Firefly selalu gugup di sekolah, tetapi dia tak ingin melewatkan kelas. Sudah terlalu banyak kelas yang dilewatkan olehnya akibat waktu yang direbut oleh berbagai pertemuan dengan dokter dan berbagai tindakan medis.
Satu yang membuat nilainya tetap bertahan di atas batas minimal adalah Hugh, yang selalu ada untuknya, termasuk mengajari materi-materi pelajaran yang tertinggal. Hugh adalah teman sejak masa kecil dan satu-satunya orang di sekolah yang dia kenal dengan baik—Firefly tak punya banyak waktu untuk cukup sering berinteraksi dengan teman lain. Saat dia ada kesempatan untuk hadir di kelas, tahu-tahu semua teman sekelasnya telah memilih sohib masing-masing.
Semua rasa gugup dan sedih itu selalu hilang tiap kali dia bersama Hugh. Dia laki-laki yang sangat lembut, bahkan terkadang Firefly lupa bahwa Hugh bukanlah gadis manis sepertinya—sehingga dia cekikian sendirinya saat menyadarinya. Di beberapa momen, ketika Hugh memasang badan untuknya, melindungi dari setiap hal kecil maupun besar, itulah saat Firefly memahami bahwa Hugh adalah benar seorang lelaki. Seseorang dengan punggung yang tegas, aman untuk berlindung, juga untuk menyandar.
Hari itu, di sekolah sedang hujan. Keduanya cekikikan sambil Hugh mengangkat jaketnya, melindungi mereka berdua dari tetesan air. Sesungguhnya, Hugh sudah melarang, tetapi Firefly memohon untuk pergi ke kantin. Tidak, Hugh tahu, sesungguhnya Firefly hanya ingin merasakan berada di bawah air hujan—sesuatu yang belum pernah dialami gadis itu, bahkan sejak kecil sekali pun.
Firefly begitu lemah sejak belia. Waktu kecil, Hugh kerap sedih karena orang tua Firefly selalu memintanya pulang karena putri mereka butuh tidur siang, sangat banyak istirahat, dan waktu di dalam rumah. Namun, hanya dalam beberapa tahun dan pertemanan yang tak pernah putus, Hugh tumbuh menjadi laki-laki yang begitu dipercaya bahkan oleh kedua orang tua Firefly.
Mereka pergi ke taman setelah menghabiskan satu menu di kantin. Hujan telah reda, menyisakan mendung tipis yang perlahan-lahan membuka sinar matahari untuk kembali menghangatkan bumi.
Satu dari beberapa gazebo di tengah taman sekolah mereka yang luas. Rindang oleh pepohonan tinggi. Bebungaan menghias sepanjang jalan setapak, melingkari setiap gazebo, seperti memeluk mereka dengan lembut dan hati-hati.
“Anyway, Firefly, how is your condition lately?"”
Hugh berharap akan mendapatkan jawaban yang baik. Namun, nyatanya yang dia dengar setelah itu hanya membuatnya memaksa untuk tidak menunjukkan wajah khawatir maupun sedih.
"Not too great, recently. I've been having some fatigue and weakness, more than usual. It's... it's been tough to keep up with school and everything. It just... gets worse over time…."
“Then, why are you going to school?” Agaknya, menutupi kekhawatiran itu makin sulit untuk dilakukan.
"It... It's not ideal, I know. But I don't want to give up on my studies because of my health. I'm trying my best to manage it while also attending school. But... it is difficult, and I do feel tired and fatigued often."
Tepat saat itu juga, semua bayangan melintas di angan Hugh. Bila keadaan Firefly hanya makin memburuk, bila dia memaksakan ke sekolah adalah benar karena tahu bahwa dirinya sudah tak akan pernah bisa membaik, bila suatu momen akhirnya dia benar-benar kehilangan kemampuan untuk datang ke sekolah, bila—
“Firefly—”
Gadis itu terkejut sedikit, Hugh tak pernah terdengar terburu-buru seperti itu, agaknya juga sesegera mungkin ditahan, dia pasti khawatir membuat Firefly terkejut atau panik.
Sesaat, Hugh terdiam, seperti sulit untuk memulai. “Firefly... what do you think about me?"
“I... I think you're great. You've always been there for me, through thick and thin. You're kind, patient, and caring... for me." Kalimat terakhir gadis itu, terasa seperti ada sesuatu lain yang ingin disampaikan.
"You know, Firefly." Hugh sedikit gugup, dia belum pernah seemosional ini—atau hanya karena dia selalu menyembunyikan seluruh kesedihan dan khawatirnya di belakang gadis itu. "The more I think about you, mostly your condition, the more I am afraid of losing you. So, while you still have a time, can I make you even happier? Will you let me to be yours?" Dia mengulurkan tangan.
Lalu, Firefly meraih tangannya dengan sebuah senyuman. Senyuman gadis itu tak yang pernah berubah, justru menjadi makin manis dan lembut di setiap hari lalu. Tak pernah gagal meluluhkan hatinya.
Saat itu juga, seluruh kuncup di dunia, seperti mengembangkan kelopaknya menjadi bunga mekar yang lebar.
Hugh menarik pelan gadis tangan itu padanya, mengecupnya lembut. Dari seluruh kesibukan dunia yang kalut, dia hanya menginginkan satu hal. Dia mungkin terlalu khawatir akan Firefly, tetapi bila kelak ternyata memang benar, dia ingin memberikan seluruhan kebahagiaan terbaik kepada gadis itu.
"After we graduate next year, I'll inherit my parent's business. And after that, promise that you will marry me?"
Senyuman gadis itu merekah makin lebar, tersipu seperti buah yang baru matang. Firefly selalu gembira ketika bersama lelaki itu. Namun, sekarang, kegembiraan itu meledak dan memeluknya seperti taburan gula halus di atas kue, dalam gigitan pertama tepat saat masih hangat. Memberinya sebuah harapan baru yang besar. “I’ll….”
"Until that time comes, please stay strong, Firefly." Sekali lagi, dia mengecup punggung tangan gadis itu, selembut cara gadis itu menggenggamnya.
Hugh tak pernah tahu, bahwa kata-katanya menjadi doa yang dikabulkan. Dengan begitu presisi.
Sirine ambulance kencang bersamaan tangisan.
Hujan deras.
Semua suara bertabrakan dalam telinga.
Tetesan air membasahi. Dingin, lembab. Gedung aula pernikahaan. Tuksedo yang masih rapi.
Gazebo di taman sekolah mereka, makin hangat oleh mendung yang telah sepenuhnya menghilang. Hugh melepaskan kecupannya, untuk tersenyum dan menatap lembut gadis itu. "At that time, I'll bought you the most beautiful ever dress in the world, just for you."
Firefly tertawa kecil, pelan, jauh lebih lembut seperti biasa. Dia terbayang momen itu kelak… sebuah daun pernikahan cantik, sempurna untuknya, khusus hanya untuknya, dari seseorang yang paling dia sayangi. Ah, siapa sangka hari-hari yang biasa dia habiskan memikirkan obat dan tindakan macam apa lagi yang didapatkan, sekarang dia memikirkan sebuah momen paling indah bersama seseorang yang paling ingin dia pegang erat tangannya di sepanjang hidupnya. Sungguh seperti suatu dongeng indah sebelum tidur.
Gadis itu pun tak pernah mengetahui. Bahwa itu sungguh sebuah kisah sebelum tidur.
A forever slumber.
Denting lonceng aula pernikahan menggema. Sebuah gaun putih akhirnya benar-benar telah terpasang indah. Rok mengembang, menjuntai panjang. Tepat di hadapannya, seseorang yang selalu berada di sisi, kini menggenggamnya dengan lembut—tetapi erat. Melepaskan tudung dari kepala gadis itu.
Hugh selalu menjadi seseorang yang ingin melindunginya. Namun, untuk saat ini, dia bukan sekadar ingin, tetapi memang yang paling ingin.
Firefly tenggelam dalam seluruh lautan emosi yang bersatu menjadi sesuatu yang paling manis dan menenangkan. Ciuman pertama mereka adalah suatu ikatan yang erat.
Setelah hari-harinya nyaris tanpa harapan di bangsal rumah sakit, dia sangat memimpikan momen ini. Demi Tuhan, dia bersyukur seluas-luasnya, hingga dari titik terendah hidupnya. Firefly menyadari, dia menginginkan ini… dia menginginkan lelaki itu, Hugh… lebih dari segalanya.
The dream has come true.
Hugh tak mengingat apa yang terjadi.
Itu semuanya, hanya untuk akhir yang berupa hujan deras dan mendung begitu gelap. Dia masih menggunakan tuksedo yang menawan itu, masih begitu rapi. Berdiri di tepat di luar pintu, hujan membasahinya. Masih berada di gedung yang sama.
Tangannya memegang buket bunga yang sekian saat lalu dibawa oleh Firefly, dipegang erat oleh gadis itu dengan sebuah senyuman paling manis.
Sirine ambulance menggema kencang. Bukan singkat dan tergesa-gesa yang menyiratkan keadaan gawat darurat, melainkan panjang, menyisakan rasa putus asa.
Semua orang berbisik. “Ah, palingan semua ini hanya untuk memberikan kebahagiaan di sisa kehidupan gadis itu. Sebentar lagi, dia pasti mendapatkan seseorang yang lain lalu menikah lagi.”
No. That was wrong.
Hugh rasanya masih terjebak dalam momen itu. Buket bunga yang dingin di tangannya. Mata kosong menatap seseorang dalam balutan gaun putih pilihannya, diangkat ke dalam mobil ambulance. Sirine kencang dan tangisan orang-orang di sekitar menjadi terdengar seperti seakan-akan makin jauh, tenggelam dalam dasar terdalam lautan, hingga sepenuhnya hilang.
Menyisakan deru kencang hujan deras di atas kepalanya. Awan mendung tanpa sedikit setitik pun celah. Membungkus langit dengan kegelapan kelam yang kalut. Tanpa cahaya.
Bahkan dari bagian terdalam dari hatinya, dia tak tahu bagaimana lagi cara untuk menghadapi semua ini. “Oh, my dear, Firefly.”
I always, forever and ever, love you… Hugh.