Disukai
1
Dilihat
5,098
Gabriella
Drama

Seorang pria paruh baya menjajakan kakinya menuju dapur. Alih-alih ingin mengambil segelas air minum, dia malah disuguhkan dengan sepiring nasi goreng yang masih utuh. Belum tersentuh sama sekali.

Matanya menyorot tajam memandang nasi goreng di depannya. Raut wajahnya begitu menyeramkan, layaknya harimau yang siap menerkam.

Anak itu ...

“Gabriella!” Cukup dengan satu panggilan, seorang gadis mungil dengan rambut panjang tergerai dan kulit pucat datang menghampiri sang ayah, kepalanya menunduk. 

Prang ...

Pria itu menghempaskan piring berisi nasi goreng dari meja makan. Pecahan kaca dan butir-butir nasi saling berserakan di lantai. 

Gadis yang tadi dipanggil Gabriella itu menunduk semakin dalam. Matanya memanas dan mulai berkaca-kaca. Tanpa sadar kaki kananya terkena serpihan kaca yang kini sudah berserakan. 

“Sudah berapa kali Papa bilang. Kalau dikasih makan itu dimakan!” Satu tamparan hampir melayangkan tangannya kepipinya Gabriella, tetapi jarak 2 cm, ia mengurungkan niatnya dan langsung mengepalkan tangannya dengan erat. 

Gadis itu mengeluarkan buliran air dari matanya. Dia sudah terbiasa dengan perlakuan David—Papanya, selama ini. Sejak 2 tahun lalu ibunya berselingkuh dan memutuskan meninggalkannya dan David, tepatnya saat Gabriella masih berusia 15 tahun. David selalu memarahi Gabriella. Tapi tak pernah sekalipun Gabriella menerima kekerasan fisik dari Papanya. Saat sedang kesal dengan Gabriella David lebih melempar barang-barang yang ada di sekitarnya dan membuat suasana menjadi berantakan. 

Secara tidak sengaja, David telah menjadikan Gabriella sebagai bahan pelampiasan atas semua rasa sakit yang dia rasakan karena kehilangan Sabrina—sang istri.

“Harusnya kamu berterima kasih sama Papa, karena Papa masih mau memberi makan kamu! Bukannya ngelunjak gini!” David kembali membentak keras anaknya.

“Maaf Pa ... Ell salah ... “ lirih Gabriella masih betah menunduk.

“Maaf, maaf, maaf terus! Kamu kira semua itu bisa selesai pakai kata maaf!” Tangan David menuding di depan wajah Gabriella.

Gabriella mundur perlahan karena takut serta rasa sakit hati yang ia terima. 

“Dasar! Jadi anak kerjaannya menyusahkan saja!” seru David. Lalu dia pergi melangkahkan ke luar rumah dan langsung mengendarai mobilnya. 

Gabriella terhuyung dan jatuh di atas lantai. Lagi-lagi dia mendapat perlakuan seperti ini.

Tiba-tiba nafas Gabriella menjadi tidak teratur. Keringat dingin keluar dari kepala hingga kakinya.

Aku anak menyusahkan.

Aku anak menyusahkan.

Aku anak menyusahkan.

Tangan Gabriella tertarik mengambil pecahan kaca piring di depannya. Sambil terus mengucap tiga kata tadi, perlahan pecahan kaca itu mulai ia genggam. Nafas gadis itu semakin memburu. Dadanya bergerak naik turun dengan cepat. Semakin lama genggaman tangannya semakin kuat. Membuat telapak tangannya robek dan mengeluarkan darah segar. Gabriella sama sekali tidak meringis. Dia malah semakin semangat melukai dirinya. Kini bukan hanya kakinya yang mengeluarkan darah segar, tangannya pun kini ikut-ikutan mengeluarkan darah segar dari tubuhnya yang mungil. 

Self harm. Mungkin itu yang menggambarkan keadaan Gabriella sekarang. Mengalami broken home karena ditinggal sang mama ditambah lagi papanya yang selalu bersikap kasar pada dirinya, membuat Gabriella semakin tertekan dan berakhir melukai dirinya sendiri.

Gabriella tidak punya teman. Tidak ada yang mau berteman lagi padanya. Kebanyakan dari mereka malah selalu membullynya. Siapa yang tidak rapuh menerima kenyataan yang begitu menyakitkan itu?

Mungkin ... kecuali satu orang. Altha Satriagara. Orang satu-satunya yang selalu mengerti keadaan Gabriella. Sejak Altha pindah dari sekolah yang lama ke sekolah yang baru Gabriella dan mereka sekelas, Altha selalu melindunginnya dan kini takkan ada yang berani membully-nya. 

Tetapi kejadian melukai diri sendiri tak pernah ia katakan pada siapapun, tak tekecuali Altha dan Susan. Mereka tidak tahu bahwa Gabriella sudah tertekan sekali. Dan seharusnya di bawa ke psikolog untuk menyembuhkan mentalnya.

“Aku anak menyusahkan ... “ Dengan suara parau disertai sesenggukan, Gabriella berdiri. Ia berjalan melangkahkan kakinya menuju kamarnya. 

Mengerikan. Darah dari telapak tangan dan kakinya saling menetes di lantai. Meninggalkan bercak merah serta jejak telapak kaki yang berwarna merah. 

“GABRIELLA!” Seseorang berlari kencang dari arah ruang tamu menuju Gabriella. Dia sangat terkejut.

Altha berniat mengajak Gabriella makan donat bersama bunda di rumahnya. Ibu Altha – Susan sangat sayang sekali dengan Gabriella, sejak kecil Gabriella selalu di sayang oleh Susan, apalagi semenjak Sabrina selingkuh dan meninggalkan rumah, Susan semakin tidak tega dengan Gabriella. Sampai dulu Gabriella ingin di asuhnya tetapi David menolak dengan keras. 

“Lo gila?!” Dengan cepat, Altha membopong tubuh mungil Gabriella dan meletakannya di sofa.

Pandangan gadis itu kosong. Lalu sedetik kemudian tangisnya pecah. Meluapkan segala emosinya dalam tangisan itu. Dipeluknya Altha dengan erat. Altha membalasnya sambil membelai rambut Gabriella dengan lembut.

“Nangis sepuasnya. Keluarin semua emosi lo,” ujar Altha. Dia sangat tidak tega melihat kondisi sahabatnya yang selalu seperti ini.

“Mama mana ... aku kangen mama Altha ... “ Gabriella menatap Altha dengan penuh harap.

Altha tidak bisa apa-apa. Dia hanya diam. Mau bagaimana lagi? Dia tidak tahu keberadaan Sabrina di mana.

“Altha, Mama kangen aku gak ya? Atau Mama udah lupain aku? Mama udah punya anak lagi ya, Altha?” Pertanyaan Gabriella semakin membuat Altha tidak tega. Kasihan Gabriella. Masih muda dia harus menerima takdir yang sangat pahit.

“Tante Brina lagi sibuk, Ell. Dia lagi ngurus kerjaan,” alibi Altha, ia bingung harus menjawab pertanyaan Gabriella seperti apa. Sedangkan dia tidak tahu Sabrina ada di mana. Informasi dari Ibunya Susan, Sabrina sudah pergi keluar negeri dan mungkin takkan kembali ke Jakarta. 

Gabriella menggeleng lemah. Wajahnya kusut karena menangis. “Selama itu kerjanya ya? Sampai-sampai Mama gak pernah ke sini?” tanyanya lagi dengan nada sendu. 

Altha meneguk ludah. Dia bingung harus menjawab apa. “Pasti nanti Tante Brina ke sini. Jengukin lo. Yang sabar ya ... “ Tangannya mengusap kepala Gabriella.

Gadis itu mengangguk. “Aku sakit Altha.”

Altha nampak bertekuk lutut di depan Gabriella. Kepalanya sedikit mendongak. “Apanya yang sakit? Pecahan kacanya masuk ke kaki dan tangan lo ya?”

Gabriella menggeleng. “Badan aku sakit semua. Aku capek Altha ... “

“Ssttt ... Gue tau lo itu kuat,” Altha melayangkan jari telujuk di depan bibir Gabriella. 

“Kalau aku boleh milih. Aku lebih milih hidup di zaman aku kecil aja. Ada Papa, ada Mama, ada kamu. Papa yang selalu sayang sama aku, Mama yang selalu sabar ngurusin aku. Dan kamu yang selalu ada buat aku,” ujar Gabriella sambil menahan tangis, bulir air di pelupuknya kembali menggenang. Memori masa lalu kini terngiang dikepalanya seperti kaset yang diputar kembali

“Aku kangen mereka yang dulu. Aku juga kangen kasih sayang mereka. Cuma kamu yang dari dulu sampai sekarang gak pernah berubah.“ Netra teduh gadis itu menatap Altha dengan lirih. “Altha ... “ 

“Kenapa, Ell?” tanya Altha menatap lekat wajah sendu Gabriella.  

“Kapan ya, aku bisa bahagia kaya dulu lagi? Aku kayaknya emang udah nggak dikasih kebahagiaan lagi sama Tuhan.” Air mata yang sedari tadi Gabriella tahan, sekarang keluar lagi. Sangat deras. “Hidup itu kejam ya Altha ... “ lirih Gabriella.

Altha sudah tidak sanggup melihat Gabriella seperti ini lagi. Sahabatnya itu juga harus merasakan bahagia, seolah-olah Gabriella menterah dengan hidupnya. 

“Ell, ke rumah gue yuk. Mama gue lagi bikin donat. Mau bantuin gak?” Gabriella mengangguk dengan antusias.

“Tapi sebelum ke rumah gue, obatin luka lo dulu, Ya?” Lagi-lagi Gabriella hanya mengangguk. “P3Knya ada dimana?” 

“Ada di lemari dapur, di sebelah pojok kanan, Ta,” ucap Gabriella dengan suara sendunya. 

Setelah mendapatkan apa yang di cari Altha, ia segera berjalan menuju ruang tamu terdapat Gabriella yang sedang duduk dengan tatapan kosong, air matanya mengalir terus-menerus membasahi pipinya. 

Setelah tepat di depan Gabriella, Altha segera membuak P3K dan mencari alkohol, betadine, kapas serta kasa untuk membalut tangan dan kakinya yang masih mengeluarkan darah segar. Dengan lembut Altha membalutnya sambil sesekali melihat wajah Gabriella yang masih setia menatap lurus kedepan. 

“Sudah.” Altha membereskan P3K di taruhnya di atas meja. Sementara Gabriella masih saja menatap kedepan, ia langsung memegang kepala Gabriella, kini sorot matanya menatap Altha. 

“Lo itu ada gue, bunda dan ayah. Gue akan selalu ada di sisi lo, Ell.” Kata-kata Altha kini begitu menenangkan untuk Gabriella. Sesaat gadis itu tersenyum getir, ia tahu Altha akan selalu ada disisinya. 

Altha berjongkok sambil membalikkan tubuhnya. “Naik, Ell,” titahnya meminta Gabriella naik ke atas punggungnya.

Gabriella menuruti Altha, ia segera naik kepunggungnya dan berjalan keluar rumah menuju rumah Altha. 

Rumah Gabriella dengan rumah Altha hanya dipisahkan oleh tembok saja, rumah mereka bersebelahan. Gabriella dan Altha bertetangga sejak saat mereka kecil. Rasa sayang Altha kepada Gabriella lebih dari apapun, ia tidak ingin Gabriella menderita, hatinya akan sakit apalagi keadaannya sekarang. 

Suara langkah kaki menuju rumah mewah Altha, laki-laki itu enggan melepaskan gendongannya saat mereka sudah sampai di teras. Sampai Mbok Jum menghampiri mereka dan membuka pintu lebar-lebar. 

“Eh ... Non Ell, kenapa, Den? Kok di gendong?” Terdengar sekali suara Mbok Jum khawatir melihat perban di kaki serta tangan Gabriella, ia segera memberikan ruang untuk Altha masuk kedalam, Altha tidak menggubris pertanyaan Mbok Jum, ia masih fokus untuk mendudukan Gabriella di sofa. 

Altha memberikan duduk Gabriella di sofa dengan hati-hati. “Lo, tunggu sini. Gue mau ke dapur dulu panggil bunda.” 

ALtha segera melangkahkan kakinya menuju dapur, dengan harap bundanya masih setia membuat adonan donat yang sedang di kerjakan sebelum Altha ke rumah Gabriella. 

“Bunda ...” sapa Altha, benar saja, Susan sedang menggoreng beberapa donat yang masih ada di penggorengan. 

“Ell, di ruang tamu ya, Bun.” Altha segera mengambil satu donat yang sedang ditiriskan memakai tisu dan jaring sodet stainless. 

Susan segera menaruuh donat yang sudah matang ke piring. “Oke.” 

Susan segera membawa donat yang sudah matang untuk di cicipi oleh Gabriella. Memang Susan yang menyuruh Altha untuk panggil Gabriella ke rumahnya hanya sekedar mencicipi donat yang dibuatnya. Ia melangkahkan kakinya menuju ruang tamu dan Altha ikut mengekorinya. 

Setelah melihat Gabriella yang duduk dengan menghadap ke depan. Ia syok ada perban yang melilit tangan kanan serta kaki kirinya. Walaupun bukan hanya ini saja Susan melihat Gabriella terluka tetapi tetap saja membuat hatinya teriris, ikut merasakan pilu yang di tanggung oleh Gabriella. 

“Ell, kenapa lagi?” Susan yang ingin dapat penjelasan dari Altha maupun Gabriella, mereka hanya diam tanpa suara. 

Akhirnya Altha lah yang menceritakan kejadian yang menimpa Gabriella. Dengan perasaan bersalah, Susan memeluk Gabriella dengan erat memberikan kasih sayangnya, memperdulikannya, memberikan cinta yang mungkin Gabriella butuhkan saat ini. 

“Sudah diobati sama Altha, Bun,” sahut Altha saat Susan menyoroti luka-luka Gabriella secara mendetail. 

“Bunda nggak perlu khawatir, Ell baik-baik saja,” ucapnya melegakan Susan. Dari tadi Gabriella tidak mengatakan apapun. Ia sudah mulai menstabilkan kembali emosi yang sempat meluap-luap. 

Semenjak Sabrina pergi dari rumah meninggalakna Gabriella dan David. Susan menyuruhnya memanggil Bunda saja seperti Altha tak lagi memanggil tante seperti sebelumnya dan Susan pun senang, ia seperti mempunyai anak perempuan sekarang. 

Susan kini mencoba mengalihkan topik yang sedih-sedih menjadi santai, ia tidak ingin Gabriella sedih. “Bunda tadi goreng donat, Ell mau?” 

Gabriella mengangguk antusias. “Mau, Bunda.” 

Gabriella mengambil satu donat dan kini Altha pun ikutan mengambil satu donat lagi. Satu gigitan donat masuk ke mulutnya, Susan menunggu respon yang akan di lontarkan olehnya apakah rasanya enak atau tidak? 

“Makanan bikinan bunda selalu enak.” Mendengar ucapan Gabriella disertai senyuman, membuat Susan Lega. Ia bisa membuat Gabriella sedikit terobati. 

Setelah mengobrol tentang apa saja yang membuat Gabriella senang itulah Susan dan Altha lakukan saat ini. Entah cerita lucu, Altha membuat tebak-tebakan lucu itu semua untuk menyenangkan hati Gabriella. 

Matahari sudah mulai beranjak ke sisi barat, merubah warna menjadi oranye keemasan. Tetapi hal itu tidak memberhentikan percapakan mereka yang masih asik mengobrol. 

“Ell nginep disini aja ya?” bujuk Susan setelah percakapan mereka selesai dan tidak ada topik lain. 

Gabriella yang merasa tidak enak dengan tetangganya itu yang terus-terusan di repotkan olehnya. “Nggak perlu, Bunda. Besok kan sekolah, Ell juga nggak mau repotin bunda terus menerus.” 

“Ell nggak pernah repotin bunda. Bunda malah seneng Ell ada disini. Masalah perlengkapan sekolah bisa diambil besok. Mau ya?” bujuk Susan sekali lagi, tetapi kini dengan nada mengharapkan Gabriella bilang setuju kepadanya. 

Gabriella tidak tega jika ia terus-terusan menolaknya, sedangkan Susan bersusah payah membujuknya agar Gabriella nginap di rumah nya yang sudah menganggap seperti anak sendiri. 

Gabriella tersenyum. “Iya Bunda. Ell nginep disini.” 

***

Suara ketukan dari pintu rumah Altha, sontak membangunkan Mbok Jum yang sedang membereskan perlatan dapur sebelum ia beranjak tidur. Ia segera melangkahkan kakinya ke arah pintu depan, siapa yang bertamu malam-malam seperti ini. 

Mbok Jum membukakan pintu, siapa sangka orang yang bertamu malam-malam seperti ini ada tetangga dari majikannya sendiri.

“Ell mana, Mbok?” tanya David dengan nada tenang. 

“Sebentar ya Mas David saya panggilkan nyonya terlebih dahulu.” Mbok Jum segera menuju ke kamar utama untuk membangunkan Susan yabg sedang tidur bersama Gabriella. Karena suaminya sedang dinas di luar kota jadilah Susan mengajak Gabriella menginap di rumahnya. 

“Nyonya, ada Mas David di luar.” Suara ketukan pintu serta suara Mbok Jum berhasil membangunkan Susan dan Gabriella. Susan segera membukakan pintu kamarnya.

 “Iya, Mbok.” Susan segera menemui David untuk berbicara bahwa Gabriella sementara waktu tinggal di rumahnya terlebih dahulu. 

“Mbak nggak usah ikut campur urusan saya, dimana Gabriella?” cetus David, semenjak Sabrina pergi, tetangganya ini sering ikut campur masalah Gabriella. 

“Bukannya ikut campur, Vid. Saya mau Gabriell tenang dulu disini, mentalnya terguncang jika sekarang ikut dengan kamu.” Susan mencoba memberu penjelasan agar David mengerti. 

“Sudah saya bilang, Mbak gausah ikut campur urusan saya. Gabriella anak saya jadi sudah sepantasnya ikut degan saya,” tandas David. 

Susan yang menyuruh Gabriella tetap diam dikamar sementara dirinya menemui David. Sementara Gabriella menunggu Susan yang tak kunjung datang kembali ke kamarnya, pasti terjadi sesuatu, segera ia turun dari kasur dan menemui susan serta David. 

“Bunda, Ell pulang aja sama Papa. Makasih ya Bunda udah mau numpang aku selama ini,” ucap Gabriella.

“Tapi, Ell ..."

Gabriella langsung memeluk Susan. “Ell pulang dulu ya, Bunda,” bisik Gabriella dengan suara sendu seakan Gabriella sebenarnya tidak ingin pulang. 

“Duluan Mba,” sahut David, ia segera melangkahkan kakinya dan diikuti oleh Gabriella. 

Altha yang mendengar ada suara dari lantai bawah, ia segera keluar kamar dan melihat Gabriella sudah berjalan keluar rumah pekarangan Altha. 

“Kok Ell pulang, Bunda? Altha jadi Khawatir,” cemas Altha, melihat kepergian Gabriella yang masih tertatih-tatih berjalan karena luka dikakinya. 

“Bunda juga ... Tapi, Ell yang mau pulang,” pasrah Susan, perasaan gelisah akan Gabriella mulai merasuki dirinya. 

***

Matahari kini sudah beranjak, menelusup ventilasi kamar Gabriella. Ia mengerjapkan matanya, memulihakan kesadaran setelahnya gadis mungil itu mandi untuk siap-siap ke sekolah. 

Kini sekolah bukan lagi tempat menyeramkan bagi Gabriella, karena sudah ada Altha yang selalu menemaninya semenjak ia pindah sebulan yang lalu. Di kala Gabriella di bully dan di ejakkan lantaran status Ibunya yang menjadi tukang selingkuh dan di sebut pelakor, gosip itu sudah tersebar di penjuru sekolah membuat teman-teman yang dulu dekat dengannya mulai menjauh bahkan ikut mengolok-olok Gabriella. 

“Terima kasih ya, Altha. Kamu sampe bela-belain pindah ke sekolah aku hanya untuk lindungin aku,” ujar Gabriella saat merka berjalan menuju ruang kelasnya. 

“Udah seharusnya gua kaya gitu, Ell. Gua gamau lo sakit lagi.” Sorot mata Altha beralih ke tangan serta kakinya yang sudah di balut sepatu. “Tangan sama kaki lo udah ga sakit lagi?” 

“Udah nggak kok,” sahut Gabriella tersenyum, sebenarnya masih perih sedikit tapi ia tidak ingin membuat Altha khawatir. 

Selama pelajaran berlangsung Altha tak henti-hentinya melemparkan senyum kepada Gabriella, wajahnya yang menawan di terpa matahari pagi membuat Altha ingin terus memandanginya. 

Gabriella yang sadar akan Altha yang selalu memandanginya membuat sedikit tak nyaman. “Altha fokus kedepan. Papan tulisnya ada didepan bukan di samping kamu.” 

Altha tersenyum dan sadar akan perlakuannya. “Iya, Ell.” 

***

Suara bell istirahat sudah berdenging di seluruh penjuru kelas, murid-murid yang lain membereskan bukunya ditarus ke tas atau mengambil uang untuk di jajankan ke kantin sekolah, tak terkecuali Gabriella dan Altha. 

Tetapi saat mereka ingin keluar kelas, tiba-tiba Bu Mona – Wali kelasnya dan Susan berjalan memasuki kelas. “Bunda?” 

Altha merasa khawatir, terlihat sendu terlukis di wajah Susan. Ada apa sebenarnya? Kenapa Bunda datang ke sini?  

“Altha, kamu boleh pulang duluan ya,” ucap Bu Mona. “Yang sabar ya, Altha.” Bu Mona mencoba memeberi penguatan kepada Altha. 

Altha kaget, kenapa Bu Mona tiba-tiba mengizinkan Altha pulang? Ia menyorot nanar ke arah Bundanya, seakan minta penjelasan apa yang sebenarnya terjadi.

“Nenek meninggal, Sayang. Kita harus segera ke Lampung,” sahut Susan, ia mencoba menahan air matanya yang jatuh ke pipi. 

Altha kaget sekaligus syok, baru 2 hari lalu ia video call dengan neneknya yang berada di Lampung, menanyakan kabar dan saat itu neneknya sehat tanpa sakit sedikitpun

 Dan sekarang ia tak akan pernah lihat wajah senyumnya lagi baik di layar telpon ataupun di dunia nyata. 

Gabriella juga kaget mendengar perkataan dari Susan, ia bisa merasakan sakitnya orang yang kita sayang meninggalkan kita. 

“Ayah gimana, Bun?” tanya Altha, karena Ayahnya sedang pergi dinas ke luar kota. 

“Ayah dari Surabaya langsung menuju Lampung hari ini. Kamu sekarang beres-beres, kita ke Lampung hari ini juga.” 

Altha segera mengemasi barang-barangnya, matanya mulai merah dan berkaca-kaca, ia sangat merindukan neneknya. Altha sesekali melihat Gabriella, ia sama paniknya dengan dirinya tapi Gabrirlla hanya diam dan tak berani bersuara. 

“Lo ikut gua ke Lampung, Ell.”Altha menarik tangan Gabriella menyuruhnya untuk merapihkan barang-barangnya. 

Gabriella melihat Susan, seperti meminta pendapat. Susan hanya mengangguk, jika Gabriella mau ikut pasti Susan akan ajak. Tetapi Gabriella memilih untuk tidak ikut dengan mereka, ia tidak pantas untuk datang kesana, lagipula Gabriella bukan saudara ataupun Keluarga Altha, ia hanya tetangganya yang selalu dibantu oleh keluarga Altha. 

Gabriella menahan tarikan tangan Altha. “Aku disini aja, Ta. Kamu sama bunda pergi ke Lampung.” 

Mendengar perkataan Gabriella membuat sedikit rasa Kecewanya muncul. “Kenapa? Kamu sendirian disini, Ell.”

“Aku baik-baik aja, Ta,” ucap Gabriella memberi pengertian kepada Altha yang menatapnya dengan sendu sambil terus memegangi tangan gadis mungil itu seolah ia tidak ingin meninggalkannya. 

“Ell, ikut Bunda sama Altha ya.” Kini giliran Susan yang membujuknya. Ia juga tidak tega dengan Gabriella ia tidak ingin terjadi sesuatu kepadanya. 

“Ell disini aja ya, Bunda. Ell baik-baik aja disini.” Lagi-lagi Gabriella menolak, ia juga tidak enak jika ikut kesana. Dan nanti bagaimana dengan Papanya jika Ia ikut ke Lampung juga. 

Gabriella kembali menatap Altha. “Aku akan baik-baik saja Altha, aku tunggu kamu disini.” 

Beberapa detik netra mata mereka bertemu seakan ia tidak ingin berpisah. Tetapi sedetik kemudian Altha melepaskan genggamannya. 

“Ell harus janji sama Bunda. Ell jangan kemana-mana, tunggu bunda sama Altha. Bunda dan Altha akan kembali segera mungkin pulang setelah selesai. Kalo ada apa-apa langsung kabari, Bunda atau Altha.” Susan memeluk erat Gabriella, sebenarnya ia merasa khawatir dengan kondisi sekarang. 

“Iya, Bunda. Ell akan tunggu disini. Bunda hati-hati disana.” Susan kembali melepaskan pelukannya dan dan berlalu meninggalkan Gabriella yang masih betah berdiri disamping mejanya. 

Altha pun melangkahkan kakinya keluar kelas sesekali ia menengok ke belakang melihat Gabriella tersenyun dan melambaikan tangan. “Hati-hati.” Altha mengangguk. 

*** 

Sudah 4 hari semenjak kepergian Altha. Hari-hari Gabriella semakin gelap. Sudah banyak goresan silet di kedua tangannya, oleh perbuatannya sendiri. Dan ribuan makian dari Papanya serta teman-teman sekolahnya membuat kesehatan Gabriella semakin memburuk. 

Dan kini terulang kembali dan membuat Gabriella sudah tak kuat menanggung semuanya, rasanya ia ingin terbang dan menghilang dari semesta ini. 

“Ell bikinin Papa Kopi,” teriak David saat ia sedang di ruang kerja. 

Gabriella segera membuatkannya ke dapur, membuat kopi tentu saja ia bisa. Setelah selesai membuatkan kopi ia segera melangkahkan kakinya menuju ruang kerja papanya. Tetapi tanpa sadar Gabriella tersandung dan kopi yang ia pegang tumpah membasahi berkas-berkas penting Papanya. 

“Gabriella!!“ murka David, ia menatap nanar berkas-berkas penting yang sudah basah dan berubah menjadi kehitaman padahal berkas ini yang harus di serahkan besok pagi. Dan kini kembali menatap tajam ke arah Gabriella.

Gabriella yang merasa kaget serta panik. “Maaf, Pah. Ell nggak sengaja.” Yang semula menatap David, kini hanya menunduk. 

“Maaf, Pah. Maaf,” lirih Gabriella, ia merasa bersalah sudah menumpahkan kopi keberkas Papanya. 

“Dasar anak nggak tau di untung! Membuat saya rugi! Berkas-berkas saya jadi hancur semua!” Amarah David tak tebendung lagi. Ia menarik kedua pipi Gabriella dengan satu tangannya. Dan kini kata Papa pun sudah tidak dipakai oleh David, apakah David semurka ini pada Gabriella?

“Liat saya!” Wajah Gabriella sudah merah dan memeanas dan tangisannya pun memuncak tak terbendung. “Kamu bisa merubah semuanya jadi seperti semula? Dengar saya!” 

“Kamu anak menyusahkan. Lebih baik saya tidak punya anak dari pada punya anak seperti kamu. Nggak berguna!” Hati Gabriella merasa teriris sekali, perih, sendu, pilu.

“M-aa-f P-ah.” Hanya itu yang bisa di ucapkan oleh Gabriella, pipinya dan lehenrnya sakit setelah ditarik dan di tekan keras oleh Papanya sendiri. 

“Saya nggak mau liat kamu hadapan saya, kalau perlu menghilang atau pergi sana cari Mama kamu yang tukang selingkuh!” David Melepaskan dengan kasar cengkramannya dari pipi anaknya yang membuat Gabriella kehilangan keseimbangannya dan terhuyung jatuh ke lantai. 

“Pergi dari hadapan saya,” bentak David, matanya kini mengarah ke samping menatap tembok putih dan tak lagi menatap Gabriella yang berusaha bangun. 

Gabriella merasa sakit sekali, lebih pedih dari sebelumnya lebih sakit dari cacian sebelumnya apalagi Papanya ingin ia pergi dari hidupnya? Apa yang di harapkan oleh Gabriella saat ini? Semesta pun tak mendukungnya takdir yang selama ini Gabriella impikan menolaknya. Apa yang ia harapkan saat ini? Semuanya sudah tak ada. 

Gabriella segara keluar dari ruang kantor David. Ia kembali ke kamar, rasanya Jiwa dan raganya sudah tak sanggup menanggun penderitaannya, ia ingin segera mengakhiri ini semua. 

Tentu saja setelah pertengkaran hebat Gabriella dengan David. Laki-laki berumur 40tahun itu langsung membereskan berkas-berkasnya dan pergi ke suatu tempat memakai mobil dan meninggal kan Gabriella sendiri.

Gabriella berusaha menghubungi Altha ataupun Susan tetapi tidak ada jawaban dari mereka, tangisan gadis mungil itu semakin memilukan, siapapun yang mendengarnya akan merasakan kesedihan yang mendalam.

Gabriella mengambil laptop dan menuliskan email kepada Altha berharap pemuda itu membacanya dan tidak marah dengan dirinya. 

Altha yang selama ini menjadi penyemangat hidupnya sedang tak ada di sampingnya saat ini, membuat Gabriella sudah tak ada gunanya hidup bahkan Papa kandungnya pun tak ingin melihatnya lagi dan Mama kandungnya juga tak kembali menjemputnya.

Gabriella melangkahkan kakinya pelan menuju kamar mandi, ia menyalahkan shower dan berdiri di bawahnya. Kini air yang berasal dari shower itu membasahi dirinya perlahan membuat seluruh tubuh Gabriella basah ,tangisannya pun mulai pecah ia mengambil sepotong silet tajam dan mulai menyakiti dirinya. Menyamarkan tangisan dan teriakan pilu dengan beburunya suara Shower. 

Dengan tangisan serta darah yang mengalir dari tangannya membuat sakitnya menjadi-jadi tapi inilah yang membuat Gabriella ingin melakukan nya, tanpa sadar ia menyayat pembuluh darah nadi membuat darah segar semakin mengalir deras tetapi cepat di basuh oleh air yang masih mengalir membuat tubuh Gabriella merasakan ngilu yang teramat sakit. Perlahan padangannya memudar, semuanya menjadi blur dan kelamaan menjadi gelap. 

 ***

Tepat 5 hari sejak saat ia meninggalkan Jakarta, Altha sampai di rumah dengan Bunda serta Ayahnya – Sandi. Ia membawa sekotak makanan coklat dan buket bunga matahari yang pasti akan di sukai oleh Gabriella. 

“Mau kemana, Ta?” tanya Susan saat mereka sedang mengambil koper dari bagasi  

“Kerumah Ell, Bun,”sahut Altha, yang sudah mulai berjalan menuju rumah Gabriella. 

“Bereskan barang-barang dulu, Ta. Baru ke Ell,” ujar Susan. 

“Nanti aja , Bun. Altha udah kangen sama Ell.” Susan tesenyum sambil menggeleng pelan ia melihat tingkah putranya ini. Segera ia berlalu membawa koper untuk dirapihkan kembali.

Tetapi saat Altha sampai di gerbang rumah Gabriella, tidak ada tanda-tanda kehidupan disana. Kemana perginya Gabriella? Apakah terjadi sesuatu dengannya? 

ALtha terus teriak, karena gerbangnyapun di kunci rapat-rapat. Ia merogoh ponsel yang ada di kantongnya. Memang saat di Lampung tidak ada sinyal, ia pun tidak bisa menghubungi Gabriella ditambah lagi ada masalah kemunduran penerbangan, tahlilan disana dan bundanya pun harus membantu menyiapkan tahlilan, ini pun ia meminta cepat-cepat pulang dan saudaranya pun memaklumi mereka. Tetapi saat Altha sampai di rumahnya ia semakin khawatir. 

Susan yang mendengar Altha memanggil Gabriella ia merasa heran, kenapa Altha memanggilnya? Apakah Gabriella sedang tidak ada di rumah? Keheranan yang di rasakan Susan kini berubah menjadi rasa khawatir. Apa benar Gabriella terjadi sesuatu? Ia segera keluar dari rumah dan menghampiri Altha. 

“Ell nggak ada dirumah, Ta?” tanyanya saat sampai di depan rumah Gabriella bersama Altha. 

“Ga ada, Bun.” Rasa khawatir Altha semakin besar. 

“Sebentar, bunda coba tanya Mba Luna ya,” ucap Susan mencoba mencari info terlebih dahulu. 

Luna adalah tetangga sebrang yang sering mengobrol dengan Susan di kala ia sedang bosen di rumah. 

“Altha ikut.” Susan mengangguk dan mereka segera menuju rumah Luna.

Setelah sampai di rumahnya, Susan dan altha di persilahkan masuk ke dalam.

“Mba, Gabriell anaknya Pak David kemana ya?” tanya Susan tanpa basa-basi. 

“Mba belum tahu?” Susan dan Altha menggeleng. 

“Gabriella anaknya pak David kemarin meninggal dunia. Kalo sebabnya saya kurang tahu, soalnya ambulnce dan pihak kepolisian sampai ada di sana. Dan itupun di ketahui oleh Papahnya di kamar mandi.” 

Susan dan Altha sama sama kaget, benar-benar kaget. Serasa ribuan jarum menusuk hatinya, rasa sakit kini menjalar di sekitar tubungnya. “Mba Luna jangan bercanda.” 

“Saya nggak bercanda Mba Susan. Buat apa saya bercanda tentang kematian seseorang.” Luna bebicara sebenarnya. 

Altha yang mendengarnya melemas, ia tak menyangka orang yang sagat ia sayangi pergi meninggalkan secepat itu. Tubuhnya gemetar, buliran airpun mulai menetes di pipinya, jantungnya berdegup kecang dan hatinya teriris perih dan sakit sekali. 

“Nggak mungkin kan, bun. Pasti Ell bercanda sama Altha.” 

Susan segera memeluknya, menenangkan putra kesayangannya yang terluka. Walaupun sebenarnya ia juga ikut terluka anak yang yang sangat ia sayangi pergi meninggalkannya. 

“Sekarang jasadnya di mana Mba?” Susan mencoba tegar, ia ingin sekali bertemu dengan Gabriella. 

“Info dari ibu-ibu kompleks udah di bawa ke rumah ibu dari Pak David buat dikuburkan. Saya kurang tahu alamatnya.” 

Dulu Susan pernah mengantarkan Gabriella ke rumah neneknya 3 tahun lalu saat hari ulang tahun Gabriella ke 14 tahun. Tepat satu tahun sebelum percraian kedua orangtuanya. 

Susan segera keluar dari rumah Luna. Dan ia langsung ke rumah. Sandi dengan cepat langsung mengantarkan Susan dan altha kesana. Buket bunga dan coklat Altha sudah melupakannya, sekarang yang ia pikirkan hanya Gabriella. 

Ia merutuki dirinya sendiri, kenapa Altha tidak memaksanya Gabriella ikut dengannya, dan kenapa ia tidak pulang lebih cepat lagi. Jika Gabriella ikut dengannya pasti hal ini tidak akan terjadi. “Salah Altha ... “

Saat sampai disana benar saja sudah ada bendera kuning yang tertancap dipojok gerbang dan suasana sunyi dari rumahnya. Susan mengetuk pintu rumah itu, setelah beberapa saat perempuan berumur 60an membukakan pintu. Terlihat wajah sendu serta mata bengkak dari pelupuk matanya. 

“Maaf saya baru datang kesini, Bu. Saya baru tahu kabarnya,” lirih Susan, ia mencium tangan wanita itu. 

Wanita itu mempersilahkan Susan, Altha dan suaminya masuk. Menceritakan semua kejadian yang dialami oleh Gabriella. Ia juga sangat menyesal, kenapa Gabriella tidak tinggal dengannya, ia hanya berpikir bahwa David tidak akan melakukan hal yang di luar batas sebagai Papahnya. Kini David sedang dalam proses polisi dan menjadi saksi atas kematian anaknya. 

“Makam Gabriella di mana?” sambar Altha ia sangat ingin sekali bertemu dengan Gabriella. 

“Tidak jauh dari sini, keluar gerbang belok kiri. Lurus sampai mentok belok kanan itu sudah ada pemakaman umum. Makamnya ada di sebelah pojok kanan dekat pohon melati dan hanya makam Gabriella yang ditanami pohon melati di atas nisannya,” jelasnya. 

Altha segera keluar dan berlari kesana, ia berlari tanpa memperdulikan Susan yang sudah memanggillnya. Rasa sesak kini menjalar ke seliruh tubuhnya, rasa sakit, perih, ngilu semua menjadi satu. Air matanya tak henti-hentinya mengalir, sudah membasahi pipinya sejak ia mengetahui bahwa Gabriella sudah meninggalkannya. 

Jantungnya sudah tak beraturan, saat sampai di area pemakaman dan melihat kuburan di sebelah kanan pojok, hanya kuburan itu yang di tanami pohon melati. Altha perlahan melangkahkan kakinya kesana, dan benar saja tertera di batu nisan dengan nama Gabriella Aurora Atmaja Binti David Atmaja. Dengan tanggal lahir sesuai kelahirannya dan kematian kemarin tepat saat Altha dalam perjalanan pulang. 

Sedetik kemudian lututnya melemas dan jatuh menempel dengan rumput-rumput, rasa sesak mendalam tangisannya pun pecah. Seorang Altha yang terkenal pendiam serta keras kepala kini hanya laki-laki yang tengah bersedih kehilangan sahabat, tentangga, dan cinta pertamanya.

Altha mengepalkan tangannya dengen erat, kepalanya tertunduk, buliran air pun menetes ke rumput. “Ell ... ” lirihnya, suaran rintihan itu begitu memilukan. 

“Ell ... “ lirihnya lagi, kini seuaranya begitu memilukan. “Se-harus-nya ...” 

Perkataannya terjeda karena tangisannya yang tak terbendung “Se-harus-nya gu-a Ng-gak ning-galin lo ... Se-harus-nya lo I-kut sa-ma gu-a, Ell,” ucapnya terbata bata, ia sudah tak kuat berbicara, penyesalan terbesar yang Altha rasakan saat ini sampai ia tak sanggup untuk berdiri. 

Sementara Susan menyusul Altha yang sudah dulu pergi di ikuti oleh Sandi serta Nenek Gabriella. Saat sampai di pemakaman dan melihat kuburan Gabriella serta Altha yang sedang terduduk pun ikut sakit melihatnya. Putranya pasti merasakan sakit yang teramat dalam. 

Susan memeluk Sandi, ia tak kuat melihat Altha yang menangisi Gabriella yang sudah berada di dalam tanah. Ia pun ikut menyesali, kenapa Gabriella tidk ikut dengannya? Kenapa Susan tidak memaksanya untuk ikut dengannya? Dan kenapa ia tifak pulang lebih cepat lagi? 

Nenek Gabriella pun ikut menangis, ia merasakan kepiluan yang di rasakan oleh Altha serta Susan. Ia pun menyesali, kenapa Gabriella tidak tinggal di rumahnya? Kenapa ia tidak tahu bahwa cucunya mengalami penderitaan secara mental? 

Beberapa menit kemudian tangisan Susan mereda tetapi ia melihat Altha dengan posisi yang sama, kepalanya masih menunduk, perlahan mendekat dan langsung memeluk Altha. Pemuda itu reflek memeluk erat bunda kesayangannya, tangisan kembali pecah.

“Ell .. Bun,” lirihnya, suaranya kini menyayat hari Susan. “Kenapa Ell jahat sama Altha.” 

“Ell sudah tenang, Sayang.” Susan mencoba menenangkan putranya dari kepiluan yang mendalam. “Ell udah nggak sakit sekarang.” 

“Ini salah Altha,” lirih Altha, ia masih betas menangisi kepergian Gabriella. 

“Ini bukan salah Altha, ini sudah takdir sayang.” Susan lagi-lagi mencoba menengkan Altha yang sedang kalut ditinggalkan oleh Gabriella dan berhenti menyalahkan diri sendiri atas kematian Gabriella. 

*** 

Selama beberapa bulan Altha selalu murung, ia selalu menyalahkan dirinya sendiri, penyesalannya berdampak pada psikisnya. Altha lebih sering mengurung diri di kamar, melamun atau menangis tersedu-sedu. Susan sudah mencoba mengobati mentalnya lewat psikolog dan mencoba mengobati Altha agar anak kesayangannya tak lagi murung seperti sekarang atas kepergian Gabriella. 

Saat Altha mencoba membuka laptop, ternotif 1 email yang belum terbaca dari pengirim gabriellauroratmaja@gmail.com yang ia yakini adalah email Gabriella. Altha buka perlahan dan terdapat 1 surat yang terkirim tepat hari keberangkatan pulang. 

•••••••••

Altha ... 

Gimana kabar di Lampung? Semoga kamu, bunda Susan dan om Sandi sehat di sana.

Altha ... Aku bohong saat aku bilang baik-baik saja, aku bohong saat aku bilang mau disini aja, nungguin kamu. 

Sebenarnya ... Aku nggak baik-baik aja, Altha. Aku sakit hati, pikiran, badan. Semuanya sakit.

Aku kangen sama kamu dan Bunda. Aku mau ketemu kamu sekarang, tapi sepertinya itu nggak mungkin. Maaf aku nggak bisa nunggu kamu lebih lama lagi, aku sudah nggak sanggup. Aku ingin pergi, ingin terbang, aku ingin menghilangkan rasa sakit ini, Ta. Aku harap kamu nggak marah. 

Dan satu lagi... 

Kalau aku udah nggak ada di samping kamu, jangan pernah nangisin aku lama-lama ya dan jangan salahin diri kamu. Lanjutkan hidup kamu, aku ingin lihat kamu bahagia, Ta. 

Terima kasih kamu udah jadi sahabat aku, sudah selalu menemani aku, jagain aku. Aku Nggak akan lupa sama kebaikan kamu. 

Satu lagi, tolong sampaikan ke Bunda Susan. Bahwa aku sangat menyayanginya dan jangan sedih berlarut-larut. 

Sampai jumpa Altha, sampai bertemu di lain waktu... 

Salam, 

Ell.

•••••••••

TAMAT 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar