Disukai
0
Dilihat
1,281
Hessa : Obsession
Drama
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Hessa melirik jam di dinding ruang tamu. Sudah pukul delapan malam, tetapi suasana rumah masih sepi. Gangika, adik sambungnya yang dahulu ceria dan manja, sekarang berubah menjadi ketus dan cuek. Semua ini terjadi sejak orang tua mereka memutuskan untuk memandirikan Gangika.

Dulu, apa saja yang diminta Gangika pasti dituruti. Sekarang, mereka ingin adiknya belajar mandiri. Namun, sejak saat itu, Gangika menjadi seperti orang lain. Di rumah, dia berubah ketus, sangat berbeda dengan Gangika yang ramah dan manis di luar rumah.

Hessa tidak tahan lagi. Dia memutuskan untuk berbicara dengan adiknya. Dia menuju kamar Gangika dan mengetuk pintunya dengan pelan. “Gangika, kamu ada waktu nggak? Aku mau ngobrol,” kata Hessa sambil berdiri di depan pintu.

Gangika membuka pintu sedikit, wajahnya datar. “Ngapain, Kak Hesa? Aku lagi sibuk,” jawabnya singkat.

Hessa mendesah. “Cuma mau ngobrol sebentar. Aku khawatir sama kamu. Kamu berubah banget, tahu nggak?”

Gangika menghela napas dan membuka pintu lebih lebar. “Masuk deh, tapi jangan lama-lama,” katanya dengan nada malas.

Hessa masuk dan duduk di tepi tempat tidur Gangika. “Kamu kenapa sih? Dulu kamu selalu ceria, sekarang malah jadi cuek dan ketus. Apa ada yang salah?”

Gangika memalingkan wajahnya, mencoba menyembunyikan ekspresinya. “Nggak ada apa-apa, Kak Hesa. Aku cuma lagi berusaha buat mandiri, kayak yang papa mama mau.”

“Tapi kenapa harus jadi cuek gitu? Kita kan keluarga,” kata Hessa dengan nada lembut. “Aku cuma mau bantu kamu.”

Gangika menghela napas lagi, kali ini lebih dalam. “Kak Hesa, kamu nggak ngerti. Aku selalu merasa kalau aku nggak bisa apa-apa tanpa bantuan kalian. Sekarang aku harus bisa sendiri, tapi aku takut. Aku marah sama diriku sendiri, makanya aku jadi kayak gini.”

Hessa mendekat dan memegang tangan Gangika. “Kamu nggak perlu takut sendirian, Gangika. Aku selalu ada buat kamu, tapi kamu juga harus ngomong kalau kamu butuh bantuan. Kita bisa hadapin ini bareng-bareng.”

Gangika menarik tangannya dan berdiri. “Kamu nggak ngerti, Kak Hesa! Aku harus bisa sendiri. Aku nggak mau jadi beban buat kamu atau orang tua kita.”

Hessa merasa hatinya berat melihat Gangika seperti ini. Tetapi dia tidak mau menyerah. “Kamu nggak pernah jadi beban buat kita, Gangika. Kita sayang sama kamu.”

Mendengar kata-kata itu, mata Gangika mulai berkaca-kaca. “Beneran? Tapi kenapa rasanya kayak aku harus ngelakuin semuanya sendiri?”

Hessa berdiri dan memeluk Gangika erat. “Karena kamu keras kepala dan nggak mau minta bantuan. Tapi itu bukan berarti kamu sendirian. Kamu punya aku, papa, dan mama. Kita semua sayang sama kamu, dan kita mau kamu bahagia.”

Gangika menangis dalam pelukan Hessa. “Aku cuma nggak mau kalian kecewa sama aku.”

“Kita nggak akan pernah kecewa sama kamu, Gangika. Kita bangga punya kamu,” kata Hessa lembut sambil mengelus rambut adiknya.

Setelah percakapan malam itu, Hessa berharap hubungan mereka akan kembali normal. Namun, sesuatu yang lain mulai muncul. Setiap kali Hessa pulang, Gangika selalu menunggu di pintu dan langsung memeluknya erat-erat.

“Kak Hesa, aku kangen banget sama kamu!” kata Gangika sambil melingkarkan tangannya di leher Hessa.

“Gangika, baru juga beberapa jam kita nggak ketemu,” jawab Hessa sambil tersenyum, meski merasa sedikit risih.

Tak hanya itu, Gangika sering kali duduk di pangkuan Hessa saat mereka menonton TV bersama. Hessa berusaha untuk tidak mempermasalahkannya, tapi lama-kelamaan dia merasa tidak nyaman.

“Gangika, duduk di sofa aja deh. Aku pegel nih,” kata Hessa suatu hari, mencoba memberikan alasan.

"Tapi aku nyaman di sini, Kak Hesa,” jawab Gangika sambil memeluk Hessa lebih erat.

Keadaan semakin rumit ketika Hessa mulai dekat dengan seorang wanita bernama Aerin. Setiap kali Hessa menghabiskan waktu bersama Aerin, Gangika selalu menunjukkan ketidakpuasannya.

“Kak Hesa, kamu kok sering keluar sama Aerin sih? Aku nggak suka,” kata Gangika dengan nada cemberut.

“Aerin itu temanku, Gangika. Aku juga butuh waktu untuk bersosialisasi,” jawab Hessa dengan sabar.

Namun, suatu hari Gangika benar-benar tidak bisa menahan amarahnya. Saat Hessa memberitahunya bahwa dia resmi berpacaran dengan Aerin, Gangika langsung murung dan marah.

“Kamu serius pacaran sama dia? Aku nggak terima, Kak Hesa! Kamu milikku!” Gangika berteriak sambil menangis.

Hessa mencoba menenangkan Gangika. “Gangika, dengerin aku dulu. Aku sayang sama kamu sebagai adik, tapi aku juga punya hak untuk bahagia dengan orang lain.”

Gangika menggelengkan kepalanya dengan keras. “Nggak, aku nggak mau dengar! Kamu harus pilih, Kak Hesa, aku atau dia!”

Hessa merasa bingung dan terjepit. Dia tidak ingin menyakiti Gangika, tetapi dia juga tidak bisa mengabaikan perasaannya terhadap Aerin. Setiap kali dia mencoba menjelaskan, Gangika selalu menolak untuk mendengarkan.

Hari demi hari, Gangika semakin menjauh dan tetap dingin. Hessa merasa tidak menemukan jalan tengah. Dia duduk di ruang tamu, memikirkan semua ini. Dia sangat menyayangi Gangika, tetapi obsesi adiknya membuat segalanya menjadi rumit.

“Apa yang harus aku lakukan?” Hessa berbisik pada dirinya sendiri, merasa kehilangan arah.

Gangika, yang melihat Hessa termenung, berjalan mendekat dan berdiri di depannya. “Kak Hesa, kamu harus milih aku,” katanya dengan mata berkaca-kaca.

Hessa hanya bisa memandang adiknya dengan penuh kebingungan. Dia tahu dia harus mengambil keputusan, tetapi bagaimana caranya agar tidak menyakiti hati adiknya yang rapuh?

***

Akhirnya, setelah banyak berpikir dan berbicara dengan orang tua mereka, Hessa memutuskan untuk mengikuti saran mereka. Dia mengakhiri hubungannya dengan Aerin dan fokus membantu Gangika lepas dari obsesinya.

Namun, obsesi Gangika semakin parah. Setiap kali Hessa pulang, Gangika langsung memeluknya, bahkan saat Hessa sedang memasak atau mencuci piring. Gangika juga sering meminta Hessa menggendongnya saat mereka berjalan bersama, dan mereka sering bermain salon-salonan bersama.

“Kak Hesa, aku mau kamu gendong aku, sekarang!” kata Gangika suatu hari ketika mereka sedang berjalan di taman.

“Gangika, kamu sudah 19 tahun. Masa masih mau digendong sih?” kata Hessa dengan nada lembut, meski merasa risih.

“Tapi aku pengen, Kak Hesa,” jawab Gangika dengan wajah memelas.

Hessa akhirnya mengalah dan menggendong adiknya, meski merasa tidak nyaman dengan situasi tersebut. Dia terus berusaha mencari cara untuk membantu Gangika, tetapi tidak mudah.

“Kak Hesa, kita main salon-salonan lagi yuk, kayak dulu,” kata Gangika suatu malam.

“Gangika, kamu sudah besar. Harusnya kamu bisa mandiri,” jawab Hessa dengan hati-hati.

“Aku nggak peduli. Aku cuma mau sama kamu, Kak Hesa,” jawab Gangika dengan tegas.

Hessa hanya bisa menghela napas, merasa terjebak dalam situasi yang sulit. Dia tahu dia harus menemukan cara untuk membantu Gangika mengatasi obsesinya, tetapi dia belum tahu bagaimana caranya. Yang dia tahu, dia tidak akan pernah menyerah untuk adik yang sangat dia sayangi.

***

Hessa sibuk di dapur, berkonsentrasi memasak, saat tiba-tiba Gangika muncul dengan tiba-tiba dan langsung memeluknya dari belakang. "Eiii, Gangika! Kamu ngagetin aku!" protes Hessa, terkejut.

Namun, saat Gangika memeluknya dengan erat, tangannya tanpa sengaja terciprat minyak panas dari panci yang sedang dimasak Hessa. "Aduh, sakit!" teriak Gangika sambil meronta kesakitan.

Hessa segera meraih tangan Gangika dan membawanya ke bawah air keran. "Kenapa sih kamu tiba-tiba muncul begini? Kamu harus lebih hati-hati, Gangika!" kata Hessa sambil memeriksa tangan adiknya.

Setelah memastikan bahwa Gangika baik-baik saja, Hessa menuntunnya ke meja dan menyuruhnya duduk. "Diam dulu sini, aku akan periksa lagi tanganmu," perintah Hessa sambil membuka laci obat di dapur.

Setelah memastikan bahwa Gangika tidak mengalami luka serius, Hessa merasa lega. "Hati-hati lagi ya, Gangika. Jangan main-main dengan minyak panas lagi," ingatnya sambil mengelus kepala Gangika.

Gangika hanya mengangguk sambil tersenyum. "Iya, maafin aku, Kak Hessa. Aku nggak sengaja," ucapnya dengan wajah memelas.

Hessa tersenyum lembut. "Sudahlah, tidak apa-apa. Yang penting kamu baik-baik saja."

Kemudian, Hessa memutuskan untuk bertanya sesuatu yang mengganjal di benaknya. "Eh, Gangika, ada yang ingin aku tanyakan. Kamu lagi suka sama orang nggak?"

Gangika menatap Hessa dengan tatapan yang agak ragu. "Hmm, sebenarnya... aku suka sama seseorang."

Hessa terkejut mendengarnya. "Serius? Siapa dia?"

Gangika tersenyum malu-malu. "Aku suka sama Kak Hessa."

Hessa terdiam, tidak menyangka bahwa adiknya memiliki perasaan seperti itu padanya. Dia merasa bingung dan tidak tahu harus berkata apa.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar