Disukai
0
Dilihat
683
Kabut Mata
Drama

Sudah minggu keempat dan cerita ini tak kunjung rampung. Setiap hari saya mencoba tapi berakhir dengan lamunan panjang terbantun kebuntuan. Saya ingin apa yang saya tulis di sini tak sekadar numpang lewat di kepala pembaca. Tak berkesan sama sekali. Saya memikirkan Carver dan Marquez, cerpen-cerpen mereka yang sempurna itu. Namun kelelahan menyunting membuat saya menyerahkan seutuhnya kisah ini pada sidang pembaca. Saya menyerah pada kredo usang, bahwa yang terpenting dari segalanya adalah bercerita.

Tapi, bagaimana saya dapat menyampaikannya dengan tepat, jika suara narator, tokoh utama itu, tak dapat saya temui guna meringkusnya ke dalam cerita? Penggunaan ‘saya’ di sini sungguh beresiko. Tak jarang yang saya hadapi malah diri sendiri. Ego setebal dinding pabrik; kata-kata yang berlarian dan bersembunyi dari sergapan kesepuluh jemari saya.

You can hear it all over the airwaves,

The manufactured gasp of the final days,

Someone should tell them ‘bout the time that they don’t have,

To praise the glorious future and the hopeless past.

 

Suara Josh Tillman menggema dalam kepala. Lantunan sepanjang 9 menit itu tembang terbaik untuk suasana hati tokoh utama. Mulanya, ia tak tahu harus beranjak ke mana. Pergi meninggalkan kota kelahiran atau tetap tinggal? Tentu saja pergi. Ke mana pun tujuannya. Hal yang begitu menggiurkan di saat pilihan tetap tinggal memerlukan ketabahan hati, seperti seorang padri saleh. Saya, karakter lelaki tiga puluhan dalam cerita ini, sungguh jauh dari kesan tabah apalagi saleh.

Lelaki itu hanya bersenandung. Tipis, sambil mengedarkan pandang ke sekeliling. Bangku-bangku mungil berpelitur coklat; kipas angin terpacak di langit-langit, kilatan mesin esspresso, dan harum biji kopi dari cangkirnya. Ingatan acap berbohong: 10 tahun lalu ia bertemu perempuan itu di kafe ini, dan hanya ada alat-alat kopi sederhana di meja barista. Kini di sekitarnya terlihat canggih. Ia tak lagi mengenal wajah barista yang dahulu akrab menyapanya; tak lagi mengingat kali pertama lidahnya mencecap kopi tubruk paling sedap.

Namun, perasaan pun dapat mengelabuinya. Tempat yang dahulu turut merayakan kasih-kinasihnya itu dalam beberapa hari menjadi tempat yang selalu ia hindari. Bila di tengah perjalanan harus melewatinya, dan hal ini kerap terjadi, ia membiasakan diri memalingkan wajah dan berpura-pura tak mengetahui ada seonggok kafe di jalan itu. Ia tak ingin mengingat dan mengenali lagi segalanya. Saat kopi menjadi luar biasa pahit, lidahnya masam, dan ia merasa mual, di saat itulah ia merasa kota ini layak untuk ditinggalkan.

Ia mengamini firasatnya. Sepuluh tahun lalu Dago Atas tidak sepadat ini. Meski di jam paling sibuk pun, kuda besi masih mendapat panggung meliuk-liuk di antara angkutan kota yang rongsok. Udara tidak sepanas hari ini, lalu-lintas tidak sekacau hari ini, suasananya tidak seasing ini.

Sekarang lelaki itu hanya merasakan sesuatu yang samar, ingatannya terbungkus halimun. Ia tak lagi merasa harus membuang muka. Malah, ia dengan sadar mendatangi kafe dan memesan secangkir kopi tubruk. Sebelum duduk dan menikmatinya, ia menanyakan apakah barista E masih bekerja di kafe itu. Jawabannya tentu tidak. Satu dekade lalu semuanya tampak terang dan berwarna. Barista yang ia tanyai itu bahkan tak mengetahui bahwa E adalah seorang barista jauh sebelum barista anyar ini berpikir tentang berkarir menjadi barista.

Ia merasa situasi di kafe tak akan membelanya bila perkara yang sama datang menghardik. Tak ada barista E, tak ada gerombolan mahasiswa yang ia kenal, tak ada apapun selain dirinya sendiri di tempat lawas tetapi asing ini. Andai sepuluh tahun lalu ia menyetujui kemauan perempuan itu. Andai ia berkepala lunak dan tidak alergi memohon maaf. Andai saja segala pengandaian yang menyerbu kepalanya membuat hatinya luluh. Namun sial, rupa hatinya masih pejal. Ia tak tahu, atau ia lebih nyaman berpikir bahwa pertemuan ini hanya kebetulan dan boleh berhenti sampai di situ.

Yang terpaksa ia ingat adalah pilihannya untuk pergi. Perempuan itu merasa sudah tak mungkin mereka hidup sepembaringan. Ia harus menjamin perempuan itu dengan kebahagiaan. Ia sendiri tak dapat menjamin perutnya dapat benar-benar kenyang dengan melakoni serabutan. Hanya kebetulan, semata kebetulan, dunia maya mempersilakannya bertemu lagi sepuluh tahun kemudian. Perempuan itu 37 tahun sekarang, kini mengenakan hijab, motif floral model pasmina. Ia masuk ke kafe tanpa menyadari lelaki yang hendak ditemuinya datang 30 menit lebih awal. Lelaki itu tak tahu, sejak mereka berpisah, dengan siapa perempuan itu telah beranak-pinak dan menemukan kebahagiaan sebagai ibu rumah tangga.

Lelaki yang menunggunya memang setahun lebih muda. Mengenakan kaos hitam dan celana jins hitam dan sepatu boots hitam dan jam tangan taktis hitam. Perempuan itu bianglala, lelaki itu bayangan tembok. Ia mengambil bangku dan duduk membelakanginya. Ia menoleh, mengulas punggung perempuan yang luas itu dengan kedua bola matanya. Harapannya pernah singgah di situ, bahunya yang lancip tempat bibirnya pernah berselancar di situ, ia juga ingat denyut pundaknya yang sama berdenyar dengan getar di dadanya.

Dan, voila! Perempuan pun menoleh. Tertangkap basah saat sedang mengamati, ia berdehem dan dengan agak kaku berdiri. Ia menghampirinya, menjulurkan lengannya. Telapak tangan perempuan itu hangat, lembut, sejuk. Di jari manisnya melingkar cincin emas bertahtakan permata sebesar biji buah apel.

“Sam?”

Ia mendekapnya. Perempuan itu berdiri mematung, melingkarkan lengan ke pinggangnya. Wangi parfumnya terasa lebih segar. Dari jarak sedekat ini suaranya berpetunang dan menggelitiki telinganya.

“Aku sebenarnya sudah melihatmu sejak tadi.”

Sorry, jalanan macet, jadi agak tel...”

“Permisi, cafe latte sama fries-nya, silakan,” seseorang dengan celemek cokelat berdiri di samping meja.

“Ya ampun, sorry, mau pesan apa?” perempuan itu menyodorkan plakat menu.

“Aman. Esspresso saya baru tandas,” jawabnya, sambil menunjuk meja tempatnya menanti perempuan itu.

“Kenapa sih gak WA kalau sudah sampai? Jadi grogi kalau telat begini.”

“Aman, aman.”

Ia tidak tahu harus berkata apa selain “aman.” Sunyi setelah itu, dan selanjutnya percakapan seperti dimulai dari masa pembentukan bumi yang dimulai dari alga dan hewan bersel satu, dari suatu periode saat mereka baru mengenal warna dan aksara. Seperti orang dewasa yang mengikuti kursus bahasa asing dan belajar dialog sederhana dan mempraktikannya di depan kelas dengan berpasang-pasangan.

“Tinggal di mana sekarang, Sam?” tanya perempuan itu.

“Batam.”

“Saya malah sok tahu, jangan-jangan masih di Bandung.”

“Urusan agensi, dua tiga hari di sini. Suamimu apa kabar, Rani?”

Tiba-tiba lelaki itu merasa kikuk dan mulutnya seperti minta untuk segera ditanggalkan dari wajah untuk terhindar dari rasa malu yang ganjil. Memangnya, untuk apa ia menanyakan kabar suami perempuan itu? Tak ada pentingnya sama sekali mengetahui apakah suaminya sedang sehat atau kelojotan di lantai saban sore.

“Dia baik,” perempuan itu mengangguk.

Tentu saja suaminya baik-baik saja. Pertemuan ini bukan untuk meratapi pilihan hidup masing-masing. Jikalau terdapat udang di baling Stonehenge, misalnya, ia akan mengetahui dari kerling matanya. Bakat terpendamnya adalah menjadi teman kencan semalam bagi perempuan yang memancarkan aura kesedihan dari matanya. Ia tak menangkap aura semacam itu, setidaknya hari ini. Dari caranya menangani jarak mereka yang terbentang sepuluh tahun lamanya ke masa silam, perempuan itu benar-benar bahagia.

Memang tak bisa dipungkiri. Ada hal-hal pahit di antara mereka yang terjadi di masa lalu sebagai halaman sebuah buku yang diberi tanda dan marka. Tetapi ada juga hal menyenangkan untuk dikenang. Buku itu telah mereka rampungkan bersama. Mereka pernah saling mencintai. Mereka pernah saling merindu. Mereka pernah bahagia. Lembar halaman tentang kebahagiaan yang ia ingat membuat percakapan berlangsung akrab, meski tak diminta untuk dibicarakan. Tetapi ia tak yakin apakah Rani masih menyimpan ingatan tentang hal-hal menyenangkan? Perempuan itu, selain pernah bahagia, juga pernah setengah mampus membencinya. Ia tak bisa menerima alasan yang baginya terdengar tolol untuk mengakhiri suatu hubungan serius.

Mereka akhirnya berpisah dan ia merasa sangat pahit dan sejak itu tak pernah saling berhubungan—demi alasan apa pun.

“Rani, saya minta maaf, ya.”

“Lho, lho, kok malah minta maaf?

“Butuh sepuluh tahun mengumpulkan nyali.”

“Jadi, sekarang sudah gak alergi lagi sama kata maaf, ya?” perempuan itu tersenyum, memaksa lelaki di hadapannya menggaruki kepala meski tak dirasa gatal.

“Syukurlah, kafe ini sering kita datangi. Jadi gak bingung cari tempat,” kata Rani.

“Begitulah. Saya pangling semuanya berubah. Dulu manual brew, sekarang serba mesin.”

“Justru itu, tempat ini jadi lebih ramai, lebih cuan,” Rani terkekeh, menyambar kentang goreng setelah melumeri ujungnya dengan saus tomat.

“Masih ingat barista E? Kok mereka pada gak kenal.”

“Ingat dong. Dia, suamiku, sekarang malah sibuk penjurian kontes kopi. Entahlah apa namanya. Kadang ke luar kota berhari-hari, oleh-olehnya biji kopi melulu. Apa istrinya gak senewen? Pacaran disuguhi kopi, katanya ini kopi spesial, di rumah pun begitu, katanya ini kopi spesial buat istri. Ampun, memang begitu ulah dia. Sampai dapur saya gak ada wangi-wangi rempahnya, kecuali harum biji kopi yang sedang disangrai. Gak heran saya jadi suka begadangan nemenin dia berhitung meski gak tahu apa yang dihitung. Hahaha....”

Angin sore di pertengahan tahun membuat sekujur tubuhnya berkeringat. Ia masih menyaksikan bibir perempuan itu, seperti katup yang terbuka dan tertutup secara otomatis lalu memelar dan mengerucut. Tapi telinganya terasa pepat. Ia mengarahkan pandangan lurus ke langit-langit. Menembus atap dan kisi-kisi.

“Saya tak pernah suka kopi, Rani. Kencan di kafe sialan ini adalah hal yang paling menyedihkan dan saya memang menyedihkan. Saya juga tidak suka barista E itu sejak kali pertama kita bertemu di sini. Ia telah mengincarmu sejak lama. Saya tak ingat wajahnya dan saya tak peduli. Dan... dan ini semua, ini semua apa maksudnya?”

Wajah perempuan itu tiba-tiba memerah. Ia sarangkan tatapan tajam, menumbuk bola mata ini. Lalu kabut menyergap pandangan saya. Terasa perih, terasa pedih.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Rekomendasi