Satu karung besar masih kurang untuk Bono, baginya itu hanya sekali makan. Padahal dia makan sehari lebih dari 3 kali. Bapaknya kelabakan, tidak tahu harus cari beras di mana lagi. Sudah 10 lumbung diberantasnya dan 10 lumbung lagi memakinya mentah-mentah, mengutuknya tidak boleh datang. Akhirnya, bapaknya benar-benar tidak bisa datang.
Bahkan, tidak sekalipun bapaknya bisa sampai ke depan Lumbung. Mengetuk pintunya, atau menginjak desa. Sebab Joko selalu teriak lebih dulu, mengadu saat bapaknya Bono sudah sampai di pinggir desa, firasat ingin datang ke lumbung. Seluruh warga lantas gaduh, serentak memukul kentungan, membunyikannya keras-keras, dan diteruskannya dari rumah ke rumah; dan suara peringatan itu bagaikan petir yang menyambar. Seperti sirine bahaya, tanda akan ada serangan mematikan. Mungkin bandang memang akan lewat. Bencana yang didatangkan oleh Bono.
Jika saat itu ada orang asing yang tidak sengaja singgah di sana, pasti mereka kira ada lindu besar-besaran; atau waduk belakang jebol mendadak, menghantam pemukiman. Sontak dia bakal terpontang-panting menyelamatkan diri, menyincing rok yang nggubet di kaki. Lari ke sana ke mari dan lupa anak sendiri. Saking paniknya mendengar suara kentungan.
Bisa saja bencana lain malah datang sungguhan.
Kentungan bisa langsung redam, saat giliran Joko melapor ke kepala desa dan tetua di sana, lantas meminta mereka untuk mencekal bapaknya Bono dan mencegatnya di pinggiran. Tidak boleh masuk sejengkal saja ke desa, apalagi sambil membawa bencana.
“Jangan masuk ke sini, nanti bapaknya Bono mati konyol," perintah tetua desa itu, penuh rasa iba. Kasihan dengan bapaknya Bono. Disaksikan juga oleh warga, mereka juga iba. Mengusir bapaknya Bono sambil menahan tangis, tapi ada juga yang menahan ketawa. Parahnya, juga ada yang meringis, menahan kentut. Gila sudah seluruh warga itu.
Namun bapaknya Bono diam saja, merasa lumrah dengan tingkah laki tidak bermartabat demikian, orang sudah terlalu melarat menjalani hidup, tidak akan sempat membahas martabat. Baginya, ditolak juga bagian dari hidup. Jadi wajar-wajar saja. Padahal sudah ditawarkannya sawah yang besar. Atau tanah berlimpah. Rupanya warga tetap tidak mau, sebab ini bukan lagi soal jual dan beli atau untung dan rugi. Ini masalah kemaslahatan bersama. Jika seluruh lumbung habis dimakan Bono, lalu yang selain Bono harus makan apa?
Orang-orang juga takut jika harus kelaparan saat masa paceklik tiba. Sekarang sudah masuk musim kering. Hujan jarang datang. Pohon jati tinggal batangnya saja. Apalagi Beras di lumbung hanya sisa sedikit. Mereka tidak bisa menambah beban dengan menghidupi Bono. Sekalipun harus membiarkan Bono mati kelaparan.
Sayangnya bagi bapaknya, Bono masih tetap butuh makan. Ini sudah menjadi masalah kemanusiaan. Bono juga manusia, meskipun tidak ada yang tahu manusia jenis apa. Bapaknya jadi kelabakan, tidak tahu harus diberi beras apa. Parahnya Bono juga pemilih, dia tidak bisa makan batu dan tidak mau makan tanah. Padahal pasir digunung tumpah-tumpah, tidak ada yang mengangkut.
Bapaknya pusing, bingung harus cari kemana makanan untuk anaknya. Pernah sekali datang ke Rumah Tarjo, teman seperguruaannya. Tapi saat datang kedua kalinya, malah dapat tendangan. Sejak itu, bapaknya tidak sudi ke sana. Malu dibuatnya sendiri, sebab mengemis pada teman sendiri. Padahal dulunya mereka karib. Dekat sekali, sudah seperti pasangan sehidup semati. Dan siapapun yang mati dulu, satunya pasti melayat. Itu sudah jadi janji.
Saking dekatnya, mereka juga akan menjodohkan anak-anaknnya. Seperti menjodohkan anak-anak sapi. Tapi semenjak bapaknya datang minta beras, Tarjo sedikit linglung. Apalagi setelah lihat si Bono, Tarjo total berubah pikiran. Tidak mau anaknya menghidupi Bono, menguras lumbung di seluruh Jawa. Bisa-bisa putri cantiknya jadi maling. Lompat sana-sini hanya untuk mencuri beras. Demi Bono. Ini sudah kelewatan.
Mereka batal, memutuskan hubungan. Tidak mau lagi jadi teman, atau datang sekedar salaman. Bapaknya Bono lumrah saja. Siapapun yang lihat Bono pasti akan seperti itu. Bono juga kelewatan, makan tidak tanggung-tanggung. Tapi meskipun begitu, badannya juga tidak besar. Hanya seperti kelingking gajah. Kecil.
Pernah ibunya ke dokter, lari menggendong Bono. Dipikirnya ada 100 cacing di perut, hidup jadi parasit. Ikut makan yang Bono makan, makanya dia tetap saja cungkring. Kering seperti lulang dibungkus kulit, tidak ada dagingnya. Entah dagingnya dimakan siapa. Tapi kata bapaknya, Bono baik-baik saja, dia cuma kurang makan. Tapi kurang makan apa lagi, setiap hari 3 karung beras habis hanya untuk bono?
Bapaknya ngawur. Bono justru kebanyakan makan. Begitulah kata ibunya. Akhirnya bapak dan ibu cuma adu mulut terus, sementara Bono makan angin. Dia kenyang sendiri, tapi tidak juga besar-besar. Mungkin angin yang dia makan, yang membawa berasnya keluar dari Bono.
“Apa mungkin dia tempeli?” celetuk teman Bono, Pajio. Lebih ngawur dari kata bapaknya. Paijo memang suka ngawur.
“Ditempeli apa?” tapi ibunya Bono setuju saja. Sudah ketularan ngawur juga. Sekeluarga ini memang tukang ngawur. Dan Bono masih kyusuk makan angin.
“Yang halus-halus?” Jelas Paijo lagi, sudah terbang kemana-mana dengkulnya. Mengarang yang tidak-tidak.
“Maksudmu angin?” cetus Bono sendiri. Dia tahu kalau dirinya memang selalu makan angin, kalau-kalau tidak ada beras. Paijo ngangguk-ngangguk, bapaknya juga. Sementara ibunya melongo, angin kog dimakan. Heran, tapi juga merasa kasihan. Mungkin anaknya memang kurang makan.
Akhirnya ibunya Bono lari terjungkil-jungkil, menggantikan bapaknya cari beras. Kalau tidak di Jawa, pasti di luar Jawa ada. Satu, dua atau tiga kali kesana, tidak jadi masalah. Selama tidak 10 kali, bisa-bisa kejadian saat lumbung desa samping dibakar bisa terulang.
Kejadiaanya sepuluh bulan lalu. Saat pertama bapaknya Bono datang, mereka baik. Tentu saja, saat itu mereka dapat pelanggan. Pemiliknya masih muda, baru juga lulus SMA. Dia dapat lumbung itu dari simbahnya. Warisan keluarga yang harus dijaga. Saat bapaknya Bono datang ke 9 kalinya, pemilik lumbung masih ramah-ramah saja. Memberi 1 karung beras dengan ketawa-ketawa, tidak tahunya dia sudah gila. Sehari kemudian membakar lumbung sendiri dengan ketawa juga.
Anehnya, seluruh desa malah girang, sama gilanya dengannya. Bilangnya, “bapaknya Bono tidak akan datang lagi.” seperti paduan suara. Mereka berfoya-foya, merayakan lumbung yang dilumat api. Seperti api unggun waktu kemah, lalu menari-nari. Sinting memang.
Tapi itu lebih baik, daripada teror dari bapaknya Bono datang bertubi-tubi. Mereka was-was dibuatnya. Kepikiran akan makan beras apa jika selalu Bono yang habiskan. Akhirnya mereka pasrah, lalu jadi gila. Mereka tidak mau lagi memberi beras, mereka tidak mau makan beras. Juga tidak mau tahu lagi soal kemanusiaan. Biar Bono kelaparan. Mati jadi cacing.
Bapak yang tahu itu, hanya meringis. Lalu tiba-tiba nangis. Mengelus dada yang sakit minta ampun. Tapi, hanya bisa lumrah saja. Siapapun yang lihat Bono akan selalu seperti itu. Dan saat ibunya mau keluar jawa cari beras, bapaknya mewanti-wanti. Takut kalau kejadian ini terulang lagi. Tapi ibu bilang tidak apa-apa. Bahkan kalau sampai digebukin, Bono masih butuh makan. Ibu rela. Pasrah soal nasibnya, selama dapat satu karung untuk hidup Bono. Akhirnya ibunya benar-benar pergi.
Saat disana, ada 10 lumbung yang didatangi. Kesepuluhnya memberi 3 karung. Tidak tanggung-tanggung, ibu Bono langsung berterima kasih. Bukan masalah kalau hanya datang sekali. Ibunya senang, bisa untuk Bono 10 hari. Datang kedua kalinya, masih dapat beras, tapi cuma 1 karung. Mereka mulai khawatir. Tapi ibu bono tetap berterima kasih. Bisa untuk Bono 3 hari.
Saat datang ketiga kalinya, pemilik lumbung mulai kelabakan. Tidak bisa lagi memberi beras. Untuk apa gerangan berkarung-karung beras yang sudah diminta kemarin? Ibu bono cuma bilang untuk makan si anak. Tapi anak siapa yang makan berkarung-karung beras? Mereka menolak memberi.
Lantas ibu Bono hanya bilang, “Aku punya seratus Bono yang butuh makan di rumah. Mereka anak-anak jalanan yang ditinggal bapak-ibunya.”