Disukai
1
Dilihat
16
Jangan Beri Aku Cintamu
Romantis
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Kulirik Kevin sekali. Pemuda itu duduk tepat di depanku. Tangannya memegang segelas es teh. Dia mengaduk-aduk sebentar minuman itu, lalu hendak menyeruputnya. 

"Wait! Bagi, dong. Dikit."

Kuserobot gelas Kevin. Kusedot beberapa mililiter air tehnya. Pemuda itu hanya pasrah dengan tatapan mata seperti keheranan.

"B aja kali. Gue biasa gitu, 'kan?"

"Kirain dah gak bisa canda," ucap Kevin setelah menyeruput minumannya. "Mikir apa?"

"Em, bukan apa-apa. Tenang. Gue masih waras! Bye Vin-Vin!"

Kutinggalkan Kevin di kantin. Pemuda itu memanggil, tetapi tak kupedulikan. Biasanya aku bercerita padanya. Kali ini, tidak. Ada sesuatu yang tak boleh diumbar ke mana-mana perihal aib seseorang. Biarlah sekadar tahu saja, jangan sampai rahasia itu bocor. 

Aku segera menuju halte bus Transjakarta dan menunggu sejenak karena bus belum datang. Jika diingat-ingat, sejak menjadi pekerja part time di salah satu perusahaan swasta, kesempatan bersantai seperti dulu bersama teman-temanku tak ada lagi. Selain mengerjakan tugas kuliah, aku juga harus fokus menyelesaikan perintah atasan sesuai target. 

Meskipun biaya kuliahku tergolong murah per semesternya, untuk transport dan keperluan sehari-hari tak mungkin mengandalkan uluran tangan orang lain. Ayah yang pensiun di tahun ketiga kuliahku, tak bisa mencukupi uang bulanan dan biaya adik-adik. Terpaksa aku kuliah sambil bekerja.

Bus datang. Para penumpang bergiliran memasukinya. Aku memilih kursi paling belakang, kursi favorit, kendatipun ada tempat duduk khusus wanita di bagian depan. Bus melaju perlahan di jalan bebas hambatan. Bak sang aktor yang berjalan di karpet merah, melenggang elegan meninggalkan kendaraan lain di sisi ruas jalan. Harusnya, cukup menjalani hidup seperti bus ini, tetap melangkah tanpa memedulikan kelakuan orang lain. Sayangnya, aku tak cukup kuat memacu memori melupakan kejadian tempo hari, semudah bus Transjakarta menyalip mobil dan motor di jalan raya. Aku perlu waktu untuk menetralisasi pikiran yang terlanjur merekam dengan baik. 

"Kak, geser, bisa?"

Aku tersentak. Rupanya bus baru saja berhenti di halte lagi. Beberapa penumpang masuk dan mencari kursi yang belum ditempati. Salah satunya pemuda berjaket hitam, dia hendak duduk di kursi belakang juga. Aku beringsut ke sisi kiri, dekat jendela. Detak jantung rasanya masih berdebar-debar akibat teguran pemuda tadi. Mirip debarnya ketika Hans, bos perusahaan, berduaan dengan Meyta di kantor. 

Malang betul nasibku, harus menyaksikan tindakan asusila mereka. Walaupun pandangan sudah berpaling, telinga kusumbat dengan tisu, suara keduanya tetap terdengar. Aku bagai tak berkutik, tak bisa menghindar ke mana-mana. Jika berteriak, akibatnya mungkin bisa lebih parah. 

Waktu itu kantor memang telah sepi. Harusnya aku sudah pulang. Sialnya ada barang tertinggal. Aku memutuskan kembali untuk mengambil barang itu. Beberapa saat kemudian, Meyta dan Hans turut ke ruangan yang sama. Meyta menyadari keberadaan asistennya, dia buru-buru memberi kode agar diam. Akhirnya, aku terpaksa menjadi penonton adegan dewasa.

"Awas kalau buka mulut!" ancam Meyta setelah Hans berkemas meninggalkan kantor. 

"Aku gak liat, Kak. Aku gak liat apa-apa. Tolong, biarkan aku tetap kerja di sini," pintaku penuh harap.

Kejadian antara Meyta dan Hans tak bisa kupungkiri sangat menyebalkan. Terlepas dari status apa pun, hal itu tidak dibenarkan. Apalagi, Meyta wanita bersuami. Walaupun laki-laki single itu cinta setengah mati pada Meyta, tak seharusnya Meyta melayani Hans. Namun, jika protes pasti aku bakal kehilangan pekerjaan. Sedangkan kebutuhan pokok dan lainnya tak bisa ditunda. Bagaimana aku akan melanjutkan kuliah bila kekurangan secara finansial? 

Beruntung Meyta masih memberikan kesempatan bekerja sebagai asistennya, tetapi dengan syarat aku harus menganggap kejadian memalukan itu tak ada. Sungguh persyaratan yang tak mudah. 

Awalnya aku sempat naksir Hans. Meskipun usia menginjak kepala tiga, pesonanya begitu memikat. Beberapa kali aku salah tingkah manakala berpapasan dengannya. Namun, sejak hari itu aku ilfeel pada Hans. Mengapa dia tak mencari wanita single? Dia justru cinta pada Meyta, ibu dari dua anak.

Aku menutup wajah. Bayangan mereka tak bisa hilang seketika. Seolah-olah itu baru saja terjadi. Susah payah aku mencoba melupakan, tetapi gagal. Debaran akibat teguran pemuda tadi berangsur pulih, saat terdengar suara otomatis yang menyampaikan informasi bahwa bus menuju halte Tenas. Aku siap-siap turun, lalu berjalan sekitar sepuluh menit ke rumah.

"Jen, Hans itu siapa?" tanya Mama dari teras begitu aku membuka pintu pagar. 

Hans? Mama memegang buket bunga mawar merah. Kuraih bunga dari tangan Mama. Kertas warna putih dengan pita merah tersemat di tangkainya. Ada satu nama tertulis di kertas itu, "Hans." Untuk apa dia mengirim bunga segala? Bukankah dia ada affair dengan Meyta? Huh! Apa dia mau mendua hati? Jangan harap bakal mendapat cintaku. Tak ada cinta untuknya. Dulu, aku memang sempat kagum padanya. Sekarang itu semua sudah hilang, raib bak ditelan bumi, tanpa sisa lagi. Itu semua akibat ulahnya dengan Meyta. 

Mau secinta apa pun, harusnya Hans tidak melakukan apa-apa pada Meyta. Harusnya Hans menyanjung cinta dengan cara memberi penghormatan tertinggi, yaitu menghormati Meyta. Memang tak menyangkal, Meyta orangnya menarik. Wajar jika Hans terpikat. Namun, yang terjadi mereka berdua terjerumus ke lembah paling nista. Sialnya, aku hanya bisa menutup mata tanpa mampu mengingatkan, apalagi punya daya untuk menegur, tak ada. Manusia apa aku ini? Lemah. Gara-gara takut kehilangan pekerjaan, perbuatan mereka kubiarkan meskipun membuat geram dan kesal.

Kekesalanku bertambah dengan kiriman bunga mawar ini. Tak sudi aku menerimanya. Aku memang bukan gadis yang sempurna, tetapi kelakuan Hans bersama Meyta tak dapat dimaafkan jika itu mau dianggap sebagai masa lalunya. Perempuan yang baik untuk laki-,laki yang baik, bukankah begitu? Jadi mengapa Hans mencoba mendekatiku? Dia jelas-jelas tampak tidak baik. 

Esoknya aku ke kantor pagi-pagi karena jam kuliah kosong. Meyta sudah menunggu di depan ruangannya. Dia buru-buru menarik tanganku lalu menutup pintu. Wanita sepantaran Hans mendekat dan menoleh ke arah jendela sebelum bicara.

"Kamu gak bocorin, 'kan?"

"Aman, Kak."

"Oke, sip. Gini—."

Meyta berbicara pelan. Sepertinya dia tak ingin ada seorang pun tahu. Dia bercerita bahwa rumor di kantor tentangnya dan Hans telah tersebar. Dalam hati aku tertawa riang. Mau serapi apa pun, yang namanya bau busuk, bau bangkai, lama-lama akan tercium juga. Aku bersyukur kelakuan bejat mereka terkuak tanpa mengotori tanganku. Namun, permintaannya di luar prediksi.

"Apa? Aku disuruh pura-pura jadi pacar Hans?"

"Ssstt!! Jangan keras-keras! Please, Jeni. Bantu aku kali ini. Demi kehormatanku!"

Apa? Demi kehormatan? Aku bergeming. Kepalaku menggeleng-geleng tak percaya. Menurut Meyta, memenuhi permintaannya lebih baik daripada kehilangan pekerjaan. Hans yang akan memecatku jika tidak mau melakukan perintah itu. 

Batinku berontak. Peran apa yang harus kujalani kali ini? Lakon yang tak pernah terbayang di hidupku—berpura-pura menjadi pacar seseorang demi menutupi aib. Mereka pikir, apa dengan drama ini semua sudah selesai? Huh, picik sekali. Apa mereka lupa dengan hukuman Tuhan? Manusia bisa saja ditipu, diperdaya. Bahkan data bisa saja dipalsukan, direkayasa, dan dimanipulasi, tetapi hukum Tuhan tidak pernah luput. 

Meyta tidak mengulang ucapannya. Mungkin dia merasa menang karena aku di posisi serba salah. Jika tidak setuju aku akan dipecat, jika setuju, itu dilema besar buatku. Tak ada pilihan lain yang lebih baik. Keduanya sama-sama sulit diputuskan. 

"Itu aja, 'kan?" tanyaku menegaskan. Meyta mengangguk. Wajahnya tampak lega. Giliran aku yang karut-marut. 

Siang itu, Hans mengajak makan di kantin. Rasanya benar-benar malas, tetapi aku tak bisa menolak. Permintaan Meyta telah kusanggupi. Jika bukan karena terdesak, sudah kutolak mentah-mentah. 

Mungkin saat ini, aku manusia paling hina karena lebih mementingkan uang daripada membela kebenaran. Di saat orang lain berlomba-lomba berbuat kebaikan, aku malah tolong-menolong dalam keburukan. Yang tampak di mata teman-teman kantor, Hans ada hubungan denganku. Namun, itu hanya gimmick. Aslinya pria berdagu belah itu masih asyik masyuk dengan Meyta. 

"Diem aja, Jen? Gak enak menunya?" 

Hans membuka pembicaraan. Aku hanya mengulas senyum dua detik. Basa-basi yang sangat basi. Kalau menu kantin nggak enak, mana mungkin makanan di piring ini habis kumakan? Atau dia mau bercanda aku kelaparan? Jangan harap ada tawa terbahak-bahak. Adanya juga bosan dan kesal.

Kikuk, itu yang terlihat dari sikap Hans. Sebagai pria mapan dia gagal memikatku. Mungkin, jika tak kusaksikan perbuatannya bersama Meyta aku bisa kelepek-kelepek oleh pesonanya. Selain wajah tampan, postur tubuh Hans ideal dan good looking. 

Sepertinya aku telah menempatkan Hans setara dengan tanah. Mungkin sama rendahnya denganku. Bedanya, Hans dan Meyta pelaku utama. Sedangkan aku korban penderita. Yang tak melakukan kesalahan, tetapi turut menanggung akibatnya. Ini sungguh tidak adil. 

Makan siang yang cuma formalitas itu berakhir hambar. Walaupun Hans mencoba bersikap mesra padaku, tak ada pengaruhnya. Hatiku telah tertutup untuk dia. Entah sampai kapan aku akan bertahan memerankan tokoh dalam drama ini. Drama rekayasa Hans dan Meyta agar hubungan mereka tetap mulus berjalan.

Usai jam kantor, Hans mengajak pulang bersama. Aku menolaknya dengan halus. Aku berdalih akan mampir ke toko buku lebih dulu yang arahnya berlawanan dengan arah pulangnya. Padahal aku malas dan tidak sudi jika harus berdua dengan dia di mobil.

Bus Transjakarta, transportasi andalan, berpacu agak pelan akibat padatnya arus lalu lintas di dekat perempatan. Sepelan suara beberapa temanku yang masih terngiang di kepala. "Wuih, calon istri bos." Teman lain turut menimpali kala itu, "ditunggu undangannya, yes." Aku benar-benar tidak suka dengan gurauan mereka. Ini semua tidak benar! Aku bukan pacar siapa-siapa! Apalagi calon istri Hans! 

Aku lelah fisik dan pikiran, tak mungkin terus-menerus menutupi perbuatan Hans dan Meyta dengan berpura-pura menjadi kekasih Hans. Namun, aku lebih pusing manakala memikirkan nasib kuliah yang belum selesai. Mau kerja di mana berbekal ijazah sekolah menengah atas (SMA)? Perusahaan Hans mau mempekerjakan lantaran ada Meyta yang merekomendasikanku. 

Kiriman buket mawar dari Hans datang setiap hari. Kamarku penuh dengan kembang warna merah cabai itu. Tak hanya kamar, di beberapa sudut ruangan rumah terdapat vas yang berisi mawar. Kata Mama sayang jika dibuang. Mama sampai heran dan bertanya-tanya tentang Hans. Bahkan beliau menyarankan agar aku menikah saja dengan pria itu setelah wisuda sarjana. Huh! Menyebalkan!

Sebulan telah berlalu. Rasa jemu makin mengganggu. Mau tidak mau aku harus mencari pekerjaan lain agar bisa keluar dari permainan Hans dan Meyta. Media sosial pun aku ubek-ubek untuk mencari lowongan kerja yang sesuai. Yang gajinya cukup untuk menutup kekurangan uang bulananku. 

"Kok, tadi gak masuk, Jen?"

Suara Kevin menghentikan jemariku yang sibuk men-scroll media sosial ketika menunggu jam kuliah. Apa? Aku mencoba mencerna pertanyaan pemuda itu. Kevin bilang ada jadwal kuliah di jam delapan dan jam sepuluh. 

"Ya ampun! Aku lupa!" 

Aku merespons pertanyaan Kevin seraya memegang kepala dengan satu tangan. Akibat sibuk mencari lowongan pekerjaan yang sesuai, jadwal kuliah terlewatkan.

"Aduh … ketinggalan materi, deh," ucapku lesu. 

Kevin mengulurkan buku catatan. Dia meminjamkannya untukku tanpa diminta. Hem, pengertian sekali. Pemuda itu lantas bertanya kenapa akhir-akhir ini aku jarang berkumpul dengan teman-teman. Dia rupanya cemas ada masalah antara aku dengan salah satu atau sebagian teman di kampus. 

"Tenang, Vin. Gue baik-baik aja. Oke?"

Kevin tidak percaya dengan jawabanku. Dia bersikeras memintaku mengatakan yang sebenarnya. Ah, itu tidak mungkin! Apalagi ini soal aib yang harus ditutup rapat-rapat. Aku juga malu jika harus menceritakannya. Namun, Kevin terus mendesak. 

"Buat apa gue cerita kalau gak bakal dapet solusi?"

"Emang apaan masalahnya?"

Aku melipat tangan di dada. Menghela napas sejenak sebelum memberitahu Kevin. Pemuda itu tampak siap mendengar.

"Gue butuh tempat kerja baru, Vin. Jangan tanya kenapa. Bisa, bantuin kasih solusi?"

Hanya itu yang kusampaikan. Kevin tidak menjawab. Sudah kuduga, dia tidak akan bisa membantu. Percuma saja kuberitahukan padanya. Kevin hanya berkata, "oh." Respons yang jauh dari harapan. 

Kutinggalkan Kevin sendirian. Jam kuliah kedua hampir masuk, jangan sampai aku lupa lagi. Gara-gara Meyta dan Hans, hidup jadi kacau-balau. Mereka enak-enakan, aku yang sengsara, sampai-sampai lupa dengan jadwal kuliah.

"Bisa nyapu, gak?" tanya Kevin setelah jam kuliah berakhir. "Kalau bisa, mau gaji berapa?"

"Wait! Tukang sapu? Gue kerja jadi tukang sapu, gitu? Di jalanan? Em … pasukan orange? Atau?" berondongku sambil menatap tajam mata Kevin.

"Bukan! Tapi kerja di rumahku. Sebutin gajinya, mau minta berapa?"

"Serius, Vin?" tanyaku meyakinkan. Pemuda itu mengangguk. "Eh, tapi gak usah sebutin gaji, deh. Asal cukup buat tambahan uang bulanan aja."

Kami sepakat. Dalam dua hari ke depan aku akan bekerja menjadi tukang bersih-bersih di rumah Kevin. Tak apa menyapu, mengepel, dan merapikan rumah asalkan bisa lepas dari lingkaran sandiwara Hans dan Meyta. 

"Yuhuui! Makasih, Bro. Gue mau bikin surat resign dulu, bye-bye!"

Aku berlari kecil ke arah halte bus. Ini namanya mendapat rezeki segunung. Hidup memang tak selamanya nelangsa. Mungkin, bekerja di rumah Kevin adalah jawaban atas doa-doaku agar segera terbebas dari sandiwara pura-pura sebagai pacar Hans.

Segera kubuat surat pengunduran diri. Dengan mantap aku menyatakan keluar dari perusahaan Hans. 

"Tunggu, Jen," pinta Hans setelah dia membaca surat yang kuberikan. "Gimana dengan hubungan kita?" Mataku mendelik mendengar pertanyaannya. 

"Maksudnya?" jawabku seolah-olah tak paham.

Pria berkemeja hitam itu meletakkan surat yang dipegangnya di atas map. Dia berdiri, lalu berjalan ke sisi meja mendekatiku. 

"Kamu adalah tajuk mahkota bagiku," tutur Hans tak berkedip. 

Aku memejam. Kata-kata Hans laksana melambungkanku ke awang-awang. Namun, dalam sekejap aku tersadar. "Gak mungkin!!"

Ini pasti kain pel sobek, rayuan buaya, bullshit bangett! Bukankah Hans tergila-gila pada Meyta? Mau dibuang ke mana perasaannya pada wanita itu? Hans berusaha meyakinkanku. Dia hampir menyentuh jemariku, tetapi aku tepis. Cinta macam apa yang disuguhkannya? Begitu mudah dia mengucap cinta selagi hubungannya dengan Meyta belum berakhir. 

Aku pamit tanpa menghiraukan ungkapan hatinya. Kejadian yang kusaksikan kala itu, tatkala Hans bersama Meyta belum bisa kulupakan. Jika benar Hans telah berpindah ke lain hati, harusnya dia menyudahi jalinan asmara dengan Meyta.

Hans masih memanggil-manggil seiring langkahku meninggalkan perusahaannya. Sementara itu Meyta yang berada di ruang lain hanya berdiam diri. Cukup sampai di sini aku bergaul dengan keduanya. Sebab hanya keburukan yang kelak akan aku tuai akibat mendukung cinta terlarang mereka.

Siang itu langkahku terasa ringan bersamaan hilangnya satu beban pikiran. Saatnya bekerja tanpa dilema lagi. Toh, tak akan selamanya aku menjadi tukang bersih-bersih rumah. Jika ijazah sarjana sudah di tangan, tentu aku akan mencari pekerjaan lain yang lebih baik.

Esok harinya aku mencari rumah Kevin berdasarkan share lokasi yang dikirimkannya. Tak memakan waktu lama, bangunan besar berlantai dua warna putih dengan nomor empat sudah kutemukan. Kevin, pemuda berambut ikal dengan potongan sedikit gondrong menemuiku.

"Tajir juga lu, Vin," pujiku setelah Kevin mempersilakan duduk di teras.

"Eh, kenalin. Ini kakakku," ucap Kevin ketika seseorang berjalan di depan kami. 

"Hah? Kok, lu gak bilang, sih, Vin!" teriakku seketika. 

Kevin memandang ke arahku sambil memiringkan wajah. Mungkin dia heran pada sikapku. Bukan menyambut uluran tangan kakaknya, malah berteriak keras-keras seperti melihat hantu di siang bolong. 

Kupegangi kepala yang mendadak pusing. Rasanya hampir tak percaya dengan apa yang kulihat. Pria yang berdiri di samping Kevin adalah Hans. Kalau begini, aku bagaikan keluar dari kandang harimau, tetapi masuk ke mulut singa. Ya ampun!

Sekian

Jakarta, 23 November 2023

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar