Ibuku bilang ‘pamali’ memiliki rumah yang terdapat pohon kersen. Mbak-mbak bergamis putih, dengan rambut panjang, dan senang tertawa pun mendadak jadi topik perbincangan hangat di keluargaku. Namun, aku sama sekali tak terpengaruh, menurutku orang tua zaman dulu lekat dengan mitos dan terlalu percaya hal mistis. Lihat saja, aku akan membuktikannya bahwa tak akan terjadi apa-apa di sana.
Mendapatkan rumah megah dengan lokasi strategis yang dijual murah, siapa yang tidak tergiur, bukan? Apalagi bagi pasangan muda sepertiku dan mas Rendra. Hingga akhirnya penandatanganan surat pembelian pun telah terjadi, kini kami telah resmi menjadi pemilik baru hunian berlantai dua dengan desain semi kolonial itu.
Sore harinya, kami pun memutuskan segera pindahan. Kali kedua aku menginjakkan kaki di rumah ini, tetapi sekarang auranya terasa berbeda. Ah, barang kali hanya perasaanku saja, karena kami datang saat magrib menjelang, dan angin petang memang tengah berembus kencang. Hingga jam 10 malam, kami baru selesai membereskan beberapa ruangan termasuk kamar tidur utama. Gemeretak tulang terdengar nyaring ketika aku meregangkan badan dan tangan, lengket keringat membuat ingin segera membersihkan badan.
“Mas, aku mandi dulu, ya!” kataku seraya berlalu menuju kamar mandi.
Mas Rendra pun mengiyakan seraya merebahkan badan, dia tampak begitu kelelahan sekali. Dari tadi memang dia yang banyak bekerja, sementara aku hanya bantu-bantu sedikit saja.
Segar rasanya ketika air dari Shower mengguyur tubuhku, otot-otot terasa rileks, penat di kepala pun seakan terhanyut seiring air yang mengalir. Aku bersenandung lirih seraya menuangkan sabun cair di tangan, lantas mengusapkan ke badan. Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu, pergerakan tanganku seketika terhenti.
“Mas?” tanyaku agak berteriak, supaya suaraku bisa menyaingi kecipak air.
Tak ada yang menyahut, “Mas, kalo mau buang air? Kan ada WC di bawah,” lanjutku lagi.
Masih tak ada sahutan, mungkin dia sudah pergi ke kamar mandi di bawah. Aku kembali melanjutkan membersihkan badan, tiba-tiba terdengar bunyi jendela tertutup dan terbuka bergantian dari kamar di sebelah. “Sepertinya digerakkan angin,” gumamku.
Hingga selesai mandi, aku pun kembali ke kamar. Mendapati Mas Rendra terlelap seraya mendekap guling. Lalu siapa yang tadi mengetuk pintu? Aku tertegun sejenak, mungkin dia meneruskan tidur setelah dari kamar mandi. Bisa saja, bukan?
Dering telepon mengalihkan perhatianku dari sisir yang baru saja kuraih, ternyata pesan dari Ibu.
Ibu: Jangan nyisir rambut malem-malem, pamali.
Ibu kok bisa tahu, ya, aku hendak merapikan rambut? Feelingnya kuat sekali, batinku.
Aku pun berdecap setelah membacanya. Pamali lagi? Kemarin pamali ada pohon kersen besar dekat rumah, sekarang pamali menyisir rambut, besok-besok pamali apa lagi coba? Lama-lama kesal juga terus dicekoki istilah ‘pamali’ yang banyak sekali macamnya. Aku pun memutuskan membalas mengiyakan pesan tersebut. Padahal setelah menyimpan kembali gawai aku meneruskan menyisir rambut. Bodo amat dengan larangan ibu, itu hanya mitos.
Hening, hanya detak jarum jam dinding yang terdengar, hingga nyanyian cacing di perutku berdendang. Aku pun segera mengikat rambut asal. Ingin hati membangunkan Mas Rendra, tetapi melihatnya dia terlelap begitu tenang kuurungkan saja, biarlah dia istirahat sejenak. Aku bisa membangunkannya setelah makanan matang, dia juga pasti lapar.
Sebelum menuruni tangga aku sempat menutup jendela kamar sebelah, ternyata benar angin menggerak-gerakkan daun jendela, aku pun menutupnya rapat-rapat, lantas menguncinya. Setelah itu, aku kembali berbalik, berjalan menuju tangga, hingga pada saat sampai di koridor yang menghubungkan antara ruang keluarga dan dapur. Aku refleks terlonjak seraya menjerit, mendapati sesuatu yang kenyal dan lengket mengenai kakiku. Seketika bau anyir menyeruak ke indra penciuman diiringi dua kucing hitam yang mengeong keras, sepertinya tengah berebut mangsa hingga terlempar ke arahku. Aku segera melabuhkan pandangan ke bawah ternyata tubuh tikus yang telah koyak dan berlumur darah di sana, aku seketika mengibaskan kaki, mundur beberapa langkah seraya berusaha mengusir kucing-kucing itu.
Mual tak tertahankan membuat tubuhku agak limbung, selera makan seketika menguap seiring perasaan jijik yang menguasai diriku. Setelah kedua kucing itu pergi, aku segera membersihkan kaki yang terkena darah, lantas mengepel lantai yang tercecer cairan merah nan kental itu. Baru saja hendak kuraih pengki, tiba-tiba terdengar bunyi kelontang panci dari dapur bersamaan dengan lampu yang mendadak mati.
“Mati listrik di saat begini, huh!” rutukku seraya berjalan perlahan menuju lantai dua untuk mengambil senter di kamar.
Baru saja kakiku dijejakkan di anak tangga pertama, aku terkesiap mendengar kegaduhan dari dapur, lantas terdengar derit pintu dibuka paksa dengan keras. Seketika itu juga angin terasa berembus lebih kencang, hingga gorden jendela melambai-lambai. Meski rasa takut mulai menyergap, aku tetap memberanikan diri untuk memeriksanya.
Kuraih daun pintu dapur, tak sengaja mataku menangkap sekelebat siluet putih dari pohon kersen besar yang menjulang gagah, yang posisinya tepat segaris lurus dengan tempatku berdiri. Samar-samar dahan pohon yang bermandikan cahaya bulan tampak bergerak-gerak perlahan, lebih cepat, semakin cepat, hingga sangat cepat.
Hawa dingin semakin menusuk kulit, bulu kudukku meremang, hingga jantungku berdetak tak sabaran. Aku mengucek mata, memastikan penglihatanku yang mendadak buram. Saat kembali membuka netra, aku meringis, terasa ada yang menarik rambutku dari belakang.
Seketika itu juga aku menjerit, “MAS ..., MAS RENDRA! Tolong aku, Mas!”
Saat tanganku menahan kepala ke arah berlawanan dengan sekuat tenaga, lantas berusaha berbalik untuk melihat siapa penarik rambutku, tetapi tak ada siapa pun.
“Pergilah dari sini!” sayup-sayup terdengar bisikan bernada ancaman di telinga kiri.
Aku terkesiap, lantas menoleh, lagi-lagi tak kudapati siapa pun di sampingku. “Jika tidak, nyawamu taruhannya,” bisik suara itu lagi di telinga kananku.
“Si-siapa, kau? Tunjukan wujudmu jika berani!” Aku berusaha berkata tegas, menutupi ketakutan yang menyelimuti dadaku.
“PERGI! ATAU TANGGUNG AKIBATNYA!” bentak suara itu yang didominasi nada ancaman penuh emosi yang tertahan.
Kakiku bergetar semakin hebat dan jantungku berdegup tak terkendali. Aku berlari secepat mungkin dalam gelap, mulutku tak henti menjerit-jerit memanggil nama Mas Rendra seraya menoleh sesekali ke belakang.
Mas Rendra tak menyahut juga, malah pecahan beling terdengar berdenting keras dari arah kamar.
“Mas tolong, aku!” pekikku dengan nada bergetar seraya terisak. Getaran di badan tak lagi bisa kuatasi, bayangan-bayangan menyeramkan menggelayuti pikiran.
Hingga entah sampai di anak tangga ke berapa, aku salah berpijak. Hingga aku jatuh terguling, lantas menggelinding di anak tangga, tergelincir ke lantai pualam tua. Selanjutnya, suara Mas Rendra yang meneriakkan namaku terdengar nyaring seiring cahaya lampu senter yang menyilaukan mata. Setelah itu aku tak ingat apa pun lagi.
***
Itulah kali terakhir aku tidak menghiraukan perkataan dan firasat ibu, karena sekarang kami telah berlainan alam. Bukan mitos yang merenggut nyawaku, tetapi takdir Tuhanlah yang memberikan jalan kematian bagiku mesti seperti itu. Pun perihal makhluk gaib, kini aku mempercayainya. Namun bukanlah sesosok tak kasat mata itu yang membunuhku, melainkan karena kecerobohan diriku sendirilah yang menyebabkan terjatuh hingga meregang nyawa.
Tasikmalaya, 14 Agustus 2020