Disukai
1
Dilihat
274
Hanggada
Drama

Jantung Hanggada berpacu seiring gerak kakinya yang mengayun semakin cepat. Napasnya memburu. Dilihatnya di kejauhan, api berkobar melahap gedung plaza tanpa ampun. Hampir seluruh bangunan gedung itu djilati lidah api. Mata Hanggada nyalang menatap asap hitam yang dalam pendar cahaya api, terlihat tinggi membumbung. Menyatu bersama kelam langit malam yang tersaput mendung sejak sore tadi. Lalu pikirannya melayang cepat pada Hanila. Hanila ada di dalam. Bagaimana ini? Ia harus secepatnya menolong Hanila. Saudaranya itu harus segera keluar dari sana.

“Hanilaaaaaaa!” 

Hanggada berteriak. Dikerahkannya segenap tenaga untuk mempercepat lajunya. Gerimis turun satu-satu seiring air mata Hanggada yang mulai menitik di pipi.

***

Hanggada tersenyum simpul. Binar mata Rania yang tampak begitu bahagia, refleks membuat otot-otot sekitar mulutnya mengembang. Mereka sedang berbincang—Rania yang bicara sebenarnya, Hanggada lebih banyak mendengarkan—tentang impian masa depan mereka. Tentang pernikahan. Juga tentang keluarga kecil yang akan mereka bangun nanti.

“Aku harap, saat kita menikah nanti hujan turun,” kata Rania. Bibirnya menyunggingkan senyum manis. Dua tangannya menangkup di depan dada penuh pengharapan. Berbeda dengan Hanggada. Senyum lelaki pertengahan tiga puluhan itu lenyap seketika.

“Mengapa?” tanya Hanggada. Rania menoleh cepat.

“Mengapa tidak? Bukankah sudah kukatakan, aku ini pecinta hujan. Nyaris semua hal indah dalam hidupku terjadi saat hujan. Lagi pula, bukankah hujan adalah saat dimana rahmatNya turun ke bumi ini, Hangga? Maka tidak salah bukan, jika di hari bahagiaku—hari bahagia kita—nanti, kuingin hujan juga turun. Menebarkan rahmat dariNya untuk kita.” Rania tersenyum. Menyentuh punggung tangan lelaki yang usianya terpaut sepuluh tahun darinya. Lembut. Hanggada terdiam.

“Tapi, kamu tahu aku—“

“Hangga, kamu harus menyudahinya. Kalahkan rasa takutmu dengan menghadapinya. Kamu harus berusaha.”

Rania tahu, kekasihnya tidak menyukai hujan. Memiliki ketakutan terhadap hujan. Namun, yang Rania tidak tahu, sedalam apa rasa takut itu. Rania tidak tahu bahwa bagi Hanggada bagi Hanggada hujan adalah siksaan. Siksaan yang tak tertahankan. Namun, bagaimana cara ia menjelaskan hal itu pada Rania.

***

Hujan turun lagi. Sudah sejak tadi langit begitu gelap. Udara memberat. Sesak di dada Hanggada semakin kuat. Seiring keringat menitik satu persatu. Berlelehan di kening, leher dan sebagian besar tubuhnya yang terasa sedingin es.

Hanggada meringkuk di sudut kamarnya. Sedari tadi ia tiba di rumah. Sengaja bergegas agar tak terhalang hujan yang menurut perkiraannya akan turun dengan deras. Itu antisipasi. Ia ingin sudah berada di sini, di kamarnya yang aman saat jarum-jarum air yang rapuh itu—namun selalu menguakkan kenangan buruk di kepalanya—mulai meluruh.

Tangan Hanggada mengepal kuat saat kilat menyambar, diikuti gelegar petir beberapa saat kemudian. Rahangnya mengatup dengan gigi gemeletuk. Matanya terpejam. Diam tak bergerak. Ia dapat merasakan setiap butir peluh yang meluncur jatuh.

Cepat-cepat ia paksa pikirannya untuk mengingat hal-hal yang menyenangkan. Senyum manis Rania, kilau bintang di mata besarnya, tawa renyahnya, juga suaranya yang menenangkan. Namun saat gemuuruh petir kembali menggelegar, gambaran indah itu terkoyak. Ingatan di kepala Hanggada kembali meluncur ke masa terkelam yang pernah ia rasakan.

***

“Han, tunggu!” Hanggada menambah kecepatan ayunan kakinya untuk menyamai langkah-langkah panjang Hanila. Hanila menoleh sekilas, menampilkan raut wajah tak sabar.

“Cepat, Hangga!” Bocah berseragam putih biru itu berseru tanpa melambatkan laju langkahnya. Hanggada berlari kecil. Napasnya terengah.

“Aku lelah.”

“Makanya, kita harus berjalan lebih cepat agar segera tiba di rumah.”

Hanggada menggerutu. Sudah setengah perjalanan menuju rumah. Rasanya sudah lama sekali dia berjalaan, tetapi jarak yang harus ia tempuh masih saja terentang jauh.

Ia heran, kenapa tak ada satu pun angkot hari ini. Padahal biasanya, sederet angkutan umum yang jumlahnya belasan bergeming di pertigaan dekat lembaga pemasyarakatan tak jauh dari sekolahnya. Ngetem. Akan tetapi hari ini? Jangankan angkot, bahkan jalan terlihat begitu lengang tanpa hilir mudik kendaraan.

Setelah menempuh beberapa puluh menit lagi berjalan kaki, akhirnya Hanggada mendengar derum mesin kendaraan dari arah belakang. Angkot? Ternyata sebuah pick-up. Bak belakangnya sudah penuh dengan sosok-sosok berseragam putih abu-abu dan putih biru seperti dirinya.

“Ikut, Bang!” Hanila berteriak sambil mengacungkan sebelah tangannya. Truk itu berhenti tak jauh dari mereka. Hanila memberi isyarat pada Hanggada untuk naik. Hanggada malah menatap Hanila.

“Duduk di mana? Hanggada bertanya ragu.

“Alaaaa sudah… memangnya kamu mau terus jalan kaki? Rumah kita masih jauh. Ayo naik!” Hanila mendorong paksa saudara kembarnya itu ke arah belakang pick-up.

Di atas bak mobil itu, Hanila dan Hanggada berdiri berjejalan dengan yang lain. Hanggada diam mendengarkan para pelajar yang senasib dengannya itu ramai bertukar cerita, sambil merasakan pegal di kakinya. Berita yang ia tangkap simpang siur. Ada yang berkata, para sopir angkot melakukan aksi mogok. Ada juga yang mengatakan, kendaraan-kendaraan umum dicarter oleh orang-orang yang akan berdemo di pusat kota. Bukankah akhir-akhir ini memang sedang musim, orang-orang berdemostrasi? Entahlah. Hanggada tak bisa mencerna semua informasi yang singgah di pendengarannya, atau menghubungkan semua itu dengan karut marut kondisi negeri yang terpampang setiap hari melalui layar televisi.

Beberapa lama kemudian Hanggada merasa laju truk melambat. Ia yang sejak tadi menunduk sambil memijat-mijat kakinya segera mendongak. Mungkin kendaraan yang ditumpanginya ini sudah sampai ke tempat tujuan, pikirnya. Benar saja. Dia melihat mereka sudah sampai di perempatan tempat ia biasa berganti angkutan. 

Namun ada yang terlihat berbeda siang itu. Perempatan jalan yang biasanya cukup sepi kini begitu ramai. Orang-orang seperti tumpah dari trotoar, memenuhi ruas-ruas jalan. Mereka berjalan dengan pandangan tertuju ke satu arah. Hanggada mengikuti arah pandang orang-orang itu. Dia mendapati asap hitam membumbung tinggi di kejauhan. Menari-nari di ujung kobaran merah lidah api yang menjilat deretan ruko di sepanjang jalan.

“Han—”  

“Sepertinya ada kerusuhan.” Hanila menukas ucapan Hanggada yang belum lagi selesai. Ia berjalan menuju arah ruko-ruko yang terbakar. Hanggada segera menahan tangannya.

“Kita pulang saja. Ibu pasti sudah sangat cemas karena kita belum juga tiba di rumah.” Sesaat Hanila terlihat ingin membantah. Namun akhirnya ia mengangguk. Lalu mereka berdua menyeberang dan berjalan menuju arah rumah.

Sambil berjalan lagi-lagi mata Hanggada disuguhi pemandangan tak lazim. Orang-orang berbondong-bondong memasuki toko-toko yang berderet di sepanjang jalan. Membawa karung-karung kosong yang menggembung saat mereka ke luar.

“Lihat!” Hanila menunjuk seseorang yang mengangkut tumpukan kaleng berisi kue-kue dari sebuah toko. Orang yang ditunjuk, berambut gondrong dengan tangan penuh tato berjalan menghampiri mereka. Menyodorkan sekaleng kue pada Hanggada. Hanggada menggeleng ketakutan. 

“Ambil!” Lelaki itu memaksa. “Ini milik kita juga. Ayo, jangan sungkan. Ambil saja!” Mau tak mau Hanggada menerima kaleng kue itu. Memberikannya pada Hanila yang tersenyum lebar menerima.

“Buang saja.” Hanggada menepis tangan Hanila saat akan membuka kaleng itu.

“Kenapa?”

“Haram. Itukan hasil curian.” 

***

Hanggada mendongak. Menatap curahan air yang mengalir deras dari atap yang tak bertalang. Sekali lagi ia mengatupkan rahangnya kuat-kuat.

“Lawan, Hangga. Lawan. Kau harus bisa menguasai rasa takutmu. Ini hanya hujan,” gumam Hanggada. Kemudian dengan mata terpejam, Hanggada melangkah ke balik deras curah hujan yang bergemuruh.

Splash!

Curahan air dingin yang jatuh seperti menyeretnya ke bawah guyuran hujan malam itu. Bayangan akan kobaran api yang membumbung berkelebatan lagi dalam ingatan Hanggada. Api yang tak kunjung padam oleh guyuran hujan yang menderas. Api yang terus berkobar dalam ruang di kepalanya. Juga bayangan asap pekat yang membungkus sisa-sisa bangunan plaza yang hangus. Menebarkan bau sangit yang memuakkan. 

Hanggada menggigil. Tubuhnya luruh. Ia terpuruk, masih di bawah guyuran hujan dan kilat yang terlihat sambar menyambar.

***

Pssst! Hangga. Mau ikut?”

Kepala Hanila menyembul di balik pintu kamar. Sesekali menoleh ke arah di mana Bapak atau Ibu bisa saja muncul.

“Mau ke mana?” 

“Seperti yang tadi Agus bilang. Kita ke plaza seperti orang-orang itu.” Suara Hanila semakin berubah menjadi bisikkan.  

“Jangan! Ingat kata Bapak tadi. Kita tidak boleh ikut-ikutan. Sudah, tidak usah pergi, kalau Bapak tahu kamu bisa kena marah.”

Pssst … Makanya kamu jangan ribut, agar Bapak tidak tahu. Jadi kamu tidak mau ikut?”

“Tidak. Itu sama saja dengan mencuri, Han.”

“Ah, tapi kamu lihat, ‘kan, sedari sore tadi banyak orang yang melakukannya juga. Berkarung-karung yang mereka ambil dari plaza. Entah apa saja yang mereka angkut. Aku hanya ingin celana jeans dan kemeja polo yang kita lihat waktu itu.”

“Walaupun hanya sedikit tetap saja—”

“Ah, berisik kamu, Hangga. Sudah, kalau kamu tidak mau ikut. Biar aku saja. Awas nanti kalau kamu juga ingin kemeja itu.”

“Tidak akan.”

“Kita lihat saja. Eh, tapi jangan beri tahu Bapak ya.” Setelah berkata begitu, Hanila pergi. Entah bersama siapa saja. Hanggada tak terlalu memedulikan. Ia lebih peduli pada kipas di tangan, yang ia gunakan untuk mengusir hawa panas yang menyerang. Sejak sore langit mendung, tetapi hujan belum juga turun. Udara terasa berat dan lengket. Peluh Hanggada merembesi kaus yang dikenakannya.

Ia baru peduli setelah beberapa jam kemudian, Bapak masuk ke kamar dan menanyakan keberadaan Hanila. Awalnya, ia berkilah, mengatakan tak tahu di mana kakak kembarnya itu berada. Namun, saat melihat kecemasan di wajah Bapak hatinya merasa sangat bersalah. Apalagi saat dia mendengar Bapak berkata pelan.

“Katanya plaza terbakar. Mudah-mudahan Hanila tidak berpikir segila orang-orang itu, yang bolak-balik sibuk mengangkuti isi plaza ke rumah mereka.”

Sungguh saat itu Hanggada merasa dadanya seketika sesak. Dilemparnya kipas di tangan. Bergegas ia beranjak, berlari melesat menuju ke arah plaza. Tak dihiraukannya teriakan Bapak yang parau memanggil namanya. Juga tak dihiraukannya rintik gerimis yang mulai menetes satu-satu.

***

“Hanila!”

Hanggada merintih. Masih terpuruk di bawah curahan hujan yang menderas. Ia menggigil. Sama seperti malam itu. Saat matanya memburam menatap plaza yang hangus terbakar menyisakan puing-puing penuh jelaga. Menatap sisa jejak kobaran api yang telah melahap habis plaza, sambil berteriak-teriak seperti gila memanggil nama Hanila yang terperangkap di dalam sana. Menatap tirai hujan yang akhirnya turun dan menciptakan asap tebal saat bersentuhan dengan sisa-sisa bara. Bapak yang mengejar Hanggada, susah payah menahan saat anak itu kalap ingin menerobos masuk ke dalam plaza

Pagi harinya, hujan belum juga berhenti. Terus saja turun dalam rinai yang berkepanjangan. Menjadi saksi saat tim evakuasi mulai menyisir sisa-sisa bangunan dan mengeluarkan tubuh-tubuh yang menghitam.

Hanggada tak ingin beranjak walau Bapak menyuruhnya pulang. Ia menyaksikan saat satu demi satu korban plaza yang terbakar itu dijajarkan di satu tempat di pelataran plaza yang luas. Semua nyaris tak dapat dikenali. Namun tubuhnya meluruh saat satu korban diusung ke luar. Itu Hanila. Ya, Hanggada masih dapat mengenali, karena sebagian besar tubuhnya selamat dari jilatan api. Menyisakann beberapa lepuhan di sana-sini.

Seingatnya, setelah itu dia merasa dunianya seolah berputar. Bumi yang dipijaknya seperti mendadak lenyap dan ia bagaikan terperosok ke satu lubang gelap tanpa dasar. Menukik cepat menuju kehampaan. Sama seperti yang ia rasakan saat ini. Saat ia kembali terpuruk dibawah deras hujan dan tersungkur gemetar. Ia gagal lagi. Baginya, hujan masih saja serupa siksaan yang sulit ia tepis.

***

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar