Sedang pagi menuju siang dan mereka berlima di atas sampan; si ayah (dalam bahasa daerah disebut: Bubu), si anak (dalam bahasa daerah disebut: Ilo), serta tiga ekor anjing peliharaan (satu induk, dua anak). Mereka sedang menggaris sungai dengan sampan menuju Kampung Besar. Di kiri kanan tampak hijau dedaunan pohon-pohon bermacam ukuran yang tumbuh menjulur ke sungai. Mata Ilo terpaku pada deretan pohonan itu tanpa mengamati salah satu pohon secara cermat dan lama, sesekali, apabila ada, matanya berhenti sebentar pada coklatnya batang pohon besar atau bebatuan penuh lumut yang warnanya hijau menyala. Tapi, di sebuah tikungan sungai, mata Ilo terpaku pada sebuah pohon raksasa yang tampak baru saja tumbang karena longsor. Ilo tahu longsor itu baru saja terjadi, karena jejak longsoran tebing itu masih terlihat, dan karena daun pohon raksasa yang tumbang itu masih tampak hijau segar. Ilo memperhatikan pohon raksasa itu, batangnya basah sehingga warna coklatnya tampak bersinar; anehnya, longsor yang terjadi tampaknya hanya separuh, membuat pohon raksasa itu tak jatuh ke arah sungai, tapi belok ke kanan sehingga ujung pohon raksasa itu tersangkut pada sebuah batu besar berwarna hitam, anehnya lagi badan pohon raksasa itu tidak patah. Pohon raksasa itu seolah-olah menjadi pagar agar pohon-pohon kecil di atasnya tidak ikut roboh oleh longsor. “Mungkin ia melindungi anak-anaknya. Pohon-pohon kecil itu mungkin anaknya,” pikir Ilo.
Namun, pohon raksasa tumbang itu tak menarik perhatian Ilo terlalu lama, sebab Ilo sedang bahagia bukan main karena bisa bepergian keluar dari kampungnya. Ini pertama kalinya Ilo bisa pergi ke Kampung Besar. Ilo bisa bepergian keluar dari kampungnya karena minggu lalu ia sudah masuk Sekolah Dasar di kampungnya. Ada kepercayaan aneh di kampungnya bahwa hanya orang-orang sekolah yang boleh pergi ke Kampung Besar. Entah kepercayaan ini datang dari mana dan sejak kapan, yang pasti sejak dulu sudah begitu. Menurut angin-angin, zaman dulu pernah ada seorang bocah empat tahun yang tewas dimakan buaya sehingga para bocah dilarang untuk mendekati sungai sebelum mereka punya pikiran, dan orang yang berpikiran adalah mereka yang sudah sekolah. Kaitannya dengan Kampung Besar adalah karena untuk tiba di sana orang-orang perlu naik sampan menggaris sungai. Jadi, mereka yang belum berpikiran dilarang dekat-dekat sungai apalagi naik sampan di sungai menuju Kampung Besar.
Kampung Besar sangat penting untuk warga di kampung Ilo sebab kampung Ilo berada di pedalaman yang hanya bisa dijangkau lewat sungai ini, sementara pasar tempat orang kampung menjual hasil kerja kerasnya serta membeli kebutuhan pokok modern ada di Kampung besar.
Sebelum mereka berangkat tadi, Bubu sudah memperingatkan Ilo, “Jauhkan tanganmu dari sungai. Ada buaya!” Tapi Ilo bandel, sesekali ia sempat menyelupkan ujung jari telunjuknya untuk menggaris sungai yang hijau kehitaman itu. Ia berulang kali ditegur Bubu: "Awas! Nanti tanganmu putus dimakan buaya!"
Diperingati sekian kali, telinga Ilo tetap bocor, ia tetap senyum sehabis dimarahi, dan Bubu mau tak mau juga tersenyum melihat tingkah putra semata wayangnya. Ia paham ini perjalanan pertama Ilo menggaris sungai, anaknya sedang bahagia.
Dekat Kampung Besar, senyum Ilo makin lebar melihat rumah-rumah yang bentuknya asing sekaligus memesona. Rumah-rumah di Kampung Besar bukan lagi berdinding kayu dan atapnya bukan lagi dari anyaman daun rumbia. Ilo tak tahu apa nama dinding dan atap rumah-rumah di Kampung Besar dan ia tak terpikir untuk bertanya pada Bubu, ia terlalu senang melihat bentuk rumah asing itu, untuknya benda baru adalah pengalaman baru yang menyenangkan. Dua ekor anjing kecil yang ada di atas sampan juga bertindak gelisah, mereka melompat-lompat seolah sedang menari kegirangan, mungkin karena ini juga pertama kalinya mereka sampai di Kampung Besar; sementara induk anjing bersikap sama dengan Bubu, induk anjing ini sudah terbiasa datang ke Kampung Besar menemani tuannya.
“Tinggalkan saja anjing-anjing kecil itu di situ, Ilo,” kata Bubu sambil terus mengikat tali sampan pada sebatang pohon.
“Nanti mereka lari, Bubu.”
“Ya sudah, bawa saja, tapi jangan sampai mereka hilang.”
Ilo tersenyum lalu menggendong dua anak anjing itu dan melangkah keluar dari sampan dengan sangat hati-hati, Ilo takut tercebur ke dalam sungai, sekarang ia baru takut buaya.
Bubu dan Ilo—yang menggendong dua anak anjing kecil—berjalan bersisian sedang induk anjing mengekor di belakang mereka.
“Kita ke pasar sekarang, kah, Bubu?”
"Tidak. Kita antar dulu si Torky," kata Bubu seraya menengok ke belakang kepada Torky, si induk anjing itu.
"Antar ke mana, Bubu?"
"Ke tempat jagal anjing."
"Haruskah si Torky dijagal sekarang?" Ilo menatap induk anjing di belakang mereka.
"Sudah waktunya, Ilo."
Ilo tak menjawab lagi. Ada perasaan senang bahwa mereka akan pergi ke tempat jagal anjing, sudah lama Ilo penasaran dengan tempat itu. Beberapa kawan yang masuk Sekolah Dasar lebih dulu pernah bercerita kepadanya tentang tempat itu. Katanya ada banyak anjing di tempat jagal, bermacam warna, bermacam ukuran, ramai dan berisik sekali.
Saat melintasi pasar Kampung Besar yang penuh orang, senyum Ilo makin lebar, kepalanya berpaling ke kiri kanan lantaran takjub bukan main melihat orang amat banyak berkumpul di satu tempat. Namun, begitu mata Ilo tak sengaja melihat warung es, perhatiannya terpaku di situ, tenggorokannya kering seketika. “Bubu, saya ingin makan es.”
Bubu tersenyum lalu memindahkan arah berjalannya. “Kita tanya dulu harganya.”
Tak berapa lama, Ilo sudah memegang gelas berisi es serut dan cairan kental merah dengan susu kental kaleng.
"Enak?"
"Enak sekali, Bubu. Terima kasih banyak."
Sementara Ilo asyik menikmati es kacangnya, dua anak anjing yang tadi digendongnya juga sedang berebutan puting induknya.
Ilo menelan isi gelasnya sampai tetes terakhir baru kedua ayah anak itu berjalan bersisian lagi. Ilo tak lagi menggendong dua anak anjingnya, mereka dibiarkan bersama induknya mengekori Ilo dan Bubu.
Benar, banyak sekali anjing di dalam kandang-kandang kecil di pekarangan rumah ini. Semua anjing yang ada di sini menggonggong selama Ilo dan Bubu melewati kandang-kandang kecil menuju rumah.
“Ah, untung saja kau cepat,” kata pria tua yang keluar dari rumah untuk menyambut Ilo dan Bubu. “Daging sudah akan dikirim. Restoran-restoran di kota sudah kehabisan daging. Yang mana anjingmu?” Kata Pria tua itu kepada Bubu.
“Ini!” Kata Bubu seraya mengisyaratkan agar Torky—induk anjing—mendekat.
Torky mendekati Bubu, kemudian Bubu mengusap-usap kepalanya; pria tua si pemilik tempat jagal juga ikut mengusap kepala anjing itu.
“Seperti biasa, ya,” kata pria tua itu.
“Berapa?”
“Harga pasar.”
Bubu mengangguk pasrah.
Pria tua itu balik badan dan mulai berjalan ke dalam rumah. Bubu dan Torky mengekori pria itu. Ilo bingung apa yang harus ia lakukan, tapi tak selang lama Ilo bersama dua anjing kecilnya juga menyusul orang-orang dewasa itu.
Rumah itu ternyata luas sekali, dan di dalamnya banyak ruangan tanpa pintu. Torky kemudian digiring masuk ke dalam sebuah ruangan lalu Bubu dan pria tua itu berjalan terus entah ke mana. Ilo dan dua anjing kecilnya berhenti di depan sebuah ruangan tanpa pintu. Ada Torky dan dua orang pemuda di dalamnya.
Dua pemuda itu segera memegang keempat kaki Torky dan memasukannya ke dalam karung goni kemudian mengikat karung itu dan menaruhnya di tengah ruangan. Ilo melihat itu dengan rasa takjub sekaligus marah sekaligus sedih, itu anjing yang tumbuh bersamanya, ia menyayangi Torky.
Torky di dalam karung menggonggong dan berontak, membuat karung goni itu melompat-lompat. Seorang dari dua pemuda itu lalu menuju sudut ruangan, mengambil palu berukuran besar, dan tanpa basa-basi membenturkan ujung palu besar itu ke atas karung goni, dua kali, terdengar bunyi amat keras seolah batu sedang dibenturkan dengan batu, dan karung goni itu seketika berhenti bergerak dan gonggongan Torky berhenti.
Air mata Ilo tiba-tiba menetes ketika karung goni itu diam dan tampak basah kemudian darah kental merah menetes dari karung, tapi Ilo bisu dan menjadi patung sampai Bubu kembali lalu mengajaknya beranjak dari situ. Kelakuan dua anak anjing persis Ilo, bahkan Bubu sampai harus menggendong kedua anak anjing itu supaya mereka bisa keluar dari tempat jagal anjing.
Wajah Ilo tak kering sampai mereka tiba di sebuah warung nasi campur di pasar. Bubu dan Ilo duduk bersisian dalam diam. Saat nasi campur mereka datang, Ilo tetap jadi patung. Bubu membiarkan anaknya, ia menyuapi mulutnya lebih dulu. Dua anak anjing murung di bawah meja.
Sekian menit lewat, piring di hadapan Bubu telah bersih. Tersisa tulang-tulang ayam di atasnya. “Makan dulu, Ilo!” Kata Bubu, lalu menenggak gelas berisi air putih dan es batu.
Ilo masih menjadi patung, tatapannya terpaku pada piring berisi ayam di hadapannya. Air matanya sudah tak keluar lagi, tapi wajahnya masih basah.
Sesudah isi gelasnya kosong, Bubu berkata, “Jangan menangis. Kita akan sering melakukan ini. Lagi pula, Ilo harus belajar ikhlas.”
Ilo masih diam.
Bubu masih membiarkannya, ia malah mengambil tulang-tulang ayam dari piringnya dan dihamburkan begitu saja di bawah meja. Dua anak anjing itu berebutan, mereka bahkan saling gigit dengan gonggongan kecil.
“Ilo harus berhenti menangis. Lihat, Ilo! Anak-anaknya saja sudah tak peduli pada kematian induknya.”
Ilo tak merasa dihibur ayahnya, tapi ia segera pegang sendok dan menyuapi mulutnya. Ilo makan dengan macam-macam pikiran, termasuk sumpah ingusannya di dalam hati bahwa ia tak akan lagi datang ke tempat ini meski ia telah jatuh cinta dengan Kampung Besar. Tapi sumpah itu terlupakan begitu saja ketika Bubu mengajak Ilo ke pasar baju. Sejak dari pasar baju sampai entah kapan, Ilo tak mengingat lagi tentang Torky.
Selesai