Disukai
0
Dilihat
1,429
Idjah
Slice of Life

Angannya melangit, melebihi pandangan nanar yang bahkan tak mampu menembus eternit. Sore itu mendung menggelantung. Langit seperti menyerah memangku sang jabang hujan yang masih enggan menyiram bumi. Pekatnya tak memberi celah setitik pun pada sisa cahaya surya yang tertinggal.

Dinginnya angin mulai menggigit setajam taring setan bengis. Tidak ada kesan damai yang muncul di sejauh mata memandang. Sepertinya semua mikroorganisme tanah pun tengah mempersiapkan perapian karena hawa beku yang semakin menyergap. Kaku. Beku. Dingin. Sedingin hati Idjah yang kini tengah lunglai di pembaringan.

Andai setitik gerimis bisa jatuh, sekadar untuk membasahi ubun-ubunnya yang semakin cekung. Banyak hal yang ia pikirkan, hingga menyedot semua energi sampai daging-daging di kepalanya. Idjah tengah kalut. Anak sulungnya ia tinggalkan di sekolah. Anak keduanya terbaring sakit, tanpa tahu ke mana ibunya dibawa pergi oleh serombongan orang berompi hitam. Atas nama negara, mereka juga memaksa Idjah meninggalkan anak bungsunya yang belum genap empat puluh hari.

Si bungsu terlahir di tangan pisau bedah karena ketakutan keluarga melihat Idjah yang semakin gelisah dalam hamil tuanya. Belum reda bengkak di payudara karena air susu yang tak terhisap si bayi merah, Idjah harus rela kehilangan ibundanya, yang lebih dicintai surga daripada anak cucunya.

Air mata Idjah tak terbendung, meski tangisnya tak bersuara. Kenapa ibunya meninggal di saat ia butuh pundak untuk bersandar? Pundak yang tak pernah dicari ketika ia merasa mampu menyelesaikan semuanya sendiri. Pundak seorang ibu yang tak pernah Idjah ingat, terhalang karier yang melesat.

Hujan akhirnya tumpah membuyarkan semua fatamorgana. Seolah ingin berkata bahwa ini semua nyata. Air berdebat dengan angin yang sama hebat tekadnya untuk turun meriuh. Idjah tergolek. Kepalanya memberat. Canda tawa orang di sekelilingnya tak mampu menghapus angannya yang tengah rindu pada ketiga anaknya.

Kotak. Bentuk kamarnya yang tetap tak mampu mengotakan buah-buah pikirnya yang telanjur bercampur baur. Idjah butuh sekadar senyuman dari anak-anaknya, melebihi canda tawa teman-teman sekamarnya sekarang. Idjah membutuhkan pelukan suami tercintanya lebih erat daripada yang biasa mereka lakukan. Idjah membutuhkan lebih banyak anggota keluarganya, lebih banyak daripada pertemuan yang sia-sia sebelumnya. Dan idjah, membutuhkan otak untuk bisa mewujudkan itu semua.

Sedikit asa sempat hinggap ketika seorang tetangga beberapa bulan lalu mengenalkan pada Bakoh. Seorang Cina di kompleks sebelah yang konon kerap membantu tetangga-tetangga kampungnya menyelesaikan masalah dengan bantuan jenglot.

Koh Eddy. Orang memanggilnya Bakoh, yang dalam bahasa Jawa berarti sangat kuat atau kukuh. Tak terlihat kuat ketika mengamati tubuh yang pendek gempal berbalut kulit putih berkerut dan pigmentasi yang hampir tersebar merata. Kepalanya botak menyisakan segelintir uban. Habis tempat di kepala, rambut putih turun dan hinggap di alis matanya. Tebal. Setebal kekuatannya merayu setiap pasien yang datang bertanya.

 “Kamu butuh bulu perindu, Nak. Itu bisa mbikin kamu disenengi orang. Jadi mereka tambah sayang trus ndak akan nyakiti awakmu.” Bakoh memulai menerawang solusi instan untuk Idjah. Sembari terpejam, jari tangan kanannya memegang dupa yang terbakar ujungnya. Klobot[1] di tangan yang lain.

Idjah terdiam. Matanya menerawang penuh tanya perihal benda apa gerangan yang dimaksud Bakoh. Nafsu mulai beradu dengan nurani. Hati kecilnya memberontak untuk mengamini syarat dari sang dukun, namun akal sehatnya tertutup oleh keinginan untuk segera terangkat dari beban hidup yang semakin berat.

 “Harus pake itu, Koh? Carinya di mana?”

Aku nduwe. Bayaren rong njuta. Kui wes murah biangeti!”[2]

Idjah tertunduk. Dia mengusap perutnya yang membuncit. Minggu depan keluarga besarnya menginginkan ada acara pengajian syukuran mitoni[3]. Ia membayangkan biaya yang harus keluar dari tabungannya yang belum lama terkumpul untuk ubo rampe[4] berupa tujuh macam bubur, gudangan mateng, nasi megono, jajan pasar, ketan dan tumpeng. Urunglah niatannya mengikuti petuah Bakoh. Gundahnya masih menyisakan rasa sayang pada uang yang lebih ingin ia habiskan untuk keluarganya kelak, jika ia terpisah jauh.

Firasat buruknya mulai mendominasi. Apa kata Mas Bagus, suaminya, jika itu semua tak pernah terlaksana hanya karena sebuah ritual yang sama-sama tak masuk akal. Darah Jawa telah demikian membanjiri pedoman keluarga besar suaminya dalam bertingkah laku. Dalam diri Idjah, hanya tinggal dua puluh lima persen saja sisa trah Jawa yang ada. Tapi Mas Bagus, Jawa tulen. Suami kedua yang berani melamar Idjah, perempuan lugu. Janda anak dua.

Kepergian Mas Hendra, suami pertamanya, karena perjuangan yang getir melawan kanker, membuat Idjah memutuskan untuk hidup sendiri. Sementara. Bekerja sebagai tenaga penjual alat-alat kecantikan. Berjalan berkeliling berpeluh semangat untuk anak-anaknya. Sepetak rumah tipe 36 peninggalan almarhum suaminya cukup teduh bagi mereka bertiga untuk saling melengkapi layaknya keluarga.

Anak tertuanya terkondisikan menjadi dewasa sepeninggal ayahnya. Ini tahun terakhirnya di Sekolah Dasar. Usia yang sangat muda untuk menggantikan peran ayah di rumah Idjah. Tidak jarang ia bertukar peran dengan ibunya mengasuh adik perempuannya. Belaian lembut Idjah sepulang bekerja di rambut lurus anak itu, seolah tak mampu membendung niat baiknya mendampingi sang ibu, seorang single parent yang terseok-seok menghidupi keluarga kecilnya dengan sesedikit uang halal yang ia terima hasil berjualan kosmetik.

Perjuangan Idjah bergelut dengan lindasan waktu, menarik hati Bagus. Tetangga satu RT selisih empat rumah yang diam-diam memperhatikan kegigihan Idjah. Seorang lajang yang cukup mapan dari keluarga keturunan ningrat Jawa. Bujuk rayu Bagus nan tak kalah gigih dengan semangat Idjah untuk menghidupi kedua anaknya.

Fitrah perempuan, tetap membutuhkan sosok pria sebagai pelindung di tiap langkahnya. Idjah, yang pada akhirnya menerima Bagus sebagai kawan berbagi hati. Bertukar pikiran. Pagi-siang-hingga malam menyelimuti cara mereka beradu hasrat. Semesta merestui pertemuan mereka dengan tumbuhnya janin di rahim Idjah, calon anak ketiganya. Anak pertama Bagus. 

“Kenapa pergi kesana ndak bilang-bilang?”, Mas Bagus sedikit menghardik, namun tetap terduduk.

“Aku bingung, Mas. Aku ndak ngerti mesti gimana. Mereka udah ngancem, minta uang banyak banget. Nuduh aku yang aneh-aneh. Padahal aku ndak ngerti apa-apa.”

Ndak bisa apa kamu ngomong apa adanya ke orang-orang itu kalo kamu cuma pegawai biasa?”

“Udah, Mas! Tapi tetep mereka ndak mau denger. Mereka pikir aku bersekongkol sama Pak Radit. Padahal aku kan ndak punya kewenangan apa-apa. Pak Radit atasanku. Kalo aku ndak ikut perintahnya, bisa-bisa aku dipecat!”

Bagus merebahkan punggungnya di sandaran kursi rotan ruang tamu. Angin dingin menyergap tengkuk membuat kaku setiap kata yang ingin terlontar.

“Kamu lagi hamil tua, Nduk. Aku lebih khawatir terjadi apa-apa pada kalian berdua daripada ancaman aparat yang ngawur itu.”

Idjah mendekati suaminya yang tengah serius mengikuti arah asap rokok membumbung memudar. Diletakkan tangan halusnya, menggenggam lengan legam suaminya.

“Mas, kalau kamu jadi aku waktu itu, kamu bisa apa?”

 Idjah kini ikut menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi anyaman penjalin. Lehernya kian terasa penat dan jatuh tersandar manja di pundak Bagus. Sesekali Idjah mengusap air matanya yang perlahan menggaris pipi tirusnya. Gundah hatinya hanya dibalas helaan nafas sang suami yang juga tengah tak ingin banyak bicara.

“Walaupun Aku ragu-ragu mau ngikutin perintahnya Pak Radit untuk sekedar nganter uang buat teman-temannya, tapi aku tetep ndak bisa nolak. Aku sendiri yang nganter ke bapak-bapak itu, uang di brankas yang sudah disiapkan Wawan. Aku juga ndak ngitung berapa jumlahnya. Bapak-bapak itu juga belum pernah Aku lihat sebelumnya. Aku pikir karena mereka temen-temen bisnisnya Pak Radit, yo wes, aku ndak perlu kenal.”

Secangkir kopi hitam menginterupsi obrolan Idjah dan Bagus tentang masa depan mereka yang sejenak tergambar kacau. Obrolan sore terakhir di teras rumah mereka yang tak berujung pada solusi. Mereka berdua sama buntu. Lengan Bagus meraih bahu Idjah. Mengusapnya lembut. Sesekali meremasnya ringan, penuh cinta, yang mungkin sebentar lagi akan hilang tak berbekas.

 “Aku ndak nyangka Pak Radit tega nyeret-nyeret kamu.”

“Mungkin karena ndak ada lagi, Mas. Kan, Wawan kabur.”

“Bukan ndak ada lagi, Nduk. Tapi ini politik.”

“Politik itu opo toh, Mas?”

Bagus menatap istrinya yang lugu. Ia merasa sangat bangga belahan jiwanya sedemikian kuat menjalani garis hidupnya. Sebagai laki-laki, belum tentu ia akan mengalami hal serupa dengan yang dialami istrinya sekarang. Seorang perempuan yang tujuan hidupnya hanya untuk membahagiakan anak-anaknya. Bahkan ketika Bagus mencoba meminangnya, Idjah mengajukan syarat mutlak padanya, untuk berjanji dunia akhirat menyayangi kedua anaknya dari almarhum Mas Hendra. Sama sekali tak terucap keinginan agar Bagus berinvestasi sejumlah liquid dan fix assets dibayar dimuka.

Idjah rela melakukan apapun agar Pak Radit, bosnya, tetap mempekerjakan dia di kantornya. Tetap menggajinya tiap bulan. Syukur-syukur ada bonus tambahan untuk kerja ekstranya. Bukan lambungnya yang ia pikirkan. Tapi uang sekolah anak-anak dan juga satu kardus susu bubuk rasa coklat untuk mereka berdua selama sebulan.

Sekarang kondisi Idjah sangat mengusik pikiran Bagus. Keluguannya mengantarkan dia memasuki tempat yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Dia kini berjarak dengan kemerdekaan. Berbatas, bahkan untuk sekadar memeluk anak-anaknya. Dia tidak tahu harus berbohong seperti apa lagi pada anak pertamanya, yang bulan depan akan masuk SMP. Si sulung hanya tahu ibunya bekerja, dapat job ke luar negeri untuk memasarkan produk kosmetik keluaran terbaru dari perusahaannya.

Idjah selalu menyempatkan waktu untuk menghubungi anaknya lewat wartel, karena larangan penggunaan telepon seluler di tempat ini. Sekadar menanyakan kabarnya, kesehatannya, bagaimana nilai ujiannya, apa tugas dari sekolah, walaupun ia tak pernah bisa membantu mendampingi menyelesaikan PR-nya.

Anak keduanya, yang bahkan belum bisa berpikir nalar pun, seolah telah menjadi objek yang pantas untuk dibohongi. Dia selalu melambaikan tangan ke langit ketika melihat pesawat terbang melintas. Karena dalam alam pikir balita itu, ibunya sedang bekerja naik pesawat. Belum reda perih di mata Bagus melihat polos anak kedua Idjah, akal sehatnya kembali tercerabut melihat bayi mungil yang sudah harus minum susu formula sejak ditinggal ibunya, beberapa hari setelah melahirkan.

 “Anak-anak sehat kan, Mas?” tanya Idjah siang itu di ruang kunjungan.

Sesekali Bagus mengunjungi istrinya untuk mengantarkan makanan, mengambil pakaian kotornya untuk dicuci di rumah, dan sesekali membekali Idjah beberapa lembar uang untuk keperluan tambahan.

“Sehat.” Jawaban datar Bagus sembari meneguk secangkir kopi instan yang selalu diracik Idjah jika suaminya berkunjung. Menyediakan air minum untuk suami adalah salah satu bentuk bakti Idjah yang tetap ia jaga meskipun takdir sedang memisahkan mereka.

“Tumben kopinya dingin?”

“Iya. ndak ada air lagi.”

“Kamu kok tambah gemuk. Seneng di sini?”

“Dengar anak-anak sehat aja atiku wes ayem[5].”

Ruang kunjungan selalu menjadi tempat mereka bertemu dan bertukar kabar. Lima belas hingga tiga puluh menit saja waktu yang ada untuk melampiaskan rindu, walaupun tak bisa vulgar selayaknya suami istri. Setidaknya, baik Bagus maupun Idjah, sedikit puas memandangi wajah pasangannya.

Tangan mereka selalu saling menggenggam sepanjang mereka beradu cerita. Mereka percaya kekuatan terbesar dan bisa semakin membesarkan kekuatan hati, adalah genggaman tangan. Tak pernah setetes pun air mata Idjah terlihat menetes. Demikian halnya Bagus. Walaupun sebenarnya, hati kecil mereka sudah berubah menjadi bubuk. Remuk redam.

 “Nduk. Kamu berapa lama lagi di sini?”

“Kenapa Mas nanya gitu? Udah ndak betah sendirian?”

Mosok ndak boleh aku kangen kebersamaan kita? Aku kan laki-laki. Kepala keluarga. Gimana caranya disebut kepala kalau ndak ada yang aku pimpin? Kamu udah hampir setahun disini. Anak-anak kadang aku titipkan ke bapak ibu biar mereka ndak banyak tanya tentang kamu. Si bungsu juga sekarang lebih sering dibawa mbakyu[6] jalan-jalan, katanya buat mancing biar dia cepet punya momongan.”

“Andaipun disini ada pekerjaan seberat apapun yang bisa dilakukan, asal setelahnya aku dikasi izin pulang barang sehari, aku pasti lakukan, Mas. Tapi kan aku yo ndak bisa apa-apa. Semua cuman bisa aku syukuri. Kata pak Ustaz kemarin, kita disini musti tafakur. Siapa tahu ada dosa kita yang pernah terlewat. Ini tempat dan saat kita untuk bertobat.”

Bagus terdiam. Sembari meneguk lagi kopi dingin yang mungkin beberapa saat lagi akan membuat perutnya melilit. Bagus tak pernah paham, kekuatan apa gerangan yang merasuki istrinya sehingga ia tetap bertahan hidup. Mungkin, Bagus akan memilih mengakhiri hidupnya jika ini semua menimpanya. Tak pernah terbayangkan harus hidup dengan status narapidana. Dipisahkan begitu saja dari anak-anak dan keluarga hanya karena sebuah prasangka yang tidak pernah terbukti benar dan salahnya.

Ketika jam kunjungan selesai, mereka kembali terpisah. Radit kembali bersama angan kosongnya, karena tak pernah ada lagi istri yang menyambut tangannya untuk dibasuh dengan kening ketika ia pulang. Idjah kembali dengan aktivitasnya sebagai narapidana di penjara perempuan. Sesekali ketika penat sedang menghantui, tebalnya dinding penjara tak mampu menahan lamunannya untuk kembali mengingat detik demi detik terbawanya ia ke tempat ini. Sebagian orang menganggapnya azab di dunia, agar tak ada lagi hukuman di kehidupan abadi nanti.

Radit, orang yang Idjah hormati sebagai pimpinannya, siang itu menelepon untuk mengirimkan sebuah kantong coklat ke kolega Radit di kantornya di kawasan Thamrin. Idjah memilih pergi menggunakan sepeda motor bebek yang selalu setia bersamanya ke kantor. Kantong uang telah tersimpan di ransel. Sedikit siraman gerimis tak mengurungkan niat Idjah untuk menyelesaikan tugasnya, memenuhi perintah sang atasan. Pengamen jalanan di setiap lampu merah yang terlihat seusia anak tertuanya pun tak menggetarkan hati Idjah, yang kala itu, lebih memilih untuk menelepon tukang ojek langganan untuk menjemput si sulung di sekolah.

Tanpa ada pertanyaan apapun tentang isi kantong itu, dan apa juga yang harus dia katakan ketika bertemu si penerima. Tanpa firasat sedikitpun, setibanya di alamat yang tertulis di pesan sms terakhir dari Pak Radit, Idjah memasuki gedung mewah bertingkat lima belas, menelusuri lorong berlantai maple wood dengan penyejuk udara yang mengalir sempurna. Warna coklat lantai beradu dengan railey kayu mengilap dengan finishing melamin semi gloss di sepanjang temboknya. Lampu LED terang temaram di sepanjang interior minimalis klasik. Beberapa meter berlalu, hingga karpet tebal yang meredam bunyi sepatu kets Idjah, menjadi salah satu saksi bisu perjalanan tanpa alasan sore itu.

Ruang di ujung lorong, pintu cokelat tebal yang tertutup rapat, diketuk dengan jemari lentiknya. Gagang pintu besi krom warna gold bergerak turun, pintu terbuka perlahan dan bergerak hanya sebatas badan Idjah yang masih terlihat lembap karena semburan air hujan. Seseorang mengintip dari dalam, memperhatikan Idjah dari ujung kepala hingga alas kakinya.

Ia mengamati Idjah, seolah sedang melihat detail ciri-ciri kurir yang dikirm Radit untuknya. Ia mengangguk pelan. Idjah melangkah masuk. Tangannya merogoh tas ranselnya yang menyimpan kantong coklat titipan Pak Radit. Menjulurlah tangan Idjah ke arah seorang berdasi merah disana. Kantong coklat berpindah tangan. Orang itu pun tersenyum, entah untuk siapa. Belum sempat tangan Idjah kembali merapat ke badan mungilnya, suara menggertak dari arah luar mengejutkan mereka berdua. Tersentak. Pucat pasi. Teriakan tertahan di tenggorokan. Idjah mencari jalan untuk mencoba lari. Percuma. Idjah tak mampu lagi melawan.

Hilang sudah kabar. Hanya ada riuh rendah di ruangan yang semula senyap. Sorot mata seketika menghakimi. Tak sedikit yang sempat mencibir dan mencaci. Idjah, tersiar di sebuah siaran televisi sebagai tersangka dalam sebuah operasi tangkap tangan lembaga negara anti rasuah. Idjah, bahkan tidak paham apa arti korupsi.

Bagus bersimpuh lemah. Sendinya mendadak tak mampu menopang tubuhnya untuk bangkit dari sujudnya. Air matanya membanjir di hamparan sajadah biru turkis yang pernah ia hadiahkan sebagai mahar untuk Idjah, mengingatkan kewajibannya sebagai suami yang seharusnya menuntun istrinya dalam ibadah, dan melindunginya dalam badai terhebat sekalipun. Tidak ada lagi setitik pun harapan untuk berdiri lebih kuat dari istrinya. Tak ada lagi tersimpan jawaban dalam benaknya untuk membela perempuannya dari gempuran pertanyaan keluarga, tetangga, teman, dan semuanya yang tanpa sengaja memperhatikan raut wajah Idjah di koran pagi.

Mulutnya ingin mengingkari pemberitaan di media yang bertubi-tubi. Kritikan yang menyayat, merobek harga dirinya sebagai seorang suami. Hatinya semakin bergejolak, ketika keluarga besarnya mempertanyakan kejujuran Idjah, beradu dengan usia Bagus yang masih harus terlihat tegap layaknya pangeran terhormat dan tak pernah tersentuh oleh aib duniawi. Laki-laki yang seharusnya menggandeng tangan perempuan pilihan terbaiknya bersama menuju surga, pun, akhirnya menyerah.

Di kamar sempit dan berdesakan ini, Idjah termenung. Tangisnya tak terbendung, walau tetap tak tergubris oleh siapapun di sana. Hujan semakin akrab berteman dengan suasana hatinya. Jeruji besi di sekeliling kamarnya bergeming tanpa pernah peduli pada penat penghuni-penghuni kamar.

Idjah tetap tergolek. Melemah. Memaksa tegar yang entah sampai kapan sabar akan tinggal mendampingi. Wajah anak-anaknya tergambar semakin jelas di lamunan. Tapi tak bisa dipeluknya. Idjah berandai, tembok kukuh ini akan roboh oleh jeritan dalam hatinya. Idjah berharap hembusan angin akan menjelma menjadi malaikat yang akan selalu memeluk anak-anaknya.

Sebendel berkas dari Pengadilan Agama yang baru saja dia terima, berada dalam dekapannya, bersamaan dengan secarik surat tanda penghormatan Bagus pada perjuangan istrinya, untuk terakhir kali.

"Idjah, tegar dan kokohmu menantang badai, tanda sudah ada Tuhan di hatimu. Anak-anak yang terlahir dari rahimmu, adalah amanahku dunia akhirat yang tetap akan aku pertanggungjawabkan kelak, saat kita bertemu di surga firdausNya. Maafkan aku yang tak sanggup menandingi kuasa-Nya, karena Dia telah membuatmu lebih mandiri daripada aku yang seharusnya menuntunmu. Baik-baik disana. Akupun akan berdamai dengan hidup sendiriku.”

 

[1] Klobot : jenis rokok tempo dulu yang menggunakan bungkus klobot (kulit jagung yang dikeringkan)

[2] (Jawa) : “Aku punya. Bayarlah dua juta. Itu sudah sangat murah.”

[3] Mitoni: upacara adat jawa pada usia kehamilan tujuh bulan. Mitoni berasal dari kata pitu yang artinya tujuh.

[4] Dalam adat jawa, ubo rampe berarti persyaratan. Biasanya berupa lauk pauk atau pelengkap yang berupa makanan dalam sesaji (sajen) untuk menemani hidangan utama yaitu tumpeng.

[5] (Jawa) : hatiku sudah tenang

[6] (Jawa) : kakak perempuan

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)