berbalik lagi. Saudara-saudara Bapak sudah sukses dan tidak kesusahan lagi tentang uang. Anehnya, meskipun melihat keuangan Ibuku menipis selepas Bapak meninggal, tak ada yang mau datang untuk memberi sedikit.

"Ibu gak kapok apa bawa masakan Ibu buat dihidangin ke keluarganya Bapak? Mereka kan gak pernah menghargai Ibu? Termasuk makanan," tanyaku sementara mendorong motor di pinggir jalan.

"Maksud kamu masakan Ibu gak enak? Jadi gak boleh dihidangkan?"

"Gak gitu lho, Bu. Waktu kumpul keluarga pas acara aqiqahnya anak tante Erna? Ibu sempet bawa ikan tumis sambal, gak ada yang makan, katanya gak enak. Ikannya bau."

"Bukan gak enak. Tapi emang bukan selera mereka."

"Ya meskipun bukan selera mereka harusnya tetep dihargain lah. Ibu masak pake bahan sendiri, niatnya baik pula, diterimanya kek gitu. Terang-terangan bilang gak enak."

"Mereka memang kayak gitu. Ngikutin sifat Almarhum Kakeknya Bapakmu, yang suka ngomong ceplas-ceplos. Maklumin saja lah."

"Itu gak bisa dijadiin alasan lah. Mereka semua orang dewasa. Harusnya tahu cara saling jaga perasaan. Walau keluarga sekalipun."

Pembicaraan kami teralihkan sebentar dengan sebuah mobil sedan yang tiba-tiba melaju pelan di dekat kami. Mobil itu milik saudara bungsu Bapak, Tante Erna.

"Kenapa Motornya, Mis?" tanyanya kepada Ibuku.

"Mogok lah!" sahutku tiba-tiba, membuat Ibu melirik kesal padaku.

"Bawa di bengkel dong, Ram. Daripada susah-susah dorong," serunya padaku.

Bodoh. Entah orang kaya bodoh ke berapa yang aku temui selama hidup. Lalu Tante Erna, Om Rahul dan dua anak kecil mereka melaju pergi begitu saja meninggalkan kami. Tidak ada niatan untuk memberi tumpangan.

"Selain mereka ngomongnya ceplas-ceplos. Kadang juga rada goblok," gumamku yang membuat Ibu seketika menepis pundakku.

"Jangan ngomong gitu ah. Orang tua itu. Kamu mau anakmu nanti kurang ajar sama Ibu? Jaga omongan. Mau bagaimana pun juga itu tantemu. Kalo Ibu udah gak ada, kamu minta tolongnya sama mereka-mereka itu."

"Minta tolong ke mereka? Ogah. Mending aku minta-minta uang di jalan, daripada harus minta sama mereka."

"Bukan minta uang. Kalo kamu lagi sakit, kesusahan, atau lagi butuh makan. Gak mungkin mereka nolak ngasih kamu."

"Mending mati kelaparan. Udah deh Bu. Berhenti belain mereka. Lagian juga itu bukan keluarga Ibu. Ibu makin kelihatan butuh mereka padahal enggak. Mereka semena-mena karena mikir Ibu butuh mereka."

Ibu paling tidak suka kalau aku menjelek-jelekkan keluarga mendiang suaminya. Itu karena Ibu merasa sudah tidak punya keluarga lain. Ibu-Bapaknya sudah mati dari lama. Ibu juga tak punya saudara. Tante-tantenya semua hidup di kampung. Ibu sangat sayang keluarga Bapak. Katanya ia masih berterima kasih kepada mereka sudah mau menerima Ibu sebagai menantu—orang kecil yang datang dari desa kecil.

Sementara aku, sangat membenci mereka semua. Andai aku ini orang kaya, akan kubawa Ibuku jauh-jauh dari mereka agar hidupku bisa bebas bahagia. Namun sepertinya Ibuku akan menolak ajakan itu.

"Tenang aja, Bu. Nanti aku kawin bakal aku bikin banyak-banyak cucu buat Ibu, supaya Ibu gak kesepian kalau suatu hari nanti kita ninggalin keluarga itu." Ibu memukul pelan pundakku lagi.

Kami akhirnya sampai di rumah Nenek. Masih sepi suasana. Hanya ada satu mobil terparkir, milik Tante Erna.

Baru saja menginjakkan kakinya pada ubin pertama di rumah itu, Ibuku langsung disambut oleh Nenek yang datang dari arah ruang keluarga dengan kursi rodanya, dibantu dorong oleh anak ketiganya, adik Bapakku, Tante Lia. Dialah yang selama ini tinggal bersama Nenekku.

"Misdar! Kenapa lama sekali? Reza sudah hampir sampai. Dapurnya belum siap!"

Setelah Nenek berkata seperti itu, Ibuku tak berkomentar apa-apa, ia langsung berlari ke arah dapur. Sementara aku, berdiri di tengah ruang tamu menyaksikan Nenek dan Lia bergabung bersama Erna sekeluarga di ruang keluarga untuk bertukar kabar sembari menyicip kue lebaran juga segelas sirop jeruk untuk masing-masing. Kepalaku sudah berasap padahal baru sampai. Setan di badanku memaksa ingin melempar toples-toples di atas meja itu ke wajah mereka. Namun mereka adalah keluarga, tidak boleh disakiti, tapi mereka justru yang sering menyakiti Ibuku.

Aku menahan kesal setiap kali melihat suasana seperti ini. Di mana Ibuku yang selalu dijadikan ‘Pelayan’ untuk mereka. Ibuku yang selalu lalu-lalang bekerja di dapur. Sementara yang lain, duduk bersantai di ruang keluarga.

"Nek. Aku pake bengkel yah? Motorku ban-nya pecah."

Spontan mata mereka semua menatapku. "Asal jangan sembarang pegang. Pake yang dibutuhkan saja. Kuncinya di laci kamar saya."

Aku bergegas mengambil kunci lalu berjalan ke bengkel mini yang ada di samping rumah. Untungnya masih ada sisa ban dalam yang sudah lama tidak dipakai—sisa-sisa peninggalan bengkel yang dijual. Namun sudah tak terpakai lagi sejak kematian Bapaknya Bapakku tiga bulan lalu.

Aku buru-buru mengganti banku, memompanya agar bisa secepat mungkin membantu Ibu. Aku parkir motorku di halaman setelah semuanya selesai.

Aku bergerak ke dapur untuk menemani Ibuku yang tampak terburu-buru bekerja. Aku duduk di kursi dengan kesal, namun sedih melihat kerja keras Ibuku untuk keluarga yang sebenarnya bukan keluarganya, tapi karena Ibu menikah dengan Bapak, makanya keluarga ajaib ini disebut keluarga kami juga.

"Kenapa di sini, Rama? Gabung sama nenek dan tante-tantemu saja, makan kue," rayu Ibu sementara memeriksa ketupat yang masih dalam tahap kukus di dalam panci.

"Dih. Ibu kayak gak tahu saja riwayatku sama mereka itu kek bagaimana. Mending di sini. Bantu Ibu."

"Mana bantuannya? Kamu lagi duduk santai gitu," ujar Ibu melempar senyum.

Ibuku memang penyabar. Tapi sayangnya terlalu sabar. Makanya tuhan mengirimku sebagai anaknya yang sering naik darah, untuk saling melengkapi mungkin.

Aku mulai mengeluarkan piring-piring dari dalam lemari, kuletakkan di atas meja, lalu aku lap dengan kain apa saja yang kulihat di dekatku.

"Dilap bersih lho itu. Mau dipakai makan."

Aku hanya mengiyakan seruan Ibu yang itu. Tanganku seperti menjadi batu saking malasnya melayani orang-orang ‘luar biasa’ yang sedang menikmati hidup mereka di ruang keluarga sana. Seperti ingin aku taruh saja piring itu dan bilang ke Ibu kalau aku sudah membersihkan semuanya, padahal tidak. Tapi jika begitu, nanti Ibu memeriksanya; ketahuan; Ibu lagi yang mengerjakan. Tujuanku membantu, malah mempersulit saja. Aku pikir aku harus bersabar untuk sebentar.

Aku ini pembersih. Saat ada yang kotor sedikit saja, aku bisa merasa gelisah. Misalnya tai cicak di salah satu piring yang belum aku cuci. Aku spontan menjauhkan wajahku, berpikir mau diapakan tai cicak yang masih baru ini. Tapi karena teringat piring-piring itu akan dipakai oleh para penghuni kerajaan tua ini, aku singkirkan saja tainya, lalu lap sembarangan. Aku pernah membaca katanya tai cicak mengandung bakteri yang dapat merusak pencernaan. Hm...

Semoga....

Tidak... Itu tidak baik kayaknya. Tapi aku ingin melihat jika salah satu dari mereka ada yang mencret, apa akan menyuruh Ibuku lagi mencebokinya? Beban sekali. Tapi kalau mereka ada apa-apa, Ibuku lagi yang disalahkan, karena hanya dia yang bekerja di dapur. Rasanya aku ingin membongkar rumah ini lalu memindahkan penghuni tetapnya ke pemukiman para singa. Aku ingin melihat apakah para singa bahkan sudi menyentuh kumpulan tanah-tanah yang berlagak langit itu.

"Kenapa dicuci? Ibu bilang dilap saja. Terlalu lama, baru kok itu gak pernah dipake," ucap Ibu yang melihatku setengah mati menggosok satu piring dengan sabun bukan main banyaknya.

Kerja sama aku dan Ibu lumayan efisien, terlihat dari meja makan yang sudah siap sedia keseluruhan hidangannya. Sengaja kuletakkan opor ayam buatan Ibu tersayang di bagian tengah, ya dengan tujuan makanan itu bisa menjadi center of attention. Sebab bagiku, opor adalah yang terbaik dari seluruh seni yang lahir dengan tangan Ibu.

Wajah Ibu meraut lelah. Ia mengusap keringat di dahinya. Aku pun justru meraut sedih melihatnya kelelahan seperti ini. Makanya aku ajak dia sebentar ke luar—ke halaman belakang rumah nenek. Di sana ada danau yang tak jauh berhadapan dengan teras belakang.

 

***

Ibu bersandar di pundakku, "Nanti usahakan kamu jangan banyak ngomong misal Om Reza sudah di sini. Kita gak usah memperkeruh suasana. Ini momen lebaran, harusnya dipakai saling memaafkan.”

"Apa sih yang bikin Ibu sebegitu berusahanya bertahan di keluarga ini? Kita tuh cuman jadi pemeran tambahan di sini Bu. Pemeran pembantu yang tugasnya yah beneran buat bantu-bantu doang. Kita gak dateng juga gak ada masal--," Tunggu. pasti jadi masalah karena tak ada yang memasak dan membersihkan.

"Gimana yah Ram. Ibu tuh gak kayak menantu-menantu nenekmu yang lain. Mereka semua orang-orang sukses. Caitlyn, sukses di luar negeri bikin usaha makanan kaleng bersama Reza. Rahul juga memang dari keluarga yang suka bisnis kuliner, mau makan apa saja ada brand-nya mereka.”

“Tapi kan ada saudara perempuan Bapak yang bisa bantu di dapur. Ini kan juga rumah mereka. Harusnya kita yang dijamu. Bukan justru kita yang jadi pembantu.”

“Orang-orang kayak mereka itu gak bakalan mau disuruh kerja. Harga diri mereka terlalu tinggi,” tutur Ibu ketika kulihat matanya tenggelam memaknai kalimatnya sendiri.

“Lia, meskipun masih nganggur tapi kan dia lulusan terbaik di kampusnya, kebanggaan juga itu. Sementara Erna, terkenal di media sosial karena perawakannya. Memang manja dari dulu, dan disuapi juga sama kakek nenekmu, jadi gak mungkin dia dibiarin kerja. Dari jaman SMA dia bahkan gak perlu perawatan, makanya gak heran pengusaha berduit kayak Rahul bisa mendekat. Harta suaminya ya hartanya juga.”

Ibu berhenti sebentar. Embusan napasnya bisa menggambarkan betapa dalamnya ia terkubur dalam fakta-fakta pahit di kepalanya. “Dengan semua yang mereka ‘raih’ itu, akhirnya bikin mereka mikir kalau mereka lebih besar dari yang lain. Makanya ngerasa rugi kalau harus merangkak dari bawah. Padahal secara kelas sosial, ya kita ini masyarakat menengah ke bawah. Memang usahanya ya harus dari bawah.”

Seperti bisa membaca pikirannya, secepat kilat aku rangkai kata-kata penyemangat dalam kepalaku, “Sementara Ibu? Pengusaha kuliner di bidang per-nasi-kuning-an. Sudah banyak yang jadi langganan. Bahkan udah sering di-catering khusus kuli-kuli kalau lagi ada pembangunan rumah di sekitar komplek.” Ibu tersenyum, motivasi asal bunyi ini sepertinya bisa ditelan—mungkin karena aku lahir darinya, jadi bisa terkoneksi dengan sendirinya.

“Gadis kecil yang datang dari desa, dengan banyak impian dan usaha tanpa henti. Gak heran bisa ketemu sama Markus, tukang bengkel yang juga usahanya patut diacungi jempol demi punya hidup yang layak. Dua orang yang tahu arti berusaha, dipersatukan membentuk keluarga.”

Matanya masih gelap, namun napasnya terdengar begitu lega. Entah kenapa makin dewasa rasanya makin terasa pantas untuk membicarakan hal-hal yang dahulu aku anggap canggung jika dibicarakan. Ibu dan Bapak memang tak pernah berusaha menciptakan keluarga cemara, tapi setidaknya mereka berusaha untuk tak terjerumus ke dalam lubang yang sama dengan saudara-saudara Bapak.

“Kamu cukup kok, Bu. Cuman memang salah tempat saja. Makanya usahamu tidak pernah diapresiasi. Waktu Bapak masih hidup kan Ibu punya yang siap sedia menghargai tiap upayamu. Aku juga ada.”

Ibu melirikku dengan senyuman tipis di ujung bibirnya, ia mengangkat bahu dan membuang muka. “Ibu geli kamu ngomong kayak begitu. Tapi Ibu suka.” Akhirnya Ibu melepas tawanya yang terakhir kudengar minggu lalu itu. Seperti yang aku bilang di awal, lebaran ini lebih berat dari sebelumnya. Ia tak bilang pun aku tahu, duka itu masih melahapnya pelan-pelan.

Lalu semua kehangatan ini runyam saat menggema tertawaan yang asalnya dari ruang keluarga. Mereka menciptakan kebahagiaan di saat aku dan Ibu tengah berkeluh kesah perihal perlakuan mereka ke kami berdua.

“Kita itu ngapain sebenarnya di sini, Bu? Apa iya kita masih sekeluarga selepas Bapak sudah gak ada? Belum lagi si paling songong itu datang.” Aku menahan lisanku, tak ingin menambah beban timbangan dosaku di akhirat nanti.

"Gak boleh gitu. Itu Om kamu, Rama."

"Aku itu gak pernah suka sama itu orang, Bu. Tipikal orang pinter yang egois dan ngerasa dirinya paling benar. Mau kaya atau miskin, songongnya sudah di atas kepala. Dulu aja sebelum sukses, sering ke rumah minta tolong ke Bapak. Sekarang berkoar-koar kayak dia berhasil karena berusaha sendirian. Ibu yang dulu ngerayu Bapak supaya luluh ngebantuin adiknya, sekarang diperlakukan kayak begini, disuruh-suruh mulu. Ibu juga sih, mau-an banget."

"Terus Ibu harus apa? Bilang gak mau? Karena Ibu gak bisa kasih bantuan finansial, makanya Ibu bantu pakai tenaga. Ibu gak punya alasan untuk nolak.”

Aku mengernyit, “Memang harus begitu ya, Bu? Kontribusi tiap orang di keluarga itu harus dihitung-hitung begitu? Besar-kecil, banyak-sedikit hal harus dihitung supaya pantas dihargai?" Ibu diam menggigit bibir mendengar ucapanku.

“Ada banyak tempat yang buta dengan hitung-hitungan kayak tadi. Kita bisa dapat terima kasih asal sudah berusaha semampunya. Kalau gak dapet di sini, ya berarti memang bukan di sini tempat buat dapet apresiasi.”

Ibu masih diam, dan aku membiarkannya begitu untuk sebentar. Membiarkan angin menerbangkan semua bentuk patah hati jauh-jauh. “Jangan tunduk, Bu. Mereka yang di dalam itu bukan yang paling berjasa di hidup Ibu. Berterima kasih ke Bapak sudah milih kamu sebagai istrinya harusnya sudah cukup.”

Kemudian terdengar samar dari kejauhan, suara gemuruh. Kurang ajar! Padahal aku sedang khusyuk melempar kata-kata bijak yang aku dapat setelah tamat main tiktok.

Aku dan Ibu beranjak melihat dari arah samping rumah. Motor-motor dan mobil yang kukenal itu telah tiba. Mereka adalah ketiga saudara nenek bersama anak dan cucu-cucu mereka. Astaga ini rumah bisa roboh kalo begini banyaknya.

Mereka saling bersalaman untuk sebentar. Cipika-cipiki antar keluarga yang baru datang. Kuakui kedatangan saudara nenek lumayan hangat karena mereka itu asik dan tidak kolot. Cuman mereka memperlakukan Ibuku juga tetap sebagai pembantu. Aku akui, ekonomi kami memang berada tingkat paling bawah dari mereka. Dominan PNS mereka.

Belum lama kedatangan saudara nenek, datanglah primadona hari ini, sang pengusaha kaya raya dari Negeri Paman Sam... REZA ATMAJA! Saking maunya dibilang tidak setara dengan kami, ia lebih memilih menginap di hotel daripada di rumah tumbuh besarnya.

Semua orang tiba-tiba berbondong-bondong menyambut Om Reza bahkan sebelum ia keluar dari mobil bersama Istri bulenya, Caitlyn.

Aku di mana? Mundur jauh di sudut ruangan, berusaha menyatu dengan tembok yang dicat warna biru terang seraya nyemil kue lebaran yang tersisa setengah toples itu. Aku melihat Ibu yang berdiri di depan pintu, dari pantulan kaca jendela, kulihat ia tersenyum bahagia melihat kesenangan 'keluarga orang' yang ada di hadapannya. Aku jadi sedih melihat Ibuku yang merasa ragu-ragu bergabung di pesta peluk-pelukan yang terjadi di halaman depan rumah nenek. Terdengar meriah dan seru, diiringi isak tangis mendramatisasi; seruan kemenangan; dan rengekkan anak-anak kecil yang haus akan perhatian.

Tiba-tiba terdengar bunyi pecah dari area dapur. Ibu berlari sekuat tenaga. Aku menyusulnya.

Setibanya di dapur, kami melihat pecahan piring untuk ikan tumis kecap di lantai. Semua ikan berhamburan di lantai. Aku spontan berlari mengambil piring baru di rak piring, menadah ikan yang masih bisa diselamatkan. Di sana aku melihat pelaku pemecah wadah, si kucing yang lebih mirip anjing. Aku usir makhluk itu sampai di luar, tak lupa mengoper piring ke Ibu terlebih dahulu. Salah kami juga lupa mengecek tudung saji itu tertutup rapat atau tidak. Bahkan kucing di rumah ini saja juga menyusahkan.

Aku membantu Ibu memungut ikan yang berserakan di lantai. Semua anggota keluarga sudah berbondong-bondong ingin melihat kejadian ini seakan-akan ada sesuatu yang sungguh menghebohkan.

"Kok bisa? Gak dijaga? Kemana aja kalian?!" ujar Erna dengan sok angkuh.

Alisku tiba-tiba bertemu di tengah wajahku, antara bingung atau ingin mengamuk, seperti menatap makhluk menjijikkan yang entah datang dari kota 'orang tak tahu diri' mana. "Dih."

"Ram... udah. Jangan," ucap Ibu mencoba menenangkanku.

Aku mendekat ke gerombolan keluarga yang sedang sibuk bergerombol di pintu masuk dapur sembari menonton Ibuku memungut ikan dan pecahan keramik. Aku jadikan tante Erna sebagai titik fokus kemarahanku.

”Tante pikir kita ini siapa mau jagain makanan kalian semua? Tai! INI SEMUA DI MEJA IBU YANG ATUR!! Tante ke mana aja? Dari tadi gak pernah masuk ke dapur. Pas nyampe aja tadi udah makan kue di depan. Kalo gak guna tuh, gak usah banyak ngomong, shibal!" Mengumpat seperti di drama-drama korea.

Direpons Tante Erna dengan matanya yang melebar, "Kurang ajar ini anak! Heh! Saya lebih tua dari kamu," ungkap tante Erna yang sebetulnya tidak perlu diungkap, kelihatan dari wajahnya yang mulai jatuh.

"Ya saya juga tahu, memang Anda sudah tua!" Kali ini hujatanku disambut gelak tawa oleh anak-anak kecil yang butuh perhatian tadi. "Lihat kan? Gak guna. Lihat Ibu saya pungut kaca aja gak ada yang bantu," amarahku ada di atas ubun-ubunku, "GILA LO SEMUA!!" Mendengar hujatan ini, sepupu-sepupuku mulai membantu Ibu.

"Kamu ini makin besar makin kurang ajar," ucap Om Reza dengan suara beratnya, yang sejujurnya langsung memberatkan mentalku. Karismanya sebagai orang 'kejam’ tergambar hanya dari suara saja. Belum lagi tatapan-tatapan dari para nenek, keponakan, om dan tante yang melihatku seperti melihat tai ayam yang masih basah.

"Saya kurang ajar cuman copy paste dari sifat-sifat orang di dalam rumah ini!" Tiba-tiba pukulan mendarat di bagian belakang kepalaku.

"Udah?? Udah RAMA!!" Ibu memukulku berkali-kali dengan keras. Kulihat amarah yang begitu besar di matanya. Bahkan sampai harus dipisahkan oleh orang-orang. Hebatnya lagi, aku bahkan tak berusaha melindungi diri. Pikiranku terkosong kan dalam sekejap.

"INI JUGA SEMUA!! NGAPAIN BERKUMPUL DI SINI!? Kampungan! Pecahan kaca aja pada nonton," gertak Ibu yang membuat kami semua sekeluarga bubar begitu saja.

Semua menjadi senyap dengan sendirinya. Entah bagaimana ledakan tadi bisa kami bohongi seolah tak merusak apa-apa. Yang tersisa cuman resahku yang perlahan menjadi gembira. Jarang sekali Ibu main tangan terhadapku. Namun itu terasa wajar dan seharusnya mengingat selama aku hidup, bisa dihitung jari Ibu atau Bapak pernah main tangan. Bahagia pula aku mengingat para bajingan tak tahu terima kasih tertunduk melihat singa yang Ibu rawat dalam badannya, akhirnya menampakkan diri. Aku yakin itu baru jejak kakinya saja.

 

***

Seperti pada umumnya sebuah keluarga, saling menyakiti dianggap lumrah dan tak masalah. Semuanya dilupakan begitu saja mau sebesar apa pun saling bentaknya. Kami semua menyantap makanan tanpa ada pertengkaran maupun rasa canggung. Mereka tertawa diiringi cerita seru dan menyenangkan satu sama lain. Aku hanya diam memaki semua manusia penuh tipu muslihat di hadapanku. Mereka berbahagia setelah melukai harga diri seseorang.

“Orang-orang luar sana memang lebih suka makanan kaleng. Cuman dibuka kalengnya, habis itu dipanaskan doang sudah bisa disantap. Tapi juga tahan lama,” jelas Om Reza dengan penuh bangga. Padahal ia tidak akan sesukses sekarang jika tidak dikasih uang oleh Bapakku untuk merantau ke luar negeri.

Alih-alih menyantap makanan, mereka semua saling suap dengan kesombongan. Kenyang dengan saling lempar kebisaan, saling besar-besaran kepala.

“... iya. Memang harus buru-buru buka cabang baru supaya tidak kalah saing. Maksudku, harus kita yang jadi pemulai,” ujar Om Rahul saat ditanya perihal kekuatan brand nasi padangnya yang sudah punya banyak di kawasan Indonesia.

Aku memperhatikan kedua mata Om Reza yang wajahnya berubah masam saat mencoba kuah opor buatan Ibu.

"Yang bikin ini opor siapa?" tanya Om Reza di meja makan.

"Ibu," jawabku yang entah kenapa serasa menahan emosi. Seperti tahu apa yang akan terjadi.

"Asin. Saya gak suka."

Rasanya kuingin mencelup kepala orang itu ke dalam kuah opor yang masih mendidih. Dan sialnya lagi, mereka semua langsung memindahkan opor buatan Ibu ke pinggir meja seakan tiba-tiba ikut tidak suka padahal sedari tadi sudah mereka santap, hanya karena sang pemeran utama tidak suka. Dasar para penjilat!

"Setidaknya hargai makanan orang. Udah dibikinin juga," ucapku kesal.

"Kalau saya gak suka apanya yang mau dihargai?"

Aku tiba-tiba tertawa. Aku bahkan tidak sadar tawaku sudah menjamahi setiap sudut dapur. Sontak aku berhenti—berusaha menahan tawa. Namun ini terlalu lucu bagiku. Sementara terus menertawai ucapan terakhir anak kesayangan di keluarga ini, aku suapi diriku dengan makanan di hadapanku. Mungkin ini bentuk shock setelah mendengarkan pertanyaan dari makhluk buruk akhlak itu. Bahkan dalam keheningan tidak ada yang menghentikan tawaku. Air mataku sampai keluar; aku sampai tersedak pula. Komedi ini terlalu menggelitik.

Ibu menawarkan segelas air untuk kuminum, kulihat dirinya tertunduk begitu malu melihat anaknya yang pengangguran ini mengolok-olok kumpulan uang yang gemar bernapas. Harusnya dengan tawa ini bukan Ibu yang malu. Tak pernah terpikirkan perlawanan 'orang kecil' bisa dengan se-menyenangkan ini.

"SUDAH!! Kalian ini. Lebaran kok malah berselisih. Kamu juga Rama, masih kecil banyak ngomong. Kurang ajar itu namanya. Lebaran kok dari tadi pagi marah-marah terus," lerai Nenek harusnya. Tapi tetap membela anak kebanggaannya. Jarang sekali dia angkat bicara.

Kapan kira-kira idealnya seorang anak bisa angkat bicara jika mereka sakit hati terhadap orang tua? Usiaku sudah seperempat abad. "Kalau kalian hargai usaha Ibu saya bikin opor, saya gak akan marah."

Tante Lia langsung memindahkan opor itu kembali ke tengah, "Puas?"

Aku membalas dengan senyum sarkas dan kebencian menggebu-gebu. Maksudku, siapa yang mau membela pemeran ekstra saat pemeran utama lebih dirasa sedang luka? Semua orang menyantap makanan dengan saling hina di dalam hati. Aku bisa merasakan keheningan ini begitu berisik.

Belum mereda apa yang meradang dalam hatiku, sampailah kita pada acara puncak yang menjadikan Ibuku sebagai pemeran penting terhadap terlancarkannya kegiatan penutup, yaitu pelaksanaan pencucian piring dari bekas makan para anggota kerajaan yang agak lain ini.

Ke mana Tante Erna? Si anggun itu tidak mungkin melukai selangkangannya demi mencuci piring di lantai karena rumah nenek tidak ada wastafel untuk cuci piring. Anehnya, semua anaknya sukses dan banyak uang, wastafel di rumah orang tua serasa sebegitu mahalnya sampai tidak bisa diadakan.

Saudara-saudara nenek? Mereka itu pelaku SMP, Sudah Makan Pulang. Tidak ada terpikir untuk membantu membersihkan. Mereka pikir setelah menebar tawa, artinya tidak perlu bersih-bersih. Tapi aku akui jokes mereka lumayan gong. Kadang untuk tetap berada dalam peran sebagai seseorang dengan mulut pedas, aku harus bersembunyi kalau mau tertawa mendengar guyonan mereka.

Tante Lia? Dia itu diam bukan karena baik. Tapi karena tidak mau disuruh. Jadi dia memilih diam seakan tidak bisa apa-apa. Sering kali aku melihatnya diam-diam pergi ke sudut atau bersembunyi dalam kamarnya saat ada bersih-bersih. Dia hanya bekerja sebagai asisten nenek untuk mendorong kursi roda ke mana saja yang dikehendakinya. Itu pun dia pernah marah karena katanya lelah. Ya siapa suruh lulusan terbaik informatika di kampusnya tidak mau pergi mencari kerja serabutan. Maunya langsung kerja bagus.

Caitlyn? Pernah terpikir melihat bule ngangkang untuk cuci piring? Kalau ngangkang untuk hal lain pasti pernah kan? Ayo lho... Istigfar... ya habibi.

Apalagi para Om. Mana mau mereka melakukan pekerjaan rumah yang kasarnya mereka anggap hanya pekerjaan para wanita. Tipikal kaum patriarki yang mungkin bisa kalian dapati dari tempat kalian duduk membaca kisahku ini.

Sisanya ya Ibu lagi dan lagi. Biasanya Ibu dibantu oleh Bapak ketika sampai pada bagian acara yang ini. Tapi karena Bapak sudah tidak ada, kugantikanlah perannya. Sebelum-sebelumnya aku tak pernah datang ke area perbudakan ini.

Sejujurnya aku masih bingung, dari kerja sama Bapak-Ibu yang sejatinya mereka itu penyabar andal, malah menghasilkan produk sepertiku yang ketika mendengar berisiknya kucing yang lagi kawin saja, aku seperti kesurupan karena saking terganggunya. Ataukah mungkin mereka hanya memendam saja karena mereka sudah dewasa betulan? Aku harap suatu hari nanti secepatnya aku juga begitu.

Bapakku itu orangnya baik. Makanya kuanggap dia diadopsi oleh keluarga ini karena perbedaan sifat dan perilaku. Atau boleh jadi juga dipungut.

"Kalau Ibu capek, istirahat Bu. Biar aku aja. Kasihan Ibu dari tadi malam begadang bikin makanan, bikin ketupat cuman buat hidangan di rumah nenek." Aku membilas busa-busa sabun yang menempel pada piring yang sudah Ibu gosok.

"Gak usah. Ibu gak capek. Pekerjaan kayak begini udah sering. Kamu aja yang istirahat sana!" ujarnya sembari menyeka keringat di dahi. Wajah Ibu tampak pucat.

Suara-suara menyenangkan dan gelak tawa makin terdengar dari arah ruang keluarga, tempat para penghuni takhta teratas di kerajaan ini.

"Ini kalau sinetron azab, mereka semua udah kena. Entah mungkin itu plafon di atas mereka... ambruk aja tanpa tedeng aling-aling."

Ibu tertawa kecil.

"Kira-kira matinya bakal kek gimana? Mulutnya bakal menganga lebarkah? Kek di sinetron-sinteron azab."

"Sstt... gak boleh becanda tentang kematian. Gak bagus itu. Peristiwa sakral kok dijadiin becanda."

"Maaf, Bu."

Tersisa tiga piring lagi yang belum tercuci. "Biar aku yang cuci, Bu. Ibu ke kamar aja istirahat, muka Ibu udah pucet tuh."

Ibu mengiyakan. Aku pikir ia pergi, namun Ibu malah membawa piring yang sudah dicuci—di keranjang—untuk disusun satu-satu di rak piring. Aku memperhatikannya, sementara langkah Ibu menjadi berat dan lambat, lalu kemudian tiba-tiba jatuh ke lantai. Hampir semua piring pecah di lantai. Ibu terbaring di antara pecahan piring.

Aku panik dan berlari, tak sengaja menginjak bagian lantai yang terkena sisaan sabun cuci, membuatku tergelincir dan menindih tangan kiriku. Aku merintih sebentar. Lalu kubangkit lagi membangunkan Ibu. "IBU KENAPA BU?"

Semua orang berdatangan dengan panik dan khawatir. Aku berusaha mengangkat Ibu, menahan sakitnya tanganku. Om Reza maju untuk membantu.

"UDAH!!! GAK USAH!!!" gertakku meledak-ledak. "SEKALINYA BEGINI AJA, KALIAN KHAWATIR!! Dari tadi pagi ke mana aja? Mentang-mentang banyak duit, anjing! Semena-mena nyuruh orang. Gak ada rasa keluarga-keluarganya ini keluarga. Emang tai lah itu konsep keluarga."

Aku menggendong Ibu melewati anggota keluarga yang memaksa membantu. Aku kekeh ingin menggendong Ibu sendiri. Membawanya ke kamar terdekat, membaringkannya. Semua orang memaksa masuk ke kamar. Aku mengambil sapu yang ada di ujung kamar, menghunuskannya ke arah mereka untuk memaksa keluar.

Mataku kembali berkeliling ke semua orang, "Ibu dari tadi malam kerja buat makan kalian. Bikin ketupat, masak opor ayam. SEMUANYA IBU YANG LAKUIN!"

Aku sampai pada batas kesabaranku. "Terus apa? Ibu lagi yang cuci piring. IBUKU ITU BUKAN PEMBANTU!”

Kesalku menjadi lebih serius. Aku menggeleng tak habis pikir—berusaha menahan kobaran api di atas tenggorokan yang tengah menjalar menguasai kepalaku. "Kalau—“ aku tertegun, kurasakan suaraku gemetar jika terus berbicara. Aku kuatkan diri. Aku usahakan pandanganku tetap sinis, meski di dalam hati, rasanya begitu hancur. Ibuku orang yang kuat. Ia tidak gampang jatuh. Tapi yang barusan terjadi, menandakan Ibu telah sampai di penghujung usahanya. "Kalau sampai Ibuku ada apa-apanya...," kalimatku terpotong, aku bingung orang kecil seperti kami apa ada kemungkinan untuk menang?

Rasanya sudah tak nyaman lagi untuk menetap. Aku bopong Ibuku yang sudah semakin lemah keadaannya. Ia bahkan tak melawan lagi saat aku membawanya menerobos melewati keluarga ajaib yang diwariskan Bapak dengan rasa tidak ikhlasnya. Tidak ada yang berusaha menahan atau meminta maaf. Semuanya berdiam tidak mau disalahkan. Ternyata betulan ada manusia yang tak pernah merasa bersalah. Entah apa hikmahnya Tuhan menciptakan mereka demikian. Bahkan orang-orang utusan Tuhan saja tak pernah berhenti minta ampun padahal sudah dipastikan akan masuk surga.

Saat sampai di motorku. Aku menengok ke belakang bak sedang dalam film drama tentang pengkhianatan. Aku berdiri sendiri membopong Ibu di tanah lapang yang luas. Sementara keluarga Bapak berdiri bergerombol di depan rumah—kami semua saling menatap dalam diam.

Aku menajam menatap semua orang yang bergeming di hadapanku. "Suatu hari nanti kalau kalian ada susahnya, jangan ke kami. Saya bakal usahakan kehidupan kami berdua jadi lebih baik. Saya cuman butuh uang banyak. Kalau uang saya sudah banyak, saya bakal jadi lebih BURUK dari kalian. Ingat itu!

"Saya bakal tunggu momen-momen di mana kamu semua dibuat susah sama Tuhan. Dan di momen itu juga saya bakal bawa, kalau perlu beli kursi paling nyaman. Saya letakin di sudut ruangan, sambil minum teh hangat, menonton gimana kalian berteriak minta pertolongan ke uang dan kesombongan yang kalian punya. Jadi kalau kalian tidak mau lihat saya tertawa begitu, jangan sampai saya tahu hidup kalian sedang melarat. Saya bakal jadi orang paling bahagia di dunia."

Sementara masih menggendong Ibu di punggungku, aku duduk di atas motor. Ibu langsung memelukku erat. Aku rasakan kepalanya langsung rebah di punggungku. Rasa lelahnya seakan pindah melalui sentuhan itu.

"Bapakmu pasti kecewa lihat kamu tumbuh besar jadi seperti ini." Om Reza berkata begitu dengan tatapan penuh kecewa padaku.

Aku melempar sinis yang lebih tajam. "Ckckck, keknya Bapakku memang anak pungut." Terserah mereka mau memaknai apa kalimat terakhirku ini.

Aku belum ingin pergi. Aku merasa belum puas mengumpat dan mengutuk mereka. Kujamahi mereka dengan mataku yang sudah berair. Lalu kulihat wanita kulit putih yang menatap kami dengan kebingungan.

“Woy!” Mata kami berdua bertemu. “Fuck You!” Aku mengumpat dengan bahasa inggris seadanya saja.

Meski begitu, Om Reza tetap tersulut emosi karena istrinya yang diam saja pun aku ganggu. Ia sempat melempar kami dengan batu namun tak kena. Aku memang lumayan lihai berkendara. Diam di saat melihat ‘perundungan’ itu juga dosa, Mba Caitlyn!

Kami meninggalkan keluarga orang sukses ini entah untuk sebentar atau selamanya. Pada dasarnya memang hubungan kami sudah terputus setelah kepergian Bapak. Yang tersisa cuman aliran darah mereka yang mengalir di dalam badanku. Bodohnya aku bahkan berharap suatu saat nanti aku mengalami musibah hingga darahku hampir habis, supaya diganti saja dengan darah orang lain. Siapa tahu dengan begitu, tak ada lagi sisa-sisa darah keluarga Almarhum Bapakku yang membantuku untuk hidup. Entah apa itu memungkinkan.

Aku memperhatikan mereka yang berdiri bak lukisan tepat di depan rumah mereka. Ada rasa bersalah di dalam diriku meninggalkan mereka dalam situasi secanggung ini. Tapi aku berusaha memvalidasi perasaanku. Kami perlu untuk melepas diri dari lingkungan toxic, meski itu mengorbankan banyak hal.

Tapi di kasusku, aku tak merasa rugi sama sekali. Tidak ada yang patut ditangisi di keluarga itu. Aku tak merasa mampu melawan keluarga itu dengan berbaik hati. Aku harus ikut menjadi buruk, boleh jadi untuk cerminan dari dosa-dosa mereka.

Seperti baru saja menyelesaikan perang paling konyol. Setidaknya saat ini kami sudah punya alasan untuk tak berkunjung lagi. Lepas dari mereka seperti menjadi suci kembali.

“Ibu mau ke rumah sakit saja, Bu?”

Ibu menjawab lirih, "Ibu cuman butuh tidur."

Jantungku berdegup kencang mengingat kehadiran pengadilan Tuhan. Mau bagaimanapun aku boleh jadi telah melukai hati orang-orang itu, terutama Caitlyn yang tidak tahu-menahu masalah tadi sebab belum begitu pandai berbahasa Indonesia.

Siapa kira-kira yang akan Tuhan beri balasan lebih berat?

Lalu Ibu mulai menangis kecil. Dia berusaha menahan tangisnya namun jelas terasa padaku sebab bajuku menjadi basah terkena air matanya. "Ibu kenapa, Bu?"

Ibu berusaha menjawab walaupun sesenggukan, "Tupperware Ibu... yang warna pink, masih di sana Rama!"

Badanku jadi lemas. Barang kesayangan Ibu tertinggal di medan perang yang mengaku kayangan itu. "Opornya juga, sisa banyak." Ini bagian paling menyedihkan untukku.

Bergantilah tangis Ibu jadi tawa yang meskipun tipis namun terdengar magis. Tragedi memang lebih nyaman disantap jika diberi bumbu komedi. Semuanya bakal baik-baik saja. Hidup jangan terlalu serius. Kita semua bakal mati dengan sendirinya nanti. Semoga Tuhan membalas kesabaran kita semua.

Jika Ibuku tak mampu menjadi pembangkang karena lembut hatinya, maka aku akan berdiri meludahi siapa pun yang berusaha melukainya. Boleh jadi dengan doa Ibu, dosaku menjahati para penjahat bisa diampuni Tuhan.

Semua cinta dan bentuk-bentuk terima kasih lainnya untuk Ibu.


Selesai.

 

KELUARGA BESAR KECIL By Esde Em

 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)