Aku frustrasi.
Dari belasan sinopsis FTV yang kukirim, tidak satu pun tembus ke PH.
Seorang penulis senior di Facebook yang membentuk grup kepenulisan secara cuma-cuma telah memberi kesempatan sebesar-besarnya pada kami para penulis pemula untuk menyalurkan karya. Hanya satu dua yang lolos. Kuperhatikan siapa mereka. Apa isi status-statusnya.
Betapa beradabnya postingan-postingan mereka. Bermartabat. Berbeda dengan wall-ku yang dipenuhi status alay. Status galau. Atau sekedar lirik lagu dari penyanyi favoritku—apa ini juga diperhitungkan? Tapi siapa yang peduli? Hampir semua orang di usiaku saat ini sama alaynya!
Sebut saja Dahlia, nama penulis senior itu. Bu Dahlia memberi tawaran padaku. Tentang naskah drama yang baru sepuluh episode kutulis.
"Gimana kalau ini aja kamu buat versi FTV-nya?" tulisnya di inbox waktu itu.
"Tapi ini sudah seperti curhatan saya, Bu," jawabku tidak rela. "Saya maunya ini jadi serial pendek." Maksudku bukan sinetron dengan ratusan episode. Aku benar-benar ingin membuatnya seperti drama korea. Yang pada kenyataanya, tidak satu pun serial Indonesia saat ini memiliki episode di bawah dua puluh.
"Yaudah kalau kamu maunya gitu," tukasnya.
Sehari berlalu. Membuatku berpikir ulang.
Apa aku terlalu idealis? Saat ini mungkin tidak bisa membuatnya delapan belas episode. Tapi mungkin suatu saat bisa.
Maka kuputuskan mengirim pesan lagi, bermaksud mencoba memadatkan cerita menjadi satu episode. Tapi pesan itu diabaikannya. Sama sekali tidak ada balasan. Lalu aku, alih-alih membuktikan perkataan, sebagai anak muda yang masih labil, aku galau.
Apa aku terlalu plin-plan?
Akhirnya, aku memupuskan keinginan memadatkan cerita itu. Lagipula bagaimana caranya? Bukan hal yang mudah memadatkan sepuluh episode.
Aku berubah pikiran lagi.
Aku kesal dengan senior itu. Atau mungkin dia yang kesal padaku. Memikirkan betapa sombongnya penulis pemula masa kini. Tapi aku ingin sekali bilang, naskah itu memang seberarti itu untukku. T.T
Sekarang, daripada menyalahkan diri sendiri, aku ingin mencari ide baru.
Sendirian di dekat teras rumah, aku memikirkan kisah apa yang cocok untuk format FTV. Bagaimana mungkin aku mampu menulis untuk durasi berjam-jam, tapi untuk durasi dua jam saja aku kesulitan?
Apa salahnya mengikuti tren yang ada? Sebab tidak ada gunanya menjadi berbeda dengan tidak satu pun orang lain yang memahaminya. Alih-alih unik, aku hanya akan merasa terasing dan terabaikan. Terbuang oleh dunia—setidaknya dunia penulis.
Terlalu jujur, itulah kesalahanku.
Mungkin tidak seharusnya bilang, "Sekalipun sekarang dipakai untuk cerita FTV, suatu saat masih bisa dibuat episode panjangnya." Sekali lagi aku menepuk jidatku sendiri. Seharusnya aku memang berhenti jadi anak alay!
Lalu sekelebat ingatan melintas di benakku.
Sepertinya, aku punya ide!
Ada masa-masa di mana aku berpikir hidupku seperti FTV.
Coba kuingat-ingat lagi.
Saat itu ada dua laki-laki yang—
Bukan dari sana mulainya.
Aku menyusun ingatan itu. Di hari di mana aku tinggal di perantauan, lebih tepatnya, di rumah saudara.
Sore itu aku membeli pulsa di sebuah konter, lalu pulang. Belum juga mencapai pintu, ada SMS masuk,
"You are funky, Baby."
Aku tersentak, melihat sekeliling. Pada rumah-rumah tetangga dan pepohonan yang mengawasiku. Tapi tidak satu pun kulihat manusia di sekitarnya. Kembali pada pesan dari nomor tidak dikenal itu. Jangan-jangan si penjual pulsa, pikirku. Tapi, funky dari mananya sih aku ini? Apa karena celana Army yang kupakai?
Aku tidak mengerti. Lebih tepatnya, tidak mengerti arti funky itu sendiri.
Tapi membacanya, aku jadi teringat peserta acara pencarian bakat di TV. Funky Papua? Ingin sekali kubalas begitu—kalau saja aku tidak punya pacar. Sebab lama sekali aku tidak mengerjai orang lewat pesan.
Sewaktu masih sekolah, ada seorang teman yang memintaku membalas pesan dari laki-laki yang berusaha mendekatinya—sebab banyak sekali yang ingin dekat dengannya—yang berujung dengan kami berdua tertawa terpingkal-pingkal karena pesan-pesan itu. Terakhir kali aku berkirim pesan iseng dengan seseorang dari website cintasejati.com. Karena kubalas asal-asalan, aku mendapat pesan, "Kamu cowok ya?"
Kembali ke pesan misterius itu. Aku memilih mengabaikannya—daripada jadi korban keisengan orang lain. Terlebih aku sudah punya pacar. LDR.
Tapi patah satu tumbuh seribu, begitu katanya. Ada lagi yang mengusik hubungan LDR yang damai itu.
Sebut saja Juna dan Bimo, teman dari tetanggaku. Tetanggaku sendiri bernama Rina, sudah bersuami. Ohiya, namaku Tiara, lebih suka dipanggil Ara—sungguh ini tidak ada hubungannya dengan Go Ara artis korea itu!
Suatu ketika, aku memainkan gitar yang ada di rumah Rina yang ternyata milik Bimo. Kami berkenalan sambil lalu sebab aku memilih duduk di teras kontrakan Rina saja. Lalu datang seorang lagi bernama Junaedi—lebih suka dipanggil Juna.
Juna punya pekerjaan tetap di proyek, dengan penghasilan tetap, gajinya empat-lima jutaan—di masanya, itu menakjubkan—bertanggung jawab, dan sedang mencari pendamping hidup—ini kata Rina. Tidak sampai di situ usahanya.
Sabtu malam, Rina mengajakku jalan-jalan dengan alasan agar aku lebih mengenal daerah ini. Kebetulan, pikirku. Ferry—nama pacarku, sedang menitip memory card untuk ponselnya, jika sewaktu-waktu aku menemukannya di sini. Sebab katanya, di kampung halamanku susah mencari merek yang sama seperti yang dia punya sebelumnya. Saat itu teknologi tidak sebaik sekarang di mana untuk membeli barang masih harus langsung ke tokonya.
Saat kudengar Juna juga ikut, aku segera memikirkan ulang semuanya. Ini seperti cerita di film-film yang bisa kita tebak endingnya. Segera saja aku membuat alasan untuk menolak, malas. Tapi Rina terus memaksa. Dan sebenarnya, aku memang ingin jalan-jalan. Sial.
Rina meyakinkan banyak yang ikut, yang pada kenyataannya hanya aku, dia, suaminya, Juna dan Bimo.
Sebenarnya jalan-jalan ini bukannya tanpa arah. Tapi menuju pusat grosir di kota ini. Di sana aku tidak mencari apapun kecuali memory card. Sebab berbelanja bukan hobiku. Tapi tidak kutemukan satu pun konter ponsel di dalam, dan sebenarnya, kami hanya sambil lalu ke sana, perhentiannya adalah restoran ayam goreng cepat saji. Ini juga bukan hobiku. Sebab daripada makan ayamnya, aku lebih suka tepung krispynya—setidaknya masih ada sedikit minat. Tapi saat Rina bilang Juna yang akan membayar semua makanannya, seleraku langsung lenyap. Satu lagi pertanda buruk. Seperti ada udang di balik tepung krispy!
Aku tidak tahu harus senang karena tidak mengeluarkan uang, atau khawatir ada maksud tertentu dibalik semua ini. Tapi tidak ada seorang pun yang khawatir sekarang, kenapa aku harus?
Maka kami pun makan dengan perasaan penuh terima kasih pada Juna.
Sebelum pulang, aku menyempatkan mampir ke sebuah konter ponsel di pinggir jalan. Akhirnya, kutemukan juga memory card itu. Harganya empat puluh sekian ribu—
"Udah aku aja," kata Juna yang lebih dulu menyodorkan uang pada penjualnya. Tentu saja aku memaksa mengganti uang yang bersikeras ditolaknya. Sementara penjual di depan kami tidak berniat menukar uangnya dengan uangku, untuk apa? Akhirnya aku menyerah dan berterima kasih lagi.
Aku menggenggam bungkusan berisi memory card itu.
Kalau saja Juna tahu ini untuk siapa. Kalau saja Ferry tahu ini dari siapa. Bisa kacau jadinya.
Pulangnya, entah bagaimana kami tidak naik angkot seperti saat berangkat tadi. Rina bilang masih sore—padahal jelas-jelas sudah malam. Lagipula ini malam minggu! Pasti begitu alasannya.
Alasan keduanya adalah tidak begitu jauh. Padahal pasti lebih dari satu kilo meter.
Formasi berjalan kami pun berbeda dari saat berangkat tadi. Rina tidak lagi berada di sampingku, lebih tepatnya, tidak mau jauh-jauh dari suaminya. Jangankan mengajakku bicara, menoleh pun tidak! Di belakangnya hanya tersisa aku, Juna, dan Bimo yang sesekali menyejajari langkah suami Rina.
Merasa terpaksa sekaligus berhutang budi, akhirnya aku menanggapi obrolan Juna. Tapi segalanya berlangsung singkat-singkat saja. Sebab tidak satu pun dari kami ternyata pandai bicara. Syukurlah!
Keesokan harinya sepulang bekerja, ada nomor asing yang menelepon. Ternyata itu Juna. Kupikir ada apa? Apa aku melakukan kesalahan saat jalan-jalan kemarin?
Ternyata dia hanya ingin mengobrol. Tapi nyatanya, tidak ada kata hanya, sebab dia bilang suka. Aku benar-benar tidak tahu harus bilang apa selain, aku sudah punya pacar. Dia tidak peduli. Tentu saja dia sudah tau dari Rina sejak sebelum acara jalan-jalan itu terjadi, mungkin. Aku seperti tidak kenal Rina saja.
Kenapa lewat telepon? Bagiku, mengatakan perasaan yang serius lewat telepon sama sekali tidak menunjukkan keseriusan. Mungkin dia hanya iseng, pikirku. Tapi isengnya terdengar benar-benar serius, sampai aku merasa bersalah menolaknya.
Sore hari, Rina melapor, "Ra. Dua anak itu berantem sekarang di kontrakan tuh gara-gara kamu."
"Siapa?" tanyaku seperti orang hilang ingatan. Siapa lagi kalau bukan Juna dan Bimo. Tapi, kenapa mereka malah bertengkar?
"Ya Juna! Dikatain sama si Bimo. Harusnya nggak langsung ngomong gitu ke kamu."
Waduh! Ternyata dia curhat.
"Gimana tuh?" Kenapa Rina jadi meminta pertanggungjawabanku?
"Kamu sih." Dia lalu duduk. "Juna itu kurang apa coba? Dia itu orangnya baik, bertanggung jawab lagi."
"Ya tapi kan aku udah punya pacar, Mbak."
"Ya kan temenan dulu aja apa salahnya?"
Ya jelas salah, dia tanya mau tidak aku jadi pacarnya. Ya masa aku punya pacar dua?!
Tapi temenan dulu aja di saat seperti ini tentu saja tidak memungkinkan. Itu sebabnya Bimo memarahi Juna. Bimo adalah kandidat kedua dalam daftar Rina, sebab gaji Bimo tidak sebesar gaji Juna.
Entahlah, apa yang terjadi pada mereka berdua setelahnya. Yang jelas aku tidak lagi-lagi berkunjung ke kontrakan Rina kalau ada salah satu dari mereka. Tapi yang terjadi pada Ferry, aku tahu. Beberapa bulan kemudian hubungan kami kandas.
Apa dia tahu siapa yang sebenarnya membelikan memory card itu?
Tidak. Dia selingkuh.
Tapi ini terlalu tragis untuk dijadikan FTV. Aku harus mengubah beberapa bagian pada jalan ceritanya.