Besok; usia pernikahanku dengan Hamidah genap lima tahun. Dan selama itu, kehidupan rumah tangga kami bisa dikatakan berjalan lancar. Percekcokan kecil mungkin biasa saja. Tapi, percekcokan hingga menyebabkan Hamidah sampai pulang ke rumah orang lain, kupastikan belum pernah. Menurutku, keadaan ini menyebabkan aku sangat mencintainya. Begitu pula sebaiknya.
Kami menikah dijodohkan oleh orang tua kami. Sebelumnya kami belum saling mengenal. Saat itu, umurku dua puluh empat tahun. Suatu hari, Bapak memanggilku. Di atas punggung kasur, ia terbaring sakit. Wajahnya tampak lelah. Namun, sinar matanya menunjukkan kebahagiaan yang tercipta dari ketabahannya. Di tangan, jalinan tasbih berputar perlahan-lahan oleh jari-jarinya yang bergerak lemah. Kata dokter, Bapak terserang kanker darah. Sementara Bulik Min, duduk di sebelahnya.
“Kemari, anakku,” kata Bapak tersenyum melihatku datang. Aku mendekat. Kulihat Bulik Min membantu untuk duduk bersandar di kayu kasur yang berukir. Lalu pamit pergi. Dalam hati aku membayangkan ada sesuatu yang penting yang akan disampaikan oleh Bapak.
“Duduklah.”
Dia diam sejenak sambil tersenyum padaku.
“Kau sudah besar, anakku. Kau juga sudah sarjana sekarang. Tak terasa waktu berlalu begitu cepat”, ia berhenti sejenak. “O, ya, Bapak mohon maaf. Bapak tidak bisa hadir pada wisudamu.”
“Tidak apa-apa, Bapak. Saat ini, kesembuhan Bapak adalah kebahagiaan terbesar bagi saya.”
Ia mendesah pelan dengan tetap tersenyum. Sementara jalinan tasbih di tangan terus berputar. “Tidak, anakku. Kau sendiri tahu tentang sakit Bapak ini. Kata dokter, Bapak hanya bisa bertahan paling lama satu bulan lagi.” Bapak diam sejenak.
“Tapi, manusia pasti kembali kepada-Nya. Entah, kapanpun itu. Siapapun manusia tak bisa mengelak ketika maut datang menjemput. Dan akhir-akhir ini, aku merasa Emakmu menginginkan a...