Disukai
0
Dilihat
158
Idolaku di Masa Lalu
Slice of Life
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

 

          Lelaki itu tiba-tiba telah muncul di depan pintu. Paras terangnya mengingatkanku pada seseorang di masa lalu. Namun, aku lupa akan namanya. Sembari bertanya-tanya di dalam hati, kupersilahkan ia duduk di bangku kayu yang tersedia di teras depan.

          “Dulu, semasa SMA kita berdua sering duduk bersebelahan,” jawabnya saat kutanya namanya. Aku tersenyum sambil mengangguk. Seolah telah faham akan siapa ia gerangan. Padahal memoriku sesungguhnya tengah bekerja keras untuk dapat mengingat namanya.

          “Kamu tak banyak berubah, Han. Parasmu masih seperti sebelas tahun lampau. Paras sampul buku,” oloknya kemudian. Kelihatannya ia tahu jika aku masih mencoba menebak-nebak sosoknya. Hanya saja saat ia tadi mengolok-olok wajah kutu bukuku, seketika memoriku menemukan satu nama.

          “Ngomong-ngomong buku-bukuku yang kamu pinjam dulu, apa cover-nya masih mulus?” pancingku.

          Seperti sebelumnya lelaki itu enggan langsung menjawab. Ia malah tertawa kecil.

          “Amarta!” seruku yang telah yakin siapa ia gerangan. Seorang teman lama yang sering lupa mengembalikan bukuku.

          “Senangnya kala seorang penulis best seller masih mengingat rekan sekolahnya,” ujarnya dengan mimik wajah ceria.

          Memoriku bekerja baik. Ia memang Amarta. Kawanku saat berseragam SMA dulu. Teman sekelas dengan sederet prestasi. Ketua OSIS, jago basket, serta piawai berdebat adalah pribadinya di waktu itu. Kendati cuma anak pedagang ikan di pasar, namun wajah blasteran Amarta telah menebar pesona ke seantero penghuni sekolah. Tak terkecuali denganku yang juga pernah mengidolakannya.

          “Kemana saja kamu selama ini?”

          “Aku turut Papah hijrah ke negeri orang. Tujuh tahun aku tinggal di Marseille, dan baru empat bulan terakhir aku kembali ke tanah air.”

          Wow, rupanya ia telah menjadi diaspora di Eropa. Pantas saja aku tak pernah melihat batang hidungnya lagi. Ayahnya tepat sekali memutuskan pindah ke sana. Sejak remaja Amarta telah fasih berbahasa Perancis. Mudah baginya untuk cepat beradaptasi dengan kultur masyarakat setempat. Aku percaya, orang penuh talenta semisal Amarta akan berkembang pesat jika tinggal di sana.

          Selanjutnya Amarta menjelaskan sebab apa ayahnya memutuskan pindah ke Eropa. Salah seorang kerabat yang tinggal di Marseille menganjurkan ayahnya untuk berimigrasi ke sana. Ayahnya bersedia demi masa depan Amarta. Apalagi saat itu Amarta tengah terbelangkai kuliahnya akibat masalah ekonomi. Dari tiga anak ayahnya hanya Amarta seorang yang dibawa pergi. Dua saudaranya mengikuti ibunya yang telah bercerai dengan ayahnya.

          “Aku tebak, kalau bukan alumni ENS Paris, kamu sekarang ya... alumni Stasbourg, mungkin?” kataku menyebut dua universitas ternama di Perancis. Aku berharap tebakanku benar. Andai benar, sejujurnya aku turut bangga atas keberhasilan Amarta meraih mimpi. Sewaktu SMA dulu, Amarta sering mengutarakan mimpinya untuk bersekolah di perguruan tinggi kelas dunia.

          Lagi, Amarta tak lantas menjawab tebakanku. Amarta malah bercerita nasib ayahnya. “Di Marseille, Papah tak memiliki keterampilan lain selain dagang ikan. Persis sewaktu masih berada di sini, Papah cuma bisa membuka lapak kecil di pasar ikan segar, di sekitar Pelabuhan Tua Marseille. Penghasilan Papah tak cukup untuk bisa mengkuliahkan anaknya di sana.”

          Sempat termangu lebih dahulu, namun aku lalu memilih tak percaya ceritanya. Masih sih ayahnya tega menyia-nyiakan otak encer Amarta? Bukankah tujuan utama ayahnya berimigrasi semata-mata demi masa depannya? Amarta pasti tengah rindu bercanda denganku.

          “Jika tak kuliah, lantas apa yang kamu kerjakan di sana?”

          “Bantu-bantu Papah berjualan ikan.”

          “Kamu serius?”

          “Untuk apa aku berbohong?” 

          “Seingatku, kamu adalah tipikal orang yang malu dengan kegagalan. Mana mungkin kamu berani pulang tanpa keberhasilan.”

          “Itu Amarta yang dulu,” jelas Amarta sambil tersenyum. “Setelah Papah meninggal tahun lalu, disusul kerabat Papah yang juga meninggal, aku lantas kesepian berada di sana. Tak ada teman. Tak ada kehidupan yang lebih baik. Kuputuskan untuk kembali ke tanah air saja.” 

          “Setelah pulang ke tanah air?” desakku yang masih sangsi akan kisahnya.

          “Ya.... jualan ikan lagi di pasar,” jawabnya bersama tawa.

          Begitu lepas Amarta tertawa. Ia seolah malas peduli kalau aku sama sekali tak menyangka nasibnya bakal seperti ini. Jauh-jauh merantau ke negeri orang, namun yang didapatkannya cuma masa depan yang berjalan di tempat. 

          “Kapan novelmu terbarumu terbit? Sejak masih di Eropa, aku sudah ketagihan baca novel-novemu itu,” tiba-tiba saja Amarta mengalihkan obrolan.

          Pertanyaan Amarta mengingatkanku akan ratusan pertanyaan serupa dari para penggemarku. Mereka semua mengaku tak sabar lagi menanti peluncuran novel terbaruku. Sebenarnya novel terbaruku telah lama kusiapkan. Mengambil tema dunia perpolitikan, aku berharap novel terbaruku ini dapat sesukses novel-novelku sebelumnya. Sayang, hingga detik ini alur cerita yang kubangun masih tersendat. Penyebabnya adalah imajinasiku sendiri. Tokoh antagonis ciptaanku terlalu cerdas. Akibatnya, sang tokoh utama kesulitan menemukan siasat jitu untuk dapat menaklukan musuh politiknya.

          “Memangnya ada toko buku di sana yang menjual novelku?”

          “Kebetulan aku pernah mengunjungi Frankfrut Book Fair. Aku menemukan dua novelmu dipajang di sana.”

          Ada kebanggaan tersendiri ketika Amarta menyebut Frankfrut Book Fair. Dua novel terlarisku memang diikutsertakan dalam pameran buku prestisius itu. Meski begitu aku enggan menjawab pertanyaan Amarta. Aku malah balik bertanya, “Kamu sudah menikah?”

          “Tak ada bule yang mau dengan imigran miskin sepertiku,” katanya meledek diri sendiri. 

          “Menyedihkan.”

          “Sudah tidak. Aku tengah dekat dengan seorang wanita.”

          “Siapa dia, Ta?”

          “Kakaknya si Erwin.”

          “Maksudmu Afita....?”          

          “Benar, Afita iparnya Hapsari.”

          Kala Amarta menyebut nama Hapsari, hati ini lantas menggeliat. Memoriku kembali terbang ke masa lalu. Nama Hapsari dulunya merupakan sumber rasa iri hatiku. Jika Amarta cuma menganggapku teman dekat saja, lain halnya dengan Hapsari. Wanita anggun itu sangat beruntung beroleh tempat istimewa di hati Amarta.

Kendati demikian, aku tak pernah larut dalam cemburu berlebihan. Kala itu aku cukup merasa panas hati setiap memandang kemesraan mereka berdua. Mereka memang pantas menyandang status sejoli. Adalah mengagetkan bila di kemudian hari Hapsari tega mencampakkan Amarta. Hapsari bahkan tak ragu menerima pinangan Erwin, seteru abadi Amarta.

          “Kamu kembali mengejutkanku, Ta. Siapa menyangka, pengganti Hapsari adalah Afita.”

          ““Afita tak mungkin bisa menggantikan Hapsari.”

          “Faktanya kamu menggaetnya.”

          “Afita yang tergila-gila kepadaku. Aku memilihnya karena posisinya sebagai kakak ipar Hapsari.”

          “Aku kurang faham.”

          “Begini, Han. Setelah menikahi Afita, mau tidak mau Hapsari harus menganggapku keluarga. Hapsari tak boleh lagi menolak kehadiranku seperti sebelumnya.”

          Aku faham sekarang. Waktu yang berjalan rupanya belum mampu memupus cinta Amarta pada Hapsari. Cinta malah menanamkan pikiran gila dalam otak Amarta. Malang benar nasib Afita. Perempuan kesepian itu tak tahu sebab apa Amarta berkenan menikahinya. Amarta hanya menjadikannya sebagai jembatan menuju Hapsari.  

          “Ta, aku bisa merasakan betapa sakitnya kamu saat Hapsari menikah dengan Erwin. Tapi, itu semua telah lama berlalu. Janganlah kamu ganggu rumah tangga mereka!”

          Dahi Amarta mengerut. Kelihatannya ia tak bisa menerima saranku.

          “Han, apa kamu tahu sebab apa Hapsari dulu pisah denganku?”

          Aku menggeleng. Aku enggan berkata, Hapsari memutus hubungan gara-gara Amarta berselingkuh dengan seorang perawat rumah sakit.

          “Mudah-mudahan kamu masih ingat saat aku dirawat di rumah sakit karena demam berdarah.”

          Aku mengangguk.

          “Selama di rumah sakit aku mengeluh tak bisa tidur. Seorang perawat kemudian memberiku obat tidur. Aku tak tahu jika perawat itu diam-diam telah berencana jahat padaku. Aku lalu tertidur pulas. Ia yang telah hafal pada jam berapa Hapsari biasa menjengukku, lantas sengaja tidur seranjang denganku.”

          Saat dulu Hapsari bercerita padaku akan pengkhianatan Amarta, aku sebenarnya sangsi. Menurut Hapsari, Amarta dan seorang perawat didapatkan tengah tidur bersama di kamar pasien. Bagiku itu meragukan sekali. Mana mungkin Amarta yang sangat mencintai Hapsari bakal mau berbuat sebodoh itu. Keraguanku itu kini terbukti.

 ‘         ”Aku baru tahu kalau perawat itu ternyata orang suruhan. Ia ternyata masih kerabat jauh si Erwin.”

          “Maksudmu, Erwinlah otak di balik putusnya hubunganmu dengan Hapsari?”

          “Benar sekali! Sama sepertiku, Erwin juga cinta mati pada Hapsari. Ia yang membayar perawat itu untuk tidur seranjang denganku.”

          “Kenapa kamu tidak jelaskan pada Hapsari?”

          “Hapsari terlanjur murka kepadaku. Kamu kan tahu sendiri, sejak aku keluar dari rumah sakit, ia tak mau melihatku lagi.”

          “Dan sekarang kamu mencoba merebut Hapsari lagi?”

         “Aku berhak merebut cintaku lagi. Aku yakin, kelak setelah mendengar penjelasanku, Hapsari bakal menyesali keputusannya dulu. Ia akan balik membenci Erwin.”

           Dendam dan cinta kiranya telah membutakan Amarta. Etika sudah tak ada lagi dalam benaknya. Ia hanya berpikir, Erwin yang pekerja tambang akan banyak menghabiskan waktu di laut lepas. Ini berarti, dirinya akan lebih leluasa menghembuskan kembali bara cinta Hapsari. Saat Erwin tengah bekerja, Hapsari biasanya akan tinggal di rumah mertua. Padahal sebagai pengantin baru, kemungkinan ia dan Afita juga akan tinggal di sana.

          “Hapsari itu bukan wanita bodoh, Ta! Hidupnya pun telah mapan. Apa menurutmu ia mau berselingkuh dengan pria bau amis ikan?”

          “Dungu sekali bila aku mengaku pedagang ikan! Hapsari malah akan menertawakanku. Sejak mula berkenalan dengan Afita, aku mengaku sebagai pengelola kursus bahasa asing.”

          Boleh juga ia berbohong. Dengan menguasai tiga bahasa asing, Hapsari bakal mudah percaya Amarta memiliki bisnis kursus bahasa asing. Selain itu Hapsari akan menilai, Amarta hidupnya telah berkembang. Tak lagi cuma berkutat di pasar ikan seperti ayahnya. Hanya saja kalau aku jadi Amarta, aku tak perlu repot berbohong. Begitu kembali ke tanah air, segera saja kubuka tempat kursus bahasa asing.

          “Sejak masih di Marseille, sebenarnya aku telah berencana buka kursus bahasa asing di sini. Sayang, aku beroleh kendala,” pengakuan Amarta yang ternyata sejalan dengan pikiranku.

          “Kendala apa?”

          “Aku tak punya uang untuk modal usahaku.”

          Tak punya uang...? Ah, aku lupa. Dulu, selain gemar meminjam bukuku, Amarta pun kerap mengaku tak punya uang sebelum meminjam uang kepadaku. Kiranya ia datang menemuiku bukan sebab merindukan teman lama. Ia datang cuma demi mengulang tabiat lamanya. Terbukti, Amarta lalu berkata, “Sebagai penulis tenar, kukira membantu sahabat dengan pinjaman seratus juta hanya perkara ringan bagimu.”

           Enak saja Amarta berkata. Ia kira aku akan begitu saja memberi pinjaman. Kelihatannya Amarta masih menganggap dirinya idola. Sementara wanita-wanita sepertiku akan buta, hingga kemudian dengan gampang ia manfaatkan seperti dulu.

Amarta tak akan kuberikan pinjaman! Bukan masalah jumlah uang yang dimintanya. Aku tak ingin ada dendam yang terus berbalas di antara Amarta dan Erwin. Terlebih, ada hati seorang wanita yang akan teraniaya oleh pemikiran gila Amarta.

           Namun masalahnya, Amarta telah memberiku ilham untuk menyelesaikan novel terbaruku. Benar, kupikir sang tokoh utama dalam novel terbaruku dapat meniru siasat kuda troya ala Amarta. Ia mesti menikahi salah satu anggota keluarga musuh politiknya. Kemudian secara bertahap ia hancurkan reputasi musuh politiknya dari dalam. Aku tinggal menambahkan karakter perempuan pendamba cinta semisal Afita.

Harus kunyatakan, dalam hal ini Amarta tak selayaknya meminta pinjaman dariku. Sebaliknya, Amarta justru berhak menuntutku uang royalti atas rencana culas menikahi Afita.

           Aku larut dalam bimbang. Sementara Amarta terus merengek meminta uang pinjaman. 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Slice of Life
Rekomendasi