Disukai
0
Dilihat
776
Identitas Kedua Sang Master
Misteri

Ada yang lewat di belakangku. Sekelebat, tak terlalu jelas dan hanya tampak samping. Tubuh tinggi tegapnya membuatku yakin bahwa ia laki-laki, sedangkan rambut ikal sebahunya membawa ingatanku pada seseorang. Terlalu khas untuk dibilang kebetulan, tapi terlalu cepat untuk menyimpulkan bahwa yang memiliki rambut seperti itu hanya dia.

Aku yang ketika itu sibuk mengendap-endap di gang sempit ujung perkampungan sontak berhenti setelah melihat bayangannya. Penglihatanku yang telah terbiasa menangkap situasi atau objek dengan cepat dan akurat langsung melakukan tugasnya tanpa diperintah. Meski tak sempurna, cukup menjadi petunjuk. Ciri fisik sosok tersebut otomatis tercatat otakku.

Benda canggih ciptaan bangsa berakal di kantong rok lipit hitam selutut yang aku kenakan bergetar kecil. Segera saja kuraih sambil bergerak merapat ke salah satu sisi dinding yang mengapit gang tersebut. Tertera di layar sebaris nama serta di bawahnya potret tanaman buah naga yang merambat di pagar bambu pendek. Setelah menggeser tombol hijau dan menempelkannya ke telinga terdengar suara dari seberang.

“Lagi di mana, woi! Lumutan aku nunggu ini! Lama amat kek cewek pas mandi!” seru suara bariton tersebut tanpa basa-basi. Membuatku refleks menjauhkan benda tersebut dari telinga sebelum pelan-pelan mendekatkannya lagi. “Denger enggak, nih?! Woi, Enif, jawab!”

Spontan aku meringis, kembali menjauhkan benda tipis persegi panjang tersebut dan mematikan panggilannya, memilih mengirimkan pesan pada nomor tadi alih-alih mengabaikan. Bisa-bisa waktu bertemu aku diulek sama dia.

“Yang benar? Dia bilang begitu? Bukankah Vega yang nantang duluan? Deneb sama komplotannya kan cuma nurutin maunya cewek tomboi itu.” Suara cowok terdengar dari kejauhan. Kedengarannya tengah bercakap-cakap.

“Cewek nantangin anak geng berantem? Udah gila dia! Cari mati atau gimana, sih?” Temannya menyahut, cowok juga. Ucapannya beriringan dengan langkah kaki keduanya, mendekat ke titik di mana aku berdiri. Kasak-kusuk perbincangan berikutnya mengalir, semakin jelas, semakin mendekat dan mendekat.

Celingak-celinguk sambil berpikir, ke mana seharusnya aku pergi? Posisiku saat ini di apit tembok tinggi, di baliknya lahan penuh tanaman tinggi berdiameter kecil yang batangnya berair, di ujung pertigaan, ujung satu lagi arah suara tadi berasal. Seharusnya tinggal lari ke pertigaan. Masalahnya, belok kanan jalan buntu, belok kiri, ke sana arah sosok yang sekelebat tadi kulihat menuju. Terlalu berisiko. Aku enggak ingin bertemu dengannya atau siapa pun. Seorang pengintai tidak pernah terdeteksi apa saja sekalipun itu serangga kecil. Selalu bergerak dalam penyamaran dan diam.

Mataku menyusur dari pangkal hingga ujung tembok. Tingginya tidak main-main. Cari mati namanya kalau nekat memanjat. Tapi—Nah!

Telingaku menangkap derak di sisi lain. Terdapat pintu kayu sekitar dua meter dari tempatku yang barusan menimbulkan bunyi ketika angin berembus. Tak perlu diceritakan lagi akhir keputusanku, siapa pun bisa menebaknya. Setidaknya, tidak ada rencana yang berubah sebelum mataku menangkap sesosok laki-laki berpakaian hitam-hitam setelah masuk ke balik pintu. Ia bersandar santai pada tembok sambil sebelah tangannya menutup sebagian wajahnya sedangkan tangan yang lain dengan cekatan menggenggam pergelanganku begitu menangkap niat kabur dariku.

“Selamat sore, Master. Berhubung Anda sulit untuk saya ajak bekerja sama baik-baik, maka saya memutuskan untuk menemukan Anda. Tapi Anda cukup merepotkan, Master. Menguras otak, tenaga dan waktuku. Beruntung Anda memberiku akses melihat kelemahan Anda.” Ia berbicara tenang dengan kelopak mata tertutup sebelum kemudian menoleh dan menatapku dengan sorotan tajam. “Jadi, mulai sekarang, bolehkah saya memanggil Anda Pegasi? Apsilon Pegasi atau ... Nona Enif, bukan begitu?”

Aku terenyak. Lantas ketika ia menurunkan tangan yang sebelumnya ia gunakan menutup muka, memperlihatkan senyum miring, keterkejutan kembali menyeruak.

Sosok itu ... dia ... sangat kukenal. Tidak, lebih tepatnya semua orang tahu dia.

Segalanya terkuak sudah. Pelaku teror padaku sebulan ini, juga identitas Master Pegasi. Tak terselamatkan. Mungkin, ini saatnya bagiku untuk menyerah dan berhenti, atau melakukan sesuatu untuk melindungi identitas ini jika bisa?

Jadi, mana yang lebih baik, membuatnya amnesia atau membunuhnya saja? Aku tidak bisa membiarkan hal ini terus berlanjut, bukan?

***

Berita yang menggemparkan seisi kerajaan hari itu belum kunjung surut. Terus dibicarakan sana-sini, diperdebatkan sana-sini, dan dibesar-besarkan. Semakin hari semakin bikin rusuh. Tuduhan demi tuduhan melayang tanpa ada bukti, hanya bermodalkan ‘dia punya motif’ dan kemungkinan-kemungkinan tidak pasti. Bahkan kini kabar faktual telah bercampur dengan gosip sehingga sukar dibedakan dengan kejadian sebenarnya.

Aku sendiri sebelumnya tak begitu peduli dengan berita tersebut. Sama sekali tak menaruh minat menyelidikinya sebelum seseorang dari bangsa berakal mencetuskan tuduhan tak berdasar pada identitas lainku.

Setelah kurang lebih dua minggu Sang Master tak lagi disebut-sebut, begitu disebut rumor buruk menimpa. Bukankah itu tidak adil? Memangnya apa yang aku lakukan? Hanya menikmati hari-hari dengan normal dan berusaha menulikan telinga dari berita-berita enggak bermutu. Mungkin kejahatan yang aku lakukan setelah hari itu hanyalah membalas kejahilan cowok sekelasku yang akhir-akhir ini gencar mengganggu, contohnya seperti sekarang ini, mengikat sepatunya dengan tali di tiang bendera depan lobi kemudian mengereknya ke atas bersama lambang kerajaan.

Tapi begitulah bangsa berakal. Senang menuduh, tak ingin disalahkan. Egois.

Apa harus aku turun tangan? Ini tak ada hubungannya denganku, kan? Lagi pula, tidak ada bayaran untukku jika menyelidikinya. Buang-buang waktu. Lebih baik menghabiskan malam di rumah, menggambar, kemudian dapat duit. Ya, mendesain pakaian adalah pekerjaan baruku. Meski hasilnya tak sebanyak ketika aku menjadi penyelidik bayaran, setidaknya cukup untuk hidup sendiri, makan dan membayar listrik rumah sempit ayahku.

Sekolah? Aku masih mampu membayar uang bulanan sekolah jika masih menjadi Sang Master, tapi sekarang tidak lagi. Saat ini aku memang pergi setiap hari ke tempat itu, belajar, berteman, bahkan membolos, tapi aku pun sudah siap jika suatu saat dipanggil ke ruangan kepala sekolah kemudian dikeluarkan. Entah kapan, aku tahu cepat atau lambat hal itu akan terjadi.

Sudahlah, tak ada gunanya membahas nasib buruk, yang ada malah memperkeruh keadaan. Lihat saja baiknya, aku oke, sangat sehat dan bertenaga.

“Enif! Sini kamu! Apa yang kamu lakukan pada sepatuku, heh?!”

Demi kopi pahit! Terkutuk kau, El! Bisa-bisanya dia meneriakiku seperti itu. Tidak sopan! Tapi aku pun tak punya waktu membalasnya, tidak setelah perawakan guru muda tampan itu muncul dari perbelokan sambil berlari, sepertinya tengah mengejar El.

Guru tampan, guru matematika, sekaligus guru galak, tak pernah main-main jika menyangkut kedisiplinan. Semboyannya kuno sekali, “bagaimanapun juga aturan tetap aturan, harus ditegakkan”.

Haha. Bangsa petarung murni. Ingin sekali aku tertawa jika saja aku tak terlibat dan berperan hanya sebagai penonton. Sayang sekali aku harus ikutan lari, di depan seolah tikus, kemudian di belakangku El menjadi kucing, sedangkan Pak Guru Tampan menjadi anjingnya. Mirip sekali dengan adegan di salah satu serial kartun televisi, tiga makhluk saling kejar. Lucu sekaligus menggelikan.

“Enif! Hei, jangan tinggalin aku! Enif! Aku membutuhkan otakmu!”

Tak kuhiraukan seruannya. Bodoh amat, pagi tadi dia duluan bikin masalah denganku. Siapa suruh meletakkan surat cinta palsu ke loker di bawah meja Regor dan ... atas namaku? Oh, ya ampun, itu hal terbodoh yang pernah aku dengar. Padahal dia tahu betapa jeniusnya seorang Enif dalam hal membalas perlakuan buruk seseorang padanya. Mengesankan.

“Aku minta maaf soal tadi pagi!”

Senyum miringku terukir, masih dalam posisi berlari.

Sudah kuduga dia akan berkata begitu, minta maaf, memanfaatkan otak cerdasku, lolos dari guru tampan, berterima kasih, kemudian esoknya menjahiliku lagi. Aku telah hafal benar alur cerita ini sama seperti halnya hafal urutan kegiatan yang akan aku lakukan setelah bangun di pagi hari.

“Aku tak masalah soal sepatu! Enif, berpikirlah!”

Ah, ya, kalimat itu pun aku tahu. Masih sama dengan kemarin. Dasar enggak kreatif!

“Aku janji! Enggak akan mengulanginya! Enif, kumohon berpikirlah!”

Janji? Kumohon? Oh, manis sekali ucapanmu, El. Baik-baik, akan kucari jalan keluar. Tapi lihat saja jika janjimu omong kosong, akan kubuat Pak Guru Tampan itu menangkapmu besok lusa.

Masih berlari, kuacungkan tangan kiri ke atas membentuk huruf O dengan telunjuk dan jempol sebagai isyarat setuju. Kemudian lari lebih cepat lagi, belok ketika mencapai ujung koridor, langsung belok lagi ke kelas pertama yang terlihat di sana. Beberapa saat menunggu, begitu El terlihat aku bersiap, lantas ketika ia lewat, kutarik lengannya dan langsung membekap mulutnya dengan tangan erat-erat, mengetahui refleks cowok itu sama sekali tidak mendukung. Sudah pasti menjerit jika tak cepat-cepat kubungkam.

Satu menit langkah guru tampan itu terdengar lambat dari balik tembok kelas kosong ini. Kutebak pasti ia pasang tampang bingung begitu melihat lengang di hadapannya. Namun tak lama, setelahnya pendengaranku menangkap langkah kaki menjauh. Koridor ini memang pendek, di depan ada perbelokan lagi, cabang dua, ke gedung lama dan ke deretan ruang ekstrakurikuler. Pasti Pak Guru itu menuju ke sana.

“Kamu gila!” Dua kata yang mewakili kalimat protes lolos dari mulut cowok tak tahu terima kasih itu. Penuh tekanan, tapi tak begitu keras, bahkan kedengarannya lebih seperti desisan. “Nafsu sekali kau membunuhku, heh! Mana tanganmu bau keringat!”

“Terserah kau saja.” Aku melengos malas. “Tapi ingat, tidak ada ulah lagi. Sekalipun aku berulah, tidak boleh membalas. Aku harap kau laki-laki sejati yang mengumbar janji dan berani menepati,” sambungku sambil menuju mulut pintu, mengempas benda kayu tersebut dengan kasar, kemudian berlalu.

Sedangkan El? Sudahlah, lupakan saja dia. Lihat apakah besok masih berani mendekatiku atau tidak. Cowok itu terlalu payah menjadi cowok. Terkadang, aku berpikir kalau genderku dengan dia itu tertukar.

“Sial, rumor itu semakin tidak beradap!”

Tapi, yah, sepertinya aku tetap cewek yang temperamen. Merutuk dalam hati setelah mendengar perbincangan orang-orang di pinggir jalan yang suka sekali berbicara tanpa mencari tahu kebenarannya. Sisi sensitif diriku langsung muncul. Apalagi berita sialan itu sedang menggerogoti nama baikku dengan sadis.

Terkadang aku bingung, ibuku seorang petarung, ayahku berasal dari bangsa peri, lalu dari mana aku mendapatkan sifat-sifat makhluk tak berakal ini? Emosional dan berambisi kuat. Selain itu aku punya sayap tipis tersembunyi dan jiwa petarung tinggi. Tergolong hibrida, bedanya, memiliki sifat dari tiga bangsa. Mungkin kah itu?

***

Pangeran Ankaa, pewaris tahta setelah Ratu Eva bersama Putri Carina. Sayang sekali ajalnya menjemput lebih dulu sebelum hari penobatan yang bahkan masih tiga tahun lagi. Lalu, coba tebak sebab kematiannya? Dibunuh. Setelah melihat tempat kejadian, aku pun berpikir begitu. Dan ... siapa yang dituduh membunuhnya? Aku, lebih tepatnya Master Pegasi.

Sungguh tidak punya otak siapa pun pencetus pertama tuduhan itu. Walau aku mengaku hari itu menyumpahinya mati dalam hati bahkan berpikir hendak membunuhnya, tapi sungguh, aku bukan orang yang dengan enteng membunuh sesama. Sekalipun dia telah berhasil mengungkap identitas Sang Master. Tapi, em ..., sebenarnya aku sedikit bersyukur dia mati. Apa aku jahat? Habisnya, kalau dia hidup identitas Master Pegasi bisa-bisa tersebar. Itu lebih mengerikan ketimbang dituduh membunuh Sang Pangeran.

Merepotkan. Kalau begini kan aku tidak tahan untuk tidak menampakkan identitas keduaku.

Master Pegasi harus beraksi sebelum gosip murahan ini dianggap benar. Mengumpulkan barang bukti, melihat tempat kejadian perkara, mencari motif pelaku, memperkirakan kejadian, dan mengungkap tersangka. Ah, tidak-tidak, yang seperti itu adalah kerjaan detektif. Aku Sang Master. Pengintai. Aku hanya mencari fakta yang benar-benar fakta, bukan kemungkinan atau perkiraan. Hanya fakta.

Gerimis menemaniku sore ini. Rintik air yang turun jarang-jarang itu membuat lembab negeri kecil tempatku dilahirkan. Matahari terbenam yang seharusnya terlihat indah pada jam ini hanya tampak samar-samar, mendung tipis menyembunyikan keindahan surya di waktu petang.

Lampu jalan menyala redup di ujung perkampungan yang terjangkau penglihatanku. Bayang-bayang panjang setengah samar mengiringi derapku yang pelan. Kesiur angin sedikit berembus memberdirikan romaku. Dingin. Sedingin hari itu kala ia menemukanku di balik tembok tinggi. Beruntung jubah hitamku membantu menahan dari dingin.

Mengendap ... mengendap ... waspada dan mantap. Sedikit lagi, pintu kayu yang sedari tadi berderak-derak itu mampu kucapai.

Sepoi mendesir sekali lagi. Pintu tersebut berderak lebih kencang. Sedikit terbuka dan di dalam ... gelap. Aku mengintip ke dalamnya.

Tanaman dengan batang kaya air yang menjulang tinggi masih di sana, daun-daun sejajarnya bergesekan, membuat suara-suara samar yang menggelitik telinga. Tak ada hal lain yang bisa kulihat selain batang panjang dan jalan-jalan sempit di sela-selanya.

Krek.... Pintu tersebut kubuka perlahan. Sejauh mata memandang hanya ada gelap. Tidak, pandanganku bahkan tidak bisa jauh. Batang-batang tinggi itu menghalangiku. Untuk mengatasinya aku menyalakan benda canggih lain ciptaan makhluk berakal—yang biasa digunakan mengambil gambar atau video, melihat keadaan dengan mengarahkan lensa yang sudah kuatur untuk melihat kegelapan ke arah yang hendak kutuju.

Kalau tidak salah, tempat kejadiannya sama dengan tempat sewaktu ia menahanku di sini, yang berarti tidak jauh. Di ... tunggu, apa itu?

Mataku spontan memicing melihat sesuatu bergerak-gerak di sana, seseorang memegang sebatang lilin bersamaan suara lirih kaki menginjak dedaunan kering atau mungkin juga ranting. Mukanya tak begitu jelas namun gaun mekarnya yang samar terlihat membuatku menyimpulkan bahwa ia perempuan. Segera saja aku memfokuskan kamera ke arah sana. Membidik sekali, dua kali, kemudian mendekat ke arahnya pelan-pelan dan mengendap.

Semakin lama semakin jelas, semakin tampak rupanya. Gaun yang mengembang, rambut digelung ke atas, tiara perak yang bersinar terkena cahaya bulan dari sela-sela mendung. Dialah Sang Putri, pasangan Pangeran Ankaa. Wajah cantiknya terlihat olehku berkat cahaya lilin. Lihat, sekarang dia tersenyum padaku.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Misteri
Rekomendasi