Disukai
0
Dilihat
174
Ikhlas yang Terbaik
Romantis

__

  Faizal masih mengingat dengan jelas hari itu—hari ketika hidupnya berubah dalam sekejap. Di tengah keramaian Stasiun Gaharu, di antara suara langkah kaki yang tergesa dan percakapan orang-orang yang saling berpapasan tanpa memperhatikan sekitar, matanya tiba-tiba tertuju pada sosok yang seolah memancarkan cahaya di tengah hiruk-pikuk tersebut. Sosok itu adalah Hilma, perempuan yang kelak akan mengubah hidupnya selamanya. Dengan postur tubuh yang anggun dan wajah yang tampak penuh ketenangan, Hilma berdiri di sana seperti sebuah oase di tengah padang pasir. Detik itu juga, Faizal tahu bahwa dia tidak akan pernah bisa melupakan sosok yang baru saja dilihatnya.

  Saat itu, Faizal baru saja selesai menghadiri seminar di Jakarta yang mengupas tuntas tentang perkembangan teknologi dan dampaknya pada masyarakat. Kepalanya penuh dengan informasi dan ide-ide baru yang menggelitik pikirannya, tetapi semua itu lenyap begitu saja ketika dia melihat Hilma. Sambil menunggu kereta yang akan membawanya kembali ke Yogyakarta, Faizal memutuskan untuk berdiri sejenak di sudut stasiun, mencoba meresapi suasana. Namun, pikirannya terus saja kembali kepada Hilma, yang tampak begitu tenang dan nyaman dengan dirinya sendiri, seolah tidak terganggu oleh kebisingan dan keramaian di sekitarnya. Hilma, dengan senyum tipis yang menghiasi wajahnya, sedang tenggelam dalam dunia sebuah novel yang dipegangnya, seakan-akan hanya dia yang mampu memahami kisah di balik halaman-halaman tersebut. Bagi Faizal, ini adalah pertama kalinya dalam hidupnya ia merasa begitu tertarik pada seseorang hanya dengan melihatnya dari kejauhan.

  Kereta yang mereka tunggu akhirnya tiba, dan secara kebetulan, atau mungkin takdir, Faizal dan Hilma berada di gerbong yang sama. Suara derit roda kereta yang berhenti seolah menjadi isyarat bagi Faizal untuk bergerak. Dengan hati yang berdebar-debar, Faizal mulai mencari tempat duduk yang strategis. Dia berkeliling mencari-cari tempat di mana dia bisa duduk dekat dengan Hilma, namun tetap terlihat alami, tanpa terkesan terlalu berusaha. Ketika akhirnya dia menemukan bangku kosong di seberang Hilma, hatinya melonjak. Dia merasa seperti memenangkan lotre—peluang untuk mendekat pada sosok yang baru saja memikat hatinya. Kini, duduk berhadapan dengannya, Faizal bisa mengamati Hilma lebih dekat. Setiap gerak-geriknya, dari cara dia membalik halaman buku hingga bagaimana dia sesekali menatap ke luar jendela, semuanya tampak begitu mempesona di mata Faizal.

  Selama perjalanan, Faizal tak bisa mengalihkan pandangannya dari Hilma. Wajahnya yang tenang, caranya menatap buku dengan begitu intens, semuanya membuat Faizal terpikat. Hilma bukanlah gadis yang hanya menarik dari segi penampilan fisik; ada aura misterius yang melingkupi dirinya, sesuatu yang membuat Faizal ingin tahu lebih banyak. Setiap gerakan Hilma tampak begitu halus, seolah-olah dia ada di dunianya sendiri, namun tetap memancarkan kehangatan yang tak dapat diabaikan. Faizal merasa dirinya sedang terjebak dalam dilema yang aneh—antara keinginan untuk mendekati dan rasa takut akan ditolak. Dia mencoba merangkai kata-kata dalam pikirannya, berharap bisa memulai percakapan, tetapi setiap kali dia ingin membuka mulut, lidahnya terasa kaku. Dia hanya bisa terus menatap, mencoba mencari keberanian di balik kekagumannya yang semakin dalam.

  Tiba-tiba, tanpa diduga, Hilma menoleh ke arahnya dan tersenyum. Senyuman itu tidak hanya menyapa Faizal secara fisik, tetapi juga menyentuh hatinya. Senyum Hilma seakan menjadi jembatan yang menghubungkan dua dunia yang berbeda—dunia Faizal yang dipenuhi dengan rasa penasaran dan dunia Hilma yang tampak begitu tenang dan harmonis. Faizal merasa seperti sedang ditarik oleh gravitasi yang tak terlihat, sebuah kekuatan yang memaksanya untuk mengambil langkah pertama. Dalam sekejap, keberanian yang mendadak muncul di dalam dirinya memicu Faizal untuk bertindak. Dia memutuskan bahwa ini adalah saat yang tepat, saat di mana dia harus berani untuk mendekat, tanpa perlu memikirkan akibatnya.

"Permisi, boleh saya duduk di sini?" tanya Faizal dengan suara yang sedikit bergetar. Meskipun di sebelah Hilma terdapat kursi kosong. Bagi Faizal, kalimat itu lebih dari sekadar permintaan tempat duduk; itu adalah awal dari sebuah harapan, sebuah keinginan untuk lebih mengenal Hilma. Dia sadar bahwa pertanyaannya mungkin terdengar konyol, namun dia tidak bisa memikirkan cara yang lebih baik untuk memulai percakapan. Hilma, dengan senyuman yang sama ramahnya, menatap Faizal sejenak sebelum menjawab dengan lembut, 

"Tentu,"

  tanpa sedikit pun menunjukkan rasa curiga atau kebingungan. Jawaban singkat itu sudah cukup untuk membuat Faizal merasa lega. Dalam hati, dia merayakan kemenangan kecil ini, sebuah langkah awal menuju sesuatu yang lebih besar.

__

  Dari situlah percakapan mereka dimulai. Awalnya, hanya percakapan sederhana tentang buku yang Hilma baca—sebuah novel karya penulis terkenal yang bercerita tentang perjalanan hidup dan cinta yang rumit. Faizal mencoba menebak-nebak jalan cerita, berusaha terlibat dalam dunia yang sedang dibaca Hilma. Percakapan mereka kemudian mengalir dengan alami, beralih dari topik ringan tentang buku menjadi obrolan yang lebih dalam tentang tujuan perjalanan masing-masing. Faizal mendapati dirinya semakin nyaman berbicara dengan Hilma. Mereka berbagi cerita tentang mimpi dan harapan, seolah-olah mereka telah saling mengenal selama bertahun-tahun. Faizal mulai merasa bahwa Hilma adalah sosok yang istimewa, bukan hanya karena kecantikan luarnya, tetapi juga karena cara dia melihat dunia. Hilma berbicara dengan penuh semangat tentang hal-hal yang dia cintai, dan Faizal merasa seperti menemukan cerminan dirinya dalam diri Hilma—seseorang yang memandang hidup dengan cara yang sama sekali berbeda, namun tetap sejalan dengan apa yang dia yakini.

  Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Saat kereta berhenti di stasiun berikutnya, suasana yang nyaman itu tiba-tiba terganggu oleh dering ponsel Hilma. Suara telepon yang seharusnya biasa saja, tiba-tiba terasa mengancam bagi Faizal. Dia bisa melihat bagaimana senyuman di wajah Hilma perlahan memudar saat dia mengangkat telepon tersebut. Wajahnya yang tadinya tenang berubah menjadi tegang, seakan-akan kabar buruk sedang disampaikan dari ujung telepon. Faizal bisa merasakan ada sesuatu yang salah, sesuatu yang akan mengakhiri momen indah ini lebih cepat dari yang dia harapkan. Dia tidak tahu apa yang terjadi, tetapi dia tahu bahwa apapun itu, hal tersebut akan memisahkan mereka.

"Aku harus pergi sekarang," ucap Hilma setelah menutup telepon, suaranya terdengar gemetar, menandakan bahwa apapun yang dia dengar dari telepon tadi benar-benar mengguncang hatinya.

 Faizal, yang tadinya merasa begitu dekat dengan Hilma, kini merasa bingung dan tak berdaya.

"Kenapa? Apa terjadi sesuatu?" tanyanya dengan nada cemas, meskipun dia tahu bahwa pertanyaan itu mungkin tak akan bisa mengubah apa pun.

Dia merasa ada dinding tak terlihat yang tiba-tiba muncul di antara mereka, menghalangi keintiman yang baru saja terbentuk. Hilma terdiam sejenak, seolah sedang mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan situasinya. Dia terlihat seperti seseorang yang terjebak di antara dua pilihan sulit, dan Faizal bisa merasakan betapa beratnya keputusan yang harus diambil Hilma.

"Kakekku sakit keras. Aku harus segera ke rumah sakit. Ini... sangat mendadak," jawab Hilma akhirnya, dengan suara yang sedikit bergetar.

  Faizal bisa melihat bahwa Hilma berusaha keras untuk menahan emosinya. Mata Hilma yang sebelumnya ceria kini dipenuhi oleh kekhawatiran dan kesedihan yang mendalam. Hati Faizal mencelos mendengar kabar tersebut. Meskipun baru mengenal Hilma, ia merasa terikat padanya. Keinginan untuk ikut menemani dan memastikan Hilma baik-baik saja sangat kuat dalam dirinya. Namun, Faizal sadar bahwa dia berada di batas yang tak seharusnya dilangkahi. Seberapa besar pun keinginannya, Faizal tahu bahwa dia tak punya hak untuk memaksa dirinya hadir di momen pribadi Hilma yang begitu penting dan penuh dengan kesedihan.

"Aku berharap kakekmu segera sembuh," kata Faizal pelan, meski hatinya berteriak ingin berkata lebih.

  Saat Faizal mengucapkan harapan itu, ia merasakan kegamangan yang mendalam. Kata-kata yang keluar dari mulutnya terasa tak cukup untuk mengekspresikan keinginannya yang sesungguhnya. Di balik harapan sederhana itu, Faizal merasakan dorongan kuat untuk menjadi seseorang yang lebih dari sekadar kenalan di dalam kereta. Ia ingin menjadi seseorang yang dapat memberikan dukungan dan pelukan hangat kepada Hilma di saat-saat sulit. Namun, ia sadar bahwa mereka baru saja saling mengenal, dan mungkin Hilma tak ingin kehadirannya di saat yang genting seperti ini. Ia hanya bisa menatap Hilma dengan perasaan yang tak bisa ia ungkapkan, berharap bahwa doanya dapat memberikan kekuatan bagi gadis itu.

Hilma mengangguk dengan air mata yang mulai menetes di pipinya.

 "Terima kasih, Faizal. Kamu orang yang baik." Hilma merasa beban berat di hatinya sedikit terangkat dengan kata-kata Faizal.

__

  Meskipun mereka baru bertemu, Hilma bisa merasakan ketulusan dalam setiap ucapan Faizal. Air matanya jatuh perlahan, mencerminkan kelelahan dan kesedihan yang ia rasakan. Namun, dibalik itu semua, ada rasa terima kasih yang tulus karena Faizal telah berusaha menghiburnya di tengah situasi yang begitu sulit. Hilma ingin mengatakan lebih banyak, mungkin memberi tahu Faizal betapa dia menghargai kehadirannya. Tetapi, kata-kata itu tersangkut di tenggorokannya, dan ia hanya bisa mengucapkan terima kasih sambil berusaha menahan tangisnya. Dalam sekejap, Hilma merasakan koneksi yang lebih dalam dengan Faizal, meski mereka berada dalam situasi yang penuh ketidakpastian.

  Tanpa bisa berkata lebih banyak, Hilma berdiri dan meninggalkan kereta. Faizal hanya bisa melihat punggungnya yang menjauh, hatinya diliputi perasaan campur aduk antara kekhawatiran dan kesedihan. Ia tahu, mungkin ini terakhir kalinya ia melihat Hilma. Saat Hilma berdiri dan melangkah keluar dari kereta, Faizal merasakan waktu seolah berhenti sejenak. Punggung Hilma yang semakin menjauh dari pandangannya menciptakan perasaan kosong di hatinya. Segala sesuatu yang terjadi begitu cepat—dari pertemuan tak terduga, obrolan singkat, hingga perpisahan yang tiba-tiba. Faizal diliputi rasa khawatir yang tak bisa ia jelaskan. Ia ingin mengejar Hilma, ingin menawarkan bantuan atau setidaknya memastikan dia baik-baik saja, tapi ia tahu batasannya. Kesedihan mulai merayap ke dalam hatinya ketika ia menyadari bahwa mungkin, pertemuan singkat ini adalah satu-satunya kesempatan yang pernah mereka miliki. Perasaan tak menentu itu membuat Faizal terdiam lama, merenung tentang apa yang baru saja terjadi dan mengapa hatinya begitu berat melepas Hilma pergi.

__

  Sesampainya di Yogyakarta, Faizal tak bisa berhenti memikirkan Hilma. Ia merasa ada sesuatu yang belum selesai, perasaan yang menggantung di udara, seolah-olah ada sesuatu yang tertinggal di antara mereka. Disisi lain, ia tahu bahwa mereka hanya bertemu sebentar—mungkin terlalu sebentar untuk menyisakan perasaan sedalam ini. Namun, Faizal tak bisa menyangkal kenyataan bahwa Hilma telah menyentuh hatinya dengan cara yang tak pernah dirasakannya sebelumnya. Sepanjang perjalanan menuju Yogyakarta, pikiran Faizal terus-menerus kembali pada Hilma. Setiap detik pertemuan mereka terputar ulang di benaknya, seakan-akan ada bagian dari cerita mereka yang belum tuntas. Perasaan aneh itu terus menghantui Faizal—perasaan bahwa ada sesuatu yang tertinggal, sesuatu yang belum terucapkan. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa pertemuan mereka hanyalah kebetulan, bahwa tak seharusnya ia merasakan sesuatu yang begitu mendalam untuk seseorang yang baru ia kenal. Namun, semakin ia mencoba mengabaikan perasaannya, semakin jelas bahwa Hilma telah meninggalkan jejak yang tak terhapuskan di hatinya. Dia mulai bertanya-tanya apakah ini yang disebut cinta pada pandangan pertama, ataukah hanya ilusi yang diciptakan oleh pikiran yang kesepian.

__

  Hari-hari berlalu, dan Faizal mulai merasa frustasi. Ia mencoba menghubungi Hilma melalui pesan singkat, tetapi tak ada jawaban. Nomor telepon yang digunakan saat pertama kali bertemu seakan hilang begitu saja. Setiap kali Faizal mencoba menelepon, ia hanya mendapatkan suara otomatis yang memberitahu bahwa nomor tersebut tidak aktif. Ia merasa kehilangan, meskipun tak pernah benar-benar memiliki Hilma. Waktu terus berlalu, namun pikiran Faizal tetap terperangkap pada sosok Hilma. Ia terus mencoba menghubungi nomor telepon yang Hilma berikan, namun hasilnya selalu sama—pesan otomatis yang memberitahu bahwa nomor tersebut tidak lagi aktif. Rasa frustasi dan ketidakberdayaan mulai tumbuh di dalam dirinya. Faizal merasa terjebak dalam kebingungan—bagaimana mungkin seseorang yang hanya ia kenal sebentar bisa meninggalkan bekas yang begitu mendalam? Ia tak bisa mengerti mengapa Hilma tampaknya menghilang begitu saja, tanpa jejak, seolah-olah dia hanyalah bayangan dalam mimpinya. Setiap kali Faizal mencoba merenungi perasaannya, ia semakin merasa bahwa ia telah kehilangan sesuatu yang berharga, meskipun hubungan mereka belum sempat berkembang. Perasaan kehilangan ini terus menghantuinya, seakan-akan ada ruang kosong di hatinya yang tak bisa diisi oleh apapun.

  Minggu berganti bulan, dan Faizal masih terjebak dalam perasaan tak menentu ini. Ia mulai mencari-cari informasi tentang Hilma, berharap menemukan petunjuk tentang keberadaannya. Namun, semua usahanya sia-sia. Hilma seperti menghilang begitu saja, tanpa jejak. Dengan berlalunya waktu, Faizal menyadari bahwa perasaan yang menggantung di hatinya tak kunjung hilang. Ia mulai terobsesi untuk menemukan Hilma, berharap setidaknya bisa mendapatkan jawaban mengapa mereka terpisah begitu tiba-tiba. Faizal mulai bertanya kepada teman-temannya, mencari di media sosial, dan bahkan mencoba melacak riwayat panggilan di teleponnya untuk menemukan petunjuk tentang keberadaan Hilma. Namun, semua usahanya tidak membuahkan hasil. Hilma seakan lenyap dari dunia ini, meninggalkan Faizal dengan perasaan tak menentu dan hampa. Ia tak tahu apakah harus terus mencari atau menerima kenyataan bahwa mungkin ia tidak akan pernah bertemu Hilma lagi. Namun, satu hal yang pasti, Hilma telah meninggalkan tanda yang tak bisa dihapus di dalam dirinya, tanda yang terus memanggil-manggilnya dalam keheningan malam.

  Saat itu, ia sedang berjalan-jalan di sekitar kampus setelah menyelesaikan tugas-tugas kuliahnya. Di tengah keramaian mahasiswa yang berlalu lalang, ia bertemu dengan Tio, teman lamanya yang sudah lama tak ia temui. Setelah beberapa percakapan ringan, Faizal merasa ada dorongan kuat untuk menanyakan tentang Hilma, meski ia ragu Tio akan tahu sesuatu. Namun, saat Tio mulai menceritakan tentang seorang pasien tua yang dirawat beberapa bulan lalu, Faizal merasakan harapan kecil menyala di hatinya. Ia mendengarkan dengan seksama, berharap Tio memiliki petunjuk yang selama ini ia cari. Ketika Tio akhirnya menyebutkan nama Hilma, perasaan Faizal seolah-olah terhempas. Semua penantian dan pencariannya akhirnya berujung pada satu titik yang tak pernah ia duga.

"Oh, Hilma? Aku ingat, kakeknya dirawat di rumah sakit tempat aku bekerja. Sayangnya, beliau sudah meninggal dunia. Hilma dan keluarganya kemudian pindah ke luar negeri untuk memulai hidup baru di sana," kata Tio.

  Kata-kata Tio menembus hati Faizal seperti pisau tajam. Setiap harapan yang selama ini ia simpan perlahan-lahan menghilang saat Tio menjelaskan bahwa kakek Hilma telah meninggal dunia. Kepergian kakeknya tak hanya membawa kesedihan bagi Hilma, tetapi juga menyebabkan dia dan keluarganya memutuskan untuk meninggalkan Indonesia, pindah ke luar negeri demi memulai hidup baru. Berita itu membuat Faizal terdiam, seolah seluruh dunia di sekitarnya berhenti berputar. Segala usahanya untuk menemukan Hilma selama ini ternyata sia-sia. Gadis yang telah menyentuh hatinya kini berada jauh di tempat yang tak bisa ia jangkau. Faizal hanya bisa menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan perasaan hancur yang ia rasakan. Ia sadar bahwa ini mungkin akhir dari perjalanan panjangnya mencari Hilma, meskipun hatinya sulit menerima kenyataan itu.

  Dunia Faizal seakan runtuh. Semua usahanya untuk mencari Hilma ternyata sia-sia. Hilma sudah pergi, mungkin untuk selamanya. Perasaan kosong dan kehilangan kembali melanda Faizal, tetapi kali ini lebih dalam. Ia merasa seolah-olah kehilangan sesuatu yang sangat berharga, meski hubungan mereka begitu singkat. Ketika mendengar kabar tentang kepergian Hilma, Faizal merasa dunia di sekelilingnya runtuh. Semua usahanya, waktu yang ia habiskan, dan harapan yang ia pupuk selama ini seolah-olah tak berarti lagi. Hilma telah pergi, bukan hanya dari hidupnya, tetapi mungkin juga dari ingatannya—sebuah kisah yang tak pernah mendapatkan kesempatan untuk berkembang. Faizal merasakan kekosongan yang mendalam, seakan-akan ada bagian dari dirinya yang terputus dan hilang tanpa bisa digantikan. Perasaan kehilangan itu menghantui setiap detiknya, membuatnya menyadari bahwa ia telah kehilangan lebih dari sekadar seorang teman atau kenalan—ia telah kehilangan seseorang yang memiliki potensi menjadi bagian penting dari hidupnya. Meski pertemuan mereka singkat, dampak yang ditinggalkan Hilma begitu mendalam hingga Faizal merasa bahwa ia telah kehilangan sesuatu yang sangat berharga, sesuatu yang tak bisa ia kembalikan atau gantikan.

__

  Setelah pertemuan itu, Faizal mencoba melanjutkan hidupnya. Ia tahu bahwa ia harus melepaskan Hilma, meskipun itu sulit. Ia mulai fokus pada studi dan karirnya, mencoba menenggelamkan dirinya dalam kesibukan sehari-hari. Namun, di sudut hatinya, kenangan tentang Hilma tetap hidup. Ia tak bisa melupakan senyum itu, percakapan itu, dan momen singkat yang mereka bagi. Meskipun berat, Faizal berusaha untuk menerima kenyataan dan melanjutkan hidupnya. Ia mulai membangun kembali rutinitasnya, fokus pada studinya yang semakin menuntut, dan merencanakan masa depannya dengan lebih serius. Kesibukan sehari-hari menjadi pelariannya dari pikiran-pikiran tentang Hilma. Namun, meskipun ia berusaha keras untuk mengalihkan perhatian, kenangan tentang Hilma tetap hidup di sudut hatinya. Setiap kali ia terdiam, bayangan Hilma, senyumnya yang lembut, dan percakapan-percakapan singkat mereka kembali menghantui pikirannya. Faizal menyadari bahwa meskipun ia mencoba mengikhlaskan, Hilma tetap menjadi bagian dari dirinya, sebuah kenangan yang tidak bisa ia hapus begitu saja. Waktu mungkin akan terus berlalu, tetapi Faizal tahu bahwa ia tidak akan pernah benar-benar melupakan gadis itu.

---

  Beberapa tahun kemudian, Faizal telah menjadi seorang yang sukses dalam karirnya. Ia kini bekerja sebagai dosen di sebuah universitas ternama, mengajar mata kuliah yang ia cintai. Namun, meskipun hidupnya tampak sempurna dari luar, di dalam dirinya, masih ada ruang kosong yang tak pernah terisi—ruang yang diciptakan oleh Hilma. Tahun-tahun berlalu, dan Faizal akhirnya menemukan kesuksesan dalam karirnya. Sebagai seorang dosen di universitas ternama, ia mendapatkan penghargaan dan pengakuan atas dedikasinya dalam mengajar. Setiap hari ia berdiri di depan kelas, membagikan pengetahuannya dengan antusiasme yang sama seperti ketika ia pertama kali jatuh cinta pada mata kuliah yang ia ajarkan. Dari luar, hidup Faizal terlihat sempurna—ia memiliki karir yang gemilang, reputasi yang baik, dan masa depan yang cerah. Namun, di dalam dirinya, Faizal merasakan ada ruang kosong yang tak pernah bisa ia isi. Ruang itu diciptakan oleh kenangan tentang Hilma, kenangan yang masih menghantuinya meskipun ia telah mencoba melupakan. Faizal menyadari bahwa kesuksesan yang ia raih tidak bisa mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh perasaan yang tak pernah tersampaikan. Ruang itu tetap ada, mengingatkannya akan momen-momen singkat yang pernah ia bagi dengan Hilma, dan betapa besarnya pengaruh gadis itu dalam hidupnya, meskipun mereka hanya bertemu sebentar.

  Suatu sore, setelah selesai mengajar, Faizal memutuskan untuk pergi ke stasiun tempat pertama kali ia bertemu Hilma. Stasiun itu telah banyak berubah—lebih modern, lebih ramai—tetapi kenangan tentang Hilma tetap sama. Ia berdiri di peron yang sama, mengingat kembali momen-momen itu. Hatinya terasa berat, tetapi ia tahu bahwa ini adalah bagian dari hidup yang harus ia terima. Sore itu, setelah semua kelas selesai, Faizal merasa dorongan kuat untuk mengunjungi tempat yang telah menjadi titik awal dari kenangan tak terlupakan itu. Ia memutuskan untuk pergi ke stasiun, tempat di mana ia pertama kali bertemu Hilma. Ketika Faizal tiba di stasiun, ia segera menyadari bahwa tempat itu telah banyak berubah. Gedung yang lebih modern, teknologi yang lebih canggih, dan keramaian yang lebih padat membuat stasiun tersebut terasa berbeda. Namun, ketika ia berjalan menuju peron tempat mereka pertama kali bertemu, semua kenangan itu kembali hidup dalam pikirannya. Faizal berdiri di tempat yang sama, membiarkan dirinya terserap dalam nostalgia. Ia mengingat setiap detail—senyum Hilma, suara-suara di sekitarnya, dan percakapan singkat yang menjadi awal dari perasaan yang begitu dalam. Hatinya terasa berat, dipenuhi oleh perasaan campur aduk antara cinta, kehilangan, dan penerimaan. Namun, Faizal tahu bahwa inilah bagian dari hidup yang harus ia terima, bahwa beberapa kenangan tak akan pernah pudar, meskipun waktu terus berjalan.

  Faizal mengambil napas dalam-dalam dan menatap langit yang mulai memerah saat matahari tenggelam di ufuk barat. Ia menyadari bahwa meskipun ia harus mengikhlaskan kepergian Hilma, kenangan itu akan selalu menjadi bagian dari dirinya. Faizal menarik napas dalam-dalam, merasakan udara senja yang mulai dingin. Langit di atasnya berwarna merah keemasan, seiring matahari yang perlahan tenggelam di ufuk barat. Pemandangan itu membawa ketenangan dalam hatinya, meskipun perasaan hampa masih menggantung. Di saat itu, Faizal menyadari bahwa kepergian Hilma adalah sesuatu yang harus ia terima. Tidak ada yang bisa ia lakukan untuk mengubah apa yang telah terjadi. Namun, Faizal juga menyadari bahwa kenangan tentang Hilma tidak akan pernah hilang. Meskipun ia harus mengikhlaskan kepergian gadis itu, kenangan-kenangan mereka akan selalu hidup dalam hatinya, menjadi bagian dari dirinya yang tidak akan pernah bisa ia lepaskan. Hilma mungkin telah pergi, tetapi jejaknya akan tetap ada dalam setiap langkah yang Faizal ambil, mengingatkannya akan cinta pertama yang begitu singkat namun begitu berkesan.

__

  Di stasiun yang sama, tempat pertama kali mereka bertemu, Faizal merasa seolah-olah ia telah menemukan jawaban yang selama ini ia cari. Bukan tentang apa yang hilang, tetapi tentang apa yang pernah ada—pertemuan singkat yang mengajarkan tentang cinta, tentang perpisahan, dan tentang bagaimana hidup harus terus berjalan, meskipun hati terasa kosong. Di tengah kesunyian sore itu, berdiri di stasiun tempat kenangan-kenangan itu tercipta, Faizal merasakan sebuah pencerahan. Jawaban yang selama ini ia cari tidak terletak pada usaha untuk menemukan kembali apa yang hilang, tetapi pada penerimaan akan apa yang pernah ada. Pertemuan singkat dengan Hilma telah mengajarkannya banyak hal—tentang cinta yang datang tanpa disangka, tentang perpisahan yang tak terhindarkan, dan tentang bagaimana hidup harus terus berjalan, meskipun hati terasa hampa. Faizal menyadari bahwa kenangan itu bukanlah sesuatu yang harus ia lupakan atau hilangkan, melainkan sesuatu yang harus ia simpan dan hargai sebagai bagian dari perjalanan hidupnya. Di stasiun ini, di tempat kenangan itu bermula, Faizal akhirnya menemukan kedamaian dalam hatinya, menerima bahwa meskipun mereka tak lagi bersama, kenangan tentang Hilma akan selalu menjadi bagian dari dirinya.

~End~


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar