Disukai
1
Dilihat
666
Karya Seni dengan Model Terindah
Romantis
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Aku menyatukan semua warna di paletku, mengaduknya dengan kuas kecil hingga menjadi hitam pekat. Dengan lembut kuguratkan cat itu ke kanvas, mengisi bayangan dari gambar wanita telanjang itu. Aku membiarkan goresan kuas mengalir tanpa ragu, menyentuh setiap lekuk tubuh wanita yang terbentang di hadapanku. Kegelapan yang tercipta bukanlah kebetulan, melainkan ekspresi dari sisi terdalam yang tak tampak, yang selama ini tersembunyi dalam diri. Setiap detail di kanvas adalah bagian dari perasaan yang terpendam, bayangan dari pertemuan yang tak pernah diungkapkan.

Ruangan ini pengap, sangat tidak cocok untuk melukis, tapi harus kutahan demi lukisanku yang hampir selesai ini. Kembali kupandang mereka yang ada di ruang sebelah melalui cermin besar satu arah ini. Suara desahan dan erangan mengusik ketenanganku. Suara tepukan antar paha sangat tak stabil, membuktikan betapa amatirnya mereka. Bangku panjang empuk di tengah ruangan terus saja bergeser, membuat deritan nyeri di telinga. Setidaknya meski amatir, hentakkannya kuat. Aku akui itu.

Karena aku adalah pasangan sejatinya. Mereka yang sedang bercinta di depanku, tak lain dan tak bukan adalah pacar dan sahabatku.

Aku menutup kelopak mata, membiarkan suara mereka di ruangan sebelah semakin samar. Aku ingin menenggelamkan diri dalam kenangan, walau aku tahu itu hanya akan membuat luka ini semakin dalam.

Semua ini bermula saat aku membagikan inspirasiku pada yang lain, menggunakan pacarku menjadi model di kelas melukisku yang dihadiri sahabatku. Hanya dibalut sehelai kain dia duduk berpose di tengah-tengah para pelukis, badannya yang seksi adalah objek karya seni paling indah. Awalnya kukira mereka saling pandang waktu itu adalah hal yang biasa, tatapan dari seorang artis kepada modelnya. Aku tak curiga sama sekali, karena yang kukenal pacarku adalah model profesional, dan sahabatku adalah pelukis lugu dari kampung.

Kami bertiga menjadi tak terpisahkan sejak saat itu. Aku sebagai seniman, dia sebagai inspirasiku, dan Ica sebagai saksi dari setiap momen kami. Kami sering hang out bareng—makan, nonton film, atau pergi ke maeran seni. Sepertinya, rasa ibaku pada Ica mendatangkan musibah.

Aku ingat saat aku mengunjungi sebuah pameran seni kecil. Radit berdiri di antara para pengunjung, mengamati lukisan-lukisanku yang tergantung di dinding galeri dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.

"Kamu suka lukisan ini?" bisikku.

Dia tersenyum kecil, lalu mengangguk. "Aku lebih suka senimannya," katanya, menatapku dengan mata penuh arti.

Untuk kesekian kali aku merasa dicintai bukan hanya sebagai seseorang, tetapi sebagai seniman. Sebagai seseorang yang karyanya benar-benar berarti bagi orang lain.

Ica yang berdiri di sudut ruangan, tertawa kecil melihat bagaimana aku sangat bahagia. Dulu, sebelum semua ini berantakan, aku selalu berpikir bahwa kami adalah pasangan yang sempurna. Aku dan Radit. Ica yang selalu menjadi orang pertama yang aku ceritakan tentang perasaanku. Ica yang, dengan cara yang tidak pernah kusadari sebelumnya, selalu ada di antara kami—seperti benang tak kasat mata yang menghubungkan tapi juga perlahan merenggangkan.

Aku ingat perjalanan pertama kami ke pantai, saat aku melukisnya dengan latar matahari terbenam. Aku ingat malam-malam saat kami duduk di balkon apartemenku, berbagi mimpi dan ketakutan dalam keheningan yang nyaman. Aku ingat cara dia tertawa, cara dia membelai rambutku setiap kali aku frustasi karena karyaku tak kunjung selesai.

Dan aku ingat saat aku melihat tatapan itu untuk kesekian kali.

Tatapan yang dia berikan kepada Ica.

Tatapan yang sama seperti yang dia berikan kepadaku saat pertama kali kami bertemu. Aku harusnya menyadari sejak awal. Aku harusnya mengerti bahwa senyum itu, cara dia berbicara, cara dia menyentuhku—semuanya bukan hanya milikku.

Pernah aku mencuri dengar murid-muridku sedang mengobrol, mengatakan bahwa ada seseorang di galeri ruangku yang sedang menonton video porno. Aku menjadi sangat penasaran, siapa orang itu? Di lain hari, mereka mengatakan padaku bahwa tak sengaja melihatku jalan berdua dengan Radit di mall, padahal dalam waktu dekat itu aku tidak ada kencan dengan Radit.

Hingga di satu malam saat membereskan lukisan-lukisanku tepat di bilik ini, tiba-tiba Radit dan Ica masuk di ruang tanpa menyadariku. Awalku kukira siapa, datang-datang langsung menjatuhkan beberapa kanvas muridku dari penyanggahnya. Saat aku melihat lebih jelas dari balik cermin satu arah ini, ternyata itu adalah pacar dan sahabatku. Mereka terburu-buru menanggalkan setiap lapisan baju, berciuman dengan liar seperti dua singa yang berkelahi.

Hatiku hancur. Duniaku runtuh tanpa suara, seperti kaca yang retak perlahan sebelum akhirnya pecah berkeping-keping. Hatiku mencair menjadi sesuatu yang lebih mengerikan dari kemarahan—kehampaan yang dingin dan kejam.

Tanganku menggenggam kuas erat-erat, begitu kuat hingga buku-buku jariku memutih. Aku bisa merasakan tubuhku gemetar, bukan karena amarah yang membara, tapi karena kelelahan yang melumpuhkan. Aku ingin bergerak, ingin berteriak, ingin merusak segala yang ada di sekitarku. Tapi aku hanya duduk di sini, membiarkan waktu mengoyakku dari dalam.

Di balik cermin satu arah itu, mereka masih bergerak dengan ritme yang menyayat telingaku. Desahan mereka menusuk ke dalam jiwaku seperti sembilu, menguliti setiap ilusi yang pernah kupeluk erat. Aku ingin menutup telinga, tapi aku tetap mendengar. Aku ingin memejamkan mata, tapi bayangan mereka tetap tertanam di kelopak mataku.

Aku adalah saksi dari penghancuranku sendiri.

Aku merasa seperti mayat yang masih bernafas—dingin, kaku, kosong. Ada dorongan untuk berbuat sesuatu, apapun, tapi tubuhku menolak. Seolah semua kemampuanku untuk melawan telah dicabut dengan kejam. Aku bahkan tak bisa menangis. Air mataku terlalu pengecut untuk jatuh, seakan tahu bahwa tangisan pun tak akan mengubah apa-apa.

Aku ada di sana menonton mereka sampai cairan mereka keluar dan mengotori lantai. Aku terus berpikir, apa salahku, di mana kekuranganku, kenapa?

Hari-hari berlalu. Kupikir itu hanyalah terjadi sekali di saat mereka mabuk, namun ternyata mereka melakukannya sangat sering seolah aku tak ada. Di hadapanku mereka bisa menjadi pacar yanag sempurna dan sahabat yang baik. Tak pernah kujumpai aktris sehebat mereka. Aku harus mendaftarkannya di penghargaan Oscar. Aku ingin menuntut sebuah kejelasan dari mereka. Tapi entahlah, aku terlalu pengecut padahal aku sudah patah hati.

Entah mulai kapan aku sudah terbiasa akan permainan yang mereka ciptakan, hingga aku memutuskan untuk mengambil alih permainan. Kutitipkan kunci galeri ini pada Radit, benar saja, nyaris setiap malam mereka datang untuk bercinta. Lalu aku mulai melukis di ruang ini, gaya favorit mereka.

Mereka mungkin berpikir aku tidak tahu. Tapi sebenarnya, akulah yang melihat segalanya. Lucu. Mereka tidak tahu aku ada di sini. Mereka tidak tahu aku sedang melukisnya, dengan setiap kebusukan yang kini terpatri dalam setiap sapuan kuasku.

Aku teringat bagaimana tadi sore kuhubungi mereka, mengirim pesan: "Aku ingin memperlihatkan sesuatu kepadamu. Aku ingin kalian melihat karya terbaikku." Sesuai dugaanku, mereka datang lebih awal untuk bercinta.

Aku membuka mata kembali, membiarkan kenyataan menamparku tanpa belas kasihan.

Di ruangan sebelah, mereka masih tenggelam dalam nafsu mereka sendiri. Tanganku terus bergerak, menggoreskan kuas ke kanvas dengan lebih kasar. Cat hitam itu semakin menebal, menciptakan bayangan yang menutupi tubuh indahnya. Seperti selubung rahasia yang akhirnya terungkap, seperti kegelapan yang perlahan menelan cahaya. Lukisan ini akan menjadi saksi, bukan hanya tentang keindahan tubuhnya, tetapi juga tentang kebusukan yang tersembunyi di baliknya.

Cermin satu arah itu masih memantulkan gambaran mereka, memperlihatkan setiap sentuhan, setiap desahan yang semakin menggema. Aku tahu setiap inci tubuhnya. Aku tahu bagian mana yang membuatnya menggeliat, bagian mana yang membuatnya terdiam dalam pasrah. Tapi kali ini, yang membuatnya terengah bukan aku.

Darahku mendidih, tapi aku tidak bergerak. Aku tetap di tempatku, membiarkan mereka bercinta tanpa tahu bahwa aku menyaksikan. Mungkin mereka berpikir sedang berada di dunia yang hanya milik mereka, tanpa ada yang tahu, tanpa ada yang menghakimi.

Kuselesaikan lukisanku, membiarkan warna hitam mendominasi, hanya menyisakan sedikit kilasan bentuk tubuhnya. Tidak ada cahaya, tidak ada kemewahan yang pernah kupuja. Yang tersisa hanyalah siluet kelam, tubuhnya yang ditelan bayangan, simbol dari penghianatan yang diam-diam merayap dalam hidupku. Sebagai sentuhan akhir, kutulis namaku di pojok bawah. Karya seni paling fenomenal telah selesai dibuat.

Kutaruh palet dan kuasku di meja tinggi sampingku. Aku bangkit dan mengambil dua kaleng cat. Kuhela napas dalam, berdiri depan kaca itu. Lenguhan nikmat terus menusuk telingaku. Kuangkat dua kaleng cat itu.

1...

2...

3...

Kulempar ke kaca.

Tiaaarrr!!!!

Suara erangan dan decitan bangku itu berubah menjadi kegaduhan. Ica menjerit kaget. Kepingan tajam cermin berhamburan di lantai. Dua kaleng cat itu menyipratkan warnanya ke kanvas-kanvas yang kutata di ruangan itu, tubuh Radit dan Ica yang sedang menyatu juga tak luput oleh warna merah marun dan ungu muda itu.

Mereka berdua tercengang menatapku di bawah sorot lampu. Mereka langsung memisahkan diri dan berusaha menutupi tubuh mereka dengan telapak tangan.

"Sayang..." gumam Radit tercekat.

Aku melangkah keluar melewati dinding pendke penyangga cermin. Telapak kakiku yang tanpa alas langsung bersentuhan dengan serpihan tajam. Sakitnya sungguh tak seberapa dengan apa yang ada di dadaku. Aku terus melangkah mendekat tanpa meringis sedikit pun.

"Sayang, aku bisa menjelaskan semuanya," ucap Radit panik, tubuh indah itu ternoda cat.

"Kenapa?' lontarku lirih. "Apa aku berbuat salah? Jelaskan di mana kurangku."

Ica tiba-tiba berlutut, matanya berkaca-kaca. Sebagian wajahnya terkena cat merah. "Maaf... maafkan aku, Anjani," ujarnya lirih.

"Kenapa?" ulangku tajam.

Ica menunduk, air matanya jatuh. Entah apa yang ia tangisi. "Aku jatuh cinta pada Radit."

Aku tercekat. Tenggorokanku perih meski sudah menyiapkan mental. Aku menatap nanar Radit, menuntut jawabannya juga.

Dia menunduk. "Aku hanya ingin melakukannya. Maaf, Sayang."

Aku tersenyum getir. Yang satu melakukannya karena cinta, dan yang lain melakukannya tanpa alasan. Lucu sekali. Pecahan cermin di kakiku terus menusuk semakin dalam.

"Jangan panggil aku sayang, kau bukan siapa-siapa lagi," sergahku. "Aku juga sudah bilang, bahkan mengirimkan foto kalian ke agensimu. Jika aku benar, kau akan mendapatkan denda. Denda yang sangat besar." Lalu, aku menoleh ke Ica. "Dan untukmu, Ica. Aku juga mengirimkan foto kalian ke orangtuamu di kampung. Mereka sangat kecewa padamu."

Ica makin tersedu. Radit lemas seketika.

Aku tersenyum penuh kemenangan, sakit di dadaku seolah berubah menjadi kepuasan. Lalu, kutunjuk kamera di sudut atas. "Lihat, tersenyumlah ke kamera," ujarku mantap. Setelah itu aku melangkah keluar, meninggalkan jejak kaki merah di lantai ubin putih itu.

Aku telah menyelesaikan karya seni terhebatku. Bukan lukisan yang kubuat, melainkan ruangan ini sendiri. Radit dan Ica adalah objek utamaku, kanvas-kanvas putih melambangkan cinta tulusku pada mereka, cat merah marun berarti gairah, nafsu, dan perselingkuhan, sementara cat ungu muda berarti kacantikan, kesempurnaan dan intuisi. Pecahan cermin berarti hatiku. Dan jejak kaki darah adalah tanda tanganku.

Inilah karya terbaikku.

###

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)