Lama Yul terpaku. Matanya yang bulat menatap lekat gaun di depannya. Gaun baru milik Nyonya Muda. Gaun itu bermotif kotak-kotak berpadu warna hijau dan biru hingga sulit membedakan apakah biru atau hijau. Bermodel rok payung dengan pinggang ramping. Tiga kancing besar menghias bagian depan lalu ada sabuk berwarna tosca di pinggang. Terbuat dari katun yang halus dan adem. Aromanya wangi.
Yul tahu hatinya yang berdebar lebih kencang menyatakan ketertarikan. Rumah sepi, tapi Yul tahu tak pantas jika ia mencobanya, maka di depan cermin ia menempelkan gaun itu di tubuhnya. Hanya menempelkan tidak memakainya. Berputar mematut diri. Yul tersenyum.
Gaun pas dengan tubuhnya. Rok lebar menjuntai tepat di bawah mata kaki. Yul berjinjit, teringat pada selop bekas setinggi delapan senti pemberian Nona Muda, memadukanya ia pasti akan terlihat anggun.
Dibelainya pinggang gaun yang ramping menawan hati. Yul tahu ukuran tubuh Nyonya Muda sepadan dengannya. Beberapa gaun yang Nyonya Muda sudah bosan memakainya sering diberikan pada Yul. Semuanya pas, tapi lebaran ini Yul ingin punya gaun baru- gaun yang dibeli dari uang gajinya, bukan gaun bekas yang selama ini selalu dipakainya.
Yul tertawa kecil membayangkan Saniah tetangganya yang usil mencibir iri dan pujian Mbok Jirah sesama asisten rumah tangga di rumah ini. “Wah, Yul kamu seperti orang gedongan ….”
Dimanakah Nyonya Muda membeli gaun ini? Pantaskah Yul bertanya? Ah, kenapa tidak kucari saja sendiri, pikir Yul yakin. Hari minggu ini usai pulang kerja, Yul berharap Yon, suaminya tak keberatan menemani.
*****
Yon, sudah bosan menunggu tapi ia enggan masuk. Yul sudah terlalu lama di toko yang khusus menjual aneka gaun itu.
“Perempuan dan baju sering lupa diri,” kata Dim si tukang parkir.
“Mungkin Yul sedang terkagum-kagum,” kata Dim lagi.
“Atau Yul sedang sibuk menghitung uang di kamar pas. Baju-baju di toko itu kan mahal. Yang masuk mereka yang bermobil dengan dompet tebal. Selembar baju harganya sebanding dengan makan kita sebulan …” Dim terkikik geli.
Yon diam tak menanggapi candaan Dim. Hatinya sedang tak mampu bercanda meski sore ini sore yang cerah.
Baik Yon maupun Yul hanya tahu hari-hari mereka lalui untuk bekerja dan bekerja. Yon bekerja sebagai petugas dinas kebersihan kota, yang bertugas merapikan taman kota sedangkan Yul sebagai asisten rumah tangga.
Mereka tidak mengenal toko-toko pakaian kecuali toko bahan makanan berharga hemat dan pasar. Dim si tukang parkir jelas lebih tahu karena sahabat Yon sejak SD itu memang mangkal di jajaran ruko yang menjual baju-baju bermerk.
Toko yang dimasuki Yul adalah toko kelima dan terlihat paling mewah. Yon jadi cemas kalau-kalau Yul diusir karena dianggap tidak pantas masuk. Tapi jika diminta pergi secara baik-baik pun seharusnya sejak tadi bukan membiarkannya terus di dalam.
Atau mungkin petugas toko terlalu sibuk melayani konsumen lain hingga tak memperhatikan Yul, karena dikira pengasuh anak yang dibawa seorang konsumen.
Atau mungkin petugas toko hanya bisa berharap Yul sadar diri dan menyingkir dengan sendirinya, karena mengusir seseorang baik dengan cara halus bisa-bisa tertangkap kamera seseorang lalu dengan cepat menyebar ke seantero dunia dan reputasi toko akan jadi taruhannya, bahkan yang lebih penting bisa-bisa si petugas toko dipecat gara-gara itu. Konsumen adalah raja, tak peduli jika si konsumen kucel tak berduit.
“Sebaiknya kamu masuk,” kata Dim. “Kasihan Yul, mungkin dia mau keluar tapi malu.”
Tanpa Dim ngomong, itu juga yang mengisi benak Yon tapi herannya ia enggan. Yon memilih tetap duduk di motor buntutnya. Mungkin ini bisa jadi pelajaran berharga buat Yul yang ngotot ingin membeli gaun serupa milik Nyonya Muda.
Sudah berkali Yon bilang, agar Yul tidak memaksakan diri membeli. Ada banyak gaun di lemari meski semua gaun bekas. Gaun-gaun itu masih bagus dan jauh dari lusuh. Tapi Yul malah menanggapinya dengan merengut. Pagi ini, Yul bahkan membuatkan teh hambar sebagai bentuk protesnya.
*****
Rumah besar tempat Yul bekerja dihuni oleh 4 orang dewasa dan 2 remaja. Nyonya Besar, Nyonya Muda, Tuan Muda (suami Nyonya Muda, menantu Nyonya Besar), dan Nona Muda (anak bungsu Nyonya Besar) adalah 4 orang dewasa. Sedangkan dua remaja adalah anak Nyonya Muda.
Yul paling banyak berinteraksi dengan Nyonya besar karena memang rumah besar adalah miliknya. Yul jarang bertemu dengan Nyonya Muda meski 70% gajinya berasal darinya. Jika begitu orang mungkin bertanya mengapa Nyonya Muda yang punya kemampuan ekonomi cukup tidak tinggal di rumah sendiri. Ya, karena Nyonya Besar sudah tua, membutuhkan teman, karena Nona Muda yang belum menikah sering berpergian.
Hari ini Yul bertanya pada Nyonya Besar di manakah ia bisa mendapatkan gaun serupa milik Nyonya Muda. Yul bercerita kemarin bersama Yon menyisir 5 ruko tempat jajaran toko-toko gaun di pusat kota.
Yul juga bercerita ia masuk ke toko kelima yang paling mewah dan menemukan gaun yang nyaris sama. Yul bilang ia begitu bersemangat, ia mencoba dan mengagumi dirinya di cermin. Tapi kemudian tertegun dengan harga yang tercantum, genap dengan satu kali gajinya.
Nyonya Besar bilang memang toko yang kelima itu adalah toko langganan kedua anak perempuannya. Tapi untuk gaun yang Yul suka, Nyonya Muda tidak membelinya di situ. Ia membeli dengan pesanan khusus secara online. Hanya dibuat jika dipesan.
Yul tidak paham membeli secara online itu maksudnya apa tapi jelas ia tak mampu melawan hasrat untuk memiliki gaun serupa.
Memberanikan diri, Yul meminta bantuan Nyonya Besar agar Nyonya Muda memesankan gaun serupa. Nyonya Besar mengingatkan Yul, bahwa harga gaun itu setara dengan gaji Yul sebulan. Dengan mantap Yul mengiyakan. Ia benar-benar menginginkan dan bertekad memakai gaun baru lebaran ini, jadi tak apa lah jika gaji sebulan habis.
*****
Kaleng bekas, begitulah Yul kecil mendapatkan julukan dari teman-temannya termasuk Saniah. Ayah Yul adalah seorang pemulung dan ibunya seorang tukang cuci, semua barang di rumah mereka adalah barang bekas.
“Kalau yang bekas masih bisa dipakai kenapa harus membeli yang baru?” kata ayah Yul setiap kali ia protes.
Setelah menikah keadaan tetap sama. Korden di ruang tamu adalah bekas korden di kamar Nyonya Besar. Piring dan gelas juga. Ada kalanya makanan di rumahnya juga sisa dari rumah Nyonya Besar yang memang diberikan pada Yul dan Mbok Jirah karena masih layak makan dan jumlahnya berlebih. Motor buntut Yon juga bekas milik Dim. Gratis, karena Dim yang meski hanya tukang parkir begitu rajin menabung hingga bisa membeli motor baru.
“Siapa yang mau beli motorku daripada mangkrak di rumah lebih baik kau yang pakai. Kau kan sahabatku, apa salahnya berbagi dengan sahabat,” jawab Dim ketika Yon bertanya kenapa gratis.
Yul tersenyum miris bahkan celana dalamnya juga bekas milik Nona Muda yang ditemukannya di antara tumpukan sampah. Yul ingat pertama kali menemukannya saat baru dua bulan bekerja di rumah besar.
Ia sedang memilah sampah lalu menemukan ada sesuatu yang dibungkus rapi dengan koran lalu dimasukkan ke dalam kantong plastik 1 kiloan. Yul yang penasaran membukanya dan menemukan dua lembar celana dalam masih bagus, karetnya masih kencang hanya warnanya saja yang pudar tapi baginya masih cukup cemerlang.
Yul tahu itu milik Nona Muda karena ia yang menjemurnya. Celana dalam dibuang dalam keadaan bersih bukan bernoda bekas pakai. Selanjutnya Yul tahu sudah kebiasaan Nona Muda membuang celana dalam bekas dengan cara itu, entah apa maksudnya.
Yul merenung. Sepuluh hari lagi lebaran dan belum ada kabar tentang gaun yang dipesannya. Ingin bertanya langsung dengan Nyonya Muda, Yul takut pada raut wajah Nyonya Muda yang selalu serius tak pernah cerah karena menjelang lebaran begitu sibuk menyiapkan open house. Mau bertanya pada Nyonya Besar, Yul merasa tak enak hati, jangan-jangan malah kena semprot. Apa yang harus dilakukannya? Gaun itu betul-betul menjerat hasratnya.
*****
“Ibu sudah gila …!” ujar Sam anak tunggal Yul dan Yon kesal. Ia tak suka melihat ibunya menari dan berputar-putar seperti Melati temannya yang centil.
Tapi Yul tak peduli, ia terus berputar dan menari, mengibaskan rok lebar gaunnya dengan gembira. Wajah Yul sumringah. Ia tak berhenti tersenyum. Bersiul. Tertawa. Gaun ini benar-benar membuatnya bahagia. Ia berputar, berputar, terus berputar lalu bruk …! Yul terjerembab dalam kumbangan kotoran sapi. Lalu sreett … gaunnya tersangkut ranting tajam. Wajah Yul langsung pias. Gaunnya robek sepanjang kaki. Yul menangis pilu.
… dan Yul terbangun dalam termangu …
Mimpi itu terasa begitu nyata. Keringat dingin membajiri tulang punggung Yul. Dilihatnya Yon yang terlelap mendengkur lirih. Jam dinding menunjukkan pukul 12 malam.
Siang tadi Nyonya Besar memberinya gaji dan THR, utuh tidak ada potongan sama sekali. Yul bahkan mendapat tambahan 500 ribu untuk membeli baju lebaran meski Mbok Jirah juga mendapatkan hal yang sama. Nyonya Besar tidak menyinggung sama sekali soal gaun pesanan Yul, dan Yul pun paham meski kecewa.
Yul tercenung, ia bangkit dari tempat tidur, membuka lemari pakaian. Jajaran gaun bekas milik Nyonya Muda satu persatu disentuhnya. Benar kata Yon, meski bekas gaun-gaun itu masih bagus dan cemerlang. Diliriknya Yon yang tetap terlelap.
“Sudahlah tak usah kau pikirkan gaun itu,” kata Yon tadi sore. “Nyonya Besar memberimu uang untuk beli baju lebaran, ya sudah kalau kamu mau beli baju baru pakai saja semua uang itu.”
"Tak perlu gaun mahal yang penting di lebaran ini kamu mau gaun baru bukan bekas tercapai," lanjut Yon.
Dengan standar hidupnya, Yul tahu ia bisa membeli 3 gaun baru dari uang itu, meski tentu saja dengan mutu bahan yang sangat jauh di bawah dari gaun-gaun bekas Nyonya Muda.
Yul menghela napas. Semua keputusan ada di tangannya. Gajinya utuh. Dapat THR satu bulan gaji plus dapat bonus 500 ribu.
Jika ingin tetap membeli gaun itu bisa saja ia membeli di toko gaun yang pernah ia kunjungi. Meski tak sama persis. Tapi untuk apa? Sebuah pengakuan dan pujian terutama dari Saniah? Bahwa ia bukan si kaleng bekas. Ia mampu beli gaun berkelas. Gaun bermerk. Tidakkah lebih penting uang THR dan bonus ditabung. Usai lebaran hidup terus berlanjut. Dan Sam tahun ini akan masuk SMP.
Bagaimana meski sudah membeli gaun itu, Saniah tak percaya? Tetap mengoloknya. Pentingkah ia tunjukan nota pembeliannya sebagai bukti?
Lalu bagaimana kalau mimpinya jadi nyata? Gaunnya rusak dalam sehari. Bukan mendapat pujian dan berhasil membuat Saniah iri, ia justru ditertawakan. Di luar seekor anjing melolong tinggi memecah sunyi malam. Yul menarik rapat selimut. Tubuhnya menggigil begitu pun jiwanya.(dks)