"Kapan terakhir kalian melihatnya?" Polisi terus mencecar empat remaja yang duduk gelisah di ruang interogasi. Wajah mereka tegang, keringat mengalir meski ruangan itu berpendingin udara. Salah satu dari mereka, Marzuki, akhirnya membuka mulut. "Beni yang pertama pulang, Pak," katanya pelan.
Pengakuan itu membuat suasana semakin panas. Tiga lainnya langsung bereaksi, saling pandang penuh tuduhan. Beni tidak ada di ruangan itu. Ia menghilang sejak malam Re dinyatakan hilang.
***
Re gadis pekerja keras dengan impian sederhana. Setiap sore ia menjajakan gorengan untuk menabung biaya kuliah. Di kampungnya, ia dikenal ramah. Fatima, sahabatnya, menjadi satu-satunya yang sering menjadi tempat Re berbagi cerita.
"Jadi kuliah nih kayaknya?" Goda Fatima sambil menyantap jajanan yang dijual Re.
"Pasti!" wajah Re berbinar sambil terus menghitung uang hasil penjualan kuenya sore itu. "Alhamdulillah, hari ini habis ludes. Kalau begini terus tiap hari, dalam sebulan aku bisa nabung lebih banyak. Itu artinya enam bulan lagi cukup buat daftar kuliah."
Fatima menggeleng takjub melihat kegigihan temannya. Sementara dirinya sudah memutuskan untuk menikah saja karena orang tuanya sudah memilihkan jodoh dari keluarga mereka.
"Memangnya enak menikah, Fat?" tanya Re sambil bersandar di gubuk tempat mereka mengusir penat.
"Mana aku tahu? Ini juga baru mau menikah," jawab Fatima sambil terkekeh.
"Aku belum kepikiran menikah," ujar Re suatu sore, saat mereka duduk sepulang dia berjualan. "Aku masih punya dua adik yang harus aku sekolahkan. Orang tua nggak cukup kalau hanya mengandalkan hasil sawah."
"Ya, aku tahu. Tapi jangan terlalu keras pada diri sendiri. Menikah juga sebenarnya bukan pilihanku sendiri. Tapi siapa tahu, nanti suamiku mengizinkan aku kuliah," kata Fatima sambil tersenyum tipis.
Re hanya membalas dengan senyum samar, lalu kembali menghitung uang hasil jualannya hari itu.
***
Sepulang sekolah, Re langsung bergegas mengganti pakaian, sedikit berhias, dan pergi ke rumah Mbak Maisaroh untuk mengambil gorengan yang akan dijajakannya.
"Eh, sudah sampai, Re," sapa Mbak Maisaroh yang sedikit kaget ketika melihatnya datang lebih cepat.
"Iya, Mbak. Aku mau cepat hari ini, soalnya mendung. Takut sore nanti hujan."
"Tapi kalau hujan, kan, lebih laku," balas Mbak Maisaroh sambil tertawa kecil.
"Iya, sih. Tapi aku nggak mau kehujanan, Mbak. Nanti malah sakit, uangnya habis buat beli obat."
"Iya juga, ya. Ya sudah, dipilih sendiri apa saja yang mau dijual hari ini."
Dari rumah Mbak Maisaroh, Re langsung menuju halte di dekat sekolah. Di sana, banyak orang pulang kantor yang sering membeli jajanan.
Satu jam setelahnya, ia menyebrang ke lapangan bola tempat anak-anak berkumpul main. Seperti kemarin, dagangannya nyaris ludes, menyisakan beberapa tahu isi dan bakwan.
"Mau ke mana, Re? Kok cepat banget pindahnya hari ini?" tanya Mas Roni yang baru saja turun dari angkot
"Ke lapangan, Mas Roni. Mas mau beli?" tanya Re sambil menurunkan tampah gorengannya.
"Iya, bungkusin beberapa, ya."
Setelah memberikan uang kembalian, Re pamit. "Duluan ya, Mas."
Di ujung jalan tikus menuju lapangan, Re bertemu lima orang warga kampungnya yang sedang duduk santai.
"Re, habis jualannya?" tanya Marzuki, salah satu dari mereka.
"Iya, Bang. Sedikit lagi ada yang mau beli," jawab Re sambil tersenyum.
Marzuki menoleh ke teman-temannya. "Heh, ada yang mau beli nggak?"
Semuanya menggeleng karena asyik mengobrol.
"Ya udah, aku jalan duluan. Kayaknya mau hujan lebat," ucap Re sebelum berlalu.
***
Jalan setapak menuju lapangan itu sunyi, dikelilingi rimbunan semak dan pohon perdu yang menjalar seperti selimut hijau. Di belakang semak, kawasan luas itu mengarah ke kaki gunung.
Langit semakin gelap. Re mempercepat langkah, sesekali menatap awan yang semakin hitam. Tiba-tiba, hujan deras mengguyur.
"Dik, abang mau beli," terdengar suara dari belakang. Re menoleh, terkejut tetapi senang karena ada pembeli.
"Di bawah pohon aja, jangan di jalan," ujarnya, membantu menurunkan tampah dagangannya.
Namun sebelum Re sempat membuka penutup tampah, lelaki itu menariknya keras ke arah semak. Mulutnya dibekap, tak bisa bersuara. Keranjang kuenya tetap didekapnya erat meskipun ia terus ditarik paksa melewati semak yang semakin jauh dari jalan, hingga keranjang itu akhirnya terlepas, isinya berhamburan. Re berusaha meronta, tetapi tangan kokoh lelaki itu tak melepaskannya, bahkan kini mencekiknya.
Hujan deras dan angin kencang membuat semua suaranya hilang tenggelam.
***
Maghrib menjelang. Ayah Re tergopoh-gopoh menyusuri jalan kecil menuju lapangan bola, mencari putrinya yang belum pulang.
"Ada yang lihat Re?" tanyanya kepada anak-anak yang sedang berjalan ke tempat mengaji. Mereka menggeleng.
"Ke lapangan bola tadi sore. Aku terakhir lihat dia," ujar Fatima tiba-tiba muncul dari belakang.
Tanpa menunggu jawaban lain, ayah Re berlari ke lapangan. Namun, tempat itu kosong. Ia berlari ke halte, menyeberang jalan, dan bertanya kepada siapa saja yang ada di sana. Begitu terus hingga malam menjelang. Beberapa tetangga turut membantu, tetapi hasilnya nihil.
Pencarian Re terus berlanjut hingga malam. Beberapa tetangga membawa senter, menyusuri jalan tikus dan semak-semak di sekitar lapangan bola. Sementara itu, hujan semakin reda, menyisakan rintik-rintik seperti kabut.
"Re! Re, kamu di mana nak?" teriak ayahnya, suaranya makin parau.
Fatima yang ikut mencari mulai merasa gelisah. Ia ingat percakapan mereka di gubuk siang tadi, tentang impian Re untuk kuliah.
Ketika jam menunjukkan pukul 10 malam, salah seorang tetangga berteriak dari arah jalan setapak di pinggir lapangan bola. "Pak, sini! Ada sesuatu!"
Ayah Re berlari ke arah suara itu, diikuti oleh beberapa orang lainnya. Di sana, di bawah rimbunan semak, tergeletak keranjang kue milik Re. Isinya berhamburan, bercampur dengan tanah yang basah.
"Ini keranjangnya," kata ayah Re, suaranya bergetar. Tangannya gemetar saat mengambil keranjang itu.
Salah satu warga menyorotkan senter ke sekeliling lokasi. Tak jauh dari situ, terlihat jejak kaki yang mengarah ke dalam semak yang lebih lebat.
"Kita harus melapor ke polisi," ujar seorang tetangga. "Ini bukan pertanda baik."
***
Malam itu juga, pihak polisi mulai turun tangan. Mereka memasang garis pembatas di sekitar lokasi, mengumpulkan bukti, dan menanyai warga yang terakhir melihat Re. Fatima, yang menjadi saksi terakhir, menjelaskan dengan detail bahwa ia melihat Re berjalan menuju lapangan melewati jalan tikus.
Keesokan harinya, pencarian dilanjutkan dengan bantuan polisi dan warga setempat.
Dalam perjalanan menyusuri jalan tikus yang menjadi rute terakhir Re, seorang anak perempuan yang ikut membantu menemukan seutas tali yang mencuat dari tanah. Anak itu menarik tali tersebut dengan penasaran. Namun, yang muncul bukanlah sesuatu yang diharapkan.
Tali itu ternyata terikat pada sesuatu yang tertanam di bawah tanah. Ketika digali lebih dalam, terlihat kain yang membungkus tubuh. Warga yang berada di tempat kejadian mundur dengan ngeri saat menyadari bahwa itu adalah jasad seseorang.
"Ya Allah... itu Re," bisik salah seorang warga, mengenali baju yang dikenakan mayat tersebut. Suasana menjadi mencekam, isak tangis pecah dari kerumunan, terutama dari keluarga Re.
Polisi segera membawa jasad tersebut untuk diidentifikasi lebih lanjut. Hasil otopsi mengungkap bahwa Re menjadi korban pembunuhan dan pemerkosaan. Luka-luka di tubuhnya menunjukkan tanda-tanda perlawanan, sementara tali yang ditemukan di lokasi menjadi bukti penting dalam kasus ini.
Selama berhari-hari polisi sama sekali tak bisa mengendus jejak apapun. Pelakunya kelihatannya sangat lihai kata para polisi penyelidik.
Orang-orang juga penasaran, tapi tak bisa menduga siapa pelakunya juga.
***
Penyelidikan polisi mulai mengarah pada lima remaja yang terakhir terlihat bersama Re. Tekanan demi tekanan diberikan.
"Kami tidak ikut-ikutan, Pak," ujar Marzuki dengan suara gemetar.
"Mungkin salah satu diantara kalian?”
Mereka menggeleng. “Beni yang pertama pulang,” kata Marzuki kemudian.
Pengakuan Marzuki membuat tiga remaja lainnya panik. Mereka saling menuding.
"Yang mana bernama Beni,” cecar polisi berpakaian preman itu dengan muka kesal karena usaha pencarian pelakunya selama ini sama sekali tak bisa menyisakan jejak. Dan jawaban tidak jelas dari mereka berempat seolah membuang-buang waktunya dengan percuma.
Mereka berempat menggeleng karena setelahnya Beni memang menghilang.
***
Kejahatan itu tetap tidak terungkap. Seluruh tempat telah disisir, tak ada jejak yang tertinggal. Penyelidikan polisi menemui jalan buntu. Pelaku seolah lenyap tanpa jejak.
Hingga suatu pagi seseorang yang sedang mencari rumput untuk ternak tanpa sengaja melihat Beni masuk ke sebuah rumah kosong dengan memanjat pagar dari pintu belakang.
Hingga suatu pagi, seorang petani yang sedang mencari rumput melihat seseorang masuk ke rumah kosong di pinggir kampung. Ia melapor ke polisi, yang segera menggerebek tempat itu.
Di dalam rumah, Beni ditemukan. Tapi yang terjadi berikutnya mengguncang semua orang.
Saat diinterogasi, Beni bersikeras ia tidak bersalah. "Aku tidak membunuh Re," katanya dengan suara parau. "Aku pulang lebih dulu karena hujan deras."
Polisi tidak percaya begitu saja. Bukti yang mereka kumpulkan dari lokasi menunjukkan bahwa tali yang digunakan untuk membekap Re adalah milik keluarga Beni. Namun, saat penggeledahan lebih lanjut di rumahnya, ditemukan sesuatu yang mengejutkan: foto-foto Re di dalam sebuah buku harian yang penuh coretan aneh.
Buku itu bukan milik Beni. Melainkan milik kakaknya, Dani, yang selama ini tinggal di rumah orang tua mereka. Ketika polisi memeriksa Dani, mereka menemukan bekas luka goresan di tangannya. Dani mengaku bahwa ia bertemu Re di jalan setapak sore itu, tapi bersikeras bahwa ia tidak membunuhnya.
Namun, bukti semakin memberatkan Dani. Analisis forensik menemukan sidik jarinya di tali yang ditemukan di lokasi jasad Re. Di sisi lain, motifnya mulai terungkap: Dani memiliki obsesi terhadap Re, yang ia pendam selama bertahun-tahun. Ketika Re menolak pendekatannya, Dani marah dan kehilangan kendali.
Namun, saat Dani ditahan, kasus ini belum selesai. Fatima, yang terus mengikuti penyelidikan, menyadari sesuatu yang ganjil. Di hari terakhir Re menghilang, ia sempat melihat bayangan seseorang di belakang pohon besar dekat jalan setapak. Orang itu bukan Dani. Bayangan itu lebih besar, dan Fatima yakin ia mengenalinya.
Fatima mengumpulkan keberaniannya dan melaporkan kecurigaannya ke polisi. Investigasi baru dimulai, dan akhirnya terungkap bahwa Dani bukan pelaku utama. Ia hanya membantu seseorang yang lebih berkuasa darinya: kepala desa mereka.
Kepala desa selama ini dikenal sebagai orang terhormat. Namun, di balik itu, ia terlibat dalam perdagangan manusia. Re menjadi targetnya karena ia tahu terlalu banyak tentang aktivitas kepala desa. Dani, yang tertekan oleh ancaman kepala desa, dipaksa untuk mengalihkan kecurigaan ke dirinya sendiri.
Dalam penggerebekan terakhir, polisi menangkap kepala desa di gudang penyimpanan barang miliknya. Di sana, mereka menemukan bukti kuat: catatan transaksi, foto-foto korban, dan alat yang digunakan untuk mengikat Re. Kasus ini akhirnya terungkap sepenuhnya.
Dani dihukum karena keterlibatannya, meski ia hanya menjadi pion dalam kejahatan ini.