Cahaya matahari yang menerobos masuk dari jendela yang tepat berada di belakangku menghangatkan punggungku. Terasa nyaman seperti sedang memijat-mijatku dengan ringan, membuatku betah berlama-lama duduk di balik meja kerja ini sambil membaca buku harian yang tak pernah lupa kutulis setiap harinya. Buku harian yang sengaja kusimpan rapi dalam laci mejaku agar nantinya dapat dibaca anakku, Sania, yang saat ini sedang kuliah di luar kota.
“Bu, lihat, rambutku sudah panjang, nih.” Mendadak suara lembut dari seseorang yang kukenal terdengar memecah keheningan. “Katanya, hari ini mamaku mau datang. Pasti mama mau mengepang rambutku supaya aku kelihatan lebih cantik.” Si gadis belia seumuran anakku perlahan menampakkan seluruh tubuhnya dari balik pintu ruang kerjaku yang setengah terbuka. Ia tertawa kecil sambil mengelus-elus kepalanya yang dipenuhi rambut panjang berwarna hitam pekat, juga sedikit bergelombang. Dari kejauhan dapat kucium aroma vanila dari rambutnya yang masih agak basah, “Ahhh, dia pasti kemari untuk pamer, menunjukkan dirinya telah selesai mandi tanpa perlu disuruh dan bisa segera sarapan.” Pikirku spontan sambil beranjak dari kursi dan perlahan berjalan keluar dari ruang kerja ini.
“Iya. Nanti ibu mau bertemu sama mamamu juga, ya. Tapi sekarang kita sarapan dulu, yuk!” Ajakku sembari menarik tangannya yang gemulai, mengajaknya ke kantin yang berada di gedung terpisah walaupun masih berseberangan, tak jauh dari ruang kerja ini. Kantin yang harus ditempuh dengan menyusuri lorong panjang dengan kanan-kirinya berupa taman minimalis yang dipenuhi pot-pot tanaman. Pot tanamannya kebanyakan ditumbuhi bunga berwarna ungu, entah bunga apa. Bunga yang menurutku tidak terlalu harum, seperti pajangan saja. Kemudian tepat di belakang taman terdapat beberapa ruangan yang sengaja dibangun secara berderet. Pintu dan jendelanya lengkap dipasangkan teralis.
Kuintip ruangan demi ruangannya sembari melangkah ke arah kantin dengan menggandeng Ribka, nama gadis dengan rambut panjang beraroma vanila, yang seumuran dengan anakku itu. Isi setiap ruangannya sangat mudah kuingat ritual setiap harinya. Mulai dari pria paruh baya yang biasanya masih tidur pulas di ranjangnya yang sempit. Kemungkinan ia masih dalam pengaruh obat tidur karena terjaga semalaman penuh, memikirkan suatu hal yang terus-terusan menggerogoti pikirannya, menyita waktunya.
Lalu ada pria berambut gimbal yang berdiri tegak sambil sibuk berteriak tak beraturan, anggap saja seperti sedang bernyanyi tanpa nada yang pasti. Ada pula pria malang yang matanya terlihat agak kemerahan seperti telah berhari-hari menahan kantuk. Tatapannya kosong. Kedua tangannya terikat erat sambil disuapi sarapan oleh petugas berbaju putih yang duduk persis di sebelahnya, di ranjang berukuran standar yang seprainya tampak kusut. Kedua orang tersebut masih dikawal lagi oleh petugas lainnya yang berbadan lebih kekar, mungkin khawatir jika pria yang disuapi itu mendadak mengamuk. Ia berdiri tepat di samping ranjang, memandang pria malang tersebut dengan tatapan lelah dan penuh iba. Sesekali ia menolehkan wajahnya ke arah luar ruangan menikmati embusan angin yang terkadang silir-semilir menyapa.
Setelah beberapa ayunan langkah kaki akhirnya kuputuskan untuk tidak melihat ke bagian dalam empat ruangan lainnya, memilih menikmati keindahan taman penuh pot tanaman bunga berwarna ungu yang masih tampak basah oleh sisa-sisa embun segar dan mulai mengering disinari matahari pagi. Sebenarnya aku selalu merasa was-was jika berada di lokasi ini, rumah sakit jiwa di daerah Jakarta Timur, tempatku bekerja sebagai salah seorang psikolog klinis yang kebetulan ditugaskan bersama para dokter psikiater, anggap saja penyeliaku, demi meningkatkan pengalaman profesiku.
Setiap kali harus melewati lorong-lorong suram di setiap gedung, benakku berputar-putar seolah-olah membisikanku kalimat jahat, “Awas, nanti teralisnya terlepas atau pintunya lupa terkunci, orang-orang yang mengalami gangguan mental akut di dalam ruangan-ruangan itu pasti akan menerkammu, mencoba menyakitimu!” Kegusaranku terus menuangkan pikiran-pikiran konyol, benar-benar memburu ketakutanku.
Untunglah aku dapat segera tersadar dari kalimat-kalimat buruk yang selalu menghantuiku itu ketika akhirnya kantin mulai terlihat. Aroma masakan lezat dapat kuhirup dari jendela kantin yang sengaja dibiarkan terbuka lebar. Memikat para pasien agar segera mendatangi kantin, mengisi perut kosong mereka masing-masing. Selain nasi atau lontong, aneka sayuran serta lauk pauk menghiasi meja dapur di sudut ruangan, tak lupa air minumannya.
Tempat makan, sendok, dan garpu yang tersedia sengaja dipilih dari bahan-bahan yang tidak menimbulkan bahaya bagi para penggunanya terutama bagi pasien yang suka menyakiti dirinya sendiri. Semuanya tampak rapi dan bersih, diletakkan secara berderet di ujung meja dapur layaknya yang terlihat di tempat makan prasmanan. Ada yang mengambil menu makanan dan minumannya sendiri seperti aku dan Ribka saat ini, ada juga yang langsung disediakan orang para petugas kantin kepada pasien yang memang kesulitan mengantri demi kenyamanan bersama.
Setelah nampanku terisi makanan dan minuman yang kupilih, lontong sayur serta air mineral hangat dan susu jahe, aku lantas mencari meja makan terdekat sambil melihat sekelilingku. Beberapa pasien dengan gangguan jiwa yang berbeda-beda telah memenuhi meja-meja di depanku. Rata-rata pasien di sini memang mengalami gangguan mental yang cukup berat dan memerlukan bantuan khusus hingga tak memungkinkan jika hanya dirawat di rumah. Depresi, sering berhalusinasi, stres, trauma, dan banyak hal negatif lain yang sebenarnya cukup signifikan terjadi kepada setiap individu apalagi di zaman yang serba canggih ini, zaman yang penuh tekanan, baik itu tekanan lahir maupun batin.
“Hanya orang-orang yang kuat iman dan tahan banting yang bisa bertahan.” Kalimat yang sering terlontar dari mulut para psikiater di sini setelah bertemu dengan keluarga-keluarga pasien. Pasien yang sampai harus ditempatkan di sini memang bertujuan untuk diobati, lebih tepatnya mencegahnya mengalami kondisi yang lebih buruk, merasa gagal, atau bahkan berniat bunuh diri. Tapi tak sedikit pula dari mereka yang dibuang oleh keluarganya, karena tak pernah sekalipun terlihat dikunjungi oleh keluarganya. Biasanya mereka ditelantarkan atau dibiarkan berobat secara cuma-cuma di sini, mengandalkan bantuan dari pemerintah, mungkin akibat tidak adanya biaya yang memadai.
Tak lama kemudian Ribka mendatangiku, duduk tepat di sebelahku membawa nampan berisi bubur ayam yang bisa kutebak tanpa kacang kedelai karena sebelumnya ia mengatakan memang tak suka kacang-kacangan. Diletakkan pula secangkir teh manis hangat ke meja makan ini yang asapnya masih agak mengepul. Ngomong-ngomong, Ribka adalah salah satu dari beberapa pasien lainnya yang hanya mengalami gangguan mental ringan.
Biasanya ia cukup diantar jemput oleh keluarganya tanpa perlu menginap di sini. Tapi beberapa hari terakhir, ia sempat diharuskan menginap karena mengalami kondisi gawat. Sebelumnya Ribka pernah mengalami gangguan depresi mayor dan meminum sejumlah obat. Ia dinyatakan terlalu tertekan sehingga mengakibatkan sebagian besar fungsi otaknya berubah. Penyebabnya karena selama ini keinginannya menjadi artis, cita-cita semasa kecil, selalu ditentang orang tuanya. Mereka malah tak henti memaksanya untuk mengikuti segala program pendidikan, menuntutnya agar bisa menjadi seorang dokter spesialis tertentu, bedah mungkin.
Minat yang sangat berbanding terbalik itulah yang menyebabkan Ribka sempat mengalami depresi berat. Kehilangan jati diri, perdebatan emosi yang timbul dan tenggelam, tak luput pula dengan fisiknya yang mulai rapuh. Semuanya karena ia terlalu stress dipaksa belajar dari pagi hingga malam dengan tujuan menyibukkan diri demi melupakan impiannya menjadi seorang artis. Ia lantas memutuskan bunuh diri. Awalnya aku tak percaya, tapi ternyata bisa dilihat dari pergelangan tangannya yang terdapat luka sayatan akibat benda tajam, sebuah pisau utilitas, cutter sebutan gampangnya.
Akhirnya aku berhasil menyelesaikan menu sarapanku setelah mendengarkan cerita-cerita Ribka yang tak berhenti mengalir. Ia pasien favoritku. Mungkin karena masalah yang dialaminya sebatas masalah keluarga. Orang tua yang tidak memberikan kebebasan kepada anaknya dalam beraktivitas, membiarkannya memilih cita-cita sesuai minat dan bakat. Akibatnya, ia tak cukup dekat dengan ayah maupun mamanya karena menganggapnya seperti sebuah beban, terlalu banyak paksaan jika terlalu dekat dengan mereka yang mungkin dapat merusak suasana hatinya.
Berbeda dengan saat ini, ia tampak berseri-seri mencurahkan isi hatinya kepadaku layaknya sedang berbicara dengan mamanya sendiri. Ia cukup santai dan menikmati menjelaskan bagaimana ia sangat senang berada di suatu panggung, berusaha bergaya sekedar memberikan hiburan menarik, atau bagaimana ia mulai menjaga penampilan agar telihat cantik dan berseri alami sehingga dipercaya menjadi salah satu faktor utama untuk dapat membawanya lolos audisi yang nantinya ingin didatangi.
Syukurnya percobaan bunuh dirinya tempo lalu dinyatakan gagal karena nyawa Ribka berhasil diselamatkan pada hari itu juga. Konon kudengar ia tak terlalu banyak kehilangan darah. Sayatan cutter pada pergelangan tangannya tidak terlalu dalam, hanya meninggalkan bekas luka sepanjang 2-3 sentimeter yang masih tampak jelas di kulitnya yang kuning langsat. Tentu saja masih meninggalkan pengalaman yang tak mengenakkan jika terlalu lama memandangnya. Sejak kejadian itu, orang tuanya perlahan memberikan kelonggaran dalam mengatur kualitas anaknya. Bahkan tidak hanya sekali dua kali saja kulihat mamanya yang kebetulan datang menjenguk mulai mau mendandani anaknya yang memang sangat cantik, memberikan sinyal setuju jika Ribka kelak boleh menjadi artis.
Ya, Ribka pantas mengejar cita-citanya itu. Pancaran wajahnya lebih berbinar ketika sedang menceritakan hal-hal yang berkaitan dengan dunia hiburan, keartisan. Contohnya saja seperti hari ini sesuai dengan apa yang ia katakan bahwa mamanya akan datang dan ingin mempercantik rambutnya yang beraroma vanila dan mulai mengering alami tertiup angin. Ribka yang mendadak ingat bahwa mamanya akan datang lantas segera mengajakku meninggalkan kantin, kembali menuju ruang kerjaku. Aaah, sejujurnya keberadaan Ribka di sini membuatku semakin rindu dengan anakku yang belum pernah kulihat lagi semenjak ia berhasil diterima kuliah di luar kota tepatnya di Surabaya. Rasanya aku ingin segera mengunjunginya. Sayangnya kesibukanku di tempat ini terasa membelengguku.
Raungan pasien yang menggila dan terdengar bervariasi terutama ketika mendekati senja membuatku harus tinggal lebih lama lagi di sini. Jeritan, tangisan, maupun tawa cekikikan setiap harinya terkadang membuatku terpuruk dan ingin melarikan diri dari tempat ini. Ribka satu-satunya kekuatanku, keberadaannya mampu mengatasi kehampaanku. Ia sudah kuanggap seperti anakku sendiri. Untunglah ia tak segan menemaniku berlama-lama di ruang kerja sembari menunggu orang tuanya datang menjemput.
Selang beberapa menit menyusuri lorong panjang dari kantin menuju ruang kerjaku, dari kejauhan tampak ada dua orang berjalan menuju ke arah kami. Ribka yang mulai menyadari lantas segera memanggil keras, “Mamaaaaaa....”
Mamanya Ribka, yang postur tubuhnya hampir menyerupai anaknya yang tinggi dan kurus rupanya sudah datang menjenguk, atau bisa juga menjemputnya untuk pulang. Awalnya, kupikir seorang lagi yang berjalan tepat di sebelah mamanya adalah salah satu petugas rumas sakit jiwa ini, tapi ternyata ibuku, neneknya Sania. “Wahhhh, tumben aku kedatangan tamu sepagi ini. Mungkin ingin memberitahu sebuah kabar bahagia.” Begitu benakku berharap sambil menerka-nerka apakah mungkin anakku sekarang berada di sini, bersembunyi dibalik salah satu dinding menuju lorong yang mulai agak terang karena disinari matahari yang mulai meninggi, bersiap mengejutkanku yang terlanjur kangen berat padanya.
“Mamaaaaaa, aku sudah boleh pulang? Mama mau mengepang rambutku sekarang? Rambutku sudah wangi, loh! Aroma sampo baru, vanila.” Mata Ribka terbuka lebar sambil terus berucap, antusias sekali menyambut kedatangan mamanya.
“Iya, sini mama kepang rambutmu, lalu kita pulang, ya.” Akhirnya kalimat yang ditunggu-tunggu oleh Ribka menjadi kenyataan.
“Kami pulang duluan, Bu. Semoga semua berjalan baik-baik saja.” Lanjut mamanya Ribka berbicara kepada ibuku dan langsung memalingkan wajahnya ke arahku, tersenyum tulus dan penuh harapan, menepuk pelan pundakku yang agak kaku.
Tangan Ribka mulai terlihat menggeliat manja ke lengan mamanya. Mereka perlahan berjalan menjauh setelah berpamitan denganku dan juga ibuku. “Kapan-kapan aku akan mengunjungi ibu lagi, ya.” Ungkap Ribka ramah sembari melambaikan tangan gemulainya hingga sosoknya dan juga mamanya tak terlihat lagi, sama-sama keluar dari pintu utama rumah sakit jiwa ini.
“Ibu, tumben pagi-pagi sudah datang. Yuk, masuk ruang kerjaku saja.” Akhirnya aku memulai percakapan kepada ibuku yang terlalu lama berdiri. “Ibu sendirian?” Tambahku.
“Iya, sekalian mau bertemu dengan psikiater sini.” Langkah kakinya terasa berat. Mata ibu memerah dipenuhi cairan yang tertahan keluar.
“Keperluannya apa, Bu? Apa Sania tak ikut datang kemari? Masih di Surabaya?” Pertanyaan demi pertanyaan kulayangkan ke ibuku karena terlalu penasaran.
“Sania tidak akan datang, Nak.” Air mata ibu tiba-tiba menetes, semakin mengalir deras.
“Ada apa, Bu?” Aku mulai kebingungan melihatnya, hingga akhirnya datang seorang petugas menghampiri ibuku ke dalam ruang kerjaku.
“Bu, silahkan ke ruangan di gedung seberang saja, ya. Mari saya antar.” Petugas itu merangkul pundak ibuku sambil mengajaknya pergi dari ruangan ini. Ibu masih saja tak berhenti meneteskan air matanya, tak sekalipun melihat ke arahku.
“Pak petugas, tolong jaga ibu saya dulu, ya. Nanti saya menyusul sebentar lagi.” Pesanku segera setelah melihatnya siap mengantar ibuku. “Bu, nanti kita bicara lagi, ya. Aku kangen sama Sania.” Aku mengutarakannya kepada neneknya Sania yang masih dalam keadaan pilu. Ia masih berlinang air mata dan tetap tak menoleh ke arahku, berjalan menunduk ke arah berlawanan sambil memunggungiku hingga pintu ruang kerjaku ini mulai tertutup rapat. Aku masih bisa melihat ibuku diarahkan oleh petugas tadi berjalan ke arah gedung lainnya dari balik jendela. Mereka menuju tempat para psikolog dan psikiater lainnya, “Mungkin ibu sekalian ingin berkonsultasi.” Pikirku.
Udara panas mulai mengembus seiring dengan bertambahnya dentingan jarum jam. “Bagaimana ini, Pak. Sampai kapan anak saya harus seperti ini. Bagaimana menyadarkannyaaaa?!” Teriak neneknya Sania terisak-isak, sekali dua kali menyeka tangisannya yang tak kunjung berhenti dengan tangannya yang gemetar.
“Kami sedang berusaha, Bu. Anak ibu telah mengalami depresi dan shock berat. Ia telah melihat suatu hal yang sama sekali tak pernah diharapkannya. Anak tercintanya, cucu ibu, almarhum Sania, telah ditusuk tepat di depan matanya oleh suaminya sendiri. Ayah tirinya kepergok berusaha mengambil kehormatannya. Kejadian ini bisa mengakibatkan trauma yang tidak sebentar.” Jelas salah satu psikiater yang kebetulan hari ini sedang bertugas menangani pasien-pasien di rumah sakit jiwa ini.
“Tak hanya itu, Bu. Peristiwa tersebut semakin diperparah karena suaminya tak hanya menusuk Sania yang ternyata meninggal saat itu juga, melainkan turut berusaha menusuk istrinya ini. Beruntung sekali, anak ibu berhasil selamat setelah cukup lama koma di rumah sakit, berjuang untuk tetap hidup setelah ditikam dengan enam tusukan di badannya.” Psikiater menjelaskan kronologis alasan pasiennya mengalami gangguan kejiwaan seperti sekarang.
“Memang, sesaat setelah ia siuman, kami mendapatinya kehilangan kesadaran yang begitu menguncang. Ia mengalami gangguan psikologis, Bu. Ia mengalami stres pasca-trauma. Kami harap dengan berada di sini akan memulihkan kesadarannya, mengatasi segala gangguan yang dideritanya, hingga ia mau menerima kenyataan yang mungkin saja akan lebih terasa sangat menyiksa.
Kami berusaha agar ketika ia berangsur sadar, ia tetap tegar dan tak menyalahkan dirinya sendiri atas kepergian Sania karena telah menghadirkan seorang ayah tiri yang merenggut kebahagiaannnya itu, Bu.” Jawab psikiater itu terus terang kepada nenek Sania yang tergolek lemas di sofa yang sama sekali tak membuatnya nyaman. Hatinya terlanjur hancur melihat anak kandungnya berada di tempat seperti ini, tempat orang-orang yang mengalami gangguan sakit jiwa. Serta menantu biadabnya yang selalu dikutuknya agar tetap berada di penjara sepanjang hidupnya.
Pintu ruang kerjanya mendadak terbuka. Ternyata ada seorang petugas berpakaian berwarna putih yang masuk ke dalam ruangan sambil mempersilakan masuk seorang pasiennya yang lanjut berkata, “Pak, saya mau menyerahkan buku harian saya yang terbaru. Saya sudah menuliskan kegiatan sehari-hari saya untuk dibaca Sania nanti sebagai salah satu tugas untuk meningkatkan profesi saya.
Apakah saya sudah lulus bertugas di sini? Apa saya sudah boleh pulang? Saya kangen sekali sama Sania. Lihat, neneknya Sania malah sudah datang menjemput.” Kataku memelas sambil tersenyum penuh pengharapan tak menyadari keheningan yang menusuk sanubari di dalam ruangan ini. Neneknya Sania malah semakin menangis tak karuan.
***