Air mata jatuh dari pipinya yang sehalus randu, rambut hitam legamnya terurai menutupi wajah yang bening bak mutiara. Aku di sini menatapnya dari balik penyekat, berdiri tanpa nyali, memeluk tembok dengan surat cinta yang kugenggam dengan tangan gemetaran. Gadis yang kudambakan sedang bersedih karena ditinggal seorang bajingan. Sementara aku cuma bisa berdiri di pojokan, sambil menatapnya berderai air mata kegamangan. Jangan menangis, Jingga, ia tak layak memelawa air matamu.
***
“Kamu tahu kalau mereka sudah putus?”
“Eh?” Aku tergagap.
Meski namanya Surya, sahabatku ini tidak sama sekali mewakili warna sang batara. Surya adalah seorang atlit dengan tubuh liat legam seperti kerbau. “Dia yang putus … tuh!” Ia mengedikkan dagunya.
Kata-katanya berakhir, persis ketika Jingga lewat dengan gontai di koridor sebelah bangkuku. Wangi buah stroberi menguar dari udara di sekitarnya, memancing debar jantungku yang tiba-tiba berlompatan dengan girangnya. Kalau ada selai stroberi semanis Jingga, aku akan minta Bunda membelinya untuk bekal rotiku setiap pagi.
Seragam putih abunya tampak kusut —tak seperti biasanya— dibiarkan berlipat-lipat. Ada bekas saus tomat di ujung kerahnya, tumben.
Aku menunduk, memainkan ujung buku tulis matematika. Kehadiran Jingga membuat otakku yang pas-pasan seolah menyusut, selalu begitu setiap dia lewat. Mungkin karena Jingga terlalu cemerlang untuk dunia yang terlampau hambar, sehingga pesonanya membuat rasa percaya diri setiap murid di kelasku runtuh.
Jingga dan permen karamel, adalah sesuatu yang kuperhatikan sejak TK. Dengan rambut terkuncir bergoyang-goyang, gigi putih yang berderet rapi itu mengulum gula-gulanya sambil mengerjap-ngerjap. Manik matanya yang benderang berkunar-kunar, seperti kepik kecil yang memancing serangga besar untuk menerkam.
“Damian, boleh pinjam penghapusmu?”
Mataku melotot, seperti mau keluar dari cangkangnya. Suara merdunya keluar dari pikiranku. Ia nyata sedang berbicara padaku, sambil mengetuk-ngetukkan ujung sepatunya ke kaki meja.
“Eh? Mm … penghapus?” Bisa-bisanya aku gelagapan dengan tangan gemetaran, dan suara mencicit seperti derit pintu rusak.
“Damian?” ucapnya tak sabaran. “Penghapusnya.” Ia menengadahkan tangannya di meja tulisku.
Entah kebodohan apalagi yang membuatku kesurupan, seperti korban pencopetan kena gendam, Jingga menyihirku hingga hilang kesadaran.
“Makasih, Damian.”
Akhirnya, aku sodorkan penghapusku tanpa menjawab.
Ah, kamu tak perlu banyak bicara, Jingga. Kamu hanya perlu bernapas, itu cukup membuatku puas.
“Ciee, disapa Jingga.” Surya menyadarkanku dari sihir gadis itu.
***
Bunda membelikanku sepeda balap, persis di ulang tahunku yang ke-17. Bukan barang mewah untuk ukuran orang tuaku yang segala punya. Namun untuk mereka, kado ulang tahun anak lelakinya ini punya makna besar, mereka ingin aku sering bermain keluar rumah dan tak mengurung diri.
“Banyak-banyak main keluar sana, jangan mengurung diri di kamar terus,” pesan Bunda sambil membekaliku roti tawar.
“Bun—”
“Ya?”
“Boleh diolesi selai stroberi?”
Bunda menaikkan alisnya. “Tumben,” gumamnya.
“Aku suka selai stroberi.”
“Eh?” Alisnya semakin meninggi. “Sejak kapan?”
“Sejak hari ini,” jawabku sambil memelesat menuju sepeda baruku. Pedalnya yang berwarna lembayung, persis gadis yang telah lama menghiasi mimpi-mimpiku.
***
“Damian—”
“Ya?” Suaraku kembali mencicit setiap kali ia menyapa. “Ada apa?”
“Pinjam lagi penghapusnya.” Jingga kembali mengetuk-ngetukkan ujung sepatunya ke kaki mejaku. Ada bekas saus tomat di seragamnya, kali ini persis di atas saku seragam putihnya.
“Ciee … disapa Jingga.” Surya tak pernah berhenti menggoda, setiap kali Jingga berhenti di mejaku, meminjam penghapus yang tinggal sepotong itu.
“Huss.” Aku cuma bisa mengumpat pelan. Sambil melirik gadis manis di ujung lorongku, menghapus sesuatu di buku tulisnya.
“Kenapa Jingga selalu pinjam penghapusmu?” Surya penasaran.
Aku mengangkat bahu. Tak perlu alasan, bagiku … mau itu penghapus, buku, atau bahkan sepeda baruku, jika Jingga yang meminta, tentu akan aku beri.
“Mungkin karena penghapusmu mahal, bisa digunakan menghapus noda paling bandel.” Surya tekekeh dengan tengilnya. Lantas diam, karena sesorang datang dan berdiri di sebelahku lagi.
“Ini penghapusnya. Makasih, ya.”
Ia berjalan kembali dengan gontai, menebarkan aroma stroberi di sekitar lorong bangku kelas, yang berderet menuju mejanya.
***
“Jingga jadian lagi sama pacarnya,” lontar Surya tiba-tiba. Kali ini sambil bisik-bisik, karena si pemilik berita baru saja lewat dengan senyum renyah di wajahnya.
“Masa?”
“Ah, Damian. Kamu pasti kecewa.” Surya menebak-nebak, tapi kedut di ujung bibirnya seolah mencibirku.
“A-aku nggak suka sama Jingga,” kilahku. Sambil menyembunyikan penghapus di sakuku. Tak akan aku pinjamkan lagi.
“Setiap kali dia ke sini, mukamu seperti tomat rebus. Suaramu juga tiba-tiba serak,” tuduh Surya sambil terkekeh. “Dia teman masa kecilmu, kan?”
Aku menggeleng, tak menjawab. Menyangkalnya tak menjadikan Jingga hilang dari sejarah hidupku, ia adalah gadis mungil yang kukagumi bahkan sejak aku mulai bisa membedakan elok dan lusuh. Jingga tak pernah punya cela dalam memoriku.
“Hei, Damian.” Wangi stroberi itu kembali menguar. Membuatku kembali terbata-bata dan tak sanggup mengangkat kepala.
Aku diam sejenak, mengetuk jemariku di atas meja. “Aku nggak bawa penghapus,” ucapku. Sudut mataku mengintipnya.
Jingga hanya melongo. Manik di matanya meredup. Seperti baru saja kena sihir keji yang membuat binarnya mengabur. Jingga masih berdiri dan mengetuk-ngetukkan ujung sepatunya ke kaki meja, ketukannya melambat.
“Ya, udah. Tak apa. Makasih, Damian.”
Surya yang duduk di sebelahku mendengkus. Ia tampak tak setuju, sambil memelototiku dengan tatapan menuduh.
***
Sepeda balapku menjadi perhatian satu gedung, sejak Bunda menyuruhku mengendarainya ke sekolah. Untuk anak-anak seumuranku, sepeda model begini tentu membuat iri semua orang. Beberapa memuji, tapi tak sedikit yang menyatakan tidak suka. Seperti segerombolan murid berbadan besar yang kini mengelilingi sepeda hitamku, yang masih tergembok aman.
“Sepeda mahal ini.” Seorang kakak kelas menghadang langkahku. Ia memainkan rangkanya, sambil mengetuk-ngetuk dengan kepal tangannya.
“Iyalah, anak orang kaya,” susul temannya yang lebih kerempeng. Dahinya mengernyit seperti wayang kulit.
Surya tak ada di sini. Jikapun ada, tentu ia juga tak berani menghadapi segini banyak manusia.
“A-aku mau pulang,” ucapku tergagap. Yang mengundang tawa mereka semua –menatapku dengan bengisnya.
“Pinjam dong, sepedanya,” ucap si kerempeng sambil memainkan rem tangan. Matanya memicing, menunjukkan bekas luka di ujung alisnya. “Sepeda begini kurang pantas buat anak manja.”
Buk! Sebotol air mineral yang masih penuh terlempar ke tembok di dekatku. Sayang, botolnya tak pecah. Hanya suara debumnya yang membuat kami semua terperanjat.
Jingga berdiri sambil berkacak pinggang. Pipinya yang lembut seperti beludru, terlihat merona. Ia tampak geram.
“Hai, Jingga. Kok, marah?” Salah seorang murid paling jangkung berjalan mengarah padanya. “Ini pacarmu?” Ia kemudian mengernyitkan hidung sambil menunjukku. “Bukannya pacarmu anak basket itu, ya?”
Darah naik ke ubun-ubunku. Entah kenapa, aku tak menyukai ucapannya. Namun, rasa enggan menyuruhku diam, nyaliku kembali bergelung di pojokan.
“Jangan ganggu Damian. Dia temanku,” sergah Jingga. Namun aku mendengar isak di ujung suaranya, lantas ia malah tersedu. “Damian sahabatku. Jangan ganggu.”
Kamu tahu rasanya kue srikaya? Ucapan yang dilontarkannya semanis itu. Jingga tak perlu membela, untuk menjadi gadis yang kupuja. Namun kenyataan bahwa ia bicara demi aku, membuat dadaku kembang kempis dipenuhi suka cita.
Tak lama, separuh isi sekolah mengerubungi tempat parkir. Beberapa di antaranya memanggil guru kami. Sebagai anak dari orang tua penyandang dana terbesar di sekolah ini, tentu aku dibela banyak orang.
Kerumunan yang menggulung seperti semut, membuat Jingga tak kelihatan lagi. Gadis itu menghilang, setelah membelaku dengan gagah beraninya. Beberapa menanyakan keadaanku, bahkan salah seorang guru menelepon Bunda agar menjemputku saat itu juga. Tetapi, Jingga tak ada. Ia menghilang.
***
Ini hari ketujuh sejak aku melihatnya. Jingga tak kelihatan lagi batang hidungnya. Entah kenapa ruang kelas seolah tak lagi punya warna, dan rasanya seolah hambar tanpa aroma stroberi yang aku suka. Tak ada lagi yang meminjam penghapus, bahkan tak ada lagi yang menendang pelan kaki-kaki mejaku saat ia berdiri dengan anggunnya. Jingga seperti hilang ditelan bumi.
“Kamu tahu kabar Jingga?”
Surya terbelalak, seolah ia tak percaya aku akhirnya berani menanyakan keberadaan gadis itu. “Kok, tumben?”
“Kamu tahu kabar Jingga?”
Surya mengernyitkan dahinya. “Memangnya, kamu nggak tahu?”
Aku menggeleng, sambil menggigiti roti selai stroberiku. Menunggu Surya lanjur bercerita.
“Jingga sakit,” ucapnya gamang. “Ada sesuatu di kepalanya.”
Aku mengerjap-ngerjapkan mata, menunggu ia tertawa atau menganulir ucapannya. Tetapi Surya terlihat serius, ia tak meralat informasinya.
“Ada tumor di kepalanya. Makanya dia suka mimisan.”
“Mimisan?”
Surya mengangguk pelan. “Bajunya sering kotor. Belakangan semakin kelihatan.”
Aku mengangkat alisku. “Saos di bajunya?”
Surya mengangguk. “Mimisan.”
Aku kembali mengerjap-ngerjap, rasanya tak percaya.
“Kamu tahu kenapa dia suka pinjam penghapusmu?”
“Penghapusku?”
“Penghapusmu canggih. Bisa menghapus darah yang menetes di buku tulisnya.”
“Jingga sakit,” bisikku entah pada siapa.
Kamu pernah makan es krim lalu dikejar anjing? Beginilah rasanya. Sedang bahagia-bahagianya, lalu suka citamu dicuri. Gadis idamanku dicuri kisah getir yang harus dilaluinya. Pipi halus bak mutiara itu, tak lagi bisa kutemui di ujung lorong kelasku, menebar wangi stroberi yang merebak ke mana-mana.
“Jingga dirawat?”
Surya mengangguk. “Tak boleh ditengok siapa-siapa.”
“Kenapa?” cicitku serak.
“Katanya, ia sampai hilang ingatan.” Tatapan Surya menerawang. “Bahkan sama orang tuanya sendiripun ia lupa.”
Aku menggowes sepeda balapku, entah menuju ke mana. Meninggalkan Surya dan roti stroberiku yang tergeletak di meja. Dadaku bertalu-talu, sempit dan sesak. Rasanya seperti habis menelan bola besar yang mencekikku hingga megap-megap.
***
Hari kepindahanku.
Hari ini hari pertama sekolah. Pindah ke sekolah dasar negeri seperti ini membuatku tak nyaman, karena jauh berbeda dengan sekolah lamaku, yang semua serba ada. Tapi di hari pertama ini, aku melihatnya, seorang gadis mungil yang kukenal waktu TK dulu.
Gadis berkuncir itu seperti boneka. Aku ingat, karena aku tahu, dulu ia selalu menggunakan baju hangat berwarna seperti matahari sore. Orang tuanya selalu menunggunya, tak pernah jauh darinya, entah kenapa.
***
Sepuluh tahun sejak kepergian Jingga dari kehidupan putih abu kami. Semua murid satu kelas, selalu mengingatnya.
Aku meremas kertas berwarna lembayung dalam genggamanku, yang akan aku larung bersama kepedihanku … sejak kehilangannya.
Surat yang terlambat aku dapatkan. Surat yang terkirim ke rumahku persis di hari kepergiannya.
Aku harus melangkah, Jingga. Aku hendak berkeluarga, semoga kamu sudah damai di sana.
***
Untuk: Damian (sahabat masa kecilku)
Aku menganggapmu sahabat, meski kamu selalu membuang wajahmu setiap kali melihatku.
Aku yang selalu menatapmu, setiap kali kamu menunduk malu-malu.
Aku yang akhirnya menerima pernyataan cinta orang lain, meski sebetulnya kamu … yang aku tunggu.
Aku tahu, hidupku mungkin tak lama. Tapi percayalah Damian, aku tak menyesal mengenalmu sejak masa kanak-kanak dulu.
Tawa renyahmu, senyum dan deret rapi gigimu yang membuatku iri, selalu menjadi peluruh rasa sakitku.
Kamu adalah pelangi, setiap kali badai usai menggulungku.
Terima kasih, untuk penghapus sepotongmu itu.
Rasanya ingin selalu kuulang, untuk berdiri di lorong bangkumu, mengetukkan ujung sepatu ke mejamu … agar kamu mau melihat wajahku, sekali saja. Sampai ingatan benar-benar hilang dari kepalaku.
Aku Jingga, dan kamu pelangiku.