Disukai
2
Dilihat
3,024
Jodoh di Tangan Juragan
Slice of Life

Toko sangat ramai seminggu ini, enggak seperti seminggu sebelumnya. Juragan teramat senang sekali. Seminggu ini, dia bisa ketawa-ketiwi. Toko bangunannya laris manis tanjung kimpul, padahal satu kilometer di dekatnya ada toko bahan bangunan juga. Namun, sepertinya enggak seramai tokonya Juragan Jamal.

Seminggu ini memang berbeda dari hari-hari sebelumnya. Enggak hanya Juragan Jamal, tetapi ada Nono yang ikut jaga toko. Jadi, Juragan Jamal punya tiga orang pegawai sekarang. Remaja berumur dua puluhan berparas ganteng itu jadi magnet baru. Juragan Jamal kemudian menjodohkan Nono yang masih jomlo dengan keponakannya.

Kata Juragan Jamal, Nono sudah membawa hoki buat dirinya. Rezekinya jadi mengalir kayak air sungai yang mengalir. Hoki itu pastinya enggak boleh dilepaskan begitu saja. Siapa tahu dengan menjodohkan Nono dengan keponakannya, bisa membawa hoki terus-menerus buatnya. Dia yakin seyakin-yakinnya, bahwa setiap orang membawa hokinya masing-masing. Dia juga yakin, bahwa hokinya itu salah satunya berasal dari Nono.

Kehadiran Nono adalah berkah buat Juragan Jamal. Oleh karena itu, Nono sangat disayang olehnya. Dia boleh kemana-mana memakai kendaraan pribadinya, baik mobil ataupun motor. Hal itu membuat kedua orang pegawainya yang lain menjadi iri hati. Jangankan memakai kendaraan pribadi Juragan Jamal, ibaratnya sekadar memegang saja enggak boleh.

Juragan Jamal terkenal pelit dan tegaan di mata para pegawainya. Oleh sebab itu, kedua pegawainya yang lain jadi saling bertanya dan menduga-duga. Sampai-sampai, ada salah satu pegawainya yang berpikir miris. Apa sebenarnya rahasia Nono di balik semua ini? Mungkinkah Nono memakai semacam pelet jaran goyang, sehingga membuat juragannya itu kesengsem?

"Hus! Jangan mikir yang aneh-aneh! Aku ini juga heran sama Juragan Jamal tentang fenomena Nono ini. Tapi, enggak berarti aku ini juga mikir sampai sejauh itu kayak kamu!" ujar seorang pegawai wanita Juragan Jamal yang hitam manis dan rambutnya suka dikucir pendek.

"Tapi, kenyataannya emang aneh, kok, Mbak. Dia, itu, kan, bukan siapa-siapanya Juragan. Masuk kerja juga baru seminggu yang lalu. Eh, udah dipercaya megang kasir. Aku dan Mbak Minah yang udah tahunan kerja di sini aja enggak pernah dipercaya megang kasir. Dulu kalau lagi pergi, Juragan nyuruh istrinya buat gantiin. Semenjak ada Nono, dialah yang disuruh gantiin, bukan istrinya. Bukankah itu hal yang aneh, Mbak?"

"Basri, aku ini juga enggak rela kalau Juragan lebih percaya sama Nono daripada kita. Tapi, aku sama sekali enggak pernah suuzon soal dukun. Udah, deh, kamu itu enggak usah ngaco!"

"Kalau terbukti gimana, Mbak?" sanggah Basri lagi, anak buah Juragan Jamal yang badannya cungkring seperti lidi.

"Enggak akan terbukti!"

"Terbukti apa?"

Tiba-tiba, muncul sosok tinggi dan berkulit putih di hadapan mereka berdua. Mbak Minah dan Basri terperanjat. Mereka enggak tahu dari mana arah datangnya Si Nono. Enggak terdengar bunyi vespa Nono yang meraung-raung sama sekali. Biasanya, laki-laki berwajah tampan mirip blasteran itu memakai kendaraan tersebut kalau ke toko. Biasanya, baru berjarak seratus meter dari toko, keberadaan Nono sudah ketahuan. Sekarang, Nono seperti hantu yang bisa muncul dengan tiba-tiba.

Sebenarnya, bukan Nono yang mendadak jadi hantu hari ini. Mereka berdualah, Basri dan Mbak Minah yang sedang asyik mengobrol, sampai-sampai enggak tahu kedatangan Nono. Mereka berdua memang selalu datang awal, bahkan lebih pagi dari Juragan Jamal. Nono-lah yang datangnya selalu pas waktu masuk, bahkan sering molor sampai beberapa menit.

Meskipun lebih banyak molornya daripada tepat waktunya, Juragan Jamal enggak pernah marah sama Nono. Beda halnya jika Basri dan Mbak Minah yang datang terlambat. Juragan Jamal langsung mencak-mencak enggak keruan. Dia seperti pemain kuda lumping yang lagi kesurupan. Ketiga pegawainya itu jadi ketakutan, bahkan Mbak Minah sampai sembunyi di gudang. Dia enggak berani nongol sebelum juragan selesai marahnya.

"Eh! Nono udah datang...." Mbak Minah meringis. "Kamu ke sini naik apa, No? Kok, vespamu enggak kedengaran bunyinya?"

"Diantar sama keponakannya Juragan."

"Butet? Eh, ke mana dia? Kok, enggak ada?" Basri celangak-celinguk mencari sosok Butet, keponakan Juragan Jamal.

"Langsung pergi. Dia, kan, mesti kerja."

"Kok, mau-maunya dia disuruh nganterin kamu?"

"Bukan aku yang minta. Dia yang menawarkan dirinya sendiri buat nganterin aku, kok, Mbak. Soalnya, kan, vespaku lagi mogok."

"Kok, tahu, kalau vespamu lagi mogok? Bukannya rumah kalian berjauhan? Kalian saling telepon-teleponan, ya?"

"Idih, Mbak Minah jadi kepo, nih, ye! Rahasialah! Ngapain aku mesti bilang-bilang sama Mbak Minah?" Nono malah tertawa kecil.

Mbak Minah wajahnya jadi cemberut seketika. Dia langsung bersikap acuh tak acuh sama Nono. Saat menghitung jumlah barang-barang di toko yang dekat sama Nono berada, Mbak Minah bersikap bodo amat. Setelah tugasnya selesai, dia pun langsung pergi begitu saja ke gudang untuk mengecek barang-barang.

Nono enggak ambil pusing sama sikap Mbak Minah. Dia berhak punya privasi. Enggak semua orang harus tahu bagaimana dan apa yang sedang terjadi padanya. Apalagi menyangkut masalah hati. Biarlah hanya dia dan Tuhan yang tahu. Dia pun belum tahu, mau jadi seperti apa hubungannya nanti dengan keponakan juragan.

Basri pun menjauh dari Nono dan Mbak Minah. Basri bukan ikut kesal sama Nono yang main rahasia-rahasian sama mereka. Namun, Basri harus memanasi mesin mobil pikap yang ada di belakang toko. Tujuannya supaya nanti kalau harus mengantarkan barang-barang ke pembeli bisa langsung tancap gas.

Lalu, apa yang dilakukan oleh Nono? Nono cukup duduk manis di belakang meja kasir sambil membuat laporan keuangan secara manual dan elektronik. Tentu saja, sambil melayani pembeli yang satu per satu sudah datang. Sekarang, pekerjaannya jadi triple job, bukan doble job lagi. Dia melayani pembeli, membuat laporan keuangan, dan pegang kasir.

Entah Basri dan Mbak Minah tahu atau enggak, majikannya memang membuka lowongan untuk keuangan. Syaratnya adalah minimal lulusan SMA seperti Nono. Jadi, ya, wajar saja baru seminggu bekerja, Nono sudah dipercaya memegang kasir saat Juragan Jamal pergi. Penyebabnya, hal itu juga menjadi salah satu tugas Nono jika keadaan sedang mendesak.

Majikan mereka enggak datang hari ini. Ada acara keluarga di rumah keluarga istrinya yang berada di luar kota. Juragan Jamal sudah mengabari hal ini lewat pesan kepada ketiga pegawainya. Dengan absennya Juragan Jamal, mereka bertiga dibuat semakin sibuk oleh para pembeli yang datang silih berganti.

Kesibukan itu semakin menjadi-jadi buat Nono dan Mbak Minah, saat Basri dengan cekatan mengantarkan barang-barang ke rumah pembeli. Jadi, tinggal Nono dan Mbak Minah saja yang melayani pembeli di toko. Mbak Minah pun jadi enggak ada waktu buat kepo sama Nono. Mereka berdua sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.

"Ya, ampun! Rajin amat kerjanya sampai enggak sempat istirahat? Aku datang pun kamu enggak tahu." Tiba-tiba, terdengar suara perempuan yang merdu dari belakang Nono. Nono pun jadi kaget. Perempuan berambut lurus panjang sebahu itu tertawa renyah.

"Cie... cie... pacaran, nih, ye... Jarang-jarang, lo, Butet datang kemari."

"Apaan, sih, Mbak Minah? Aku cuma mau nganter makanan aja, kok. Tadi, aku, kan, dapat telepon dari Pakde buat nganterin makanan. Kata Pakde, kalian bertiga enggak sempat beli makanan karena terlalu sibuk. Ternyata emang benar, ya, pembelinya ramai terus."

"Alhamdulillah. Rezekinya kita semua. Iya, kan, Mbak Minah?" tanya Nono, setelah memberikan uang kembalian pada pembeli.

"Ya, udah. Sekarang, kalian berdua makan dulu, mumpung nasinya masih anget," saran Butet.

"Nanti aja, aku masih belum lapar. Nono aja dulu, deh, sana!"

"Gampang! Aku bisa makan di sini aja. Jadi, aku tetap bisa melayani pembeli sambil makan."

Nono kemudian makan sambil ditemani oleh Butet di belakang meja kasir. Mereka berdua pun mengobrol ringan. Obrolannya seputar masalah makanan, minuman, pekerjaan, dan kegemaran. Semenjak diperkenalkan oleh Juragan Jamal, Butet memang terlihat mendekati Nono. Iya, hal itu benar sekali. Pada kenyataannya, memang bukan Nono yang mendekati Butet.

Sepertinya, Butet memang tertarik dengan Nono. Hal itu terlihat dari sikap Butet yang sering salah tingkah menghadapi Nono. Gadis itu juga suka mencuri pandang sama Nono. Namun, Nono merasa biasa-biasa saja, dibilang tertarik dengan Butet enggak, dibilang enggak tertarik juga enggak. Nah, lo! Jadi, Nono seperti menggantung perasaannya Butet. Kalau bahasa gaulnya sekarang adalah PHP-in anak gadis orang.

****

Waktu cepat berlalu hingga saatnya akhir bulan. Mereka bertiga pun menerima gaji dari Juragan Jamal. Nono yang menerima gaji pertamanya pun merasa senang. Juragan menggajinya sesuai dengan perjanjian yang sudah ditandatangani oleh mereka berdua. Upah yang diterima Nono pun sesuai dengan UMR yang sedang berlaku.

Namun, Nono enggak menerima bonus sedikit pun. Demikian juga dengan Basri dan Mbak Minah, padahal penjualan bulan ini meningkat drastis. Mereka harus mengeluarkan tenaga ekstra, terutama Basri yang tugas utamanya mengantarkan barang-barang pesanan pembeli. Makanya, kalau ada juragan, biasanya Nono ikut pergi mengantarkan barang.

"Nono, gimana kabarnya kamu sama Butet?" tanya Juragan Jamal pada Nono, pada suatu hari, saat tinggal mereka berdua saja di toko. Basri dan Mbak Minah sudah pulang duluan.

"Enggak gimana-gimana, Gan. Kami berdua baik-baik aja, kok."

"Jangan kayak gitu! Laki-laki itu kudu agresif. Kejar terus sampai dapat. Jangan sampai berlian sebening itu dibuang begitu aja. Kamu nanti rugi besar. Betul, enggak?"

Juragan Jamal berkata sambil mengucir rambutnya yang gondrong melebihi rambutnya Mbak Minah. Dengan badannya yang tinggi besar dan rambut yang gondrong, Juragan Jamal jadi terlihat seperti preman. Dia menyeramkan dan membuat orang lain segan. Pantas saja, tidak ada preman yang berani datang memalak toko juragan. Biasanya, mereka, kan, suka datang minta uang dengan dalih keamanan, padahal keamanan demi kantong mereka sendiri.

"Kami enggak ada hubungan apa-apa, kok, Gan. Lagi pula, saya masih ingin cari duit yang banyak. Setelah itu, barulah cari perempuan."

"Kenapa enggak bisa jalan dua-duanya sekaligus? Bukannya asyik, tuh, punya duit sambil punya pacar? Eh, bisa, dong? Masa enggak bisa?"

Nono tertawa kecil. "Enggak tahu saya, Gan. Saya pasrah aja sama Tuhan. Jodoh, kan, ada di tangan Tuhan."

"Eh, enggak bisa kayak gitu! Kamu harus menikah sama Butet! Titik, enggak pakai koma!" Juragan kelihatan marah besar.

"Tapi...."

"Enggak ada yang namanya tapi! Pokoknya aku enggak mau tahu, kamu harus jadian sama Butet bulan depan! Syukur-syukur, kalian enggak perlu lama-lama pacaran. Jadi, kalian bisa menikah tahun ini. Kalau bulan depan enggak jadian, gaji kamu akan aku tahan sampai kamu jadian sama Butet!"

"Lo? Mana bisa kayak gitu, Juragan?"

"Bisa aja! Kenapa enggak?"

"Juragan Jamal udah melanggar perjanjian kerja, dong?"

"Eh, siapa bilang? Ini adalah tokoku. Jadi, yang berhak membuat semua peraturan di sini itu, ya, aku sendiri. Emangnya kamu?"

Nono pulang dengan hati yang sedikit dongkol hari ini. Ditambah lagi, vespanya malah mogok di jalan. Sepertinya, vespa buntut warisan bapaknya itu ikut merasakan kedongkolan hati Nono. Kedongkolannya jadi bertambah. Namun, perasaannya itu enggak terbaca di wajahnya. Dia malah tertawa melihat nasibnya sendiri.

Vespa ternyata juga punya hati, enggak cuma manusia saja, ya! Malahan, manusia banyak yang enggak punya hati, seperti Juragan Jamal itu. Seenaknya saja, dia memaksa Nono untuk menikahi Butet. Dia itu, kan, bukan siapa-siapanya Nono. Dia keluarga bukan, bapaknya Nono juga bukan. Meskipun Juragan Jamal adalah keluarga atau bapaknya pun, belum tentu juga Nono mau menikahi Butet.

Nono sungguh beruntung. Beberapa meter dari tempat vespanya mogok ada bengkel sepeda motor. Dia enggak mengeluarkan tenaga ekstranya setelah seharian lelah bekerja. Nono enggak perlu bersusah-payah mendorong vespanya sampai jauh. Terdengarnya seperti syair lagu keroncong yang popular itu, ya!

Nono sebenarnya ingin buru-buru pulang. Dia ingin segera melapor sama Ibu soal kejadian ini. Bagaimanapun, Nono enggak bisa menerima perjodohan ini begitu saja. Dia harus meminta persetujuan dari ibunya. Sebenarnya, Nono ingin meminta persetujuan dari Bapak juga. Sayangnya, Bapak kalau diajak cerita enggak pernah menyahut. Lagi pula, Nono pasti akan lari terbirit-birit kalau nisan Bapak bisa mengeluarkan suara.

"Jadi, gimana, Bu?" tanya Nono, setelah bercerita panjang lebar tentang perintah majikan yang membuatnya puyeng itu.

Ibunya malah tertawa kecil. "Lah, kok, malah tanya sama Ibu? Seharusnya, kamu bertanya pada diri kamu sendiri. Kamu mau apa enggak menikah sama Butet?"

"Enggak!" jawab Nono dengan tegas.

"Kalau emang enggak mau, ya, udah. Kamu enggak perlu pacaran segala sama Butet."

"Kenapa, Bu?"

"Pacaran itu tujuannya, kan, buat mengenal lebih dekat pasangannya sebelum menikah. Jadi, buat apa kamu pacaran sama Butet kalau tujuannya enggak untuk menikah? Malah nambahin dosa aja! Kamu udah nyakitin anak orang karena enggak berniat nikahin dia."

"Lah, kan, soalnya, dia berbeda sama kita, Bu. Masa aku harus menikah sama dia?"

"Berbeda gimana?"

"Maaf, Bu. Tapi, Butet itu enggak seiman kayak kita."

"Lo, kok, bisa? Apa majikanmu itu juga?"

"Iya."

"Tapi, kenapa namanya Jamal?"

"Suka-suka orang tuanyalah, Bu. Kok, kita yang ngatur. Mau dinamain Buddha Gautama padahal agamanya Hindu juga enggak apa-apa, kan? Apa ada larangannya? Temenku aja namanya Kristiani, padahal umatnya Nabi Muhammad." Nono tertawa lebar.

"Wah, kalau kayak gitu perlu ada selametan, tuh! Perlu diganti namanya, karena enggak sesuai."

"Ya, udah. Kapan Ibu mau kuanterin ke rumahnya Kristiani?"

"Buat apa?"

"Biar Ibu bisa ngomong sama orang tuanya langsung buat nyuruh mengganti nama anaknya," ujar Nono, sambil tertawa lagi.

"Kamu ini ada-ada aja." Ibu ikut tertawa dengan nada yang lirih.

****

Nono pun menuruti nasihat ibunya untuk enggak menggubris kemauan Juragan Jamal. Dia tetap bekerja dengan baik dan energik seperti sebelum mendapatkan ultimatum dari Juragan Jamal. Toh, setelah ultimatum itu, enggak ada lagi perbincangan serius dengan juragan soal perjodohannya dengan Butet. Namun, hubungannya dengan Butet selalu terjalin dengan baik. Mereka masih saling mengirim kabar. Gadis manis itu juga masih datang sesekali ke toko Juragan Jamal.

Beberapa waktu kemudian, tibalah saatnya Nono gajian buat yang kedua kalinya semenjak bekerja di toko bangunan. Tentu saja, Nono merasa sangat senang. Basri dan Mbak Minah juga begitu. Siapa, sih, yang enggak suka menerima duit setelah bekerja keras selama sebulan penuh? Jawabannya, enggak ada! Belum disurvei, sih, jawabannya benar apa enggak. Halo! Realitanya, sekarang ini, bukan zamannya lagi sistem perbudakan.

Basri dan Mbak Minah sudah menerima gajinya. Wajah mereka yang tadinya kelelahan karena seharian bekerja menjadi cerah seketika. Jadi, rahasia mereka menjadi cerah seketika adalah gajian, bukan skincare. Mereka bertiga janjian makan mi ayam sepulang bekerja hari ini, tanpa ada Juragan Jamal. Jadi, mereka bisa mengobrol dengan topik Juragan Jamal sepuasnya.

"Ini, No, gajimu buat bulan ini." Juragan Jamal menyerahkan sebuah amplop putih pada Nono.

Nono tersenyum senang. Namun, enggak berapa lama, senyumnya sedikit memudar. Hal itu dikarenakan keanehan amplop yang diterimanya. Dia bertanya-tanya dalam hati, kenapa amplop yang diterimanya tipis sekali? Amplopnya enggak kayak yang diterima oleh Basri dan Mbak Minah yang terlihat tebal. Amplopnya juga enggak setebal yang diterimanya bulan lalu. Dengan rasa penasaran, Nono bergegas membuka amplopnya di depan majikannya. Dia pun mendapati hal yang enggak diduganya!

"Mohon maaf, Juragan... Kenapa amplop saya isinya cuma uang seratus ribu? Kemana uang gajian saya yang lainnya?"

"Lo, baru tahu, ya? Aku itu kalau ngomong enggak pernah main-main. Kamu pikir omonganku kemarin itu cuma bercanda? Masih bagus itu ada uang seratus ribunya. Tadinya, aku cuma mau ngasih amplop kosong sama kamu." Juragan Jamal berkata tanpa melihat Nono. Dia pura-pura sibuk sendiri.

"Aduh, mana bisa seperti itu, Gan?" Nono mengerutkan wajahnya.

"Ya, bisalah! Kenapa enggak bisa? Kan, sudah pernah kubilang, aku adalah pemilik toko ini. Jadi, akulah yang membuat semua peraturan yang berlaku di toko ini."

"Kok, begitu, sih, Gan? Jangan gitu, dong, Gan!"

"Udah sana pulang! Tuh, Basri sama Mbak Minah udah nungguin kamu sedari tadi." Juragan Jamal menunjuk Basri dan Mbak Minah yang sedang duduk di bawah pohon jambu air di depan toko.

Nono pun berjalan dengan lunglai mendekati Basri dan Mbak Minah. Dia merasa haknya sudah dirampas oleh Juragan Jamal. Nono enggak pernah menduga jika perkataan Juragan Jamal benar-benar akan diwujudkannya. Berarti, selentingan yang bilang kalau Juragan Jamal selain pelit juga tegaan itu benar adanya.

Tadinya, dia enggak percaya begitu saja selentingan itu. Bukti-bukti menunjukkan sebaliknya. Dia selalu boleh memakai mobil juragan saat ada urusan pribadinya keluar kota. Tentu saja, di saat juragan enggak memakainya. Dia juga boleh memakai motor majikannya itu untuk membeli makan siang. Selain itu, selalu ada camilan yang dihidangkan setiap hari di toko dari juragan. Majikannya juga selalu menyediakan makan siang gratis setiap hari jumat.

"Kamu kenapa, udah gajian malah mukanya memelas kayak gitu?" tanya Basri.

"Aku udah lapar! Ayo, kita langsung tancap gas!" jawab Nono, sambil menghidupkan vespanya.

"Gas pol!" seru Mbak Minah, yang membonceng RX King milik Basri.

Mereka bertiga nongkrong di warung mi ayam favorit orang-orang sekabupaten. Nono sendiri sudah sering diajak jajan sama orang tuanya ke sini sejak masih batita. Basri dan Mbak Minah katanya juga begitu. Mi ayam di tempat ini memang legend. Tempat nongkrong mereka ini jauh dari kata mewah, tetapi tempatnya strategis dan selalu ramai.

Nono makan mi ayam sambil sesekali melirik kedua teman kerjanya yang duduk di depannya. Basri dan Mbak Minah tadinya suka iri sama Nono dikarenakan perlakuan yang berbeda dari Juragan Jamal. Namun, sebulan belakangan, mereka berdua terlihat lebih bersahabat dengannya. Kalau enggak begitu, Nono enggak akan diajak makan mi ayam bareng seperti ini. Makan mi ayam bareng bertiga pertama kali ini idenya berasal dari Basri dan Mbak Minah.

Sambil makan mi ayam, enggak lupa mereka bertiga menggosipkan Juragan Jamal. Basri dan Mbak Minah mengeluhkan upah yang diterima. Kata mereka berdua, gaji yang diterima segitu-segitu saja, padahal mereka berdua sudah bekerja bertahun-tahun. Jangankan kenaikan gaji, juragan yang sudah berusia setengah abad itu enggak pernah memberi mereka bonus. Hanya pada saat lebaran saja mereka berdua mendapatkan uang THR.

"Ah! Kalian berdua masih mending daripada aku...." Nono enggak melanjutkan ucapannya. Nono sebenarnya ingin cerita soal nasib yang diterimanya hari ini. Namun, biarlah mereka berdua tahu dengan sendirinya suatu hari nanti.

"Mending gimana? Kamu, kan, anak emasnya Juragan Jamal," sahut Basri, pemuda yang umurnya tiga puluh, sedikit lebih muda daripada Mbak Minah.

"Enggak juga. Sama aja, kok."

"Eh, tapi, No... Aku jadi seneng, lo, belakangan ini. Gara-gara kamu, Butet jadi sering ke toko bawain kita semua makanan enak dan mahal. Aku ngerasain sup sirip ikan hiu, ya, baru kemarin itu. Makasih, lo!"

"Makasih buat apa, Mas? Lah wong yang ngasih Butet, kok, makasihnya sama aku," jawab Nono, sambil terkekeh. "Kamu itu salah alamat!"

"Terus kelanjutan hubungan kamu sama Butet gimana, No? Udah, tembak aja dia! Lumayan, kan, dapat anak orang kaya, keponakannya Juragan lagi. Nanti, gajimu bisa aja jadi naik berlipat-lipat kalau nikah sama dia." Mbak Minah memanas-manasi Nono. Dia adalah orang yang sangat kepo soal hubungannya dengan Butet melebihi juragan.

"Enggak, ah, Mbak!"

"Lo, kenapa? Kalian itu kelihatan cocok, lo, sama-sama punya wajah yang menarik dan kulit yang putih. Butet kelihatannya naksir berat sama kamu. Kalau aku jadi kamu, aku pasti mau banget."

"Menikah butuh lebih dari sekadar itu, Mbak."

"Pasti karena agamanya. Iya, kan, No?" Basri jadi ikutan kepo.

"Enggak, Mas."

"Terus karena apa, dong?"

"Enggak salah maksudnya," jawab Nono, sambil terkekeh.

"Oh, dasar!"

Basri dan Mbak Minah ikut terkekeh.

"Kalau urusannya udah menyangkut iman, ya, repot," ucap Basri, lagi.

Basri sebenarnya bukan orang yang agamis, tetapi dia setuju dengan pendapat Nono soal yang satu ini. Dia sendiri meyakini bahwa urusan yang satu ini enggak bisa diganggu gugat. Urusan seseorang dengan Tuhan adalah hak yang paling asasi dan menduduki takhta tertinggi. Tuhan enggak bisa ditandingi oleh siapa pun dan oleh apa pun.

"Eh, siapa tahu, dia mau ikut sama kamu, No. Cinta itu, kan, buta. Iya, enggak?" timpal Mbak Minah.

"Enggak, ah, Mbak! Aku enggak mau main risiko kalau urusan cinta."

"Kenapa, No? Pernah patah hati gara-gara cinta, ya?" Mbak Minah tergelak. "Ayo, ngaku!"

"Eh, enggak kayak gitu! Maksudku, kalau ada yang sejalur, kenapa mesti milih yang beda jalur?"

"Tapi, gimana kalau Juragan masih tetap ngotot menjodohkanmu sama Butet?"

"Jodoh itu ada di tangan Tuhan, Mbak, bukan di tangan Juragan!"

****

Hubungan antara Nono dan Butet enggak ada perkembangan yang berarti, padahal bulan demi bulan telah berganti. Butet sendiri semakin ke sini bukannya bosan, malah semakin gencar mendekati Nono. Butet datang ke toko seminggu sekali di awal dulu kenal sama Nono. Sekarang, dia datang hampir setiap hari. Tentu saja, hal ini membuat Basri tambah senang. Siapa yang enggak senang kalau hampir setiap hari dikasih makan dan minum yang enak-enak? Dia pun jadi enggak harus keluar duit setiap hari buat makan siang.

Meskipun begitu, Butet enggak pernah menyatakan cintanya kepada Nono. Dia hanya memberi sinyal-sinyal saja bahwa dirinya menyukai Nono. Nono sendiri sebenarnya juga tahu kalau Butet mencintainya. Namun, Nono sudah bertekad bulat untuk enggak mau menjalin hubungan lebih dari sekadar teman dengan gadis itu.

Nono hanya ingat pesan dari Ibu. Pacaran itu tujuannya buat mengenal lebih dekat pasangannya sebelum menikah. Jadi, buat apa pacaran sama Butet kalau tujuannya enggak untuk menikah? Nanti, dosanya malah semakin bertambah karena sudah menyakiti hati anak gadis orang.

Gajinya Nono pun semakin tebal mengisi rekening tabungan Juragan Jamal. Untungnya, dia termasuk pegawai yang enggak gampang darah tinggian. Nono masih bisa menahan rasa kecewanya. Ya, sesungguhnya, dia sangat kecewa dengan sikap juragan. Juragannya itu enggak bisa membedakan mana urusan pribadi dan mana urusan pekerjaan.

Untuk mengungkapkan rasa kecewanya, terkadang, Nono tiba-tiba berteriak sendiri di rumah. Ibunya jadi kaget bukan kepalang. Nono pun terkadang berteriak di toko, tentunya saat juragannya enggak ada. Teriakan Nono yang dilakukan tiba-tiba itu membuat Basri dan Mbak Minah jantungan. Namun, semua kekagetan mereka selalu dibalas oleh tawa Nono yang renyah. Enggak ada yang mengira jika sebenarnya laki-laki rupawan itu lagi kesal.

Sebenarnya, Juragan Jamal masih memberi uang kepada Nono. Namun, ya, itu, enggak sesuai dengan kesepakatan awal, sesuka-sukanya juragan saja. Dia bisa mendapatkan lima lembar uang seratus ribu bulan ini. Bulan depan, bisa saja juragan memberinya tiga lembar uang seratus ribu. Untungnya, Nono punya sumber penghasilan lainnya. Terkadang, dia jadi sopir carteran.

Lama-kelamaan, Nono jadi sering enggak enak hati dengan kebaikan Butet soal makan siang dan kendaraan. Dia enggak mau dibilang aji mumpung. Nono jadi sering membawa bekal sendiri dari rumah. Saat tahu hal itu, Butet marah-marah pada Nono. Nono bersikap bodo amat. Tetangganyalah yang akhirnya suka direpoti kalau pas vespa buntutnya enggak mau diajak kerja sama.

Namun, enggak ada orang di dunia ini yang mau diperlakukan semena-mena terus-menerus. Sampai pada akhirnya, teman Nono ada yang menawarinya pekerjaan bagus. Nono pun mengambil keputusan besar yang penting buat hidupnya. Keputusan ini membuat seluruh penghuni toko bangunan terkejut, terutama sang pemilik tokonya.

Sewaktu jam pulang kerja, Nono langsung pamitan sama semua penghuni toko bangunan. Dia meminta maaf atas semua kesalahan yang sudah pernah diperbuatnya. Hari ini adalah hari terakhir Nono bekerja di toko bangunan. Besok, dia sudah enggak berangkat kerja di toko bangunan ini. Jadi, dia meminta agar semua orang, terutama Juragan Jamal, jangan menunggu kedatangannya lagi.

Juragan Jamal merasa enggak terima. Dia marah-marah lagi kayak pemain kuda lumping yang sedang kesurupan. Matanya melotot, mukanya merah padam, tubuhnya bergerak ke sana kemari. Melihat hal itu, Mbak Minah langsung kabur ke gudang. Seharusnya, dia, kan, bisa langsung kabur pulang. Kenapa malah kaburnya ke gudang? Astaga!

Basri sendiri enggak percaya dengan semua kenyataan ini. Bukankah Nono sejak awal bekerja sudah menjadi anak emas Juragan Jamal? Kok, malah mau keluar kerja? Dengan cara yang mendadak lagi! Makanya, saat Nono pamitan sama Basri, laki-laki berbadan cungkring seperti lidi itu merasa terguncang. Dia hanya berdiri terpaku saja di pojokan toko.

"Nono, uangmu!"

"Enggak usah! Dimakan Juragan aja biar Juragan makin kenyang!" teriak Nono, sambil berlalu.

Enggak berapa lama, terdengar suara vespa yang meraung-raung. Suara vespa itu makin lama makin menjauh dari toko bangunan. Nono mengendarai vespa sambil tertawa-tawa sendiri. Basri pun memandanginya sampai suara vespa itu sudah enggak terdengar lagi. Dia pasti akan merindukan suara vespa Nono. Sementara itu, Juragan Jamal terus berteriak sambil melambai-lambaikan tangannya, padahal Nono sudah enggak kelihatan batang hidungnya.

"Akhirnya, aku bebaaaas!"

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Slice of Life
Rekomendasi