Aku menuruni eskalator dari lantai tiga pusat perbelanjaan. Suara langkah kaki beradu dengan riuhnya orang-orang yang sibuk tawar-menawar, sementara denting mesin kasir terdengar dari kejauhan, menciptakan irama khas tempat ini. Ketika mendekati pintu keluar, langkahku terhenti. Di sana, di gerbang, kau berdiri—seolah ragu apakah ingin melangkah masuk atau berbalik. Aku mematung sejenak, menatapmu, membiarkan segala yang tak terucapkan memenuhi ruang di antara kita. Dalam hening itu, perlahan aku mengumpulkan keberanian, menggulung segala keraguan yang seharusnya menahan langkahku. Tanpa suara, kuberikan senyum kecil yang tak sempurna ke arahmu.
Kamu tampak terkejut—hanya sekejap. Wajahmu segera melembut, dan suaramu mengalun ringan, seperti angin lembut yang berbisik di antara dedaunan. Kita berbicara, saling bertukar kata-kata sederhana, tanpa beban, seolah segala jarak dan waktu yang memisahkan tak lagi berarti. Dari gerbang keluar, kita melangkah beriringan, menyusuri taman yang mengelilingi pusat perbelanjaan, membiarkan keheningan menjadi pengisi jeda di antara percakapan.
Di bawah naungan pohon-pohon besar dan di antara bunga-bunga yang mulai layu, kamu melontarkan banyak pertanyaan. Tentang kehidupanku sebagai mahasiswa, rencana kuliah semester depan, hingga impian yang ingin kuraih setelah lulus nanti. Aku menjawabmu dengan sejujurnya, meskipun ada kalanya keraguan menyelinap di sela-sela kata-kataku—keraguan yang coba kusembunyikan di balik senyum kecil yang terasa setengah hati.
Kini giliranku bertanya. Aku ingin tahu tentang kesibukanmu menjelang skripsi, tentang bagaimana kehidupan barumu—kehidupan yang dulu sering kau ceritakan dalam percakapan kita. Namun, kau hanya tersenyum. Matamu, tersembunyi di balik kacamata, memancarkan sesuatu yang sulit kutafsirkan, seolah ada cerita panjang yang sengaja kau simpan rapat-rapat, enggan kau bagi.
Tak lama kemudian, kamu meminta izin untuk pergi. Katamu, ada sesuatu yang harus segera kamu selesaikan. Aku hanya mengangguk, menahan kekecewaan yang terasa menyelinap di sela-sela hatiku. Saat langkahmu perlahan menjauh, aku duduk di kursi taman, membiarkan angin sore membelai wajahku. Di benakku, aku memutar kembali setiap kata yang baru saja kuucapkan, bertanya-tanya dalam diam—apakah ada yang salah?
Lima menit berlalu—atau mungkin lebih—hingga aku menyadari ada tiga orang berdiri di hadapanku. Mereka menatapku dengan ekspresi yang sulit kuterjemahkan, menciptakan suasana yang membuatku sedikit gelisah. Yang tinggi berdiri paling depan, tatapannya tajam seperti mencoba menembus pikiranku. Yang berkacamata berdiri di sampingnya, wajahnya terlihat tenang namun penuh perhitungan. Sementara itu, yang pendiam berada sedikit di belakang mereka, seolah memilih mengamati dari bayang-bayang.
"Kamu tahu apa yang sudah kamu perbuat padanya?" tanya si tinggi.
Aku mengerutkan dahi, mencoba memahami maksudnya. "Aku enggak paham maksudmu," jawabku.
"Kamu jahat. Dia jadi seperti itu karena kamu," ucap si berkacamata.
Sebenarnya, aku tidak begitu paham dengan percakapan dua orang itu. Namun, kemudian kamu muncul, sedikit mengintip dari balik pohon. Dua mataku langsung menangkapmu dengan jelas.
Tanpa berkata banyak, aku bangkit dan berjalan cepat menuju tempat di mana aku melihat bayanganmu tadi. Kamu ada di sana, tubuhmu setengah tersembunyi.
“Kamu...” Aku menarik tanganmu. Kamu terkejut, tapi tidak menolak.
Tiga orang itu mengikutiku, namun aku tidak peduli. Aku membawamu kembali ke halaman taman, ke tempat di mana hanya ada aku dan kamu—tempat di mana kita bisa bicara.
“Apa kamu masih ada perasaan untukku?” tanyaku akhirnya.
Kamu tidak menjawab. Sebaliknya, kamu menangis. Tangisan itu menggelegar, meski tak ada suara yang keluar. Air mata mengalir deras dari matamu yang tersembunyi di balik kacamata.
“Aku sayang sama kamu,” katamu, suaramu bergetar. “Tapi kamu jahat. Kamu pergi dan membiarkan aku sendirian. Kamu enggak pernah benar-benar paham…”
“Aku ingin bersama kamu, tapi aku enggak tahu lagi harus gimana.”
Aku menelan ludah, berusaha menenangkanmu. Dengan hati-hati, aku menarikmu ke dalam pelukan. Kamu masih menangis, tapi pelukan itu membuat tangismu perlahan mereda.
"Maaf," kataku pelan. "Maaf kalau aku enggak peka. Aku enggak pernah berniat menyakiti kamu."
Kamu mendongak ke arahku. Senyum tipis terlukis di wajahmu. Kamu menghapus air mata yang tersisa, lalu berkata, "Aku ingin memberikan kepercayaan padamu. Walaupun aku tahu mungkin tidak akan sama seperti dulu."
Kita duduk di sana, membiarkan keheningan mengisi kekosongan. Di bawah senja yang sedikit tertutup awan, aku melihatmu tersenyum—senyum yang menghangatkan lebih dari apa pun yang pernah kutemui.
***
Aku membawa tumpukan buku menuju laboratorium biologi, langkahku sedikit tergesa, melewati lorong-lorong sekolah yang kosong. Begitu memasuki ruang itu, bau larutan kimia yang khas berpadu dengan udara dingin dari pendingin ruangan. Tempat ini dipenuhi meja-meja persegi, masing-masing dikelilingi delapan kursi. Di salah satu meja, aku duduk bersama teman-teman yang juga akan mengikuti try out Olimpiade Sains Nasional.
Aku mengambil tempat di sebelah seorang perempuan yang–entah kenapa–langsung menarik perhatianku. Dia terlihat cantik, tapi ada sesuatu yang lebih dari sekadar wajahnya. Pandanganku tertahan pada matanya. Cincin emas yang melingkar di iris matanya seperti perhiasan yang indah. Aku tidak bisa berpaling darinya.
Itu adalah pertama kalinya aku tahu bahwa ada kamu di sekolah kita. Namun saat itu, aku hanya bisa mengamatimu dari samping. Kamu tampak nyaman berbicara dengan temanku, si pintar yang memang mudah akrab dengan siapa saja. Kalian terus bertukar kata, sesekali tawa kecilmu terdengar, membentuk irama yang tak bisa kulupakan. Aku hanya diam, menyembunyikan rasa ingin tahuku di balik kertas ujian yang belum terisi.
Waktu berlalu. Setelah ujian selesai, kami semua kembali ke kelas masing-masing. Setelah itu, aku tidak pernah melihatmu lagi. Namun, nama kamu sering disebut dalam percakapan teman-temanku. Mereka bilang kamu pintar, ramah, dan sangat baik hati. Dari cerita mereka, aku mulai mengenalmu sedikit demi sedikit, meski tetap saja, itu belum cukup.
Hingga akhirnya, kita bertemu lagi. Kali ini di pekan Olimpiade Sains Nasional. Aku melihatmu berjalan dengan anggun di antara peserta lain. Pakaianmu sangat rapi, dan senyuman itu menyambut siapa saja yang kamu lewati. Saat itu, lagu Tujuh Belas dari Tulus berputar di sudut ruangan.
Muda jiwa selamanya muda, kisah kita abadi selamanya.
Pertemuan itu adalah yang kedua diantara kita, dan aku sempat berpikir, mungkin itu juga akan menjadi pertemuan terakhir. Namun, waktu kembali membawa kejutan.
Tahun berikutnya, saat aku sedang bersiap mengikuti pembinaan Olimpiade Sains Nasional, aku melihatmu lagi. Kamu mengenakan baju berwarna pink yang mungil, berjalan di lorong sekolah. Aku sempat tertegun. Kamu tampak sibuk, hingga langkahmu begitu cepat.
Kamu memang sedang mempersiapkan kelulusan waktu itu. Ujian sekolah dan serangkaian tes lainnya membuatmu tenggelam dalam kesibukan. Aku hanya bisa melihatmu dari kejauhan. Rasanya mustahil untuk menghampirimu, apalagi berbicara. Aku hanya orang asing, memang kebetulan pernah berbagi ruangan yang sama denganmu.
Namun, rasa penasaran ini tak pernah menyerah. Aku mulai mencari cara untuk mengenalmu lebih dekat. Aku menelusuri setiap grup WhatsApp anak olimpiade, berharap menemukan nomor yang mungkin milikmu. Namun, ternyata aku salah orang.
Si Gendut–teman dekatmu yang satu bidang studi olimpiade adalah penyelamatku. Kebetulan, dia juga teman lesku. Aku mendekatinya dengan alasan yang—menurutku—cerdik. Tanpa kecurigaan sedikit pun, dia memberikan nomor itu.
Aku memberanikan diri menghubungimu. Pesan pertama yang kukirim sederhana, hanya sekadar "hai". Tidak ada banyak yang kita bahas saat itu, hanya percakapan ringan yang tidak berlanjut lama. Akhirnya, kita kembali tenggelam dalam kesibukan masing-masing.
***
Beberapa bulan setelah itu, aku tidak lagi mendengar kabar darimu. Kamu telah lulus, sementara aku masih bergelut dengan rutinitas kelas dua belas. Suasana sekolah ramai dengan sambutan yang menggema kepada siswa yang berhasil masuk ke perguruan tinggi negeri. Tapi aku tidak bisa menemukan nama kamu di sana.
Aku ingin sekali mengetik pesan untuk mencarimu, membuka percakapan lama yang sudah penuh debu. Tapi aku ragu. Aku takut perhatianku justru menjadi beban untukmu, yang mungkin hanya butuh ruang untuk sendiri.
Aku mencoba mencari tahu keberadaanmu lewat beberapa teman, tapi jawaban mereka selalu sama—mereka tidak tahu di mana kamu sekarang. Rasanya seperti mencoba menemukan bayangan dalam kegelapan. Aku benar-benar buta akan keberadaanmu.
Sebenarnya aku ingin terus mencarimu, tapi ada hal yang lebih mendesak. Tujuanku untuk masuk perguruan tinggi negeri membuatku menyerah pada pencarian ini. Aku mulai memusatkan fokus pada pembelajaran, mencoba melupakan sejenak rasa penasaran yang menggantung.
Fase ini adalah yang paling membosankan dalam hidupku. Hari-hariku hanya diisi dengan belajar tanpa henti. Ambisiku tinggi. Aku bermimpi menembus Institut Teknologi Bandung, kampus impian yang sudah lama menjadi cita-citaku. Tapi perlahan aku sadar, kemampuan dan realitas tidak selalu sejalan.
Egoku harus tunduk pada empat pandangan yang aku anggap penting: dua guru favoritku, guru bimbingan konseling, dan tentu saja, orang tuaku. Aku menurunkan standar, mengisi formulir untuk program kuota prestasi nilai rapor. Segala berkas aku kumpulkan. Prosesnya melelahkan, tapi aku berharap ada buah yang bisa dipetik dari perjuangan ini.
Hari pengumuman itu datang. Aku membuka laman hasil penerimaan bersama beberapa teman di ruang kelas. Hasilnya sama—kami semua ditolak. Teman-temanku, yang dulu sering berbicara tentangmu, kini terdiam dalam kecewa yang sama. Aku hanya bisa menatap layar ponsel tanpa kata. Rasanya seperti pukulan berat, bukan hanya untukku, tetapi juga orang tuaku yang diam-diam menaruh harapan besar.
Beberapa hari kemudian, salah satu guru geografi yang sebenarnya tidak terlalu aku sukai, mendatangiku di lorong sekolah. Dengan nada bosan, dia menyodorkan informasi tentang sebuah kampus yang—jujur saja—tidak menarik perhatian. "Coba daftar di sini," katanya singkat.
Aku mengumpulkan berkas dengan setengah hati. Kampus itu memang tidak masuk dalam daftar keinginanku, tetapi prosesnya gratis karena aku mengajukan keringanan biaya melalui program kementerian pendidikan. Semua terasa datar. Aku hanya mengisi formulir dan mengikuti prosedur tanpa harapan apapun.
Dua bulan sebelum ujian bersama perguruan tinggi negeri, aku merasa muak dengan segalanya. Aku memutuskan menghilang sejenak. Dua hari penuh aku menutup diri dari semua pesan dan notifikasi. Namun, saat akhirnya aku membuka ponsel, pesan-pesan itu penuh dengan ucapan selamat.
Aku bingung. Rupanya, pihak sekolah lebih dulu tahu bahwa aku diterima di kampus itu, di jurusan yang sebenarnya aku taruh di pilihan pertama hanya karena kupikir mustahil untuk diterima. Nyatanya, takdir berkata lain.
Momen itu menjadi kebanggaan tersendiri bagi kedua orang tuaku. Aku bisa melihat senyum lega mereka yang selama ini tersembunyi di balik kekhawatiran. Namun, di balik semua ucapan selamat itu, ada ruang kecil di hatiku yang tetap kosong. Karena bukan ini yang aku inginkan.
Beberapa minggu kemudian, aku mengikuti ujian bersama di Sumedang, masih dengan harapan kecil untuk menembus kampus impian. Namun, hasilnya tetap sama: gagal.
Kini, aku berada di tempat yang tidak pernah aku bayangkan. Di kampus yang sama sekali tidak pernah aku inginkan. Berada di ruang-ruang kelas yang sunyi, memandang dinding-dinding yang dingin, aku sering bertanya pada diriku sendiri: apakah ini adalah akhir dari mimpi? Atau mungkin, justru di sinilah awal dari perjalanan yang belum aku mengerti arahnya?
***
Aku tidak ingat bagaimana awalnya. Tapi yang pasti, setelah aku selesai menjalani ujian dan menerima kenyataan pahit ditolak di perguruan tinggi negeri impian, kamu tiba-tiba menghubungiku. Kali ini, kamu yang memulai percakapan. Entah kenapa, pada detik itu, aku merasa segala tanya yang menyesak di dadaku selama ini akan menemukan jawabannya.
Tidak semuanya bisa aku ceritakan. Ada hal-hal yang terlalu pribadi, terlalu dalam untuk diungkapkan. Tapi yang pasti, sejak saat itu, hubungan kita perlahan berubah. Dari dua orang yang hanya saling tahu lewat bayang-bayang, menjadi dua orang yang mulai saling dekat, saling berbagi cerita hampir setiap hari.
Kamu sering menanyakan kabarku, begitu juga aku yang penasaran tentang kehidupanmu kini. Aku tahu kamu sudah berkuliah, tapi tetap saja, ada sisi diriku yang ingin tahu lebih. Aku bahkan pernah bertanya kepada si pintar, teman kita yang selalu tahu segala hal. Dia bercerita kalau pernah mengantarmu pulang. Dia bilang rumahmu tidak jauh dari rumahku. Informasi itu langsung membuatku bertanya-tanya.
Akhirnya, aku memberanikan diri bertanya pada si gendut, dan dia pun mengatakan hal yang sama. Rumahmu memang dekat. Aku mulai menyusun keberanian untuk menanyakan langsung kepadamu.
Ketika akhirnya aku bertanya, jawabanmu begitu santai: “Memangnya kalau dekat mau main?” Aku tertawa kecil.
“Memangnya kamu mau?”
Kamu hanya menjawab dengan singkat, “Ya sudah, tunggu saja di luar.”
Karena permintaanmu, sore itu aku duduk di kursi kayu kecil di halaman depan rumah. Matahari hampir tenggelam, dan suara serangga mulai menggantikan keramaian siang. Aku duduk gelisah, menatap ke segala arah untuk memastikan. Apakah kamu benar-benar akan datang?
Tidak lama kemudian, aku melihatmu muncul dari balik pagar yang berkarat milik tetanggaku. Rasanya sulit dipercaya. Setelah sekian lama, aku akhirnya melihatmu lagi. Mata indah itu, senyum itu. Kamu benar-benar ada di depan mataku.
Kita duduk di kursi panjang di depan rumah. Angin sore menyerbu diantara sela-sela percakapan kita. Aku mendengarmu bercerita, tapi jujur saja, aku lebih sibuk memperhatikan dirimu. Bagaimana caramu bicara dan tertawa, semuanya seperti mimpi yang terlalu indah untuk aku pahami. Itu adalah kali pertama aku berbicara denganmu dalam waktu yang cukup panjang.
Esoknya, kamu mengajakku bermain bulu tangkis di halaman. Bukan permainan serius, hanya lempar tawa dan pukulan seadanya. Kita bermain seperti anak kecil, tertawa tanpa beban. Aku ingat betul bagaimana senyummu waktu itu—murni, lepas, seakan dunia hanya milik kita berdua.
Sore itu terasa sederhana tapi begitu membekas. Jika aku bisa memilih, aku ingin terus mengulang hari-hari itu. Tak peduli seberapa berat pekerjaan atau beban kuliah yang menunggu, karena bahagia itu sederhana: yang terpenting aku bersamamu.
Ketika aku akhirnya diterima di perguruan tinggi negeri, kamu memberiku sebuah kado. Sebuah lilin aromaterapi. Katamu, “Biar kalau baunya tercium, kamu selalu ingat aku.” Aku tersenyum mendengar itu. Hadiah yang sederhana tapi memberikan kesan yang romantis.
Sebagai gantinya, aku memberimu sebuah buku. Aku berkata, “Buku ini untukmu. Bacalah, supaya kamu selalu ingat aku.” Itu adalah momen yang singkat tapi penuh kehangatan. Kita saling bertukar kado di malam hari, di bawah langit yang penuh bintang.
Tapi malam itu juga menjadi awal perpisahan. Aku harus pergi, melanjutkan perjalanan hidup di dunia perkuliahan. Kamu pun kembali ke duniamu, dengan mimpi-mimpi yang kau kejar.
Kini, lilin aromaterapi itu dan buku yang kuberikan menjadi simbol rindu kita. Meskipun jarak memisahkan, aku percaya, setiap kali aroma lilin itu menguar atau halaman buku itu dibuka, kita akan saling teringat. Dan itu sudah cukup. Untuk saat ini, itu sudah cukup.
***
Tapi cinta selalu punya bahasanya sendiri untuk mengatakan, “Aku tidak mungkin hinggap pada dua insan dengan begitu mudahnya.”
Aku mengingat malam itu dengan jelas. Di bawah redup lampu kamar baruku, yang asing dan jauh dari kehangatan rumah. Aku terpisah dari orang tua, teman kecil, bahkan rasa nyaman yang dulu selalu aku kenal. Waktu itu, aku hanya punya kamu. Kamu yang jadi satu-satunya tempat cerita. Di kamar ini, dengan tembok putih kosong dan meja kecil yang berantakan oleh buku dan catatan, aku menyalakan lagu Tulus. Suaranya mengalun, menemaniku menahan rindu dan kebimbangan, “Tubuh saling bersandar ke arah mata angin berbeda. Kau menunggu datangnya malam, saat kumenanti fajar.”
Perasaanku memberitahu bahwa aku mencintaimu. Rasa itu tumbuh perlahan, merambat seperti akar yang diam-diam menjalar dalam tanah. Tapi aku tidak tahu apa yang ada di hatimu. Apakah kamu merasa hal yang sama? Atau hanya aku yang tenggelam dalam rasa ini sendirian? Ketakutan itu mengikatku, membuatku memilih diam. Aku terlalu takut kehilanganmu jika perasaanku ini terungkap. Maka, aku membiarkan semuanya berjalan seperti ini. Bertukar cerita, tanpa pernah menyebut kita sebagai apa-apa.
Tapi rasa cemburu itu menghampiriku. Aku ingat betul saat kamu bercerita tentang teman lama—teman SMP yang tak pernah aku duga akan menjadi bagian dari kisah kita. Kamu bercerita bahwa dia mengantarmu ke Bandung dengan motor. Sebuah perjalanan panjang, hanya kalian berdua. Kamu tersenyum saat bercerita, seolah itu hanya kenangan biasa. Tapi bagiku itu sesuatu yang menghanguskan senyum. Aku tahu, mungkin hubungan kalian hanya sebatas teman. Tapi apakah salah jika aku merasa cemburu?
Aku tidak mengatakan apa-apa. Hanya mendengarkan cerita panjangmu, berpura-pura tidak ada yang salah. Di malam-malam setelah itu, mulai terpikir bahwa mungkin aku harus berhenti berharap. Aku mulai membayangkan diriku hanyalah seseorang yang kamu anggap adik, tempat pulang ketika kamu lelah. Dan aku meyakinkan diriku bahwa itu cukup.
Meski begitu, di setiap malam sepi di kamar, aku tetap menghubungimu. Kamu adalah satu-satunya orang yang aku beri kabar. Cerita-ceritamu adalah dongeng yang selalu aku nanti. Aku menjadi pendengar setiamu, tempatmu pulang saat dunia terasa berat. Aku tahu, kita berdua terjebak dalam rasa nyaman yang luar biasa. Tapi rasa itu tidak punya nama. Dan aku takut memberi nama, karena jika aku salah, aku mungkin kehilangan semuanya.
Waktu berlalu, dan intensitas komunikasi kita mulai mereda. Perkuliahan menyita banyak waktuku. Dunia baru ini penuh dengan hal-hal membosankan, tumpukan tugas, dan jadwal yang melelahkan. Namun, ada satu malam yang tidak akan aku lupakan. Kita melakukan panggilan video. Aku menatapmu di layar ponselku, melihatmu tertawa, mendengar ceritamu. Malam itu sederhana, tapi penuh kebahagiaan. Aku tahu bahwa rindu perlahan membawa perasaan yang selalu ingin bertemu.
Akhirnya, waktu telah tiba. Aku memberitahumu bahwa akan segera pulang. Sambutanmu penuh riang, seperti anak kecil yang diberi hadiah. Kita langsung membuat janji untuk bertemu. Aku menyelesaikan semester pertama ini dengan susah payah. Perjalanan panjang, ujian yang menguras energi, dan rindu yang aku simpan rapat-rapat. Tapi akhirnya, aku bisa pulang untuk melampiaskan semuanya.
Perjalanan pulangku dimulai di stasiun Manggarai. Kereta penuh sesak, tapi aku tidak peduli. Aku transit di Jatinegara, menunggu kereta ke Pasar Senen. Semua ini aku jalani dengan satu bayangan: kampung halaman, keluarga, dan kamu. Dua jam perjalanan terasa cepat. Saat aku sampai, ibu menyambutku dengan senyuman. Rumah itu, dengan segala aroma dan kehangatannya, membuatku merasa utuh lagi.
Malam itu, aku berdiri di halaman. Udara kampung menyentuh kulitku, dingin dan menenangkan. Aku menarik napas panjang, membayangkan bahwa udara yang sama kini sedang kamu hirup. Aku tersenyum kecil, memejamkan mata, dan berharap segera melihatmu. Karena kamu adalah rumah lain yang selalu aku rindukan.
***
Aku mundur sedikit ke waktu sebelum aku berangkat. Ini tepatnya saat kita sedang berada di fase yang paling dekat. Aku hampir lupa menyelipkan bagian ini. Sebenarnya, mungkin tidak penting. Tapi entah kenapa, rasanya ini seperti potongan kecil yang akan berarti besar di cerita kita berikutnya.
Hari itu siang. Matahari merambat perlahan melewati celah tirai kamarku. Rumah sedang sepi, hanya ada aku, karena kedua orang tuaku bekerja. Kamu datang dengan senyum yang selalu aku kenal. Tapi untuk menghindari salah paham, aku memutuskan menelepon si pintar. Rumahnya tak jauh, hanya beberapa ratus meter dari sini. Aku berpikir, mungkin kehadirannya akan jadi alasan baik jika nanti ada yang bertanya.
Hanya butuh lima belas menit baginya untuk sampai dengan sepeda motor. Saat dia masuk dan memarkirkan motornya di halaman rumahku, pandangannya teralihkan menuju kamu duduk di teras depan, aku bisa melihat sedikit keterkejutan di wajahnya. Mungkin dia tak pernah menduga bahwa kamu mengenalku, apalagi sampai bermain di rumahku. Kami memang tinggal di satu lingkungan, tapi jarak itu ternyata lebih dari sekadar beberapa meter. Dan aku merupakan warga baru yang belum genap enam bulan tinggal di sini.
Kini hanya ada aku, kamu, dan si pintar di teras depan. Awalnya semuanya terasa kaku, tapi perlahan mencair. Kita memainkan permainan bersama, saling melempar cerita yang penuh tawa. Ada momen kecil saat aku dan kamu tertawa lebih keras dibanding si pintar. Sekilas, aku merasa dia mulai bosan. Aku tahu, dia merasa seperti nyamuk di antara kita. Tapi aku berusaha membuatnya tetap nyaman. Aku memberi ruang lebih baginya untuk terlibat dalam obrolan.
Tak lama, seseorang datang dari balik gerbang depan. Ibu pulang. Senyum ramahnya langsung menyapa kami bertiga. Aku mengenalkanmu padanya. Kamu bersalaman dengan sopan, dengan nada suara yang lembut. Tapi aku tidak langsung menceritakan apapun tentang kamu. Aku masih terlalu bimbang dengan perasaanku sendiri. Lagipula, aku tak ingin ibu menaruh ekspektasi berlebih tentang kita. Aku belum tahu pasti apa yang sebenarnya kamu rasakan.
Ketika permainan berakhir, si pintar berpamitan pulang. Tinggallah kita berdua. Aku tidak merasa khawatir, karena ibu sedang di dapur memasak. Kamu masih duduk di teras, sementara aku mengambil air minum. Setelah aku kembali kita kembali bercerita. Tentang hal-hal kecil yang mungkin bagi orang lain terkesan remeh, tapi bagiku, semuanya terasa istimewa saat bersama kamu.
Waktu terus berjalan hingga azan magrib berkumandang. Kamu berpamitan. Dengan senyum lembutmu menyalami ibuku lagi sebelum akhirnya pergi. Aku mengantarmu sampai depan gerbang, melihat punggungmu perlahan menghilang terhalang oleh pagar besi milik tetanggaku.
Beberapa hari kemudian, kita bertemu lagi. Kali ini, hanya berdua. Kita memilih duduk di bangku kayu yang menghadap ke hamparan sawah. Angin sore bertiup lembut, membawa aroma rumput basah. Kamu bercerita tentang kuliahmu, tentang bagaimana kamu harus beradaptasi dengan lingkungan baru. Aku mendengarkan, sesekali mengangguk, dan kadang tertawa kecil mendengar cerita-cerita konyolmu.
Tiba-tiba, adikmu datang. Anak kecil itu seperti angin ribut yang membawa kehebohan. Dia memandang kita berdua dengan tatapan usil, lalu mulai menggoda. Kamu buru-buru menjelaskan bahwa aku hanyalah teman. Aku tersenyum mendengarnya. Penjelasanmu terasa wajar, karena aku tahu kamu hanya ingin menghindari kesalahpahaman. Setelah beberapa candaan, adikmu akhirnya pergi, dan kamu mengatakan bahwa waktumu tak lama lagi.
Percakapan kita terputus di sana, harus dilanjutkan di waktu lain.
Namun, ada satu masalah kecil yang menyelip di antara semua persiapanku. Ternyata, diterimanya aku di kampus ini menjadi bahan pembicaraan teman-temanku. Mereka terkejut karena aku tidak pernah bercerita tentang pendaftaranku. Ada yang menganggap aku egois, seolah mengambil jalanku sendiri dan melupakan kebersamaan kami. Padahal, aku benar-benar tidak berpikir akan diterima.
Si pintar, meski awalnya sedikit kecewa, akhirnya mengerti. Persahabatan kami kembali seperti biasa. Tapi dengan dua teman lainnya, jarak itu masih terasa. Kami masih saling berkomunikasi, meski tak sehangat dulu.
***
Setelah enam bulan berpisah, akhirnya aku dan kamu bertemu kembali. Rasanya seperti menunggu hujan di tengah musim kemarau; lama, penuh harap, tapi akhirnya datang juga. Kita berencana menghabiskan hari di sebuah pusat perbelanjaan di tengah kota. Jaraknya cukup jauh, sekitar 60 kilometer, atau satu jam perjalanan dengan sepeda motor.
Pagi itu, aku menjemput di rumah nenekmu. Ketika sampai, aku hanya berdiri di luar pagar, tersenyum dari kejauhan. Kesalahan pertama yang aku sadari belakangan: aku tidak berpamitan langsung kepada nenekmu. Hanya lambaian kecil yang mungkin bahkan tak terlihat. Tapi entah kenapa, saat itu aku hanya ingin segera pergi bersamamu.
Kita berangkat dengan perjalanan yang lebih banyak diisi dengan keheningan. Angin berdesir lembut, membawa aroma jalanan basah karena hujan semalam. Sesekali, aku mengajakmu berbicara, menanyakan kabar, atau sekadar bercanda kecil. Kamu membalasku dengan hangat.
Setelah sampai, langkah pertama kita adalah menuju Gramedia. Itu memang tempat favoritku. Kamu tahu betul, aku sangat suka menulis. Kamu adalah orang pertama yang aku ajak berkeliling di sana. Di antara rak-rak buku yang berjajar rapi, kita membahas banyak hal. Tentang judul yang menarik, tentang buku yang pernah kita baca, bahkan tentang ide-ide liar yang kadang muncul di kepala.
Aku membeli beberapa buku, sambil terus memperhatikan wajahmu yang tampak antusias menemaniku. Kita berkeliling sampai waktu menunjuk saat yang pas untuk masuk ke bioskop. Itu tujuan utama hari ini.
Di dalam bioskop, aku memilih kursi di tengah. Kami berbagi satu popcorn besar, cukup untuk berdua. Tangannya sesekali menyentuh tanganku saat bergantian mengambil popcorn, dan aku merasa dadaku berdebar lebih kencang. Film yang kami tonton adalah Avatar 2. Aku sudah lama menantikan sekuel film ini. Rasanya seperti menghadiri reuni yang penuh kenangan.
Aku tak bisa memungkiri, selama film berlangsung, aku lebih sering mencuri pandang ke wajahmu daripada fokus ke layar. Sesekali aku memastikan kamu nyaman, terkadang aku hanya ingin mengingat raut wajahmu saat tertawa kecil di tengah adegan lucu, atau matamu yang serius saat film memasuki klimaks.
Film berakhir. Seperti dugaan, ceritanya menguras emosi. Ending-nya cukup memuaskan, meski menyisakan rasa sedih yang sulit dijelaskan. Kabarnya Avatar 3 akan segera diproduksi. Aku sempat menyebutkan kabar itu padamu, dan kamu hanya tersenyum kecil, mungkin tak terlalu peduli, tapi aku merasa kamu tetap mendengarkan.
Saat aku melirik jam tangan, waktu sudah menunjukkan hampir maghrib. Aku khawatir kamu akan dimarahi oleh kedua orang tuamu jika terlambat pulang. Sebelum pulang, kita mampir ke sebuah gerai ayam pop potong. Sambil menunggu pesanan, aku terkejut ketika kamu memilih menuliskan namaku di daftar pesanan. Itu hal sederhana, tapi aku merasa salah tingkah.
Kita duduk berhadapan di meja kecil. Suasana semakin sepi, hanya ada beberapa orang yang masih berlalu-lalang. Aku menikmati setiap detik di dekatmu, merasakan kenyamanan yang sulit dijelaskan. Walau perasaan ini hanya kupendam, aku bersyukur bisa menghabiskan waktu denganmu.
Setelah kita mendapatkan makanannya, tujuan berikutnya adalah pulang ke rumah. Sebelum menghantarmu, kita singgah sebentar untuk salat. Waktu itu terasa singkat, tapi bagiku, setiap momen bersamamu adalah hal yang patut disyukuri.
Aku sempat mampir ke tokoku untuk mengambil kunci, lalu mengantarmu pulang ke rumah. Malam itu, aku kembali dengan perasaan campur aduk. Bahagia karena bertemu, tapi ada sesuatu yang terasa ganjil. Sesuatu yang aku sadari belakangan, ternyata dari sinilah awal kesalahpahaman itu terjadi.
***
Semester kedua kuliah akhirnya berlalu, tapi bukan tanpa masalah. Aku kembali ke rutinitas perkuliahan yang melelahkan, sementara di dalam hati ada sesuatu yang tak kunjung tenang. Pertemuan terakhir kita, yang terjadi saat liburan semester, menjadi kenangan yang tak pernah benar-benar kulepaskan. Bukan karena indah, tetapi karena menyakitkan.
Malam itu, aku hanya ingin beristirahat sejenak dari penatnya dunia. Pesanmu datang tiba-tiba, dan seperti biasanya, membuat segalanya berubah. “Seandainya aku berhenti untuk datang ke rumah tersebut. Apa itu boleh?”
Aku berusaha memahami kalimatmu.
“Karena terkadang jalan untuk ke rumah tersebut sulit.” Kamu memberikan pesan berikutnya ketika aku masih berusaha memahami maksudnya.
Aku memberanikan diri untuk menjawabmu. “Apa yang membuatmu terhambat melalui jalan tersebut?”
“Banyak batu di jalanan tersebut. Aku seringkali terluka jika memaksakan diri untuk melewatinya.”
“Batu yang menghalangi jalanmu itu sudah ada semenjak awal kamu datang ke rumah?” tanyaku yang mulai mengerti arah pembicaraanmu.
Kamu membalasnya dengan bimbang. “Aku enggak tahu. Terkadang batunya memang bertambah banyak. Mungkin memang banyak yang menginginkanku untuk tidak ke rumah itu.” Kamu juga melanjutkan pesanmu. “Di sekitaran jalan tersebut juga ada bunga. Cantik dan warna-warni. Terkadang aku tertarik untuk merawat bunga itu.”
Aku menelan keterkejutanku. “Kalau memang ada bunga yang kamu sukai, ambil saja dan rawat baik-baik bunga itu.”
“Terus rumahnya gimana?” tanyamu. “Nanti enggak ada yang menjaga.”
“Mungkin nanti di luar sana akan ada yang menemukan rumah itu. Dia bisa menjadi penjaga barunya.”
“Tapi kalau bunganya dibawa ke rumah, gimana menurutmu?”
Aku menjawab dengan diplomatis. “Rumah tidak bisa memilih siapa yang menjaganya. Tapi siapapun yang bisa membuka kunci pintunya, tidak peduli apapun yang dibawanya. Maka dia berhak untuk menjaga rumah itu.”
“Berarti boleh bunganya boleh dibawa?”
“Silahkan saja,” kataku. “Tapi jangan lupa untuk membawa serta kuncinya.”
“Pasti,” balasmu.
Kemudian aku bertanya. “Bagaimana kalau nanti ada yang ingin berteduh ke rumah tersebut?”
“Boleh saja.”
“Bagaimana kalau orang ini ingin menetap dan singgah kepada rumah tersebut. Apa tindakanmu?” tanyaku.
“Apa yang membuat rumah tersebut ingin disinggahi lebih lama?”
Aku tersenyum mendengar pertanyaannya. “Bisa saja rumah tersebut meninggalkan kesan istimewa bagi tamunya. Artinya akan ada dua pemilik dalam satu rumah.”
“Enggak,” katamu. “Aku akan keluar dari rumah itu?”
Aku memasang raut wajah heran membaca pesanmu. “Bagaimana kalau nanti akhirnya rumah tersebut tidak dirawat sebaik kamu dalam memeliharanya?”
Jawabanmu sangat mengejutkan. “Aku tidak memberikan rumah itu. Hanya saja memberinya waktu untuk merawat rumah tersebut.”
“Artinya kamu akan kembali untuk mengambil kembali rumah tersebut?”
“Tidak juga. Aku akan menanyakan bagaimana kondisi rumahnya.”
Aku lagi-lagi kebingungan dengan caramu berpikir. “Mari kita bedah situasinya. Jika dalam kondisi baik tindakanmu akan seperti apa?”
“Maka artinya dia layak memiliki rumah itu.”
“Jika tidak?” tanyaku.
“Maka artinya aku akan mengambil kembali rumah tersebut.”
Aku terdiam sejenak membiarkan pesan itu menjamur. Sejenak setelah mendapatkan ide aku kembali menanyakan kepadamu sesuatu. “Apa tindakan kamu ketika tahu bahwa rumah itu sudah tidak dikenali lagi?”
“Aku punya banyak kenangan untuk mengingat semua detail rumahnya. Kenapa bisa sampai aku tidak mengenali?”
Aku tersenyum simpul. “Tapi rumah itu sudah bukan seperti dulu lagi. Bentuknya sudah berbeda, ada banyak yang berubah ketika kamu sedang melakukan perjalanan panjang itu.”
“Apa tidak boleh untuk sesekali aku melihat kembali rumah itu?” tanyamu melalui pesan.
“Tanyakan kepada pemiliknya.”
Kamu tidak membalas pesanku. Sekitar beberapa menit akhirnya pesan balasan sudah muncul. “Aku ingin keluar dari rumah itu. Tidak tahu apa alasan yang pasti, tapi sangat egois bila aku meninggalkannya sendirian. Aku akan memperbaiki dahulu jalan untuk menuju ke rumah itu. Bunganya akan aku biarkan tumbuh di tempatnya untuk menemami selama memperbaiki jalan.”
***
Kalian salah jika berpikir semua akan selesai begitu saja. Tidak. Setelah semua percakapan itu, hidupku tidak berjalan seperti dongeng yang berakhir bahagia. Tapi aku juga tahu, aku tak bisa mengakhiri kisah ini sekarang. Masih ada bagian lainnya yang harus diceritakan, meski tanpa kepastian ke mana arahnya.
Kita menjadi semakin jauh setelah percakapan itu. Benar-benar jauh. Bahkan dalam liburan yang panjang sekalipun, kamu tidak mau menemuiku. Aku jadi berpikir mungkin alasanmu seperti ini karena aku membiarkanmu merawat bunga. Mungkin kamu sedang memperbaiki jalan menuju rumah itu. Kamu sedang menikmati keindahan bunganya.
Tapi hidup harus tetap berjalan. Aku kembali ke rutinitas perkuliahan, meski hati ini masih membawa sisa-sisa kekecewaan. Aku mencoba melupakanmu di tengah kesibukan, menjadi panitia acara kampus yang menguras waktu dan tenaga. Namun, di setiap langkah, aku berharap kamu datang. Bukan untuk menyelesaikan apa yang tak pernah selesai, tapi sekadar melepaskan beban yang mungkin juga kamu rasakan.
Ada hal yang selama ini tidak pernah kubicarakan padamu. Hal yang aku tahu akan membuatmu terluka jika aku mengungkitnya. Tapi biarkan aku mengatakan ini sekarang. Aku terlalu egois. Di tengah kesedihanmu karena kehilangan sahabat terbaik—seseorang yang juga seniorku di organisasi—aku malah menekanmu dengan seribu pertanyaan yang tak penting. Aku lupa, kehilangan adalah rasa sakit yang tidak bisa dibandingkan. Kehilanganmu sudah lama, tapi aku baru saja merasakannya. Dan saat itu aku sadar, rasa sakit itu sama saja, kapan pun itu terjadi.
Beberapa hari setelah aku sampai di kos, kamu mengirimkan sebuah paket. Sebuah hadiah. Kamu menulis bahwa ini adalah yang terakhir untukku. Aku tidak peduli apa isinya. Aku bahkan berharap itu adalah sesuatu yang sederhana, sesuatu yang tak mencolok. Tapi kata "terakhir" itu mengganggu pikiranku.
Aku tidak mungkin mengabaikannya. Karena aku pikir selama ini menghilangmu karena ingin berusaha memperbaiki jalannya. Tidak ada rasa yang berpikir bahwa kamu akan pergi. Di dalam paket tersebut terselip sebuah catatan.. "Selamat ulang tahun," tulismu. "Bahagia selalu, ya."
Pesan itu sederhana, tapi justru membuat semuanya terasa lebih rumit. Kamu memintaku memberi kabar setelah membacanya. Tapi aku memilih untuk diam. Perasaan kecewaku terhadapmu masih sangat besar. Dan aku membiarkan keheningan menjadi jawaban.
Beberapa bulan setelahnya, duniaku berubah. Kesibukan kampus, organisasi, dan perjuangan memperbaiki nilai akademik yang sempat hancur, menyita seluruh energiku. Aku mencoba melupakanmu dengan menenggelamkan diri dalam rutinitas. Dunia yang ada di sekitarku menjadi prioritas, bukan kamu yang jauh di Bandung.
Tapi bukan berarti aku tidak memikirkanmu. Aku pernah menyiratkan bahwa aku menyukaimu, meski tak pernah benar-benar mengatakannya. Aku takut. Aku takut menghancurkan kenyamanan ini, membuat segalanya menjadi asing dan tak lagi sama.
Aku berpikir bahwa rumah yang kamu siratkan adalah diriku. Tidak ada alasan lain untuk mengatakan bahwa itu bukan aku. Tapi sekarang rasanya menjadi ragu. Mungkin justru aku adalah bunga itu, yang ingin kamu bawa ke tempat yang kamu sebut sebagai rumah.
Semester berikutnya, aku berhasil memperbaiki nilai-nilaiku. Tidak sempurna, tapi cukup untuk membuatku merasa lega. Di pertengahan semester, aku akhirnya mengabarimu bahwa paket itu sudah kuterima. Dua bulan setelahnya, aku memberanikan diri untuk bicara. Tapi jarak emosional di antara kita sudah terlalu besar.
Liburan awal tahun itu, aku berharap kita bertemu. Aku ingin kamu hadir, meski hanya untuk melihatku dari jauh. Tapi kamu tidak pernah datang. Dan sekali lagi, aku mengecewakan diriku sendiri karena terus berharap pada sesuatu yang tidak pasti.
Februari datang tanpa keindahan. Di saat aku mencoba menemukan kebahagiaan kecil, hidup memberiku pukulan lain. Ayahku mengalami kecelakaan. Luka-luka kecil yang bisa sembuh dengan obat merah, tapi itu bukan soal lukanya. Trauma dari masa lalu kembali menghantamku. Enam atau tujuh tahun lalu, aku menjadi saksi bagaimana seseorang yang kami cintai harus pergi dengan cara yang tak terduga. Trauma itu melekat, mengubah setiap kabar buruk menjadi bayangan yang lebih gelap dari kenyataan.
Dan Maret datang dengan lebih banyak kehilangan. Aku rapuh. Jatuh. Habis. Semua rasa bercampur menjadi satu, menenggelamkanku dalam kegelapan yang sulit kugambarkan dengan kata-kata.
***
Kemana kamu, waktu aku benar-benar membutuhkanmu? Itu satu-satunya pertanyaan yang terus berputar di kepalaku. Aku tahu, dunia tidak selalu berpihak kepadaku. Tapi waktu itu, semuanya benar-benar terasa runtuh. Dan aku hanya berharap, kamu datang untuk menenangkan.
Aku, seorang laki-laki yang biasanya terlihat tegar, sering kehilangan kewibawaan ketika bersamamu. Bersamamu, aku bukan sosok yang banyak orang kenal. Aku menjadi seseorang yang berbeda. Aku tidak malu menunjukkan rapuhku, karena aku tahu, kamu adalah pemilik ruang hatiku. Kamu adalah pemilik sebenarnya dari rumah itu.
Dan aku percaya satu hal. Rumah ini adalah aku. Satu-satunya orang yang bisa membuka pintunya hanyalah kamu. Bahkan ketika kunci itu tampak biasa saja, kamu tahu cara menggunakannya. Tidak ada orang lain yang bisa seperti itu.
Aku sadar, di perjalanan hidup ini, pasti ada orang lain yang akan singgah. Mereka yang mungkin sekilas membuat rumah ini terasa lebih berwarna, lebih ramai. Tapi mereka hanya penghuni sementara. Sebab hanya kamu yang benar-benar tahu di mana letak kunci itu. Hanya kamu yang tahu bagaimana membuka pintu ini, bagaimana menyingkap lapisan-lapisan dinding yang aku biarkan tertutup rapat selama bertahun-tahun.
Aku membayangkan kamu kembali suatu hari, mengetuk pintu yang sudah lama tidak kamu buka. Tapi kali ini, ada seseorang di sana. Penghuni baru yang mencoba menghidupkan rumah ini dengan caranya sendiri. Namun, mereka tidak pernah tahu seperti apa rumah ini sebelumnya. Mereka tidak pernah tahu bahwa di balik cat yang cerah, ada bagian-bagian gelap yang hanya kamu yang mengerti.
Kamu tahu kan, rumah ini penuh dengan cerita? Rumpang-rumpang di dinding yang tak bisa ditutupi oleh cat baru. Sudut-sudut gelap yang tidak pernah disentuh orang lain. Semua itu tetap ada, dan hanya kamu yang hafal setiap detailnya.
Aku hanya bisa berdiri di sini, berharap suatu saat kamu kembali. Karena meskipun aku tahu ada orang lain di sini sekarang, rumah ini tetap kamu yang punya. Setiap kali aku menutup mata, aku melihatmu berdiri di depan pintu. Membuka kunci itu dengan tangan yang pernah membuatku merasa hangat.
Tapi aku juga tahu, mungkin kamu tidak akan kembali. Kamu sudah menemukan jalanmu sendiri, rumahmu sendiri. Tapi jika suatu saat kamu rindu, ingatlah, rumah ini akan selalu menunggumu. Sebab tak peduli seberapa lama waktu berlalu, aku masih di sini, memegang semua yang pernah kita bangun bersama.
***
Aku duduk di antara semua masalah yang menerpa, di ruang kosong yang terasa begitu dingin. Kesendirian ini, meskipun menyakitkan, sering kali menjadi tempat aku menemukan diriku. Menyusun kembali setiap potongan hidup yang berserakan, hanya untuk kembali jatuh di waktu yang sama.
Pertanyaan yang aku tuliskan sebelumnya tidak sepenuhnya salah. Ke mana kamu, ketika aku benar-benar membutuhkanmu? Bahkan setelah waktu yang begitu lama, kamu tetap tidak kembali. Semester empat adalah tahun keempat aku mengenalmu, waktu yang seharusnya cukup untuk membuat kita saling memahami. Di tengah liburan itu, aku mencoba menurunkan egoku, berharap jika kita bertemu, semuanya akan menjadi lebih baik.
Langkahku bukan tanpa alasan. Sebelumnya, aku meminta kita untuk memperbaiki hubungan ini. Aku percaya pada kata-katamu, bahwa kamu pernah sayang padaku. Tapi, kata "pernah" itu membuat hatiku goyah. Artinya sekarang tidak lagi, bukan? Aku hanya ingin kita mencoba lagi, menyusun ulang semua kesalahpahaman yang pernah terjadi.
Untuk sesaat, aku merasa ada harapan. Kamu bilang, tidak salah untuk mencoba. Katamu, siapa tahu aku bisa membuatmu luluh. Dan aku melakukannya. Mencoba semampuku. Tapi kenyataannya, semua itu tidak membuahkan hasil. Memperbaiki sesuatu tidak bisa dimulai hanya oleh satu pihak. Itu terlalu berat. Aku merasa seperti terperangkap di lumbung harapan, tenggelam di bawah ribuan gabah kecewa.
Aku terus menekanmu dengan pertanyaan. Apa yang sebenarnya kamu inginkan? Kamu membiarkanku mencoba, tapi sikapmu seperti tidak ingin aku ada. Setiap percakapan aku terima tepisan darimu, setiap usaha hanyalah ruang kosong yang kembali sunyi.
Akhirnya, aku memutuskan kita harus bertemu. Aku pikir, di liburan itu, segala jarak bisa kita pangkas. Tapi kamu menolak mentah-mentah. “Aku rasa kita perlu bertemu,” kataku lewat pesan. “Ga bisa,” balasmu singkat. Aku mencoba lagi. “Sibuk ya?” tanyaku, berharap ada celah. “Iya.” Balasan itu menutup semuanya. Bahkan liburan pun tidak memberiku ruang.
Liburan itu, aku menceritakan semuanya kepada ibu. Tentang kita, tentang bagaimana semuanya akhirnya berakhir tanpa pernah benar-benar dimulai. Berat rasanya mengakui bahwa ini kisah yang kandas, tapi ibu hanya berkata aku harus terus mencoba. Sebagai seorang anak, aku ingin patuh. Aku terus menjelaskan tentangmu, hingga ibu tersenyum kecil. Ternyata nenekmu adalah teman lama ibuku, dulu sama-sama menjadi kader posyandu. Aku tertawa kecil, mencoba menemukan celah untuk memulai pembicaraan lagi denganmu. Tapi kamu hanya membalas dengan kata-kata singkat, seolah tidak peduli.
Setiap pesan yang aku kirimkan selama liburan itu terasa seperti berbicara pada dinding. Kamu semakin cuek, semakin dingin. Ketika aku meminta bantuanmu untuk menulis kartu ucapan untuk ulang tahun beberapa orang, kamu hanya bertanya, “Buat apa?” Itu fase yang paling menyakitkan. Aku menunggu, berharap ada sesuatu darimu, tapi tidak ada. Bahkan ucapan sederhana pun tidak ada.
Saat itu, aku mulai paham. Mungkin kamu sudah bersama orang lain. Seseorang yang benar-benar rumah dengan jalan yang sudah baik. Dan aku adalah bunga yang kamu abaikan itu. Yang berharap ada insan baik akan memungutnya.
Aku baru memberanikan diri menghubungimu lagi dua bulan setelahnya, saat semester lima dimulai. Tapi itu bukan waktu yang mudah. Aku kehilangan teman dekatku dalam sebuah kecelakaan. Rasanya berat sekali, kehilangan itu membuatku akhirnya memahami sebagian dari apa yang pernah kamu rasakan. Aku mencoba berbicara lagi denganmu, membahas hal-hal kecil seperti magang, skripsi, atau program kuliah. Tapi balasanmu selalu singkat, membuatku bingung harus berkata apa.
Hingga akhirnya, semua itu memuncak dalam sebuah pertengkaran hebat. Aku tidak akan melupakan bagaimana malam itu, setiap kata yang terucap terasa seperti pisau. Dan aku sadar, mungkin ini memang akhirnya. Sebuah akhir yang tidak pernah benar-benar bisa aku terima, tapi harus aku jalani.
***
Pertengkaran itu bermula ketika aku menulis sebuah cerita pendek yang terinspirasi dari percakapan kami. Sebuah kisah sederhana, tetapi mengandung pesan tersirat yang sulit aku ungkapkan secara langsung. Tepat sebulan yang lalu, aku memintamu untuk membaca cerita itu. Awalnya, kamu hanya menanggapi ringan, membaca tanpa banyak bicara. Namun, setelah selesai, kamu bertanya, "Apa maksudnya ini?"
Dari pertanyaan itu, sebuah percakapan panjang tak terhindarkan. Apa yang awalnya hanya bermaksud menjadi bentuk curahan hati, justru menjadi pemicu pertikaian. Kamu terus mendesakku untuk menjelaskan tujuan di balik cerita itu, sementara aku merasa tidak perlu memberikan penjelasan lebih. "Itu hanya cerita," kataku. Namun, bagimu, ada sesuatu yang lebih dalam di sana, sesuatu yang akhirnya menyeret kami ke dalam diskusi emosional yang membuka kembali luka lama.
“Bohong, ada maksud lain kan dari cerita itu? Aku tunggu nanti malam penjelasannya,” balasmu dengan nada samar-samar menyimpan emosi yang kuterka dari balik pesanmu.
Ketika malam aku memberikan pertanyaan selanjutnya, “Huh. Sudah malam, apa yang mau kamu tanyakan?”
“Apa sebenarnya tujuan kamu kirim itu?”
“Itu kan cuma cerita. Aku bikin sendiri. Aku hanya minta kamu baca. Emangnya kenapa? Ada yang aneh?”
“Enggak ada.”
“Terus, kenapa kamu tanya tujuan aku bikin itu?” aku mendesak, mencoba mencari celah untuk memahami arah pikiranmu.
“Enggak jadi. Udah, aku baca. Bagus ceritanya.”
“Hm, lebih bagus lagi kalau orang di cerita itu sadar dan mau berubah jadi kayak dulu lagi.”
“Kita sudah sama-sama sepakat untuk tidak membahas masalah tersebut.”
Aku menarik napas panjang. “Iya. Kamu mengatakannya dengan mudah. Karena kamu di sana bahagia. Sedangkan aku di sini menderita.”
“Siapa sih yang kamu tahu tentangku sampai berani menyimpulkan bahwa aku bahagia?” balasnya.
“Iya. Aku memang tidak pernah tahu tentangmu. Tapi kamu tidak boleh merubah kenyataan bahwa dahulu berkata tak akan berubah.”
“Kita bisa bahas banyak hal lain selain ini. Oh iya, bunganya sudah mati.”
Aku tersentak. “Bunganya? Kenapa?”
“Tidak ada yang perlu dibahas.”
Aku menggeleng pelan. “Kamu pernah bilang aku harus usaha, kan? Coba aja dulu, kata kamu. Tapi setelah aku usaha, kamu malah menghindar.”
“Aku minta maaf karena ternyata salah,” balasmu singkat.
“Hm, jadi... ini benar-benar tak bisa diperbaiki?” tanyaku.
“Iya,” jawabmu singkat.
“Kamu tak mau mengusahakan lagi?”
“Tidak ada gunanya.”
“Tidak ada gunanya untuk aku atau kamu?”
“Kamu.”
Aku tertawa kecil, getir. “Kalau tak ada gunanya, kenapa aku sesusah ini ngelupain kamu?”
“Kamu susah lupa karena apa?”
“Banyak,” kataku pelan. “Aku orangnya naif. Kamu ngajarin aku sesuatu, tapi akhirnya kamu sendiri yang meninggalkannya.”
“Kalau gampang, aku tidak bakal merasa seperti ini. Kehilangan arah karena aku tidak tahu lagi harus pulang ke mana. Capek terus-terusan berkelana tanpa tujuan akhir.”
“Sudah berapa banyak orang setelah aku?” tanyamu.
“Satu.”
“Itu bukti kamu bisa tanpaku” balasmu.
“Bisa apa?”
Ada beberapa percakapan yang sepakat untuk tidak dibuka. Tapi yang pasti diantara kita memang sudah tidak bisa lagi saling kembali bersama. Bahkan mungkin kata “bersama” pun tidak pantas. Karena pada dasarnya kita belum memulai apa-apa. Setelah itu kita sepakat untuk saling membuka kejujuran masing-masing terkait kesalahpahaman yang terjadi.
“Jadi, mau ngomong sesuatu?” tanyaku.
“Ceritanya bakal panjang banget. Tapi aku usahain malam ini selesai semua. Tolong kerjasamanya,” pintamu.
“Oke. Aku akan menekan emosiku biar semuanya jelas.”
“Kamu ada yang mau ditanyakan ke aku?”
“Janji, jawab semuanya dengan jujur, ya?”
“Iya. Sebaliknya juga,” katamu.
Aku menarik napas panjang, siap untuk bertanya. “Waktu pertama kita ketemu, 2020. Di lab Biologi lama. Kamu sadar tidak kalau aku suka kamu?”
“Di dalam kondisi tersebut, tidak akan ada yang menyadarinya. Kita sedang terfokus kepada ujiannya.”
Aku tersenyum pahit. “Apa benar kalau kamu menyukaiku?” Pertanyaan selanjutnya kembali kulontarkan dengan cepat. “Kalau memang benar, kapan terakhir kali kamu menyukaiku?”
“Setelah aku kembali lagi. Waktu aku pertama kali menghubungimu.”
Aku menahan getir di dada. “Kapan kamu benar-benar memutuskan buat menghilangkan seluruh perasaanmu ke aku?”
"Waktu kamu memutuskan untuk ke kos dengan perjalanan menggunakan sepeda motor. Tidak masuk akal kalau hanya untuk membersihkan kos. Selama itu aku selalu tenggelam dalam perasaan yang gundah. Tidak pernah terpikirkan dalam benakku, bahwa kamu menjadikan aku hanya seorang pilihan kedua. Kamu benar-benar menjadikanku orang yang ada pada saat kamu membutuhkan. Lalu pergi ketika kamu sudah punya kesenangan yang baru."
Aku menatap layar ponsel, jari-jariku ragu-ragu sebelum akhirnya aku mengetikkan kalimat itu.
"Karena waktu itu, aku benar-benar tidak tahu kalau kamu suka aku. Perlakuan kamu itu terlalu mirip seperti kakakku," kataku, suara serak sedikit. "Aku suka kamu, tapi aku jadi terlalu nyaman dengan perlakuan kamu, sampai akhirnya aku lupa posisi aku sebenarnya itu apa."
"Ya terus?"
"Ya justru dari situ aku takut, kamu anggap aku sebatas adik kamu. Terus pada akhirnya, kamu ada orang lain yang suka," aku melanjutkan, mengingat kejadian itu dengan jelas.
"Sepertinya ada yang perlu aku jelaskan dulu biar alurnya jelas," balasmu.
"Silahkan."
“ Pertama-tama berdasarkan ceritamu tadi, kamu menyukaiku pertama kali waktu try out Olimpiade Sains Nasional. Waktu itu aku benar-benar tidak mengetahuinya, justru aku lebih memilih bertukar kata dengan si pintar. Setelahnya kamu menghubungiku, walaupun awalnya salah orang. Yang kedua waktu itu kamu masih punya hubungan dengan orang lain. Aku lupa mendengarnya dari siapa, tapi bahkan kalau tidak salah darimu sendiri. Setelah mengetahuinya aku memutuskan untuk menghargaimu dan memutuskan untuk membuat asing kita. Yang ketiga, waktu awal tahun, aku baru cari nomormu lagi, hingga kemudian aku membuat status tentang meninggalnya temanku. Semenjak itu kita kembali berkomunikasi.
“Selanjutnya waktu aku cerita ke kamu tentang ujian bersamaku yang gagal, dan kamu benar-benar ngerti perasaan aku waktu itu. Hanya saja waktu itu kamu menganggapku sebagai kakak. Ada satu kata darimu yang selalu kuingat, bahwa posisiku adalah kakak bagimu. Semenjak itu aku mulai berpikir bahwa mungkin aku hanya layak menjadi kakakmu. Semenjak itu aku mulai perlakukan kamu seperti adik dan malah denial. Aku takut kalau pada akhirnya kamu cuma menganggap aku sebagai seorang kakak saja.
"Semenjak pernyataan itu aku langsung menganggapmu tidak menyukaiku. Karena harus menelan faktanya, tentu aku tidak sanggup menyimpan sendiri. Hingga kemudian aku cerita ke teman dekatku. Dia mengatakan bahwa aku tidak bisa menerima fakta tersebut, dan tidak berani mengambil langkah. Aku memang sangat salah langkah. Aku juga tahu kamu punya rekam jejak yang buruk masalah percintaan. Semenjak itu aku jadi yakin untuk tidak akan pernah mencintaimu."
“Masalah itu membuatku terpuruk. Bahkan aku sampai harus mengulang-ulang musik yang sama agar bisa melupakan kamu. Aku memperjuangkan banyak hal untuk menghilangkan pemikiran yang terlalu berlebih-lebihan tentang kamu. Aku juga berusaha untuk menerima fakta yang begitu berat ini.
Pernyataanmu membuatku benar-benar terkejut. Setiap kata yang keluar dari layar ponsel ingin selalu kujelaskan. Aku ingin mengatakan bahwa kamu hanya salah paham. Sebenarnya segala sesuatu yang menjadi pikiranmu tidak nyata. Kalau begitu ini saatnya aku membalas pesanmu.
"Memang betul bahwa aku menyukaimu semenjak itu, dan rasanya aku lebih baik menahannya. Aku khawatir jika ternyata diantara teman-temanku memang ada yang menyukaimu. Aku khawatir terkesan merusak pertemanan. Jadi aku memutuskan untuk mengalah saja. Waktu itu memang aku berusaha mencari tahu tentangmu lebih banyak. Aku ingin tahu setiap hal tentang kamu.
"Waktu itu aku memang sengaja mengirimkan pesan kepadamu. Hanya untuk sekedar basa-basi agar bisa terus berkomunikasi. Aku tidak menepis bahwa memang benar sudah punya pacar. Itu terjadi setelah kita kenal untuk pertama kali. Kemudian kita tidak pernah berkomunikasi. Kemudian kamu kembali ketika aku sedang renggang hubunganya, dan akhirnya putus hanya beberapa waktu setelah kamu menghubungiku lagi pada tahun 2022. Pada percakapan itu aku terjebak dalam rasa nyaman. Kamu benar-benar memberikan rasa yang sangat peduli. Kamu benar-benar membuat aku membuka semuanya, dan menumpahkan semua rasa cinta itu kepadamu.
“Untuk masalah yang aku mengatakan bahwa kamu layaknya seorang kakak. Sebenarnya itu adalah sindiran. Waktu itu kamu terus melakukan aku seperti seorang adikmu. Karena perasaan ini sudah terlanjur muncul, akhirnya aku kesal dengan perlakuanmu. Dengan begitu, aku segera saja menyinggung perasaanmu perihal adik-kakak. Aku tidak mungkin waktu itu bilang suka ke kamu. Karena di dalam pikiranku, tidak mungkin kamu menyukaiku. Kamu memperlakukan aku seolah karena tidak mungkin aku suka. Tapi kamu salah. Karena faktanya aku justru benar-benar mencintaimu.
“Waktu masih aktif di SMP aku memang terkenal sangat buruk dalam hal percintaan. Stigma itu melekat diantara banyak temanku. Dan aku mengakui bahwa memang di masa-masa itu cerita yang bertebaran tidak sepenuhnya salah. Hanya saja memang terkadang orang lebih sering melebih-lebihkan. Aku ingin menegaskan tentang pernyataamu beberapa waktu lalu tentang kita yang menonton bioskop berdua. Katamu aku tidak nyaman berada di sampingmu. Itu adalah pernyataan yang salah. Aku tidak nyaman karena khawatir kamu akan kena marah oleh orang tua karena bermain sampai larut malam. Padahal kalau boleh jujur, aku masih ingin terus bersamamu. Aku ingin waktu melambat agar kita terus bersama dalam periode yang cukup panjang.
"Sekarang kalau ingat semuanya rasanya aku sangat menyesal. Andai dulu aku diberikan kesempatan untuk benar-benar bisa membaca pikiranmu. Mungkin disaat itu juga aku sudah menyatakan perasaanku. Aku rela ditolak daripada tidak menyatakan sama sekali. Sekarang aku yang harus menanggung akibatnya.”
Aku menarik napas panjang. Masih tidak ada balasan darimu selama beberapa menit. Hingga kemudian aku memutuskan untuk kembali mengirim pesan.
"Kenapa sampai sekarang kamu tidak mau memberikan aku kesempatan untuk memperbaiki semua kesalahan yang telah diperbuat kepadamu?”
Kamu mengirim pesan balasan yang sangat mengejutkan. “Tidak ada yang namanya kesempatan ketiga.”
“Aku tidak bisa meninggalkan ini semua. Kamu akan terus membayang-bayangi perasaanku.
"Kamu bisa kok," balasmu.
"Aku sudah membuang banyak sekali peluang untuk bersamamu. Rasanya penyesalan ini teramat besar ketika mendengar pernyataan tadi. Andai saja kalau aku tahu lebih awal.”
"Semua memang sudah ditakdirkan seperti ini,” balasmu singkat.
Tidak ada yang bisa aku katakan. Rasanya memang benar bahwa menerima adalah fase tersulit dalam hidup. Tapi aku harus tetap melanjutkannya. Percuma kalau aku bisa mendapatkanmu hanya karena kasihan.
“Buatkan pesan terakhir untukku.” balasku ketika waktunya sudah berjalan cukup lama semenjak pesan terakhir.
"Ya, sudah. Kalau begitu angkat telponku nanti. Aku ingin berbicara singkat kepadamu tentang itu.” Kamu benar-benar mengejutkanku.
Tidak lama dari itu ponselku bergetar. Kamu benar-benar menelponku. "Dengerin ya, biar gimana pun hidup terus berlanjut. Semangat buat kuliahnya, terus jaga kesehatan, jangan lupa tetap bahagia. Jangan terlalu memikirkan sesuatu yang bisa nyakitin kamu. Ingat, hidup bukan cuma tentang orang lain."
Aku hanya bisa mendengarkan dan mengiyakan. Tubuhku lemas. Telepon itu pun akhirnya ditutup, dan seluruh pipiku dibanjiri oleh air mata.
***
Di sebuah kamar yang gelap, aku duduk di hadapan layar laptop, mencoba menulis kisah yang tak mampu kuungkapkan dengan kata-kata biasa. Di luar sana, dunia terus bergerak dengan riuh, namun di dalam hatiku hanya ada sepi yang menggema—sebuah luka yang belum mampu sembuh.
Terdengar lantunan musik dari Tulus berjudul Ingkar.
Seiya menyudahi, sekata pisah tak sama lagi. Bersama dihadapi, engkau pun seperti, tak enggan mengakhiri.
Percakapan itu sudah lama terputus. Kita, yang dulu begitu dekat, kini menjadi dua orang asing yang berjalan di jalan masing-masing. Aku berdiri di ambang kehancuran, sementara kau... entah di mana. Semua ini terasa begitu nyata, begitu menyakitkan. Aku tak mampu menjelaskan, karena kata-kata yang kuucapkan tak lagi memiliki makna. Kita telah benar-benar selesai.
Ku dengan bunga baru. Jiwa sepimu diobatinya. Terus mencari celah. Berdua bicara topik mengada-ada. Ingkarkah kita?
Aku mencoba menerima kenyataan ini, meski hati ini rasanya tak mampu berhenti berharap. Harapan yang kutahu hanya akan menghancurkanku lebih dalam.
Aku coba dengan yang baru, kukira hilang bayangmu. Namun tiap dengan yang baru, rasanya seperti ku berbohong dan curangimu.
Dengan air mata yang jatuh perlahan, aku menulis kisah ini. Cinta yang seharusnya tumbuh, namun akhirnya mati bahkan sebelum sempat menemukan kata-kata. Mungkin, tak ada yang lebih menyakitkan daripada menyadari bahwa perasaan yang kita miliki tak akan pernah disambut dengan cara yang sama. Aku mencoba memahami, mencoba menerima, tetapi semakin lama rasanya semakin sulit untuk bertahan.
Detik-detik terus menitik. Garis rindu menuju kamu. Jam demi jam terus menggeram. Rona rindumu pun kepadaku. Mungkin kita butuhkan waktu. Atau berdua mengingkari hati.
Aku tahu, jika kalian membaca ini, mungkin kalian akan kecewa. Karena aku ingin sekali menulis akhir yang bahagia, tetapi itu hanya akan menjadi ilusi yang lebih menyakitkan. Sebab, sampai kapan pun, kau tak akan pernah menjadi milikku.
Aku masih ingat malam itu, saat aku menuliskan beberapa pesan untukmu. Aku sudah menghubungimu untuk membacanya. Kamu lantas mengiyakan walau tanpa pembahasan lebih mendalam terkait pesan tersebut.
Aku mencintaimu dalam diam, seperti senja yang tahu ia harus menyerah pada malam. Hanya bisa memandang dari kejauhan, tanpa pernah berani mendekat. Setiap senyummu adalah lukisan rapuh yang kubingkai dengan air mata, menggantungnya di sudut hati yang tak pernah kau tengok. Setiap kata-katamu adalah puisi pahit, dibaca dengan suara yang pecah, menggema di ruang hampa tanpa balasan.
Seperti pelangi setelah badai, cintamu menyinari duniaku hanya untuk pergi ketika aku mulai berharap. Kau adalah mimpi yang kurengkuh erat dalam tidurku, hanya untuk terbangun dengan tangan kosong dan kenyataan yang dingin. Aku mencintaimu dengan seluruh luka di hatiku, meski tahu kau adalah bintang yang tinggi di langit; kuperhatikan tanpa bisa kugapai, menyala terang untuk orang lain.
Dalam setiap tatapanmu, kulihat dunia yang tak pernah menginginkanku menjadi bagian di dalamnya. Kita adalah baris-baris puisi yang ditulis oleh pena yang berbeda, dua takdir yang saling menyentuh tetapi tak pernah bertaut. Meski kau tak pernah kumiliki, aku tetap menggenggam rasa ini erat-erat, sekalipun ia hanya menghunusku perlahan. Setiap senyum yang kau berikan seperti duri, meninggalkan luka yang tetap kuterima dengan penuh cinta.
Cintaku padamu adalah simfoni yang menyayat, sebuah melodi indah yang hanya bisa kudengar dalam kesendirian. Kau adalah harapan yang tak pernah mengenalku, sebuah janji yang tak pernah diucapkan, sebuah bahagia yang tak pernah kubagi. Dalam gelap malam, aku menahan rindu yang menyesakkan, mencintaimu dengan segenap kehancuran diriku, meski tahu kau tak pernah sekalipun menoleh ke arahku.
Surat ini menggambarkan bagaimana perasaanku ketika tahu bahwa mungkin kamu tak mencintaiku.
Aku akan terus menunggumu, meski kutahu harapan ini hanya melukai diriku sendiri. Entah sampai saat aku hancur oleh waktu yang memaksaku melupakanmu, atau hingga kau sadar bahwa bayanganku tak pernah benar-benar bisa kau lepas. Cinta ini terlalu dalam, terlalu menyakitkan, tapi aku tak bisa memadamkannya, bahkan ketika kau menutup rapat pintu hatimu untukku. Aku hanya bisa diam, terjebak dalam kesunyian yang menyesakkan, menahan rasa yang tak pernah kau lihat, sementara cintamu sepenuhnya miliknya.
Setelah itu, aku merasa begitu terperangkap dalam kesendirian yang tak berujung. Lalu, suatu malam, aku memutuskan untuk berbicara dengan ibu. Aku bertanya padanya, "Bu, salah enggak membuka hati untuk orang baru, padahal aku belum benar-benar selesai dengan orang lama?"
Ibu menjawab dengan suara yang penuh kebijaksanaan, "Jangan mengemis cinta kepada orang yang sudah tidak mencintaimu. Bukalah hati untuk orang baru, perlahan orang itu akan menghapus bayangan yang ada dalam dirimu."
Aku menelan ludah, merasa seperti ada beban yang sedikit terangkat, meskipun rasanya masih begitu berat. Aku mengangguk, dan telepon itu berakhir. Aku merebahkan tubuhku di kasur, merenungi kata-kata ibu. Mungkin ini saatnya untuk benar-benar melepaskan, meski hatiku masih terikat pada kenangan yang tak bisa pergi.
Bagiku, kamu akan selalu menjadi kamu—seseorang yang pernah kuanggap dunia, yang mengisi kesepian malam-malamku dengan bayang-bayang rindu. Kamu adalah cinta yang kuingini dengan segenap jiwaku, meski pelan-pelan aku sadar bahwa kamu tak lagi ada untukku. Namun, cinta ini? Ia tetap hidup, tersembunyi dalam keheningan, tak mampu pudar. Jika mencintaimu berarti melepaskanmu, maka izinkan aku untuk terus mencintaimu dalam diam.
***
Kepada kamu, yang entah kapan nanti akan membaca ini, aku ingin kamu tahu bahwa ada sebuah tempat di hatiku yang selalu terisi oleh kenangan kita. Mungkin kita tidak memiliki akhir yang indah, dan mungkin awal kita pun jauh dari sempurna. Namun, di sinilah aku, menulis ini untukmu. Berharap kamu bisa merasakannya, meski aku tahu—kamu tak akan pernah kembali. Tidak sekarang, dan mungkin tidak akan pernah. Tapi, apa lagi yang bisa kulakukan selain belajar merelakan, meski begitu sulit?
Bagian pertama dari cerita ini adalah sebuah mimpi. Aku bermimpi bertemu denganmu, melakukan banyak hal yang pernah kita bicarakan. Itu membuatku tersenyum sesaat, namun akhirnya bersedih. Dalam mimpi itu, aku bahkan mengatakannya padamu.
Aku juga selalu lupa. Terutama hal-hal sederhana yang sebenarnya berarti—seperti tanggal ulang tahunmu. Tahun 2022, tahun 2023, dua tahun yang berlalu begitu saja tanpa perhatian dariku. Aku benar-benar terlalu mudah melupakan sesuatu yang seharusnya tak terlewatkan. Dan jika kamu bertanya apakah aku merasa bersalah, jawabanku adalah iya. Aku merasa bersalah. Aku merasa jahat, seperti yang pernah kamu katakan—jahat dan naif.
Mungkin aku tidak pernah berhasil membuktikan diriku lebih baik. Dan mungkin aku tak akan pernah bisa menebus semua itu. Tapi aku ingin kamu tahu, aku menulis ini bukan untuk mencari pembelaan. Aku menulis ini karena ada begitu banyak perasaan yang ingin kutuangkan. Perasaan yang terlalu berat untuk terus kusimpan sendiri.
Untuk tahun 2025 nanti, dan tahun-tahun setelahnya: Selamat ulang tahun untukmu. Mungkin ini terdengar aneh, mungkin hanya sekadar kata-kata yang tak lagi berarti. Tapi aku berharap, setidaknya ini bisa menyampaikan sesuatu. Aku berharap kebahagiaan selalu menyertaimu, di setiap langkah yang kamu ambil. Semoga hidupmu penuh dengan segala yang terbaik, meski kita sudah terpisah—dan mungkin tak akan pernah bertemu lagi.
Aku mencintaimu. Lebih dari apa pun dalam hidupku, kecuali Tuhan dan keluarga.
Dan untuk kalian yang membaca cerita ini hingga akhir: terima kasih. Aku berharap kebahagiaan juga selalu menyertai kalian. Jika ada satu pelajaran yang bisa kubagikan, itu adalah lebih baik menyatakan cinta walau terasa berat, daripada memendamnya dan menyesal selamanya.