"Sana! pergi sana!" teriakan tuan Hughes makin jadi, kedua tangannya menjulur ke udara seolah dia berusaha mengusir sesuatu. Binah, istri mudanya ikut ketakutan. Dia tidak hentinya mencoba menenangkan sang suami yang kesetanan. Tidak lupa, tuan Kohen yang ikut mencoba menenangkannya.
"Tenang, tuan.. tenang!" tuan Kohen berucap, tangannya kebas karena memegangi kompres es yang dipakai oleh tuan Hughes. Kamar tuan Hughes gelap, hanya cahaya dari cempor yang menerangi mereka, semua jendela ditutup rapat. Malah ada yang dihalangi oleh papan dan dipaku.
"Mein Gott! Codet!! mana si Codet! suruh ia lawan itu!" teriak tuan Hughes histeris, dia menunjuk-nunjuk ke atas lemari.
"Sudah kubilang, bawa ke rumah sakit saja Binah!" kata tuan Kohen, tapi Binah menggeleng. Kedua mata birunya berair, baru saja perempuan itu mau menjawab, tuan Hughes keburu mencengkram kerah baju tuan Kohen dengan sangat erat. Kedua matanya melotot, wajah pucatnya berkeringat.
"Kau gila Kohen! mahluk itu mengikutiku kemanapun!" katanya gemetaran. Tuan Kohen tidak kalah frustasi, dia balas meneriaki kawannya yang tua bangka itu.
"Mahluk apa, Hughes?!"
"Itu!" teriak tuan Hughes, kelai ini matanya bergerak ke arah pintu yang tertutup.
Suara tuan Hughes menjadi bisik-bisik, "kau tidak lihat? itu?"
"Itu apanya?" tanya tuan Kohen keheranan, dia melirik ke arah Binah yang ikut-ikutan menggeleng ketakutan.
"Mahluk sebesar itu masa tidak terlihat!" teriak tuan Hughes. Sejurus kemudian, dia kembali berteriak diikuti kejang-kejang yang hebat.
Binah histeris, dia mencoba memeluk tubuh suaminya. Tidak henti doa dilantunkan, sambil menangis dia memohon pada mahluk apapun itu yang ada di sana agar tidak mengambil suaminya. Tepat saat itu, pintu kamar dibuka, terlihat Henkjan, mandor Codet dan seorang perempuan yang masih kecil masuk kedalam.
"Lama sekali kalian!" marah tuan Kohen, tentu itu membuat mandor Codet dan perempuan kecil itu menunduk. Mereka tidak berani menatap ke arah tuan Kohen yang melotot.
Lain hal dengan Henkjan yang terlihat santai. Seperti tidak punya malu, dia melenggang masuk dan langsung mendekati ranjang. Di tangan kanannya, ada sebuah koper kulit coklat. Mentereng, barang bagus.
"Ini baru? pingsannya?" tanya Henkjan seakan tidak peduli. Tuan Kohen hampir naik pitam, tapi ditahan Binah.
"Iya, gara-gara mahluk itu datang kemari" jawab Binah.
Henkjan mengangkat sebelah alisnya, "mahluk apa, ya nyonya?" dengan penuh rasa penasaran Henkjan berkata sambil mengedarkan pandangannya, melihat isi kamar itu.
"Saya juga tidak tahu, tuan dokter... tapi dari beberapa hari yang lalu suami saya terus mengeluh kalau dia dikuntit mahluk halus" Binah kali ini berbisik lebih pelan.
"Kalian tidak lihat?" tanya Henkjan sambil mendelik ke arah dua orang Eropa yang duduk bersebelahan itu. Mereka berdua menggeleng.
"Apa tuan Hughes bilang seperti apa mahluknya, nyonya?" Henkjan menggernyitkan dahinya dengan penasaran.
Binah terlihat seperti mengingat-ngingat sesuatu, kemudian dia berkata, "Kata suami saya sangat mengerikan! dia besar.... tinggi menjulang dan penuh bulu, giginya mencuat dan bertaring"
Wajahnya celingak-celinguk, tapi kedua tangannya bekerja. Dia memeriksa nafas dan denyut nadi tuan Hughes, kemudian dia memindahkan bantal yang sedang dipakai. Binah dan tuan Kohen memperhatikannya dengan wajah bingung bercampur kesal.
"Heh, kamu ini dokter, kan... kerja yang betul dong!" protes tuan Kohen. Tapi Henkjan acuh, begitu selesai dengan pemeriksaannya dia berjalan dan berpindah ke sisi bawah. Henkjan menarik selimut yang pria tua itu pakai, dan dengan sangat hati-hati dia sedikit mengangkat kedua kaki tuan Hughes.
"Anu... sepertinya hamba tahu mahluk apa itu kanjeng tuan..." si perempuan kecil bicara takut-takut. Semua mata memandang padanya, itulah si Darmi tukang pasang sesajen. Dia menunduk terus, kedua bahunya gemetaran waktu dia merasakan semua mata mengarah padanya.
"Yang bener kamu!" bentak mandor Codet.
Darmi mengangguk lalu dia lanjut bicara, "Itu sepertinya... Genderuwo!"
Mandor Codet menepuk tangannya, "Ho! bener juga! apalagi di sini yang bentuknya begitu? wah... benar ini.. jangan-jangan itu penunggu pabrik gula!" teriaknya ketakutan.
Mandor Codet langsung bersimpuh dan menyembah-nyembah, "Mohon ampuni tuan saya, O' dhemit gula!" doanya.
Henkjan tertawa, makin mengundang kekesalan orang-orang di sana, "bener, genderuwo?" tanya Henkjan, dia melirik ke arah tuan Hughes yang mulai sadar. Henkjan kembali memposisikan kedua kaki tuan Hughes.
"Selamat pagi, tuan" sapa Henkjan ramah.
Tuan Hughes gelagapan, "kamu? kamu dukun?" katanya sambil menunjuk ke arah Henkjan. Tentu saja dia menggeleng sambil tersenyum.
"Sepertinya aku betul-betul kena tuah... Oh mein Gott!1 maaf! maafkan aku!" erang tuan Hughes. Henkjan menggaruk kepalanya, dia menoleh ke arah Binah. Lebih enak diajak bicara, pikir Henkjan.
Henkjan memeriksa beberapa bagian tubuh tuan Hughes, di sana ada sedikit bercak memar, "nyonya... sejak kapan tuan begini?" katanya.
"Kira-kira 3 hari yang lalu, tuan dokter... awalnya dia demam, saya kira cuma kelelahan... tapi lama-lama jadi sering kerasukan..." Binah bicara dengan suara gemetaran, "Lalu tidak lama dari situ, timbul lebam-lebam begitu! ah, saya tidak siap jadi janda!"
Henkjan menahan tawa, bahunya gemetaran. Tuan Hughes menarik-narik lengan jas Henkjan dengan sedikit kasar, "hey nak... katakan apakah kamu bisa usir mahluk itu?"
"Jawabannya adalah iya dan tidak, tuan.." kata Henkjan. Dia memilih duduk bersantai di samping ranjang, membuat orang-orang bingung.
"Darmi, maukah kamu ambilkan tas saya?" tanya Henkjan, Binah kemudian menurut.
"Sekalian saja kamu buka..." katanya, Darmi menurut dan memmbuka tas itu, kemudian Henkjan nyengir melihat Darmi kebingungan melihat peralatan saji yang ada di situ.
"Ini buat apa tuan?" tanya Binah, Henkjan mengangkat kedua bahunya. Binah dengan cermat dan hati-hati membuka isi tas Henkjan, dalam hati dia takut kalau-kalau dia merusak sesuatu di dalamnya, sudah terbayang harga barang-barang kedokteran yang sudah pasti bikin dia miskin karena dia rusak.
Tapi, matanya malah membelalak begitu melihat isinya, "tuan... tuan sinyo ini beneran dukun ya? kok bawa beginian?" tanya Darmi sambil mengacungkan daun pandan.
Henkjan tersenyum kecil. "Coba kamu bikinkan sesajen lagi. Mana tahu bisa bantu tuan di sini.." katanya.
"Hei nak, jangan main-main!" kata tuan Kohen, namun Henkjan acuh. Dia malah membantu Binah, bahkan mengeluarkan sebatang korek api dan menyalakan sesajen itu.
"Hei!" pekik tuan Kohen, tapi Henkjan keburu tertawa, "tuan... apa tuan kenal aroma ini?" tanya Henkjan. Tuan Kohen menggeleng, Henkjan tertawa makin keras.
"Anda kepingin saya usir dedemitnya, apa tidak?" tanya Henkjan, seketika orang-orang terdiam.
Henkjan berdiri, dia kemudian mengangkat kedua tangannya, "biar saya beri tahu.. ada satu benda di rumah ini... tempat dimana dedemit yang mengganggu tuan Hughes ikut bersemayam rupanya, demit satu ini sudah mengincar tuan Hughes... sedari ia kecil!"
Semua orang menanti apa yang akan terjadi, tapi alih-alih jurus sihir atau gerakan silat yang biasa dilihat dari dukun, Henkjan malah berjalan mendekat ke arah sebuah snow globe yang terpasang di nakas.
Bagian bola kristal diisi dengan sebuah miniatur bangunan megah, sebuah kasti putih gading. Waktu Henkjan mengocok snow globe itu, butir-butir salju dan gliter menari-nari di dalamnya, membentuk badai kecil. Di bagian badan snow globe yang terbuat dari kayu berwarna merah, ada ornamen lambang burung elang hitam berkepala dua.
Kemudian, Henkjan membalik snow globe itu, pada permukaan alas kayu ada sebuah ukiran kasar. Dari ukirannya, Henkjan memperkirakan kalau itu ulah anak-anak, mungkin dengan pisau, atau dengan silet. Tulisan itu berbunyi 'fΓΌr meinen lieben Bruder' dengan tulisan miring dan hampir tak terbaca.
"Ini dia bendanya!" kata Henkjan sambil mengacungkan snow globe itu. Semua orang di kamar tuan Hughes kelihatan kebingungan.
"Apa maksudmu?" tanya tuan Kohen keheranan. Henkjan malah menunjuk ke arah sesaji di tangan Darmi, "jawab dulu pertanyaan saya... dari sesajen itu, kira-kira adakah bahan yang anda kenal?" kata Henkjan dengan penuh arti. Binah, Mandor Codet dan tuan Kohen mendekat ke arah Darmi dengan penasaran.
"Ayolah, pasti salah satu diantaranya, tuan Kohen tahu..." kata Henkjan, "barang itulah yang membuat nenek moyang kalian datang ke tanah ini!"
Tuan Kohen tiba-tiba mengulurkan tangannya dan mengambil satu biji cengkeh dan membauinya.
"Cengkeh?" tanya tuan Kohen.
"Iya, tepat sekali..." jawab Henkjan sambil mengangguk. Binah terlihat keheranan, dia menatap Henkjan lekat-lekat.
"Lalu? ada apa dengan cengkeh? dia bisa menangkal mahluk halus?" tanya Binah. Henkjan menggeleng, dia tertawa kecil sambil lanjut berbicara.
"Bukan, nyonya Hughes... sesajen yang ada di tangan Darmi bukanlah untuk menangkal mahluk halus... tapi itu untuk menangkal nyamuk malaria yang bersarang di pabrik gula..." tutur Henkjan sambil bergidik, "lingkungan yang lembab, dan pengap begitu tentu saja nyamuk sangat suka..."
"Sebentar!" mandor Codet mengangkat tangannya, raut wajah bingung tersirat jelas, "kalau begitu... dhemitnya??"
"Tuan Hughes cuma berhalusinasi... dan yang dia lihat jelas bukan Genderuwo!" Henkjan kemudian mengacungkan snow globe di tangannya, "Tapi, mahluk itu.. bersemayam di sini!" kata Henkjan.
"Mahluk yang tuan Hughes lihat adalah Krampus!" kata Henkjan sambil memainkan snow globe di tangannya.
"Kok bisa seperti itu? kesimpulan dari mana?" tanya tuan Kohen.
"Anda tahu sendiri, tuan Kohen demam... dalam kondisi demam, itu sudah lumrah jika seseorang mengalami halusinasi... perasaan tidak nyaman dan hawatir, juga stress dan pikiran soal sesajen yang dikira untuk roh di pabrik itu... semacam mendorong alam bawah sadar tuan Hughes untuk menciptakan sosok Krampus.." jelas Henkjan.
"maaf tuan Sinyo... Krampus itu apa, ya?" tanya Darmi keheranan. Henkjan tersenyum lembut pada Darmi, kemudian dia menjawab, "Krampus itu mahluk mitologi di Eropa.. tinggi, besar dan suka menjahili anak-anak nakal di malam natal... itu sejauh yang saya ketahui..." jawab Henkjan.
"Begitu saya dengar Condet mengartikan bahwa itu Genderuwo dari apa yang tuan Hughes jelaskan... saya langsung terpikir kalau itu Krampus, mereka sama-sama tinggi besar dan hitam... lagi pula tidak aneh kalau dia takut Krampus... anak-anak kan, sering ditakut-takuti sosok itu supaya tidak berlagak..." jawab Henkjan.
"Jadi maksudmu... dia bukan melihat Genderuwo?" tanya mandor Codet. Henkjan tentu saja menggeleng.
"Setelah sesajen... atau mari kita bilang obat pengusir nyamuk ini dibuang, tentu nyamuk malaria akan kembali beraktifitas... kemungkinan tuan Hughes terkena gigitan nyamuknya... nonya Hughes sendiri bilang selama tiga hari yang lalu... itu cukup untuk virusnya berkembang...tepat satu pekan setelah obat pengusir nyamuk itu diberhentikan" jelas Henkjan.
"Lalu kenapa kau tidak bilang dari awal?" tanya tuan Kohen kesal. Henkjan cuma menyeringai kecil, "memang anda pikir nenek moyang kami, pribumi sekadar percaya takhayul semata? dengar ya tuan yang terhormat... kebanyakan takhayul yang diciptakan di negri ini dibuat untuk melindungi kami.. bukan asal berbunyi!"
"Ya tapi kenapa dibikin jadi cerita yang dibuat-buat?" tuan Kohen balik berbicara kesal, "sebagai orang Eropa, kami ini berbicara dengan nalar!"
"Ya kalau tidak bisa diterima dengan nalar, setidaknya terimalah dari segi sosial dan budaya!" balas Henkjan, "kalian mengakui berilmu tapi perkara sen1 saja tidak paham!"
"Bukan begitu maksudnya, Henkjan! bagaimana negri ini bisa maju kalau kalian tidak memiliki pembaharuan lebih maju?" bantah tuan Kohen.
"Dengar ya tuan! masyarakat negri ini masih tradisional! butuh puluhan tahun untuk merubahnya, kalau memang kalian merasa sudah jauh lebih maju, posisikan diri kalian sebagai pendatang yang memahami! pendekatannya tidak dengan agresif!" balas Henkjan, "tidak ada yang salah dengan ide dan gagasan yang masuk ke negri ini... yang salah hanya cara menerapkannya saja!" jelas Henkjan.
Kemudian, Henkjan menghela nafas dan menatap jam yang bertengger di dinding, dia mengambil tasnya dan berjalan ke arah pintu, "lebih baik kalian bawa tuan Hughes ke rumah sakit. Saya mau kembali ke sekolah" katanya sambil berlalu melewati pintu.
CATATAN KAKI
- Perkara sen : perkara receh, hal kecil.