Suara harmonika itu masih terngiang di telingaku karena setiap kali aku main ke rumahnya, ia selalu memainkannya di depanku. Temanku itu memang pandai main harmonika, tapi menurutku ia tak pandai berbagi. Setiap kali aku mencoba meminjamnya, ia selalu punya alasan untuk menolak. “Nanti rusak, Ren. Lagipula, kamu kan ngak tau cara mainnya,” katanya beralasan. Selalu saja begitu.
Tapi rasa penasaran itu justru membakar keinginanku. Aku bertekad, harus punya harmonika.
Aku mulai menyisihkan uang sakuku, dan lambat laun, uangku terkumpul. Hingga pagi itu, aku bisa mengunjungi toko di dekat Jalan Kolopaking yang menjual harmonika biru kecil, yang terpajang rapi di balik kaca etalase.
“Aku mau yang ini, Ci,” kataku, menunjuk harmonika itu dengan penuh antusias.
Saat aku membuka kotaknya, harmonika itu rasanya terlihat lebih indah dari yang aku bayangkan. Ada gambar bunga kecil di permukaannya.
Aku tak sabar langsung mencobanya di depan toko, meniup pelan untuk mendengar suaranya. Meski nadanya masih sumbang, aku merasa seperti orang paling bahagia di dunia.
***
Tapi saat berjalan pulang, tiba-tiba rasa kuatir mulai menghantui. Aku teringat Ibu yang selalu bercerita tentang buku ensiklopedia. Aku tahu Ibu menginginkan aku membeli buku itu, bukannya sebuah harmonika.
Karena ketakutan itu aku bingung, apalagi ketika sampai di depan rumah. Akhirnya aku putuskan untuk menyembunyikan harmonika itu. Menyelipkannya di balik pinggang celanaku, lalu naik ke loteng kakek.
Di sana, aku menemukan tempat persembunyian yang sempurna, di atas balok semen, tepat di atas kamar tidurku.
Dari tempat tidurku, aku masih bisa melihat tempat itu. Setiap malam sebelum tidur, aku melirik ke atas dan tersenyum kecil, merasa bangga dengan keberhasilanku memiliki harmonika kecil itu.
Esok paginya, aku bangun lebih awal. Dengan hati-hati, aku naik ke loteng dan mulai mencoba harmonika itu lagi. Suaranya lembut, seperti angin pagi. Aku terus berlatih, menikmati setiap nada yang keluar dari alat kecil itu.
Tapi, rahasia itu tak bertahan lama.
Sore itu, Mira, adikku, mendengar suara harmonika dari loteng.
“Kak Rendy, itu suara apa, kakak main apa sih di atas?” tanyanya penasaran
“Ngak ada apa-apa,” aku mencoba mengalihkan perhatiannya.
Tapi Mira tak mudah dibodohi. “Kak Rendy punya harmonika baru ya? Pinjam, dong!”
Aku tak bisa mengelak lagi. Dengan berat hati, aku memberikannya harmonika itu. Mira langsung meniupnya dengan penuh semangat, meski nadanya berantakan. Tak lama, Rani, adik bungsuku, datang bergabung.
“Kak, aku juga mau coba!” serunya sambil melompat-lompat.
“Kalian pelan-pelan ya, jangan sampai rusak,” kataku menguatirkan harmonika itu.
Tapi melihat wajah ceria mereka, aku merasakan ada rasa bahagia, akrena harmonika kecil itu menjadi sumber kebahagiaan baru untuk kami bertiga.
Tapi, kebahagiaan itu tak berlangsung lama, karena akhirnya terungkap di depan Ibu.
Kami sedang bergantian memainkan harmonika di ruang tengah, saat Ibu muncul dari dapur. “Rendy, darimana harmonikanya?” matanya tajam memandangku, sambil melipat tangan di depan dada.
Mira dan Rani serentak menunjuk ke arahku. “Kak Rendy yang beli, Bu!”
Aku menelan ludah, mencoba mencari jawaban. Tapi aku tak bisa mengelak. “Aku beli sendiri, Bu. Dari uang saku yang kusimpan.”
Ibu terdiam sejenak, lalu duduk di sampingku. “Kamu senang?” tanyanya pelan.
Aku mengangguk, meski dalam hati takut ibu akan marah.
Tapi Ibu justru tersenyum. “Kalau itu membuatmu senang, Ibu tidak apa-apa. Tapi lain kali, kalau mau beli sesuatu, bicarakan dulu ya. Dan jangan lupa, pikirkan juga apa yang penting.”
Aku merasa lega. Ibu bahkan tak mengatakan apa pun tentang ensiklopedia itu.
***
“Ayo, Rendy, mainkan di depan kita semua. Ibu ingin dengar,” katanya sambil tersenyum, saat semua orang berkumpul di ruang tengah yang hangat.
Mira dan Rani bersorak kegirangan, mendorongku untuk bermain. Meski sedikit gugup, aku meniup harmonika itu, memainkan melodi terbaikku.
“Bagus, Kak Rendy!” seru Mira melompat kegirangan.
Ibu tersenyum lembut. “Bakatmu harus diasah, Nak.”
Kata-kata itu membuat hatiku hangat. Aku merasa dicintai tanpa syarat. Air mataku jatuh tak bisa kutahan. Aku sayang ibu, ucap batinku lirih.
***
Déjà vu.
Tahun-tahun berlalu.
Aku sedang berdiri di depan deretan mainan yang berwarna-warni, mencoba memilih hadiah yang cocok untuk Lyra, keponakanku yang sedang berulang tahun.
Rasanya semua boneka dan mainan di rak itu terlihat menarik, tapi aku ingin sesuatu yang berbeda, sesuatu yang mungkin bisa menjadi kenangan berharga baginya, seperti harmonika biru kecil yang pernah kumiliki saat kecil.
Saat aku berbalik menuju bagian alat musik mainan, pandanganku tertumbuk pada seorang gadis kecil. Ia berdiri diam, matanya berbinar mengamati deretan harmonika yang tersusun rapi di rak.
Tangannya yang mungil terulur ragu, seolah ingin menyentuh salah satu harmonika tetapi takut melakukannya.
Aku tersenyum. Pemandangan itu langsung membawaku ke masa kecilku—ketika aku pertama kali melihat harmonika biru yang kemudian menjadi bagian penting dari hidupku.
Aku mendekati gadis kecil itu perlahan, tidak ingin membuatnya kaget.
“Kamu suka harmonika?” tanyaku dengan lembut.
Gadis kecil itu menoleh, matanya membesar sejenak sebelum akhirnya mengangguk perlahan. Wajahnya memerah malu-malu, tapi aku bisa melihat kegembiraan yang sulit ia sembunyikan.
“Kalau begitu, pilih yang paling kamu suka,” kataku sambil mengangguk ke arah deretan harmonika.
Ia menatapku ragu-ragu, lalu kembali melihat ke rak. Tangannya terulur ke arah harmonika berwarna merah dengan ornamen emas, tapi kemudian ia menariknya kembali, seolah merasa tidak pantas memilih.
“Yang itu?” tanyaku, memastikan pilihannya.
Ia mengangguk pelan. Aku tersenyum dan melambaikan tangan memanggil penjaga toko. “Bisa tolong ambilkan harmonika ini?” pintaku.
Penjaga toko mengangguk dan segera menyerahkan harmonika itu kepadaku. Aku membayar harmonika itu tanpa pikir panjang, lalu menyerahkannya kepada gadis kecil itu.
“Nah, ini untukmu,” kataku sambil tersenyum.
Matanya membulat, tampak tak percaya. “Untuk aku, Kak?” tanyanya dengan suara kecil yang nyaris berbisik.
Aku mengangguk. “Iya, untuk kamu. Mainkan dengan baik, ya. Mungkin suatu hari kamu bisa jadi pemain harmonika yang hebat.”
Dia menggenggam harmonika itu erat-erat, senyumnya perlahan merekah. “Terima kasih, Kak. Namaku Mira,” ucapnya dengan suara riang.
Aku tertawa kecil. “Nama yang cantik. Aku Rendy,” balasku.
Aku mengantarnya ke arah meja kasir, di mana seorang wanita berdiri menunggu. Ia tampak mencari-cari Mira dengan tatapan khawatir, tapi begitu melihat kami mendekat, wajahnya melembut.
“Mira, kamu ke mana saja? Tante kira kamu tersesat,” katanya sambil berlutut dan merangkul gadis kecil itu.
“Tante, lihat! Kak Rendy membelikan aku harmonika!” seru Mira sambil menunjukkan harmonika barunya.
Wanita itu mendongak menatapku. “Kak Rendy?” tanyanya sambil tersenyum.
Aku tertawa kecil, sedikit salah tingkah. “Ah, saya hanya kebetulan melihat dia di rak harmonika dan—” aku terhenti sejenak.
Wanita itu memiliki senyum yang lembut dan mata yang bersinar, membuatku merasa seperti sedang berbicara dengan seseorang yang sudah kukenal lama.
“Terima kasih, Rendy. Mira memang suka musik. Dia sering memainkan apa saja di rumah dan mengaku sedang konser,” katanya sambil tertawa kecil.
Aku ikut tertawa, merasa suasana menjadi hangat. “Ya, aku juga suka harmonika waktu kecil. Rasanya melihat Mira tadi, aku seperti melihat diriku sendiri dulu.”
Wanita itu tersenyum lagi. “Saya Kania, tantenya Mira,” katanya, mengulurkan tangan.
Aku menyambut uluran tangannya. “Senang bertemu denganmu, Kania.”
Kami berbicara sebentar, lebih banyak tentang Mira yang ternyata sangat suka alat musik meski usianya baru lima tahun. Aku merasa percakapan itu begitu menyenangkan, seolah kami sudah lama saling kenal.
Ketika aku berpamitan untuk kembali memilih hadiah untuk Lyra, Kania berkata, “Mungkin kita bisa bertemu lagi. Mira pasti ingin menunjukkan kemampuannya memainkan harmonika.”
Aku mengangguk sambil tersenyum. “Tentu. Aku akan senang sekali.”
Aku meninggalkan toko mainan itu dengan dua cerita, harmonika kecil merah jambu untuk Lyra, dan sebuah perasaan hangat yang tak terduga. Harmonika kecil itu, menciptakan kenangan baru yang mungkin menjadi awal dari sesuatu yang lebih besar. Sebuah Déjà vu.