Disukai
1
Dilihat
36
Hari Berbahagia
Drama
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Hari ini adalah hari berbahagia mantanku yang mengikat janji suci bersama perempuan pilihannya. Pernikahan berlangsung pada hari ini, Minggu pagi di gereja terbesar Kota J. Aku hanya bisa menghadiri agenda selanjutnya siang hari di balairung hotel bintang lima karena berbeda agama.

Acara itu bernama Tea Pai. Tradisi turun temurun keluarganya setelah menikah untuk menyajikan teh kepada orang tertua. Dulu, aku pernah menghadiri pernikahan kakak perempuannya yang juga menggelar Tea Pai dan memberikan hadiah racikan aroma parfum pilihanku.

Pesta minimalis tanpa balon atau konfeti. Cukup karangan bunga mawar imitasi menjadi latar belakang panggung. Tak lupa pajangan lambang Shuang Xi emas yang aku ketahui sebagai simbol kebahagiaan. Meja-meja bundar kayu hitam penuh diisi keluarga besar dan kerabat para pengantin. Orang tua lansia dan para orang dewasa lainnya tentu tidak sedikit. Ada lima anak kecil—mungkin keponakan mantanku dan Si Pengantin Perempuan—hadir di sana. 

Aku sengaja datang mengenakan gaun putih selutut dan stileto semerah gincu bibirku. Aku tak mau kalah dengan pengantinnya yang super cantik. 

“Selanjutnya untuk saudara Wangsa memberikan teh kepada Oma Hana. Silakan diambil tehnya dan tunggu aba-aba dari kami sebelum meminumnya. Mohon hadap kamera saat mengambil tehnya.” Pembawa Acara perempuan itu dengan cekatan menuntun kegiatan dengan baik. Sesekali dia melirik ke arahku dan kubalas lambaian tangan singkat.

Selagi duduk di pojok ruang, para orang tua mempelai, mertua, para sepuh, tamu, hingga sanak saudara tertua akan duduk di depan dan menerima hidangan secangkir teh. Tak lupa mereka berfoto dengan senyum lebar. Ada layar proyektor yang tersambung di kamera untuk membantu para orang tua rabun jauh melihat prosesi.

Sungguh memuakkan.

Bertepatan tamu tertua urutan kedua belas kembali ke meja, mataku dan Pembawa Acara bertemu lagi. Dia mengangguk pelan.

“Baik, tamu selanjutnya yang akan menerima hidangan teh adalah Nona Maharani.”

Tawa merekah di bibir para orang tua meredup ketika melihatku bangkit di sudut ruang. Aku menghampiri pasangan berbahagia membawa tas karton hitam. Tersenyum kecil kepada anak-anak yang terpana menatapku.  Kepercayaan diriku semakin naik melihat semua wajah tamu tercengang memperhatikan kecantikanku. Aku yakin, keluarga besar mantanku sudah mendengar desas-desus keberadaanku.

Ketika sampai dan duduk di kursi tamu yang berhadapan dengan mereka, mantan kekasihku memelototi seolah melihat hantu.

“R-Rani? Bagaimana bisa kamu datang ke sini?”

Aku mengangkat alis tinggi-tinggi, pura-pura heran melihatnya kebingungan. “Kenapa? Aku dapat undangan dari kakakmu. Aku berhak hadir ke sini, ‘kan?”

“Kak Luna?” Mantanku celingak-celinguk mencari kakaknya. Nyatanya, sejak aku masuk keberadaannya telah tiada. 

“Kamu siapa? Tidak sopan datang kemari tanpa undangan.”

Aku melirik istrinya yang bersuara membawa baki. Bibirku tersenyum manis seraya berdiri mengambil cangkir teh secara mandiri. 

“Aku mantan pacar Wangsa,” ucapku menatap perempuan itu lekat. Menyesap teh sekali teguk lalu menuangkan isi di atas kepala mantanku. 

“Dan dia pernah menghamiliku.”

Nada-nada keterkejutan di kerumunan meja mengalun indah di telingaku. Semakin lebih indah kala melihat bibir istrinya terbuka lebar tak bisa menghalangi tindakanku.

Aku tak ingin mengganti kerugian material. Aku harus bersikap anggun dan memilih meletakkan kembali cangkir mahal ini ke baki. Kepalaku menoleh memandang mantanku, mamanya datang membawa sapu tangan. Mempelai perempuan ikut menyeka sisa teh wajah mantanku setelah menaruh baki asal-asalan ke kursi.

Lihat. Betapa indahnya jas necis itu bercorak cokelat. Mirip seperti salah satu pakaianku yang telah kamu nodai.

“Anak kurang ajar! Berani-beraninya kamu datang tak diundang malah merusak pernikahan anak saya!” Janda tua itu menunjukku lantang. “Sudah saya duga suatu hari kamu akan berulah. Perempuan gila!”

“Mama Kila tahu perempuan ini?” Pengantin perempuan keheranan. Ekor selubung putih di belakang kepalanya bergoyang-goyang ke sana kemari menatapku dan mertuanya bergantian.

“Dia orang yang memfitnah Wangsa, Nak Mira. Dia yang sempat mama bicarakan sampai Wangsa stres tak mau makan berhari-hari!” 

Oh, betapa dramatisnya Janda Tua ini menyudutkanku. Aku merotasi dua bola mata secara malas.

“Masih kurang uang yang saya berikan untuk kamu pergi dari hadapan anak saya? Sudah cukup kamu membuat keributan di rumah kami dengan bukti palsu, tapi berani-beraninya masih datang kemari untuk menghancurkan pernikahan anak saya!”

“Kalau gak ada bukti jangan menuduh sembarangan ya, Mbak. Jika Mbak sakit hati sama suami saya, bicarakan baik-baik setelah ini. Bukan dengan mencari keributan di pernikahan  orang!”

Mantanku bergeming dalam lingkaran dua tangan perempuan yang mengapitnya. Dia pikir, dibentengi orang-orang dominan membuatku mundur? Lebih baik aku mulai berikan hadiahku.

Aku menuangkan isi tas karton hitam ini ke lantai berkarpet merah. Sebuah rok katun putih bernoda gelap, tiga test pack bekas yang aku amankan di plastik zip, foto USG awal kehamilan sampai enam bulan, dua lembar kertas terlipat, dan foto kami berpacaran yang tercampur bukti luka-luka di tubuhku.

“Ini hadiah pernikahanmu, Wangsa. Rok putih kesayanganku kotor saat kamu menyekapku di ruang ganti tujuh bulan lalu. Dua surat itu adalah hasil visum dan tes DNA bayi dalam kandunganku adalah anakmu. Oh, Mama sudah gak percaya karena menganggap semua benda ini properti akting-ku. Aku bawa lagi agar istri pilihanmu mengetahuinya.”

Istri Wangsa bereaksi. Dia berjongkok melihat seluruh foto satu persatu. Aku mengambil rok dan dua surat terlipat lainnya. Sengaja menghantam dada mantanku sekeras mungkin hingga dia terpaksa memeluk semua barang. 

“Mbak Mira, gak apa-apa kamu gak percaya. Memang terlihat mustahil asisten sutradara berwajah malaikat ini pernah melakukan perbuatan tercela, tapi dia juga pandai berakting, seperti sekarang.”

Aku mendengar helaan napas Wangsa sebelum bibirnya bergetar mengeluarkan napas. Sialan, dia mulai memakai kartu Anak Mama, persis saat aku meminta pertanggung jawaban di depan Janda Tua.

“Rani, aku tahu kamu masih sakit hati atas keputusanku mengakhiri hubungan satu tahun kita. Sudah puluhan kali aku beritahu Mama gak merestui. Aku menuruti Mama yang menjodohkanku dengan istri seiman, bahkan Mira mensponsori debut film pendekku. Kalau kamu terus menebar fitnah, aku akan mengambil tindakan jalur hukum sekarang!”

Mendengar ancaman Wangsa membuat mataku memelototi balik. Aku harus menunjukkan rasa sakit hatiku yang seenaknya playing victim. 

“Wangsa, teganya kamu gak mengakui hubungan kita!” Aku menutup mulut. Mataku tak dapat membendung air mata. Aku tidak peduli maskara-ku luntur demi bermuka dua. “Aku masih ingat, kamu langsung menyuruhku aborsi setelah melihat hasil test pack pertamaku. Kamu mencekik leherku agar aku cepat enyah dari hadapanmu!”

Selagi mengusap air mata, diam-diam aku melirik para tamu berbisik tak karuan. “Sungguh tega kamu membiarkanku diusir Mama hujan-hujanan saat aku berusaha mengejarmu sampai gerbang. Dia mendorongku sampai perut besarku nyeri hebat! Sakit luar biasa!”

“Lancang!” Mamanya mendorong pundakku yang lebih tinggi darinya. Memang tidak keras, tetapi aku sengaja menjatuhkan tubuhku hingga menabrak kursi. Aku harus terlihat disiksa. 

“Tuan dan Nyonya! Kalian lihat Mama Wangsa berusaha mencelakai saya!” Tanganku meremas dada kesakitan. Menangis tersedu-sedu hingga dihampiri Pembawa Acara.

“Nona tidak apa?” Mata kami bertemu. Dia mengerjap dua kali dan aku mengangguk pelan. Aku dibantu berdiri seakan tubuh ini terlihat lemah.

“Saya tak mendorongmu sekeras itu!” Si janda tua mulai ketakutan. Semua mata yang berbinar cerah berubah sangsi menatapnya.

“Luka-luka tubuh di perempuan ini … semua ulahmu?” Istri Wangsa menunjukkan foto bekas luka-luka lebam—termasuk luka cekik di leherku—kepadanya. Dia terlihat gemetar bagai kelinci. 

“Kamu memerkosanya?”

“Mira, sudah jelas dia memfitnahku! Semua gambar itu hasil tim make up untuk kepentingan film pendekku!” 

Aku sudah menduga Wangsa akan bereaksi seperti ini. Wajah iblisnya sudah nampak, persis seperti ia mengancamku tutup mulut. Waktunya mengeluarkan kartu AS milikku.

“Kalau begitu, akan aku tunjukkan hadiah lainnya,” ucapku menjentik jari.

Suara gaduh dan teriakan terdengar dari pengeras suara yang tersambung proyektor. Raungan yang terbungkam dan suara pria mengancam menjadi satu. Aku perhatikan seluruh orang tua ternganga. Orang tua anak-anak kecil langsung mengajak mereka pulang tanpa alasan.  Begitu pula raut wajah istri dan Si Janda Tua tercengang. Inilah yang aku nantikan sejak dari tadi.

“Aku berterima kasih kepada Kak Luna sudah bersusah payah membuat orang yang menyimpan rekaman CCTV itu buka suara. Uang memang di atas segalanya.” Aku mengusap air mata palsuku kasar. 

Wangsa melayangkan tatapan membunuh ke arahku. Dia menyerang dengan menarik kerah gaunku. Matanya menyala merah, seperti kerasukan iblis.

Mirip dengan kebiadabannya pada hari itu.

“Wanita jalang! Masih kurang uang 25 juta yang dikasih Mama buat cari kehidupan baru? Mau nambah 10 juta lagi? 30 juta? Apa perlu sekalian 100 juta buat bikin kamu pergi dari—”

Detik berikutnya Wangsa mendapat tamparan panas dari istrinya. Aku sedikit terkejut melihat aksi perempuan itu tiba-tiba.

“Bajingan!” Wajah berlinang air mata itu mendorong-dorong tubuh mantanku keras sampai mundur ke belakang. “Jadi benar kamu memerkosanya?!”

“Percuma, Wangsa. Uangmu gak bisa membayar rasa malumu,” ucapku demikian datar.

Janda Tua mendadak pingsan di tempat. Aku mematung di tempat ketika kekacauan ini tampak parah.

Wangsa dicerca istri dan mertuanya, terkesiap tak dibiarkan menolong mamanya. Belum lagi para kerabat tertua lain mengerumuni pria bajingan itu.

Aku izin pamit kepada teman baikku selaku Pembawa Acara hari ini. Mengambil rok putih kotorku dan satu foto USG di dekat kakiku. Diam-diam menuju dua pintu balairung yang terbuka lebar. Melangkah keluar dari hotel, sinar terik mentari menyambutku. 

Tawa dan tangisku seketika meledak kala menatap langit. Terbayar lunas penantianku. Aku berhak mendapatkan momen ini. Kupandang lekat foto USG jabang bayiku yang berpulang tepat enam bulan.  

“Nak, janji bunda sudah tuntas. Bunda sudah sampaikan salam ke ayah brengsekmu.” 

Hari ini adalah hari paling bahagia dalam hidupku sebelum umurku genap berkepala tiga esok. Akhirnya aku memiliki harapan hidup lebih baik tanpa menyesali hari yang telah berlalu. 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Rekomendasi