Suara klakson memekik kencang di seputaran tikungan jalan. Derung-derung kendaraan beremisi seketika berhenti, merapat. Baru saja mobil Gran Max beradu dengan motor Vespa. Sepasang pria wanita yang berboncengan tampak pucat lesi dan minggir ke susur jalan. Sementara penumpang Gran Max masih gagah berdiri. Sedikit syok dari raut wajahnya.
Namun, imbas terberat jatuh kepada sosok tergeletak kaku tak jauh dariku. Aku mencoba memperjelas penglihatan dan menangkap Kuncoro-lah yang menanggung semua akibat dari kecelakaan ini. Pria yang sehari-harinya berteman dengan terik matahari masih memejam erat walau sebenarnya timbul erangan lemah dari bibir kering kerontang itu.
Hal yang aku ketahui selanjutnya adalah pria ini sedang sekarat. Sekujur badannya gemetaran, mulutnya pun tak berhenti meracau. Tiba-tiba Kuncoro terbangun dengan tatapan bingung. Ia menjatuhkan matanya menyingkap sekitar aspal terik yang tengah ia duduki.
“Ada di mana dia?!” gumamnya, lalu mendongak ke arahku.
Alisku berkerut buncah. “Dia siapa maksudmu, Pak?”
“Kepercayaan. Seharusnya tadi dia ada di sini.” Ia menepuk-nepuk ruang kosong di sisinya.
Kebingungan langsung menghajarku. Aku bagai orang bodoh saat menjalin komunikasi dengan orang gila ini. Namun, sebelum keherananku terjawab, bunyi ambulans sudah meraung-raung kemari demi mengevakuasi si Kuncoro sekarat. Masih kupandangi ekor mobil tersebut menjauh. Pertanyaannya tentang kepercayaan tak dibawa serta.
***
Keajaiban merundung hari esoknya. Bagaimana tidak, aku menyaksikan sendiri Kuncoro—si orang gila—sudah sehat walafiat dan berjalan-jalan lagi di sekitar tokoku. Pria itu tetap membusungkan perutnya yang mengembang seperti biasa.
Tak kusangka berikutnya ia malah terkejut memandangku. Entah apa yang ada di pikirannya sehingga ia berlari ke arahku sekarang. Apa pula motivasi yang mendorong ia menggerakkan kakinya cepat, mengambil napas tersengal-sengal, lantas mengembangkan muka secerah terik matahari kepadaku?
“Pak, aku pernah tanya sesuatu yang penting ke sampean, ya?” tanyanya mula-mula.
Kerutan halus di sekitar dahiku pasti sedang tertekuk sempurna. Memangnya apa yang penting dari pertanyaan mengambang kemarin siang itu?
Sejenak aku mengamati wajahnya yang telah termakan usia. Kulitnya legam, mungkin efek tertumpuk debu jalan. Angin berdesau meniup rambut gondrong keabuan yang tak pernah tersentuh gunting, sabun, maupun sisir sekalipun itu. Meski begitu matanya masih cemerlang. Badannya bahkan gempal dan kokoh.
Akhirnya aku mengangguk. Kuncoro terlihat lega, kemudian cepat menyambar, “Lalu ada di mana kepercayaan itu sekarang?”
Karena telah tertodong, secepat kilat aku menuding puncak kepalaku sendiri. “Jadinya di sini.”
“Kepercayaan itu adanya di otak. Maksudnya, kepercayaan bersifat bebas, abstrak, dan fleksibel. Kamu tidak perlu mencari, hanya cukup meyakini. Itulah kepercayaan,” imbuhku sok tahu.
Hal itu rupanya justru membuatnya melipat muka. Tampaknya ia sangat tidak puas atas jawaban yang aku lontarkan barusan. Garis-garis di sekitar wajahnya kian bertambah. Bibirnya menekuk tajam membentuk suatu pembelotan.
“Salah besar!” Tiba-tiba ia menyalahkanku. “Kepercayaan tidak sesederhana itu, Pak. Tak semurah yang sampean bilang.”
Agaknya aku sedikit frustasi menghadapi kajian orang gila ini. Sepintas kulirik kaos oblong putih buluk yang ia pakai setiap hari. Tampak cap sablon di muka bajunya mengelupas tak terkendali. Aku sampai kesulitan mengenali wujud asli gambar yang tertera di sana.
“Terus apa?” kejarku lumayan tersinggung.
“Ya pokoknya tidak semua orang punya kepercayaan yang sampean sebutkan tadi. Kepercayaan sifatnya pemilih. Dia hanya memilih orang-orang tertentu.”
Dasar orang gila! Bertambah heranlah aku. Tapi, aku tidak mau mengalah begitu saja. Aku berusaha mempertahankan gagasanku bahwa ia hanyalah orang gila yang mencari barang tak kalah gila.
Mendadak ia berdiri menantang sembari menggagahkan dagunya. “Bakal kubuktikan omonganku, dan menyeretnya di depan sampean.”
Kuhela napas penuh takjub. Lagi-lagi orang gila ini memberiku ruang untuk memelihara keheranan. Sejurus itu, pasangan suami istri yang berboncengan motor mula-mula berhenti di depan toko. Terpacak pada orang gila, anak mereka kini menangis histeris sambil berteriak, “Ada orang gila, Ma. Ada orang gila ….”
Aku terpaksa mengusir si Kuncoro gila. Barulah mereka mau masuk, lantas bertanya padaku, “Ada sekrup lima senti, Koh?”
Aku melirik singkat ke arah bagian pantat celana Kuncoro yang tampak tebal lima senti oleh karena kotoran jalan bergayutan.
***
Keesokannya orang gila itu tak muncul lagi. Mungkin masih sibuk mencari kepercayaannya. Aku hanya bergeleng heran mengingat tingkah lakunya yang begitu absurd, seabsurd kepercayaan yang sedang ia cari itu.
Namun menjelang sore rupanya pria tersebut mulai terlihat kembali. Berjalan lesu dengan kepala merunduk dan mata meratap dari sisi utara. Kepayahan kelihatannya. Aku jadi mengurungkan niatku menutup toko. Kuputuskan untuk menghampiri si orang gila dan mengejeknya, “Mana kepercayaan yang mau kamu tunjukkan itu, hah?”
Langkah Kuncoro berhenti. Sejenak ujung bibirnya tertekuk ke bawah. Pandangannya begitu hampa bagai diterbangkan tinggi oleh sayap angin harapan. Anehnya ia malah marah-marah. Matanya mendelik.
“Kepercayaan itu sudah dibeli!” garangnya kemudian.
“Padahal aku hampir dapat kepercayaan itu, seharusnya sekarang ada di tanganku. Tapi, malah kuhilangkan.” Semakin ia menyemburkan kemarahan kepadaku, semakin landai pula suaranya. Orang gila itu terpaku menatap tangan-tangannya yang kosong. Termenung tanpa daya. Karena kasihan, aku masuk, mengambil sebotol teh kemasan dingin, dan memberikannya.
“Sekarang minum dulu. Kalau sudah lega, bolehlah kamu cari lagi itu kepercayaanmu.”
Mukanya yang kepayahan semakin layu. Ia sama sekali tak menyambut uluran tangan ini. “Telat. Kepercayaan sepertinya sudah tambah jauh.”
Pada akhirnya aku berusaha memaklumi. Namanya orang gila. Tapi, bukan orang gila namanya kalau tak berbuat rusuh. Suatu pagi bahkan aku menemui lagi kerecokan yang menyangkut Kuncoro.
Kuncoro melempari banyak batu ke sejumlah orang di hadapannya. Aku sampai harus menitipkan toko dulu kepada istri agar bisa kemari. Terdengar geraman berat dari pangkal tenggorokan orang gila itu. Namun, ia juga tergelak jenaka tatkala batu yang mendarat di trotoar membuat kalang-kabut beberapa orang di sekitarnya. Rupanya ia bertindak bukan tanpa sebab. Beberapa satpol PP hadir untuk meringkus dan menggiringnya.
Tetapi Kuncoro terlalu keras kepala. Terlalu bengis untuk dihadapi aparat berseragam tersebut sehingga aku terpaksa mengajukan diri untuk turut mengamankan Kuncoro sementara. Aku bersikeras membujuk. Mula-mula kubisikkan sesuatu tepat di telinganya. Kuncoro memandangku terpana, lantas menurut saat kugeret menuju tokoku.
“Kenapa tidak mau ikut mereka? Kamu pasti lebih terawat karena terurus di sana,” cetusku.
“Tak sudi aku percaya orang-orang berseragam itu. Masalahnya aku belum mendapatkan kepercayaan lagi,” akunya pelan. Sepasang netra senjanya menerawang.
“Bagaimana ciri-ciri kepercayaan yang hilang itu? Siapa tahu aku bisa bantu menemukannya.”
“Kepercayaan yang kupunya semula begitu besar. Bulat, sempurna, sampai membuat perutku buncit paripurna.” Kini mata dan tangannya jatuh membelai area perut.
Aku mengangguk, sekadar menghibur dirinya bahwa aku percaya. Padahal aku semakin terheran-heran jadinya. Ia kembali melanjutkan, “Kepercayaan yang kucari itu tak bisa dijual, hanya bisa dibeli. Sayangnya kepercayaan bisa dikelabui, gampang dibohongi. Buktinya orang-orang lebih percaya ucapan oknum yang berpakaian mewah, dibanding orang berpenampilan sederhana. Apalagi orang gila seperti aku ini.”
Sorot mata Kuncoro yang kelabu mulai menyorotkan duka dalam yang tak bisa kuselami. Lalu aku mencoba menghibur. “Kepercayaan selalu ada waktu kita percaya. Kalau kamu percaya, maka hal yang kamu percayai pasti terjadi.”
Sekonyong-konyong rahangnya mengeras usai mendengar suaraku. “Sampean salah besar! Sudah banyak buktinya kalau kepercayaan jarang terjadi, contohnya kepercayaan rakyat kepada wakil rakyatnya sendiri. Lihat, mereka kalau sudah duduk di kursi jabatan pasti lupa sama janji-janjinya, kan?”
Tanpa bisa kucegah, Kuncoro bangkit. Tersedu-sedu dan langsung meninggalkanku yang masih buncah ini. Seketika aku menyesal telah membisikkan suatu kebohongan untuk merayunya tadi: bahwa aku sudah menemukan kepercayaan yang ia cari.
Semenjak itu tiap malam aku tak bisa tidur karena kepikiran Kuncoro. Bahkan aku sempat menjauhi anak dan istriku beberapa hari saking takutnya. Takut jika mereka telah salah mengira aku jadi gila karena belakangan bergaul dengan orang gila.
Namun, kusadari aku memang sedikit aneh. Aku semakin berhasrat ingin bertemu Kuncoro lagi walau sejak itu batang hidungnya tak muncul lagi. Setengahnya kepalaku digerogoti rasa penasaran.
Beberapa hari ini aku sudah menanyakan keberadaan Kuncoro di sejumlah tetangga atau para pedagang yang menakik rezeki di sekitar toko. Sengaja kusiapkan kopi dan rokok jika sewaktu-waktu ia muncul sehingga aku dapat menanyakan perihal kepercayaan miliknya.
“Kuncoro? Si orang gila Budi Kuncoro maksudnya, Koh? Tadi lewat, kok.”
Ada perasaan aneh tatkala mendengar nama lengkap Kuncoro. Kok tidak asing, ya?
Aku kembali dengan gelisah akibat nama familier barusan. Sayangnya langkahku jadi terhenti ketika tabrakan maut bus pariwisata terjadi. Orang-orang menjejali lokasi, mengerumuni seseorang yang berkelejatan dan bersimbah darah. Aku terpana. Kuncoro yang kucari telah memejamkan mata. Tubuh kekarnya tampak layu.
Seketika aku menyesal karena tak pernah menyampaikan seutas pertanyaan: kira-kira apa usaha Kuncoro untuk mendapatkan kepercayaannya kembali?
“Ini salah satunya.” Tiba-tiba seorang ibu di sampingku bersuara.
“Apanya, Bu?”
“Cara orang gila ini menemukan kepercayaan orang banyak lagi, Koh. Orang-orang bakal lupa dengan sosoknya yang menyebalkan, menyengsarakan banyak orang, dan sering lupa sama janjinya sendiri. Si Budi Kuncoro, mantan anggota DPR yang terus berambisi akhirnya mati juga.”