Disukai
0
Dilihat
35
Influencer Istana
Slice of Life
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Setengah tahun menuju Pemilihan Raya untuk memilih perdana menteri baru. Perdana menteri yang masih menjabat keluar dari gerbang istananya dengan jadwal penuh agenda. Sepenuh yang bahkan pengawalnya tidak tahu ke mana Perdana Menteri itu akan pergi mendarat.

Agenda pertama, dia menengok kelanjutan bagaimana proyek perbaikan jalan nasional yang sempat tak terurus. Jalan utama yang sempat menggegerkan dunia maya karena memakan korban seorang pengendara motor di malam hari.  

Sama seperti biasanya, dia berjalan dan menanyai warga dan pekerja yang ada di sana. Yang tak biasa adalah wajah orang yang sudah terlalu sering muncul di layar kaca, berdiri di belakang mengikuti bapak Perdana Menteri.

Tak taulah warga apa agendanya, tapi karena aji mumpung bisa bertemu artis papan atas, warga rebutan meminta foto dengannya. Tak peduli hasil fotonya blur atau bahkan yang pemegang kamera tidak kelihatan, yang penting mereka bisa mengabadikan momen itu. Karena jarang sekali bisa melihatnya berada di jalanan seperti ini. 

Hari berikutnya, wajah perdana menteri terpotret gagah di postingan akun pribadi artis itu. Fotonya yang sedang berjongkok dan menyentuh aspal yang masih mentah mendapatkan ribuan like. Ini baru satu jam sejak postingan itu di unggah. 

Di postingan lainnya yang bukan milik artis itu, foto yang diposting ulang muncul silih berganti. Ada yang ditimpa dengan watermark media akun tersebut, ada yang ditempeli wajah calon yang maju di pemilihan kota selanjutnya, ada juga yang ditempeli logo-logo yang bertuliskan sebuah kata yang diikuti oleh 3 angka kembar.

Dengan jumlah follower yang hampir seperempat penduduk negeri itu, jumlah itu masih akan melambung jauh melihat potensi yang ada. Di captionnya tertulis, “Menengok pembangunan jalan raya bersama bapak Perdana Menteri. Saya diundang untuk menemani beliau melakukan kunjungan kerja.”

Di kolom komentarnya pun penuh dengan pujian yang maha tinggi. Banyak dari mereka yang memuji kerja perdana menteri dan membanding-bandingkan dengan pemimpin sebelumnya yang tak mau turun selangkah pun dari istana. Ada juga yang mencemoohnya, namun kamu bisa menemukannya setelah beberapa kali scroll komentarnya ke atas. 

Royhan mengetuk tanda hati yang ada di layar ponselnya dan lanjut scroll berita yang muncul di berandanya. Punggungnya bersandar pada kursi besi yang memiliki alas busa biru yang sudah kempes. Andaikan kursinya bisa diputar, mungkin dia akan bersantai sambil berputar-putar di tengah kantor. 

“Roy, Beritanya udah naik?” tanya seseorang dengan tanda pengenal bertali merah. 

“Oh, udah mas,” jawabnya sambil membenarkan posisi duduknya dengan sigap. 

“Lalu bagaimana perkembangannya,” tanyanya lagi. 

“Nggak terlalu bagus mas,” Royhan beralih kepada komputernya dan menekan beberapa tombol. Di layar komputer itu muncul grafik yang naik tapi tidak terlalu tajam. Di atas grafik itu ada tulisan berjudul “Kasus Penggusuran Paksa Warga Nasan”. 

“Udah setengah hari beritanya terbit tapi nggak terlalu banyak ya?” kata orang itu dengan heran. 

“Iya mas. Tapi ini masih mending daripada hari-hari sebelumnya mas,” ucap Royhan. 

“Tapi nggak terlalu jauh kan bedanya?” tanyanya. Royhan mengangguk menyesal. 

“Red, ada surat nih buat lo!” teriak perempuan berpakaian rapi dengan atasan putih dan celana hitam gelap. 

“Udah aku bilang jangan panggil aku red. Rad red rad red. Aku juga punya nama,” pria berkalung merah itu berjalan pergi meninggalkan Royhan yang kembali sibuk dengan ponsel bodohnya. 

“Ya, kan lo Pimred. Ya gua panggil Red lah,” kata perempuan itu dilanjut dengan tawa ringan. 

“Gini nih kalo kerja ama temen sendiri. Mana suratnya?” tangan Pimred itu menodong meminta. Kertas tebal dengan stempel berwarna emas yang tercetak rapi di sampulnya itu menyilaukan mata yang terlindungi lapisan kaca. di bawah lambar bercetak emas itu tertulis dengan font serif “Pemerintahan Nasional Negara Maju”.

Pimred merobek penutup amplop itu tanpa memperdulikan cetakan mewah yang tidak mungkin dibuat di tukang print pinggir jalan. Mata hitam itu langsung menuju ke tengah kertas dan langsung menutupnya kurang dari satu menit. 

“Ri, kirim surat balasan. Tulis kalau kita meminta maaf dan menolak permintaan dari pemerintah,”

“Emang permintaanya apa?” tanyanya penasaran. Pimred tidak menjawabnya. Alih-alih menjawab, dia memberikan kertas yang sudah dilipatnya itu kepada Rina, Sekretaris Redaksinya. 

“Pemerintah meminta kita untuk hanya memberitakan yang baik-baik tentang mereka selama sebulan sebelum penyerahan jabatan,” kata Rina sambil membaca kertas itu. 

“Nggak perlu terkejut seperti itu. Itu pasti dilakukan oleh mereka dan juga kepada media-media lain.”

“Nggak papa nih kalau kita menolak. Nggak bakal kenapa-napa kita?” tanya Rina ragu.

“Nggak kok. Mereka nggak bakal melakukan pembredelan seperti sejarah lama. Sekarang sudah jamannya demokrasi dan masyarakat sudah sadar akan itu. Tapi kita juga tidak boleh disetir seperti ini. Karena…”

“Karena kami memiliki kode etik kami sendiri,” kata Rina memotong ucapan yang terus diulangi Pemred itu. Jika tidak dipotong, Pemred akan mulai bercerita tentang perjuangannya menjaga nilai-nilai keadilan dan keterbukaan. 

“Kamu sudah belajar,” puji Rina yang merupakan karyawan baru meskipun mereka seumuran. 

“Meskipun karyawan baru, sebelumnya aku juga bekerja di bidang profesional. Hal seperti itu sudah menjadi pengetahuan semua orang,” bela Rina. 

“Kalau memang profesional, segera kerjakan permintaanku,” perintah Pimred.

“Baik bos. Izin undur diri,” Rina memberi hormat dan Pimred hanya bisa geleng-geleng kepala. 

Sambil memijat-mijat kening kepalanya, Pimred kembali ke ruang pribadinya. Ruang yang tempat bertumpuknya masalah dan laporan dari orang-orang. Tidak hanya laporan resmi yang dikirim dengan surat atau surel, tapi juga laporan yang dikirim via suara atau telepon. 

Pimred membagikan nomornya setiap datang ke lokasi peristiwa. Meminta update jika ada informasi terbaru tentang kejadian yang sedang diselidikinya. Apalagi berita investigasi. Banyak surat kabar yang mulai meninggalkan metode ini karena banyak memakan biaya dan waktu. Tapi Pemred berani bertaruh untuk kebenaran yang sesungguhnya. Bukan hanya kebenaran yang keluar dari pendapat para pejabat yang entah mengetahui atau tidak jika tidak ditanya oleh wartawan. 

Pimred menatap lurus layar laptopnya yang sempat dipindahkan ke mode sleep ketika hendak berkeliling. Ketika layarnya hidup, yang terpampang di layar adalah dua jendela yang berbeda. Yang kiri adalah situs portal berita yang menampilkan artikel yang barusan ditanyakan kepada Royhan. Kemudian yang satunya adalah postingan seorang artis yang tokoh utamanya bukanlah artis itu, melainkan Perdana Menteri yang kurang dari 60 hari lagi akan melepaskan jabatannya. 

Dari dua jendela itu, terlihat jelas perbedaan layaknya tebing. Pembaca berita yang hanya ratusan dibandingkan dengan jumlah like postingan yang sekarang hampir menyentuh 10 ribu. Itu baru like-nya. Belum tahu jumlah orang yang melihat. Yang jelas lebih banyak daripada berita itu. 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Slice of Life
Rekomendasi