Disukai
6
Dilihat
344
KAPSUL WAKTU
Drama
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Suatu ketika sekuncup bunga teratai bertanya kepada butiran air yang memercik sisi luar daun teratai.

Mengapa bayi manusia menangis saat pertama kali hadir di dunia ini?

Butir air yang ada di punggung daun pun menjawab.

Karena tetes air mata juga akan hadir, saat terakhir kali mereka akan kembali.

Butir air itu kemudian merayap hingga ke ujung daun, bergoyang-goyang dan hampir jatuh. Kuncup bunga Teratai cepat-cepat bertanya lagi.

Bila harus demikian, untuk apa diadakannya kehidupan ini?

Butir air itu pun menjawab sebelum akhirnya jatuh ke atas permukaan air, bersatu dan menyatu dengan akar dari tumbuhan Teratai.

Itulah kehidupan. Agar tiap-tiap manusia lebih bijaksana, dalam menyikapi.

***

"Kata orang ... mereka yang pintar itu keningnya menonjol.

Kata orang ... mereka yang berambut keriting itu banyak akalnya.

Kata orang ... Mereka yang suka bicara itu berbibir tipis.

Kata orang ... Mereka yang bertubuh pendek itu keras kepala.

Kata orang, mereka yang ...."

"Hei, kau ..., berhenti berpikir apa kata orang. Berpikirlah dengan pengalamanmu sendiri, atau tentang dirimu sendiri."

"Maksudmu?"

"Maksudku adalah apa yang kamu pikirkan dari hasil pikiranmu sendiri."

"Kataku, hmmm ... kamu adalah sahabatku ...."

Dua minggu lalu kami masih berkumpul di teras rumah. Perihal kehidupan masing-masing dari kami sering kali menjadi bahan perbincangan yang tak pernah surut setiap hari. Adam. Seorang sahabat yang juga tetanggaku. Dalam tiap-tiap petemuan, ia lebih banyak mendengar ketimbang berbicara. Menyimak segala keluh-kesahku dan beberapa teman lainnya.

Namun aku belum bertemu dengannya semenjak hari itu sampai dengan saat ini. Barusan aku mencari ke rumah orang tuanya, ke rumah tetangga, ke rumah teman di mana kami biasa berkumpul, namun belum juga kutemui.

Ke mana dia?

Hari ini adalah hari dan tanggal yang sudah dijanjikan bersama. Saat kami semua akan melihat isi dari kapsul waktu yang dahulu pernah kami kubur bersama, sepuluh tahun yang lalu.

Aku, Wulan —yang sekarang menjadi istriku, Adam, Mayang, dan Arif adalah para pesertanya. Masing-masing dari kami memasukkan sebuah benda yang telah dibungkus kertas kado ke dalam kaleng bekas cat tembok. Kami menutup rapat-rapat kalemg itu, lalu menguburnya sekitar satu meter. Barang yang kami simpan itu merupakan sesuatu yang kamu anggap berarti, pada masa lalu. Masa-masa kami meniti angan dan kenangan dalam titian kehidupan atas nama persahabatan.

Hari ini. Genap sepuluh tahun dari waktu yang telah dijanjikan.

Aku duduk di sofa ruang tamu sambil menautkan kedua telapak tangan di atas kepala. Posisi seperti ini pasti terjadi, ketika aku mengharapkan kedatangan seseorang yang tak kunjung datang.

Tak lama kemudian seorang wanita berambut lurus sepunggung meletakkan secangkir teh, lalu duduk di depanku.

"Adam ke mana ya? Kok belum ke sini?" ucapnya, lalu mengambangkan tatapan mata yang tak pernah bosan kupandang itu ke arah sebuah foto besar yang terpampang di tembok.

"Iya, aku juga dari tadi mencari dia," gumamku sambil terus melihat padanya. Istriku yang cantik dan sudah berpakaian rapi itu lantas mengambil ponsel, meletakkannya di telinga.

"Iya ... kamu di mana? mau berangkat kapan?" ujarnya.

"Oh, ya udah. Berangkat dari sini aja yaa," lanjutnya.

Sejenak ia melirik padaku, lalu duduk menyender pada badan sofa dengan garis wajah yang nampak ganjil. Sorot matanya mengarah pada langit-langit ruang tamu, seraya berbisik.

"Setelah ini kita berangkat yaa, Mas."

"Iya." jawabku, lantas beranjak dari kursi ruang tamu, menuju kamar tidur. Aku ingin sekali melihat anakku yang masih berusia lima bulan itu sedang terlelap di keranjang bayi, hadiah dari Adam.

Memandanginya. Wajah polos yang mirip denganku. Mengingatkanku akan sebuah tali persahabatan yang mengikat erat antara aku, Wulan, dan Adam. Aku berharap anakku bisa baik seperti ibunya, dan bisa kuat seperti Om-nya, yaitu Adam. Dahulu ketika Wulan masih menjadi gadis incaran banyak laki-laki dari kampung wilayah kami, juga dari kampung wilayah sebelah, dari yang masih perjaka, hingga yang sudah punya cucu berjumlah lima, Adam adalah serupa police line yang membentengi hubunganku dengan Wulan. Itu bermula ketika aku mengutarakan maksud hati padanya, bahwa aku amat mencintai Wulan.

Entah sudah berapa orang laki-laki yang menjadi korban kekerasan kepalan tangan Adam, karena memperjuangkan rasa cintanya kepada Wulan, pacarku. Hingga pada satu ketika, pernah ada seorang preman dari kampung sebelah yang benar-benar berurusan dengan Adam. Sahabatku itu harus mendekap dalam penjara selama beberapa waktu, karena telah membuat pria itu cacat.

Ah, berbicara tentang kenangan, tidaklah seperti kabut asap yang menguap saat sinar sang surya datang membuka hari. Tidak juga seperti pesona senja yang hilang ditelan gelapnya malam. Kenangan itu pasti mempunyai bukti otentik yang jelas. Seperti kapsul waktu yang telah kami kubur, satu tahun sebelum aku menyatakan cinta pada Wulan.

"Dam ... aku penasaran nih, punya kamu isinya apa?" masih terngiang ricuh dalam ingatanku mengenai suasana pada detik-detik penguburan kaleng kapsul waktu itu, ketika Mayang bertanya pada Adam. Kami berlima memang berkawan akrab.

"Rahasia lahh, nanti kamu juga bakal tahu, sepuluh tahun yang akan datang."

"Eh, Ndut, namanya juga kapsul waktu, yah pasti rahasia. Kalau habis ini kamu buka, namanya bukan kapsul waktu, tapi tukar kado," timpal Arif.

"Hahahaha." Kami serempak tertawa.

Seperti rangkaian mimpi yang masih tervisual ketika kita baru bangun dari tidur. Pun hal ini terjadi begitu saja. Sepuluh tahun sudah waktu berlalu hingga hari yang dinantikan ini.

Lamunanku kemudian terhenti oleh suara percakapan di ruang tamu, yang ternyata adalah suara Mayang.

"Ayo berangkat sekarang. Takut waktunya enggak cukup. Yang lain udah nunggu di mobil tuhh," ujar perempuan yang baru datang itu.

Titik di mana kami mengubur kapsul waktu itu memang ada di lokasi yang agak jauh. Tepatnya di bawah sebuah pohon cengkeh besar, di belakang rumah Kakeknya Mayang.

"Sebentar, aku mau bilang Mamah dulu," ucap istriku pada Mayang, seraya bergegas keluar rumah.

Setelah itu kami pun berangkat.

Siang hari menjelang sore, kami sudah sampai di sebuah bukit di kaki gunung. Sejenak kami menikmati pemandangan dan kondisi alam yang nyaris serupa dengan sepuluh tahun lalu. Hanya dua hal yang terasa berbeda. Pertama, jalan menuju ke tempat ini sudah dikelola lebih baik. Kedua, tiada lagi riuh canda tawa seperti dahulu. Kami semua sudah menjadi orang dewasa. Bahkan sepanjang perjalanan tadi semuanya hanya diam membisu dalam keheningan pikiran masing-masing. Hanya diisi oleh beberapa pertanyaan dan jawaban seiring persimpangan jalan.

Gema azan Asar berkumandang dari kejauhan. Alunan lembutnya hanyut memercik dasar kalbu.

"Ayo," ucap Mayang pada Adam, dan kemudian menengok Arif. Tak menunggu waktu lebih lama, laki-laki berbadan tinggi kekar itu mengambil pacul yang sudah tergeletak, kemudian berjalan ke arah selatan dari pohon Cengkeh.

Kami semua mengikutinya, melangkah bersama di atas tanah yang kini ditumbuhi ilalang liar setinggi lutut orang dewasa.

Sampai pada jarak sekitar lima belas meter dari pohon cengkeh, langkah kaki kami terhenti di depan tiga buah batu sebesar buah kelapa yang setengahnya dipendam ke dalam tanah. Bagian atas dari tiga batu itu masih terlihat sedikit, sebagai tanda di mana area kapsul waktu terkubur.

Adam pun mulai menyangkul.

"Huuffff." Beberapa saat kemudian ia mengembuskan napas panjang, tatkala ujung pacul menyentuh tutup kaleng besar yang sudah terkubur selama sepuluh tahun itu. Kepalanya menengok pada kami, lalu menggalinya lagi. Arif pun bergegas membantunya.

Setelah itu kami membawa kaleng tersebut ke tanah datar persis di bawah pohon Cengkeh.

Dan ..., membuka tutupnya.

Aku sungguh melihat wajah teman-temanku bersedih.

Bagaimana ini?

Saat seharusnya kehadiran senyum, canda, dan tawa seiring terbukanya benda-benda yang kami rahasiakan. Namun, semua tampak bertolak-belakang, dengan apa yang seharusnya terjadi.

Ya. Kini lima buah benda yang merupakan isi dari kapsul waktu sudah diletakkan di tanah. Masih rapi terbungkus kertas kado seperti masa dahulu. Sesuai kesepakatan saat kami berlima menguburnya, adapun yang berhak membuka barang miliknya adalah orang lain, dan si pemilik hanya melihatnya. Arif pun bergerak mengambil satu benda.

"Punya kamu nihh, Ndut," ujarnya pada Mayang yang sedari dahulu memang ia panggil demikian. Kami semua berdiri di sisinya.

Kertas kado pertama pun dibuka. Terlihatlah sebuah handphone Nokia 3310 yang dibungkus oleh plastik bening, lengkap dengan chargernya.

"Handphoneku balik," kata Mayang, setengah berteriak. Kami semua tersenyum.

"Sekarang giliranku," sambung perempuan bertubuh gemuk itu, memilah-milih barang yang hendak diambil.

"Ini punya aku aja," seru Arif sambil mengambil salah satu kertas kado yang jelas ia kenal, memberikannya kepada Mayang.

Kertas kado kedua pun dibuka. Terlihatlah sebuah seragam sekolah yang penuh dengan coretan berwarna-warni. Arif tersenyum, mengambilnya, lalu berkata; "Mau aku pajang di kamar, ah."

Wulan mengambil sebuah benda yang bukan miliknya.

"Punya kamu ya?" tanyanya pada Adam.

"Iya," jawab laki-laki itu sambil menundukkan wajah.

Kertas kado ketiga pun dibuka. Terlihatlah tiga benda di dalamnya. Pertama sekotak pistol mainan, lengkap dengan tabung gas dan dua plastik pelurunya. Kedua, setangkai bunga mawar merah yang sudah layu. Dan yang ketiga adalah satu lembar kertas berisi catatan, yang ditulis dengan tinta berwarna biru. Kami semua menengok pada Adam yang tidak ikut meriung bersama, dan tetap menundukkan kepala. Serempak kemudian, kami membaca tulisan pada kertas yang berada di tangan istriku.

Untuk Wulan :

Saat kapsul waktu ini dibuka, aku berharap kamu sudah menjadi bagian dari hidupku. Jujur, sejak masih sekolah, jauh sebelum kapsul waktu ini dikubur, aku jatuh cinta padamu. Dan demi sempurnanya sebuah keinginan, sebentar lagi aku akan ikut pendaftaran menjadi Polisi. Saat aku sudah memakai seragam dinas, aku akan mengutarakan rasa cintaku padamu. Aku akan melamarmu.

Aku cinta padamu, Wulan.

Tetes air mata jatuh pada selembar kertas itu. Membentuk dua lingkaran kecil yang tak rata di atasnya.

"Wulan ..." ujar Mayang seraya memeluk tubuh istriku. "Yang sabar yaa."

Perempuan itu kemudian menengok dan memanggil. "Adam."

Sungai kecil juga mengalir di pipi sahabatku itu. Untuk kali pertama, kita semua melihat Adam menangis.

Mayang ikut menangis sambil tetap memeluk tubuh istriku. Hanya aku dan Arif yang tidak berkomentar dan tidak dapat berbuat apa-apa. Sampai beberapa waktu kemudian, mereka menyeka air mata.

Adam lantas mengambil satu benda. Milikku.

"Dam ... ini dibuka bareng aja yaa," ujar Wulan, melawan sisa-sisa tangis, sambil memberikan satu benda miliknya pada Arif.

Kertas kado ke-empat dan ke-lima pun dibuka secara bersamaan. Namun saat melihat benda milikku di tangan Adam, kami semua meriung bersama. Terlihatlah tujuh lembar foto seukuran kertas A4. Foto-foto kami saat dahulu. Foto Arif yang sedang mengambil buah jambu di dahan pohon. Foto aku yang sedang berpose di depan rumah. Foto Mayang yang sedang duduk di atas motor. Foto Adam yang bertelanjang dada, berdiri di samping tiang listrik. Foto Wulan yang sedang tersenyum menawan. Juga foto kita semua dalam satu lembar, berlima berdiri di atas lapangan sepak bola. Dan saat lembaran terakhir dibuka, terlihatlah foto Adam yang sedang merangkul pundakku.

Tiba-tiba Wulan menjatuhkan badan, mendeprok di tanah. Ia hanya bisa menangis. Mayang juga ikut menangis sambil menemaninya duduk.

Arif lalu menunjukkan pada Adam sesuatu di tangannya. Berupa kaos berwarna hijau bersetelan dengan celana Levis hitam, jam tangan, dan sebuah tulisan di atasnya; Untuk Suamiku.

Adam mengamati selembar foto besar tanpa bingkai di tangannya itu, kemudian berteriak dengan suara serak.

"Selamat jalan, Sahabatku."

Ngiiiiinggggg.

Seketika itu juga suara seperti gangsing mendesis keras dalam telinga. Aku tahu, ketika suara ini datang, aku harus kembali. Tidak bisa tidak! Seperti terseret oleh arus yang sangat kuat. Meskipun aku berusaha untuk melawan, aku tetap akan kembali. Aku hanya bisa bersedih melihat mereka yang tengah bersedih. Tanpa bisa menyapa. Tanpa bisa menyentuh. Tanpa bisa berpamitan, dan hanya bisa berteriak walau mereka, dan juga dia tiada bisa mendengar.

Selamat Tinggal. Kawan. Kamu telah menang.

***

Duduk sambil menautkan kedua telapak tangan di atas kepala adalah apa-apa yang sering kulakukan guna mengisi hari-hariku. Sesekali mengingat, sesekali berharap, dan sesekali menembang.

Sama seperti rangkaian kata-kata yang kutembangkan sebelum aku datang ke sana, untuk membuka kapsul waktu saat dahulu. Tentang sekuncup bunga Teratai yang bertanya kepada butiran air yang memercik pada daunnya.

Detik ini, dalam kesempatan kali ini, di tengah kesendirianku, aku kembali menembang.

Tak ada lagi yang dibahas, yang terbatas, dan yang membahas, saat Sang Waktu bertingkah seperti seorang munafik tulen. Mungkinkah ini hanya ritme yang berputar dari pikiranku? Pemaksaan perasaan dari sumber kehidupan? Atau jiwa terdalamku yang sedang bertamasya ke tempat di mana waktu belum tercipta? Atau aku merasakan sesuatu yang beratnya melebihi sesuatu yang ada?

Alam pikirku berkata; "Inilah hidup nyata."

Alam batinku menyahut; "Akulah hidup yang nyata."

Alam Ego-ku yang terasa panas ikut berkata; "Akulah yang nyata dan benar."

Alam sunyaruri juga ikut berkata; "Kalian semua benar, akulah yang salah."

Semua alam pun menghampa seketika, kemudian serentak berkata; "Siapakah yang paling nyata?"

Dari luar alam pikir, batin, ego, dan sunyaruri, penguasa tunggal alam minus dimensi tertawa.

"Hahahaha."

Tawaku pun tak terhenti saat bait terakhir tembangku itu selesai terlantun. Namun setelah berhenti, aku menjadi terdiam, dan berubah rasa menjadi satu kesedihan yang dalam. Sangat-sangat dalam. Hingga air mata pun tak lagi bisa hadir. Waktu pun seakan-akan berhenti, hanya tertambat pada satu titik kosong.

Aku kemudian mengingat kehidupanku, juga mengingat orang-orang yang kukenal, berharap agar mereka juga senantiasa mengingat diriku.

Seperti biasa. Aku duduk dengan menautkan kedua telapak tangan di atas kepala.

Berharap banyak sambil melihat ke atas.

Ke sebuah gundukan tanah dan batu yang bertuliskan, 'Adnan Riyanto'.

***

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Kata orang telinga caplang pandai.
Kata orang rambut keriting banyak gaya.
Cerita yg menarik dan menghibur
Rekomendasi dari Drama
Rekomendasi