Disukai
0
Dilihat
2,455
Fate
Romantis

Felicia masih berdiri di balik jendela kamarnya, memperhatikan orang-orang yang terlihat begitu senang berbincang dan tertawa diselingi menyisip anggur atau sampanye mereka di halaman belakang mereka yang seukuran hampir seperti sebuah lapangan sepak bola.

Hari itu adalah hari ulang tahun pernikahan ayah dan ibunya dan seperti biasanya setiap tahun perayaan hari kebahagiaan itu selalu ada selebrasi megah yang dihadiri oleh orang-orang perusahaan keluarga mereka, relasi, kolega, dan saudara. Felicia menyukai pemikiran tentang bagaimana ayah dan ibunya menghargai kebersamaan mereka, tetapi tidak bisa menyukai bahwa pemikiran itu harus dijewantahkan dengan cara selebrasi megah yang menghadirkan banyak orang dan membuang banyak uang.

Mau bagaimana lagi? Ia tidak pernah menyukai kerumunan atau tempat keramaian. Hampir seluruh hidupnya dihabiskan di sebuah kota kecil di Italia dengan nenek dan kakeknya dari ayahnya. Dia tumbuh dengan didikan nenek dan kakeknya yang selalu fokus utamanya adalah kesederhanaan dan kebaikan. Apalagi keduanya memang pendidik. Kakeknya seorang konsultan di NGO yang bergerak di bidang pendidikan di kotanya dan neneknya adalah guru SMA yang mengajar musik. Tentu saja orang tuanya juga orang yang baik. Hanya saja cara berpikir mereka dan Felicia banyak yang bertentangan. Mungkin gaya hidup mereka yang sudah lama tinggal di kota besar membuat mereka begitu.

Ada alasan Felicia tinggal dengan nenek dan kakeknya. Meskipun itu permintaan kakek dan neneknya, jauh di dalam hatinya, Felicia juga merasa lega sebab ia memang menyadari bahwa orang tuanya memang agak berat sebelah. Mereka memang lebih menyayangi Hera, anak bungsu di keluarga mereka.

Felicia anak perempuan pertama di keluarga itu, tapi statusnya adalah anak kedua. Ia mempunyai kakak lelaki sekaligus anak sulung di keluarganya yang bernama Alano. Perbedaan umur mereka empat tahun, sementara dia dan Hera beda satu tahun. Di dalam keluarganya itu, dia sangat dekat dengan Alano, tetapi karena sewaktu SMP Alano masuk sekolah asrama, Felicia menjadi sangat murung dan nenek dan kakeknya yang menyadari hal itu memutuskan untuk mengambil Felicia. Orang tuanya tidak keberatan dan oleh karena itu, ia memang tidak pernah dekat dengan orang tuanya.

Saking tidak dekatnya dan karena kesibukan mereka juga, orang tua Felicia tidak menghadiri pernikahan sederhananya dengan Leon, seorang pria keturunan Prancis Amerika yang merupakan seorang pengusaha perhotelan dan restoran. Hanya Alano dan Hera yang datang di pernikahannya di Bellagio, Italia, kota tempat nenek dan kakeknya tinggal.

Leon dan Felicia bertemu karena Felicia pernah bekerja di salah satu restoran miliknya sebagai manajer. Ketika Leon mengunjungi untuk menginspeksi restoran tempat Felicia bekerja, mereka bertemu. Leon yang berinisiatif menghubungi Felicia dan mengajaknya berkencan. Cukup lama Leon meluluhkan hati Felicia karena Felicia tidak terlalu yakin dengan dirinya dan Leon juga. Ia merasa mereka datang dari dunia yang berbeda. Impian mereka juga sangat berbeda dan dari semua perbedaan itu, yang sama dari mereka adalah karena mereka sangat menyukai pertandingan basket dan menikmati permainan piano.

Setelah lima tahun menikah, Leon menceraikan Felicia. Kesamaan mereka dalam basket dan piano tidak bisa menutupi jurang perbedaan prinsip dan gaya hidup mereka. Leon dengan semua gaya glamornya dan hedonnya tidak pernah lepas dari satu pelukan wanita ke wanita yang lain setiap malamnya. Sementara Felicia yang memang tidak pernah menyukai keramaian makin tertutup dalam kesendiriannya. Terlebih, dari lima tahun pernikahannya itu, Felicia tidak bisa melahirkan seorang anak dan keluarga Leon menyalahkannya untuk itu. Mereka bahkan melabeli perempuan itu sebagai wanita mandul dan tak berguna.

Setelah perceraiannya, ia kembali ke rumah nenek dan kakeknya dan melanjutkan hidupnya. Enam bulan ketika ia masih berjuang menata kembali kehidupannya, ia menerima tawaran pekerjaan sebagai guru di sebuah sekolah dasar dan menikmati pekerjaannya sampai saat ini. Setelah hampir setahun ia bekerja di sekolah itu, Alano memintanya untuk datang ke Chicago. Alasannya bukan hanya karena akan ada selebrasi pernikahan ayah dan ibunya saja, melainkan juga karena hari itu adalah hari pertunangan adiknya Hera dengan seorang dokter ahli bedah yang bekerja di rumah sakit kepunyaan orang tuanya itu.

Felicia masih berdiri di posisinya. Ia masih mengamati semua orang di sana termasuk seorang lelaki yang penuh dengan kekaguman menatap Hera adiknya yang tengah berceloteh asyik dengan beberapa temannya itu. Lelaki itu berdiri sendirian dengan satu gelas anggur di tangan kanannya tak jauh dari posisi adiknya dan dengan tenang, ia tersenyum melihat adiknya itu. Mata Felicia beberapa kali bergulir dari Hera yang sama sekali tak sadar tengah diamati lalu pada lelaki itu dan ia kemudian tersenyum. Ia bisa memastikan lelaki itu memiliki perasaan yang istimewa untuk adik bungsunya dan tentu saja ia bangga.

"Mungkin dia August King?" lirih Felicia kepada dirinya sendiri sambil tersenyum.

Perkiraannya tidak salah karena setelah beberapa saat ia bersiap lalu turun bergabung dengan keramaian itu, Alano memperkenalkan dirinya kepada semuanya termasuk kepada tunangan adiknya itu.

"Kau tidak apa-apa?" August King menghampiri Felicia yang tengah duduk di bangku panjang menghadap kolam dengan patung ala Yunani di tengah-tengahnya. Ia melihat Felicia tengah meraba-raba kakinya seperti sedang memijat dan wajahnya terlihat agak meringis. Oleh karena itu, ia bertanya seperti itu.

Felicia menoleh dan cukup terkejut karena lelaki itu menghampiri dirinya, terlebih menangkap basah ia tengah memijat kakinya yang tersiksa karena sepatu hak tingginya. Selain itu, tempat itu jauh dari keramaian dan pesta. Bagaimana bisa ia datang ke sana? Ia berpikir hanya dirinya yang akan berada di sana, tenggelam dalam rasa sepi tetapi tenang.

"Kau tidak apa-apa?" tanya King sekali lagi sambil menunjuk kaki Felicia lalu menatapnya. Ia duduk tepat di sebelah Felicia.

"Aku tidak terbiasa memakai sepatu hak tinggi. Jadi, ini agak melelahkan!" ucap Felicia dengan nada yang terdengar malu.

"Lalu kenapa kau pakai? Kalau tidak suka, kau tidak perlu memaksakan dirimu, bukan?" tanya King dengan santai.

"Ah, itu!" Felicia agak terhenyak. Ia menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Bagaimana ia akan bilang bahwa ibu dan adiknya memaksanya memakainya agar ia terlihat lebih elegan di mata semua tamunya atau secara tidak langsung, agar dia tidak mempermalukan mereka. Sempat mereka berdebat soal itu, tapi ibunya dan adiknya itu memohon dan akhirnya ia mengalah untuk memakainya.

"Mau aku pijat?" tanya King lagi dengan ramah.

"Hah?" Felicia tersentak kaget.

"Aku cukup pintar melakukan itu. Aku biasa melakukannya," ucap King meyakinkan.

"Bukan begitu! Aku bisa melakukannya sendiri," ucap Felicia, terlihat malu.

"Tidak apa-apa," jawab King dan tanpa Felicia sadari ia sudah berjongkok di hadapannya dan meraih kakinya untuk diperiksa membuat Felicia bertambah kaget.

"Eh, tunggu sebentar!" Felicia masih dalam kekagetannya. Ia mencoba menarik kakinya tapi cengkraman tangan King yang besar itu cukup kuat dan itu membuatnya tidak bisa berontak.

"Jangan banyak bergerak. Tumitmu juga lecet! Diamlah sebentar! Aku akan mengobatinya." King mengangkat wajahnya sambil tersenyum dan tangannya meraih sesuatu dari saku tuksedonya. Ternyata dia mengeluarkan antiseptik dan plaster.

Felicia tertawa kecil dan itu menjadikan King kaget.

"Ada apa?" tanya King terlihat penasaran.

"Kau dokter sejati," ucap Felicia sambil tersenyum dan mengacungkan jempolnya.

King yang paham langsung tersenyum.

"Ini kebiasaanku," ujarnya dan melanjutkan mengobati Felicia.

"Ah, begitu." Felicia menganggukan kepalanya.

"Selesai!" ujar King. Ia bangkit dari jongkoknya dan kemudian duduk kembali di sebelah Felicia.

"Terima kasih," ujar Felicia sambil tersenyum ramah.

"Sama-sama," jawab King sambil tersenyum.

Mereka hening sejenak. Kedua pasang mata itu mengarah pada kolam.

"Uhm, kau sangat berbeda dengan Hera," ucap King. Ia menoleh ke arah Felicia sebentar.

"Aku sering mendengar itu dari banyak orang," jawab Felicia. Matanya masih berfokus pada kolam.

Yang dikatakannya memang benar. Siapa yang tidak menyukai Hera dengan kepribadiannya yang periang dan terbuka. Ia menyukai berada di tempat keramaian dan menyukai perhatian yang tertuju kepadanya. Dia lah pusat perhatiannya. Sedangkan dia adalah kebalikannya. Dia menyukai ketenangan. Keramaian dan keterbukaan adalah sesuatu yang asing untuknya. Ia tidak akan banyak bicara dengan orang yang tidak ia kenal. Tapi, tunggu jika ia berkumpul dengan teman-teman dekatnya yang ia anggap nyaman, maka ia akan menjadi orang yang paling asyik untuk diajak bicara karena pengetahuannya dan cara pembahasaannya yang tak pernah membuat orang merasa rendah.

"Aku sangat berterima kasih kepadamu," ujar King.

Felicia mengernyitkan alisnya. Ekspresi di wajahnya menggambarkan kebingungan sekaligus kekagetan.

"Aku tidak pernah menyukai pekerjaan administrasi dan kau datang menyelamatkan aku. Aku sangat merindukan pekerjaanku yang sesungguhnya. Bagaimana pun aku terlahir sebagai seorang dokter, bukan direktur rumah sakit. Tentu saja semua orang yang di posisi aku akan sangat bahagia, tapi aku tidak. Sungguh! Aku hanya ingin menggunakan keahlianku dan membantu banyak orang. Kepuasan dan kebahagiaanku adalah ketika melihat mereka sehat dan kembali pada orang-orang yang mereka cintai dengan bahagia. Aku sekarang benar-benar merasa lega dan ...,"

"Maaf!" Felicia memotong pembicaraannya.

King menatap Felicia.

"Maafkan aku memotong pembicaraanmu, tapi aku benar-benar tidak mengerti dengan yang kau bicarakan," sahut Felicia dan tatapannya memang terlihat bingung.

"Eh? Uhm, ... bukankah kau akan menggantikanku untuk mengambil alih posisi direktur rumah sakit? Bukankah itu alasan kau kembali ke Amerika?" Giliran King yang terlihat kaget.

"Apa kau bilang?" Felicia terkejut.

King masih belum bereaksi.

"Tentu saja tidak. Aku hanya akan berada di sini selama dua minggu. Setelah menghadiri acara ini dan menikmati kota Chicago aku akan kembali ke Italia dan melanjutkan pekerjaanku di sana. Aku akan kembali lagi ke sini ketika kalian melangsungkan pernikahan." Felicia menjelaskan.

"Apa? Tidak, itu tidak benar. Ayahmu dan Alano jelas tidak berbicara seperti itu kepadaku," bantah King. Wajahnya menjadi serius.

"Kenapa tidak Hera yang melakukanya?" Felicia menatap King.

"Hera tidak mau melepaskan karir aktingnya. Ibumu bilang bahwa Hera tidak terlahir untuk pekerjaan seperti itu. Ini keadaan yang sulit, jadi ibu bilang kau juga harus andil untuk kebaikan dan kehormatan keluarga. Orang tuamu tidak bisa mempercayakan ini kepada orang lain selain keluarganya," jelas King.

"Lantas apa hak kalian untuk mengambil kehidupanku juga? Aku juga punya kehidupanku sendiri. Di mana kalian waktu aku mengalami masa-masa sulit? Aku hanya punya nenek dan kakek. Jadi, berhenti berbicara tentang kebaikan dan kehormatan keluarga sebab kalian bahkan tidak paham dengan definisi keluarga," ucap Felicia dengan ketus. Ia mengepalkan tangannya dan wajahnya jelas terlihat marah.

"Hah?" King menganga.

"Ah, maaf! Ini bukan kesalahanmu." Felicia seolah sadar bahwa ia tengah melampiaskan rasa marah yang sudah lama terpendam di hatinya kepada orang yang tidak tepat. Laki-laki itu bahkan belum secara resmi menjadi bagian dari keluarganya.

King masih diam.

Dengan cepat Felicia bangkit dan sekali lagi meminta maaf lalu pergi begitu saja meninggalkan King yang masih dalam keadaan bingung.

***

Dua minggu setelah kejadian malam itu, Felicia diperkenalkan sebagai direktur rumah sakit yang baru untuk sementara. Ia hanya akan menjabat selama enam bulan sampai Alano mendapatkan pengganti dirinya. Itu pun sudah melalui proses yang alot. Felicia bersikeras untuk pulang ke Italia dan tidak mau mencampuri perusahaan orang tuanya. Ia tahu bahwa banyak orang berbicara tentangnya di belakangnya. Semuanya hal yang negatif, mengatakan bahwa ia hanya mementingkan dirinya sendiri dan tidak punya rasa sayang kepada keluarganya dan lainnya lagi, tapi ia tak peduli. Ayahnya bahkan mengancamnya akan mencoretnya dari daftar warisan tapi itu tak mempan kepadanya.

Begitulah! Akhirnya Felicia diangkat menjadi direktur rumah sakit hanya untuk sementara. Hal ini meningkatkan interaksi dan komunikasi di antara dirinya dan King. Meskipun pada awalnya canggung karena Felicia malu setelah sikapnya yang tidak sopan dan kasar pada malam itu, lama-kelamaan hubungan mereka menjadi lebih baik dan semuanya juga berjalan dengan lebih baik.

King mengajarinya banyak hal mengenai apa saja yang harus ia lakukan di rumah sakit. Tidak jarang, ia tidur di kantornya, mempelajari banyak berkas dan dokumen yang tentunya menjadi santapan sehari-harinya dan karena itu pula ia sering mendengar para perawat atau staf rumah sakit lainnya yang bergosip tentang banyak hal termasuk dirinya dan King.

"Ah, dokter sedingin es itu hanya lembut pada direktur kita!"

"Bukankah dokter King hanya akan melebarkan senyumnya ketika Nona Felicia ada di hadapannya."

Itu kurang lebih yang dikatakan para suster di belakangnya atau bahkan ketika dia berada di dekat mereka seolah mereka sengaja melakukannya karena mereka mengeraskan suara mereka saat melakukan gibah terang-terangan itu.

King memang terkenal dingin dan hampir tak pernah melakukan kontak mata dengan perempuan selain dengan para perempuan yang ia kenal atau yang usianya jauh lebih tua daripada dirinya. Itu cukup aneh sebenarnya, mengingat di dalam budaya mereka, kontak mata sangatlah penting dan menunjukkan hal positif. Begitu juga dengan sikapnya yang terkenal dingin, tidak banyak bicara tetapi masih profesional. Banyak orang enggan dekat dengannya, tapi itu juga tidak menyurutkan jumlah fansnya di rumah sakit sebab ia memang andal dan ahli dalam pekerjaannya.

Sikap King yang ramah dan boleh dibilang cerewet kepada Felicia juga memang benar adanya. Namun, Felicia yakin King bersikap seperti itu karena Felicia adalah calon kakak iparnya dan itu tidak akan menimbulkan masalah di antara Hera dan dirinya. Jika ia terlalu ramah kepada perempuan siapa saja, bisa jadi Hera akan sangat cemburu dan ini akan menimbulkan banyak masalah.

"Ah mereka terlihat sangat serasi. Aku lebih setuju King dengan Felicia daripada King dengan Hera. Hera tidak pernah sopan kepada kita, iya kan? Memang dia anak bos kita tapi tetap saja usia kita lebih tua daripada dia. Dia seharusnya belajar sopan santun. Felicia selalu memperlakukan kita dengan baik. Aku tidak mengerti kenapa King memilih Hera? Entah apa yang King lihat dari perempuan itu?"

Itu hal lain lagi yang dikatakan oleh para staf rumah sakit yang usianya lebih tua daripada usia King dan dirinya. Masih banyak omongan lainnya yang lebih brutal daripada ini, tapi ia mengabaikannya dan memilih berfokus pada pekerjaannya, melakukannya dengan sebaik-baiknya. Toh hanya enam bulan dan setelah itu ia akan angkat kaki dan bye-bye everyone.

***

Sebuah ketukan di pintu membuat Felicia yang tengah bekerja di laptopnya mengangkat kepala, mengarahkan tatapannya ke arah sumber suara. Kepala King muncul dari baliknya.

"Hei, apakah aku mengganggu?" tanya King. Ia membuka pintu lebih lebar dan masuk.

Felicia menggelengkan kepala dengan wajah yang terlihat penasaran.

"Mau ikut makan siang? Aku dan Hera akan makan siang. Kau mau ikut?" tanya King.

"Oh, Hera ada di sini?" tanya Felicia. Ia melihat ke arah pintu yang jelas hanya ada King di sana.

"Tidak. Kami akan bertemu di restoran," ujar King.

"Baiklah, ayo!" ujar Felicia. Dengan cepat ia menjawab.

Ia mengotak-atik sebentar laptopnya lalu beranjak dari kursinya. Setelah merapikan diri dan mengambil tas serta mantelnya, mengingat saat itu musim dingin, mereka bergegas menuju parkiran. Itu hal biasa. Ajakan itu hanya seperti makan siang-makan siang lainnya. Kadang-kadang mereka dengan Alano dan Hera, atau hanya dengan Hera, atau dengan Alano saja. Jadi, tidak ada yang istimewa.

"Hari ini kau selesai dengan pekerjaanmu, bukan?" tanya Felicia sambil memasang sabuk pengaman.

"Iya, benar." King menjawab bersiap menyalakan mobil.

"Kalau begitu, kenapa kalian tidak menghabiskan waktu bersama? Hera tidak ada jadwal syuting dan lainnya, kan?" tanya Felicia. Ia bisa memastikan itu karena ia sempat berbicara dengan Hera tadi malam dan Hera dengan jelas memberitahunya bahwa hari itu ia libur.

"Iya, itu rencananya," ujar King. Mobil melaju meninggalkan parkiran rumah sakit.

"Kalau begitu, seharusnya kau tidak mengajakku makan," sahut Felicia.

"Kalian seharusnya menikmati waktu bersama," sambungnya. Ia manunjukkan wajah tidak enak.

"Tidak apa-apa. Ini juga permintaan Hera. Dia bilang ada temannya yang ingin berkenalan denganmu." King berkata tapi ia merasa tidak nyaman saat mengatakannya. Pertama, ia tak terbiasa terlibat dalam 'bisnis berahi' seperti itu dan intinya ia memang tidak suka ikut campur urusan pribadi orang lain, bahkan teman dekatnya. Belum tentu niat baik yang dilakukan bisa diterima dengan senang hati atau bahkan lapang dada oleh orang lain.

"Maksudnya?" Felicia melirik ke arah King.

Nah benar kan! Setidaknya itulah reaksi yang King sudah duga dari Felicia. Wajah yang mengernyit dan dari delikan mata, jelas ia kurang suka dengan ide itu.

"Aku juga tidak terlalu paham dengan ini. Tapi, uhm, ... sepertinya ada temannya yang menyukaimu dan dia ingin berkenalan denganmu." King menjelaskan masih dengan nada tidak nyaman.

"Jadi, kau mengajakku makan siang untuk alasan itu? Kapan teman hera pernah melihatku? Di mana? Apakah kami pernah berinteraksi sebelumnya?" Nada Felicia tidak enak untuk didengar.

"Sebenarnya, aku ingin mengatakannya dengan jujur tapi aku tahu jika aku menjelaskan semuanya mungkin kau tak akan mau datang," ujar King.

"Iya, kau sudah tahu jawabannya. Dan sekarang aku merasa dijebak," ujar Felicia terdengar kecewa. Wajahnya terlihat marah.

"Bisakah kau memaafkan aku kali ini? Aku tidak akan melakukannya lagi. Hera benar-benar memaksaku dan alasannya cukup masuk akal. Dia ingin kau tidak tenggelam dalam kesepian dan kesendirian. Dan kurasa itu ide yang bagus, jadi aku, ...,"

"Kenapa kau diam?" King melirik ke arah Felicia sebab Felicia mengalihkan pandangannya ke arah jendela dan memilih untuk mengabaikan yang dikatakan King.

"Aku memaafkanmu. Jangan lakukan lagi!" jawab Felicia singkat. Ia menghela napas panjang.

"Dan perlu kalian tahu, aku bahagia dengan caraku. Jadi berhenti menilai hidup orang lain," sambungnya. Ia masih pada moodnya yang buruk.

King agak terhenyak dan ia memilih diam walaupun sebenarnya ia masih ingin menjelaskan. Namun, entah mengapa mulutnya seperti terkunci begitu saja. Sesungguhnya ia tidak menerima dengan yang dikatakan Felicia.

Secara pribadi, ia tak pernah berpikir menilai hidup Felicia. Hera dan Alano memang pernah bercerita tentang kisah kelam Felicia dengan Leon dan ia memang bersimpati. Namun, itu tidak berarti ia menilai bahwa hidup Felicia tidak bahagia. Ketidakberuntungan tidak serta-merta menjadikan seseorang menjadi murung seumur hidupnya. Toh ia sendiri tidak melihat itu dari perempuan yang duduk di sebelahnya itu. Ia merasa Felicia baik-baik saja. Oleh karena itu, ketika Felicia menyebut 'kalian', pada tuturan sebelumnya, ia tersinggung.

"Maafkan aku!" lirih Felicia.

King tertegun.

Ia mematikan mesin mobilnya karena mereka sudah tiba di restoran.

"Seharusnya aku tidak melampiaskannya kepadamu. Maafkan aku!" ujar Felicia.

King hanya menghela napas panjang lalu menyunggingkan senyum.

"Apa ini gejala pascamenstruasi?" King bercanda.

"Tutup mulutmu!" Felicia mengerling.

King tertawa kecil.

"Kau berutang satu kopi kepadaku. Kalau kau traktir kopi, permintaan maafmu aku terima." King berkata sambil memainkan kedua alisnya dan keluar dari mobil.

"Ya, baiklah! Itu tidak sulit!" ujar Felicia dan mereka kembali ceria.

***

Sudah hampir setengah jam, Hera dan temannya tidak menampakkan wajahnya. Bahkan ketika mereka sudah memesan makanan penutup, mereka belum juga terlihat batang hidungnya.

"Aku tidak bisa menunggu selamanya, King. Aku sedang bekerja," ujar Felicia. Ia menatap King.

"Aku sudah menghubunginya, tapi dia tak mengangkatnya," ujar King dan sekali lagi ia meraih Hpnya dan melakukan panggilan telfon.

"Aku khawatir terjadi sesuatu. Aku akan mengecek berita. Kau lanjutkan menelfonnya." Felicia berkata. King hanya menganggukkan kepala.

Akhirnya setelah hampir dua jam mereka di sana, mereka menyerah. Wajah King terlihat kecewa. Bahkan manajernya tidak mengangkatnya. Tidak ada berita yang menunjukkan hal buruk tentang Hera sehingga di satu sisi mereka menjadi lega.

"Aku akan naik taksi kembali ke rumah sakit. Kau pergilah ke apartemennya. Aku tahu kau mengkhawatirkannya karena aku juga sama." Felicia berkata sambil bersiap-siap untuk pergi.

"Uhm," ujar King. Ia terlihat sedang melamun dan Felicia menangkap ekspresi di wajahnya itu.

"Hei, jangan khawatir! Aku akan mencari informasi tentangnya juga!" Felicia menepuk bahu King pelan.

King menganggukkan kepalanya.

Mereka meninggalkan restoran secara terpisah. King langsung melajukan mobilnya ke arah apartemen, tapi baru saja setengah perjalanan ia menerima satu pesan masuk. Ia pikir itu pesan dari Hera, jadi ia meminggirkan mobilnya sejenak. Pikirannya hanya satu. Jika Hera memang mengiriminya pesan, ia akan menelfon dan menanyakan hal yang terjadi kepadanya. Namun, ternyata itu bukan Hera yang mengiriminya pesan. Seseorang tak dikenal mengiriminya sebuah video dan ketika ia membukanya wajahnya terlihat dipenuhi dengan amarah.

Video itu menunjukkan adegan dewasa antara Hera dan seorang lelaki yang usianya sebaya dengan ayahnya sendiri. Di dalam video itu juga dijelaskan di mana tempatnya dan bahkan terdapat pesan yang menjelaskan bahwa ini masih berlangsung dan ia memberikan alamatnya yang jelas.

King dipenuhi dengan amarah. Ia membanting Hp dan memukul setir berkali-kali menyebabkan beberapa para pengendara terkejut saat mobil yang mereka bawa melewati mobil King. Ia diam selama beberapa saat dan seolah ia sudah dengan sebuah keputusan di kepalanya, ia melajukan mobilnya ke arah tempat yang diarahkan di dalam pesan. Itu setelah sebelumnya ia menghubungi sang pengirim video tapi tidak diangkat.

Ia tiba di sebuah vila yang memang jauh ke mana-mana. Ia memarkirkan mobilnya tak jauh dari sana dan menunggu. Selama menunggu itu, ia menerima beberapa panggilan telfon dan ia mengabaikannya karena perasaannya yang sedang tidak karuan sampai panggilan yang ia dapat dari Felicia.

"Halo!" King memulai percakapan. Ia mencoba menenangkan suaranya, meski wajahnya begitu kacau.

"Aku sudah menelfon ibu dan ibu bilang Hera ada bersamanya berbelanja. Ia lupa memberitahumu karena Hpnya tertinggal di apartemennya. Ibu memintaku mengatakan itu kepadamu," ujar Felicia.

"Uhm," jawab King. Ia menahan amarahnya sebab tak jauh dari sana ia menyaksikan Hera keluar dari sebuah vila digandeng lelaki tua dan ia terlihat sangat bahagia. Mereka berpelukan dan berciuman dengan bebas tak menyadari bahwa seseorang atau mungkin beberapa orang tengah mengawasinya.

"Kau tidak apa-apa?" suara Felicia terdengar khawatir.

"Ah, iya," ujar King sejenak ia tak menjawab.

"Baiklah, kalau begitu. Itu saja." Felicia berkata.

"Tunggu!" King berkata lagi.

"Ada apa?" tanya Felicia agak tersentak sebab tetiba suara King meninggi.

"Apa kau tahu mereka sedang berbelanja di mana?" tanya King sambil masih menatap pemandangan di depannya.

"Ah, maaf! Aku tidak menanyakannya. Tapi, ibu bilang, Hera tidak akan pulang ke rumah, tapi ke apartemennya. Kau bisa menunggunya di sana dan memberikannya kejutan. Bukankah itu hal yang bagus?" Felicia berkata dengan nada menggoda.

"Uhm, kau benar. Itu bagus," ujar King tapi nadanya agak lain.

"Baiklah kalau begitu! Terima kasih," ujar King lagi.

"Hmm,"ujar Felicia dan ia menutup telfon.

"Kenapa aku berpikir ia sedang tidak baik-baik saja?" Felicia berkata kepada dirinya sendiri. Sejenak ia diam berpikir, tapi tak lama berselang ia kembali pada pekerjaannya. Ia pikir itu hanya perasaannya saja, jadi ia tak ingin berlama-lama berpikir berlebihan untuk sesuatu yang belum pasti.

***

Felicia mematikan lampu di kantornya dan menutup pintu. Ia berbalik dan tersentak kaget.

"Astaga!" wajahnya terlihat sangat kaget.

"Apa yang kau lakukan di sini?" Felicia menatap King heran.

"Kau masih berutang satu kopi kepadaku, bukan?" King mengangkat dua alisnya.

"I-iya, tapi, uhm, bukannya malam ini kau seharusnya bersama dengan Hera?" Felicia terlihat bingung. Kekagetannya sepertinya sudah reda karena wajahnya terlihat lebih tenang sekarang.

"Ah, aku menghubungi ibu dan sudah berbicara dengannya. Kami akan merencanakan untuk bersama lain kali," ujar King berbohong.

"Oh, begitu!" ujar Felicia.

"Tapi, aku tak bisa mengajakmu minum kopi sekarang," sambung Felicia. Wajahnya terlihat meminta maaf.

"Oh! Kau ada acara?" tanya King dengan wajah agak kecewa.

Felicia nyengir sambil menganggukkan kepalanya.

"Kencan?" King bertanya. Felicia menggelengkan kepala.

"Sendiri?" tanya King lagi.

Felicia menganggukkan kepalanya.

"Kalau begitu kutemani," ujar King.

"Hah? Kau menyukai pertandingan basket?" tanya Felicia.

King tertawa.

"Aku salah satu pemain terbaik waktu kuliah," ujarnya. Nadanya terdengar bangga.

"Bermain dan menonton tidak sama," ujar Felicia.

"Well, try me!" ujar King sambil tersenyum.

"Ayo!" King mendahului melangkah.

"Aku harus mengunjungi dulu seseorang ya sebelum pergi," ujar Felicia.

"Baiklah!' jawabnya.

Mereka berjalan menuju sebuah ruang pasien.

"Camile, kau masih bertugas?" sapa Felicia.

"Iya, kau akan melihat Gretta?" tanya Camile.

Dia dokter ginekologi di rumah sakit itu dan Greta adalah salah satu pasien yang baru melahirkan dengan bayi kembar lima, tidak ada suami dan tanpa penghasilan. Dia sudah memasuki banyak rumah sakit meminta bantuan meringankan biaya dan menjelaskan kondisinya itu, tidak ada satu pun yang bisa membantu sampai akhirnya ia mencoba di rumah sakit yang dikelola Felicia. Sama halnya dengan rumah sakit lain sebenarnya secara administrasi jika prosesnya normal, itu hampir tidak mungkin, tapi Felicia membuatnya menjadi mungkin karena status Greta disamakan dengan pasien lain dengan pembayaran dilakukan oleh Felicia secara pribadi. Tentu saja ini rahasia.

"Oh, ada dr. King juga di sini. Kalian mau pergi bersama?" Camile kaget saat King yang tadi sempat belok dulu di toilet menyusul Felicia. Ia melihat ke arah Felicia yang sudah memasuki ruangan dan sekali lagi ke arah King.

King hanya mengangguk.

"Ada apa dengan pasien itu?" tanya King.

"Tidak ada apa-apa. Hanya saja Felicia membayar semuanya secara pribadi." Camile menjelaskan.

"Oh! Kenapa aku tidak tahu ini?" King kaget.

"Benarkah? Kupikir kau tahu. Dia hanya bilang dia tidak akan pernah bisa melahirkan, jadi setiap wanita yang dianugerahi anak dan dengan keterbatasan dia ingin membantunya," jelas Camile menatap Felicia yang tengah berbincang dengan Greta di dalam ruangan.

King terhenyak.

"Siapa dia? Bunda Theresa?" ucap King. Ujung bibirnya meregang sebuah senyum tipis. Ada rasa kagum dari sorot matanya yang jelas terfokus pada Felicia.

"Ya, bisa jadi," ujar Camile tersenyum.

Mereka menghentikan pembicaraan saat Felicia keluar dari ruangan.

"Ayo!" ujar Felicia menatap King.

"Terima kasih atas kerja kerasnya, Camile. Jaga kesehatanmu," sambung Felicia sambil tersenyum ke arah Camile dan melambaikan tangannya.

"Kalian mau ke mana?" tanya Camile.

"Rahasia," ujar King.

"Nonton basket. Kau mau ikut?" goda Felicia.

Camile tertawa kecil.

"Lain kali," jawabnya sambil melambaikan tangannya.

"Kenapa aku mencium bau perselingkuhan di sini," ujar salah satu suster yang tetiba mendekati Camile.

"Tidak, itu tidak benar. Mereka hanya dekat karena bekerja bersama," ujar Camile.

"Tapi jika iya, aku mendukung mereka," sambung suster lagi tak mau mendengarkan perkataan Camile.

"Eh?" Camile melirik ke arahnya.

"Bukankah mereka sangat cocok? Apa kau tidak merasa bahwa dr. King hanya lembut kepada Felicia?" Sang suster mengangkat kedua alisnya.

"Baiklah, kita hentikan gosip ini sebelum seseorang mendengar kita dan kita dipecat karena hal sepele ini," ujar Camile.

"Uhmmm," ucap suster sambil menganggukkan kepalanya. Mereka kembali pada pekerjaannya masing-masing.

***

Sebelum pertandingan dimulai, layar kamera beberapa kali menyoroti para penonton dan siapa pun para penonton yang terkena sorotan kamera itu akan masuk ke layar besar dan biasanya mereka akan diminta berciuman. Itu yang terjadi kepada Felicia dan King. Dan selama berkali-kali layar itu menangkap wajah mereka, selama itu pula mereka harus menolak permintaan ciuman yang menjadi kebiasaan itu. Sorakan kekecewaan terdengar dari banyak bangku penonton tapi keduanya mengabaikannya dan hanya saling menyunggingkan senyuman.

"Nah, utangku lunas ya! Aku sudah membelikanmu kopi plus mengajakmu menonton," ujar Felicia. Mereka berjalan menuju tempat parkir. Pertandingan basket tidak telalu lama dan mereka keluar dari stadium masih awal malam.

"Iya, terima kasih," jawab King sambil membuka pintu mobil.

Keduanya memasuki mobil.

"Kau mau pulang langsung?" tanya King.

"Tidak, aku ikut sampai restoran di dekat taman. Aku mau makan lalu jalan-jalan dulu sebentar." Felicia menjelaskan.

"Kau tidak akan pulang?" tanya King.

"Aku tidak punya banyak waktu untuk melihat-lihat kota ini. Sudah hampir lima bulan aku di sini dan yang kulihat hanya tumpukan dokumen, berkas rumah sakit dan wajahmu. Itu tidak cukup mewakili Chicago, kan?" sindir Felicia.

King tertawa.

"Apa yang bisa kau nikmati di musim dingin seperti ini? Di luar pula?" tanya King sambil menggelengkan kepala.

"Banyak. Kau hanya perlu melihatnya lebih baik," ucap Felicia dengan suara pelan sambil memandang keluar jendela dan meskipun suaranya pelan, King bisa mendengarnya. Ia diam sejenak.

"Kalau begitu, aku akan menemanimu malam ini." King berkata.

"Wow! Kau tak perlu melakukannya. Kau bukan escort, kan?" Felicia mengerling.

"Wah! Kau jahat sekali!" ujar King.

Felicia tertawa.

"Besok aku libur. Jadi, aku punya waktu luang. Malam ini aku akan traktir kau makan di sebuah tempat ekslusif di Chicago," ujar King.

"Tidak, kau tak perlu melakukannya. Aku mau pergi sendiri," ujar Felicia.

"Nanti kalau aku dan Hera berkunjung ke Italia, kau harus membawa kami ke restoran ekslusif di sana," ujar King lagi.

"Ah! kau terlalu memaksa!" jawab Felicia sambil menggelengkan kepala.

Dan ia tak menolak ajakan King.

Mereka menuju restoran dan setelah mereka sampai, King langsung memesan makanan yang menjadi signature mereka.

"Enak, kan?" King berkata dengan bangga.

Felicia menganggukkan kepalanya. Ia tengah menyantap makanan itu.

"Kau dan Hera sering pergi ke tempat ini?" tanya Felicia setelah ia selesai makan.

"Kenapa kau berasumsi aku dan Hera pergi ke tempat ini?" tanya King.

"Karena sebagai imbalan kau bilang aku harus mengajak kalian ke restoran ekslusif di Italia, kan! Jadi kupikir ini tempat makan yang biasa kalian kunjungi," jelas Felicia.

King diam sejenak.

"Kalau begitu, jika aku mengunjungimu tanpa Hera, kau akan menerimaku?" King mengalihkan pertanyaan.

"Tentu saja. Kau bagian dari keluargaku sekarang, kan!" Felicia berkata dengan santai. Ia mengambil lagi makanan dan memasukannya ke dalam mulut.

"Maksudku kalau aku sama sekali tidak ada hubungannya dengan Hera, apa kau akan menerimaku di sana?" King berkata sambil menatap Felicia dan jelas Felicia agak kaget dibuatnya. Ia diam sejenak lalu tersenyum.

"Tentu saja. Kau temanku, bukan?" Felicia meraih gelas minumnya.

King menganggukkan kepalanya.

"Ada tempat lain yang ingin kau kunjungi lagi?" tanya King.

"Aku ingin menikmati pinggiran sungai Kota Chicago," ujar Felicia.

Mereka berjalan menuju mobil.

"Cuacanya agak dingin," komentar King.

"Iya, tidak apa-apa. Mantelku cukup tebal. Aku tak punya banyak waktu lagi di sini," jawab Felicia.

"Kau tidak perlu menemaniku. Turunkan saja aku di area terdekat," sambungnya.

"Aku akan menemanimu. Tapi, kita beli kopi dulu ya," jawab King.

Felicia menganggukkan kepala.

Mereka berjalan menyusuri pinggiran sungai, menikmati pemandangan sambil minum kopi dan mengobrol ngalor ngidul. Sesekali mereka bercanda dan tertawa juga.

"Felice!" sebuah suara yang terdengar sangat akrab di telinga Felicia ditambah dengan cara memanggil namanya itu membuat langkah kaki Felicia terhenti, mematung dalam kekagetan. Secara otomatis, King yang berjalan di sebelahnya ikut menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah belakang berbarengan dengan Felicia.

Di hadapannya seorang lelaki tinggi tegap dengan gaya eksekutif menggandeng seorang perempuan yang berdandan cukup seksi. Sepertinya perempuan itu sudah kebal dengan dinginnya Chicago yang jelas sudah mencapai sekian minus derajat.

"Leon!" lirih Felicia. Wajahnya terlihat agak ketakutan dan sedih juga.

"Apa kabar?" Leon menyodorkan tangannya.

Felicia masih membeku di sana.

"August King," ujar King menyambut tangan Leon.

Dia membaca dengan cepat situasi itu.

"Aku sangat ingin bertemu dengan mantan suami dari istriku yang cantik ini," ujar King dan satu tangannya dengan cepat memeluk pinggang ramping Felicia dan itu membuat Felicia terkejut. Ia menatap ke arah King dengan begitu banyak pertanyaan di wajahnya dan yang ditatap hanya tersenyum.

"Oh, kau sudah menikah lagi?" giliran Leon yang tampak terkejut. Dia mengabaikan King dan hanya berfokus pada Felicia.

"Benar. Kami sudah menikah dan perlu kau tahu dia sedang mengandung anakku, sudah hampir dua belas minggu, ya kan, Baby?" sekali lagi King yang menjawab pertanyaan sambil menatap Felicia dan dengan santai mencium pucuk kepala Felicia dengan lembut. Felicia tidak mengatakan dan melakukan apa-apa. Ia terlalu kewalahan dengan semuanya.

"Selamat! Jadi, kau tidak mandul! Syukurlah kalau begitu," Leon berkomentar.

"Tentu saja tidak! Kurasa Tuhan tidak mengizinkan benih seorang lelaki sepertimu tertanam di rahimnya." King berkata dengan ketus.

"Ayo, Sayang kita pergi!" ujar King sambil hampir melengos pergi.

Felicia hanya menganggukkan kepalanya dengan ekspresi di wajah yang campur-campur antara tegang, kesal, sedih, bingung, dan kikuk juga.

Mereka membalikkan tubuhnya.

"Felice!" lirih Leon dan entah kenapa King tetiba menjadi kesal.

Ia melepaskan pelukan di pinggang Felicia dan berbalik berjalan dengan cepat mendekati Leon.

"Jangan kau berani memanggilnya dengan cara seperti itu atau aku akan menguburmu hidup-hidup!" Tatapan mata King menunjukkan amarah.

Sejujurnya, cara Leon memanggil Felicia memancing ingatannya pada kejadian tadi siang pada sebuah skenario saat lelaki tua yang menikmati tubuh tunangannya memanggil Hera dengan cara yang sama menjijikkannya dengan panggilan Leon baru saja.

Felicia yang menyaksikan mereka dari posisinya terkejut. King tak perlu semarah itu hanya gegara sebuah nada panggilan seperti itu. Lagipula, ia sendiri tak lagi terpengaruh oleh itu.

"Gust!" lirih Felicia.

King terhenyak. Ia menoleh ke arah Felicia. Sama halnya dengan Leon yang tengah menatapnya juga dalam keadaan terkejut. Leon tidak menyukai Felicia menyapa lembut lelaki tampan yang berada di hadapannya itu. Namun, King menyukainya. Cara Felicia memanggilnya terdengar indah di telinganya.

"Aku kedinginan. Ayo pulang." Suara Felicia melembut dan ia tersenyum indah. Ia berjalan ke arahnya dan menarik lengan King melingkarkan tangannya di tangan King sambil tersenyum. King tentu saja tertegun. Tetiba dadanya bergemuruh dan jantungnya berdebar cepat. Mereka membalikkan tubuhnya melangkah menjauhi Leon dan perempuan yang sejak tadi hanya seperti manekin di antara mereka.

"Kau panggil aku apa tadi?" bisik King sambil masih berjalan.

"Iya, maaf! Kau boleh meminta apa saja dariku. Aku sangat berterima kasih kepadamu karena sudah menyelamatkan aku dari dia. Aku pasti akan seperti orang bodoh kalau sendirian!" Felicia terus berjalan dan mereka masih bergandengan tangan.

"Kurasa dia mengikuti kita!" bisik King yang jelas mendengar suara langkah kaki Leon berada di belakang mereka sejak tadi dan juga perempuan manekin itu kini mulai berbicara atau lebih tepatnya mengeluh.

"Apa dia sudah gila?" Felicia mulai terlihat kesal. Mereka sudah berada di mobil dan sudah melaju juga di jalan raya dan Leon mengikuti mereka dari belakang dengan mobilnya.

"Dengar! Aku akan membawamu ke rumahku. Dia benar-benar ingin membuktikan kita sudah menikah. Kurasa dia ingin tahu kebenarannya," jelas King.

"Lalu apa? Dia tak mungkin menunggui kita semalaman, kan?" Felicia menatapnya dengan perasaan khawatir.

"Jika itu yang dia lakukan, kita akan lapor polisi," ujar King. Felicia menganggukkan kepalanya.

Mereka menuju rumah King. Setibanya di sana, mereka keluar dan bersikap seperti mereka adalah psangan suami istri. Di balik jendela, mereka mengintip keberadaan Leon yang memang masih berada di seberang rumah King.

"Sepertinya ia sendirian," ujar King sambil menatap Felicia.

"Kita telfon polisi saja," ujar Felicia dan hendak mengambil Hp dari tas jinjingnya.

"Tunggu sebentar!" ujar King.

Felicia menatapnya heran.

"Kita tunggu saja dulu! Kalau tengah malam ia masih berada di luar, dan bertindak macam-macam, baru kita akan lapor polisi," ujar King. Felicia menganggukkan kepalanya.

"Sementara ini, kau istirahatlah!" King membawa Felicia ke kamarnya.

"Bagaimana denganmu?" tanya Felicia.

"Jangan khawatir! Aku bisa tidur di sofa." King membuka lemari dan memberikan kemeja dan sebuah handuk.

"Aku tidak akan mengganti baju," ujar Felicia.

"Besok kau akan memakai baju yang sama. Jika kau pakai itu untuk tidur, nanti kusut. Tidak apa-apa. Ganti saja," ujar King.

Sejenak ia ragu untuk mengambil pakaian itu. Felicia tidak terbiasa. Tapi, yang dikatakan oleh King memang masuk akal. Ia menerima pakaian itu lalu pergi ke kamar mandi. Setelah membersihkan diri, ia mengganti pakaiannya. Saat ia keluar dari kamar mandi, ia tidak mendapati King ada di sana. Ia tidak mencarinya dan langsung naik ke atas ranjang sebab ia merasa sangat lelah.

Hampir menjelang subuh, ia mendengar suara berisik seperti benda yang jatuh. Felicia terbangun gegara suara itu. Ia duduk sejenak dan mencoba mendengarkan kembali suara di luar. Terdengar laci perlahan dibuka. Ia menuruni ranjang sambil perlahan berjalan menuju pintu dan membukanya. Ia melihat punggung King yang tengah mengambil sesuatu dari laci.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Felicia.

King terkejut. Ia berbalik dan tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Namun, ia menyembunyikan tangan kanannya ke belakang dan Felicia menjadi kaget, khususnya saat terlihat ada percikan darah yang menetes ke lantai.

"Ada apa dengan tanganmu?" Felicia membelalakkan matanya. Dengan segera ia berjalan menuju King dan meraih tangannya. Ia menganga. Terdapat luka sayat di lengannya. Luka itu dangkal tetapi cukup panjang.

"Astagaa! Duduklah! Aku akan obati. Di mana kau simpan kotak P3Knya?" tanya Felicia. Dia terlihat sangat gugup dan terlihat agak kacau.

"Di laci kedua," jawab King. Felicia dengan segera mengambilnya. Setelah itu, ia kembali kepada King yang tengah menunggunya.

"Leon yang melakukannya, bukan?" tanya Felicia. Ia masih berfokus mengobati luka King, tapi saat ia mengutarakan pertanyaan itu, matanya menatap mata King lalu menatap lengan King setelah mendapatkan anggukan sebagai jawaban.

"Dia selalu membawa pisau di saku bagian dalam jasnya. Dulu, ujung pisau itu selalu berada di leherku jika aku tak mau melayaninya di ranjang dan sekarang itu malah melukaimu. Maafkan aku!" Felicia berkata dengan suara tercekat. Tubuhnya bergetar dan King menyadari akan hal itu.

"Dia sudah pergi?" tanya Felicia dengan nada cemas dan sedikit gemetar. Ia bertanya setelah ia selesai mengobati lengan King.

"Kau jangan khawatir. Aku sudah melaporkannya ke polisi," ujar King. Nadanya sengaja dibuat lembut agar Felicia tidak cemas.

"Begitu. Syukurlah!" Nada Felicia terdengar lega tapi King bisa melihat bahwa wajahnya masih telihat tidak tenang dan tubuhnya juga masih gemetar.

"Kembalilah tidur! Aku akan menjagamu di sini," ujar King meyakinkan.

"Aku tidak mungkin bisa tidur." Felicia menundukkan kepalanya. Tangannya mengusap air matanya yang keluar dengan cepat.

"Hei, It's okay! Ini hanya luka ringan. Aku masih bisa menggerakkan tanganku dengan leluasa. Lihat!" King menggerak-gerakkan tangannya untuk membuktikan.

"Syukurlah! Itu bagus!" ujar Felicia, tapi sikapnya tidak menunjukkan kelegaan. Ia malah menutup wajahnya dengan kedua tangannya dan menahan tangisnya. Ia tidak bisa mengontrol tubuhnya yang bergetar semakin hebat.

King yang menyaksikannya menjadi kaget. Sedemikian parahnya lelaki yang bernama Leon itu menghancurkan hidup Felicia sehingga meninggalkan trauma mendalam dan sepertinya sekarang King menyadari bahwa Felicia menyembunyikan luka batinnya dan jauh dari kata sembuh.

"Aku akan pulang! Maafkan aku. Karena aku, kau menjadi seperti ini. Aku tak ingin merepotkanmu." Felicia bangkit dan segera berjalan menuju kamar King. Namun, King dengan cepat meraih tangannya.

"Kau tidak boleh pergi. Ini terlalu awal. Istirahatlah dulu!" sahut King.

"Tidak! Kau yang memerlukan istirahat bukan aku! Aku akan ke rumah sakit dan melanjutkan pekerjaan. Kau tak perlu khawatir," ujar Felicia sambil berusaha menyunggingkan senyum.

Mereka memasuki kamar. Felicia membereskan barangnya dan King yang berdiri di ambang pintu menatapnya dengan perasaan sedih.

"Jangan pergi!" ucap King.

"King, aku benar-benar merasa bersalah kepadamu. Kau seharusnya tidak mendapat luka ini." Felicia berdiri di hadapan King.

"Aku tak akan membuat masalahku melibatkan orang lain dan sampai terluka pula. Tidak apa-apa. Aku terbiasa mengurus semuanya sendiri. Kau tak perlu khawatir," ujar Felicia meyakinkan.

"Tapi aku tak bisa. Aku tak bisa mengurusnya sendirian. Aku memerlukan seseorang untuk membantuku. Jadi, tolong temani aku," lirih King. Matanya berkaca-kaca.

Felicia mengernyitkan alisnya. Ia terlihat bingung.

"Ada apa?" Felicia masih dalam kebingungannya.

"Ayo kita bicara," ujar King. Dia memasuki kamar dan duduk di tepi ranjang. Felicia mengikuti dan duduk di sebelahnya. King mengeluarkan HP dari sakunya lalu membuka sebuah video dan memberikan HPnya kepada Felicia agar ia dapat menonton video itu.

Felicia menerimanya dan menganga. Beberapa kali ia melihat ke arah King dan video yang menunjukkan Hera dan lelaki tua seumuran dengan ayahnya. Dan ia hanya bisa menutup mulutnya.

"Jadi, ibu berbohong. Bagaimana bisa?" tanya Felicia. Wajahnya terlihat masih shocked.

"Maafkan aku! Aku memanfaatkanmu hari ini. Aku bisa melupakannya sebentar saat aku bersamamu. Jika kau pergi, aku khawatir tidak bisa mengontrol diriku," ujar King.

"Apa yang harus kulakukan sekarang? Aku benar-benar marah!" King menarik napas panjang dan tangannya mengepal.

"Pertama kali aku mengetahui Leon berselingkuh dariku, aku menangis dan menyalahkan diriku, itu salahku karena aku tidak bisa memuaskannya, tidak bisa membuatnya senang, tidak bisa memberinya anak. Masih banyak pikiran lainnya di kepalaku dan semuanya membuatku merasa buruk. Saat itu, aku sama sepertimu. Memendam semuanya sendirian. Tapi itu semakin membuatku buruk. Jadi, setelah hampir tiga bulan aku menyimpan semuanya sendirian, aku mengajaknya berbicara. Aku mengatakan semua perasaanku kepada Leon, bahwa aku sudah tahu hal yang ia lakukan di belakangku dan jika itu memang benar-benar salahku, aku memintanya untuk memberiku kesempatan untuk memperbaiki kesalahanku agar aku bisa menyelamatkan pernikahan kami." Felicia menatap King sambil tersenyum.

"Apakah itu berhasil?" tanya King.

"Tidak. Dia makin menjadi. Setelah itu, dia menceraikan aku. Tapi, King, itu tidak berarti dalam kasusmu, ini akan gagal." Felicia tertawa kecil. Ia mengelus punggung King.

"Ada alasan mengapa orang-orang bilang komunikasi sangat penting dalam sebuah hubungan. Kau bicara saja dengan Hera. Setelah itu kau bisa ambil keputusan untuk menyerah atau terus bersamanya. Hera, meskipun dia adikku, aku tidak bisa memahami pikirannya, jadi kalau kau mengharapkan jawabannya dariku, kau tak akan mendapatkannya. Aku bisa saja memberikanmu beribu alasan untuk membelanya, tapi aku yakin kau tak akan puas dengan jawabannya. Kau paham dengan maksudku, bukan?" Felicia menghela napas panjang.

"Kau temanku. Apa pun keputusanmu, aku akan mendukungmu. Pengalamanku, kau akan memerlukan tempat untuk berpikir entah kau akan melanjutkan hubungan atau mengakhiri semuanya. Jika kau memerlukan itu, kau bisa datang ke tempatku. Aku akan membawamu ke tempat-tempat yang aku yakin kau akan menyukainya." Felicia menyimpan satu tangannya di atas bahu King seolah ingin memberi kekuatan.

"Terima kasih," ujar King sambil mengangukkan kepalanya dan tersenyum.

Itu adalah kali terakhir mereka berbicara dalam waktu yang lama. Setelah itu, mereka tenggelam dalam kesibukan masing-masing. Camile terpilih menjadi direktur rumah sakit dan itu bukan tanpa alasan. Alano menyukai Camile diam-diam dan ini akan menjadi cara yang tepat untuk dia mulai mendekatinya. Selain urusan ini, Felicia sibuk mempersiapkan Camile sebelum ia kembali ke Italia, sehingga mereka hanya bertemu di kantin saat menikmati minum kopi atau makanan ringan. Itu pun hanya sebentar sebab kalau tidak pasien King yang memerlukan bantuan, Camile yang akan mengganggu mereka dengan urusan administrasi yang belum ia pahami.

Suatu malam, Camile menelfon Felicia, meminta bantuan untuk membawa King pulang. Malam itu memang ada jamuan khusus para dokter yang tergabung dalam sebuah organisasi yang dimiliki pemerintah diundang di sana. Camile bilang bahwa ia sudah menelfon Hera, tapi tak mengangkatnya. Dan ia sendiri harus kembali ke rumah sakit karena masih ada urusan.

Felicia menghentikan kegiatan mengemasnya dan menyetir mobil menuju tempat yang sudah disebutkan Camile sebelumnya. Tampak King tengah duduk di salah satu kursi di dalam ruangan dengan kepala yang menunduk.

"Ayo!" ujar Felicia setelah ia menyadari bahwa kondisi King tidak seburuk yang Camile gambarkan.

"Kau masih bisa jalan, kan?" tanya Felicia. King menganggukkan kepala. Ia berjalan di belakang Felicia dan mereka menuju mobil.

"Kenapa tidak panggil taksi?" tanya Felicia. Mobil melaju keluar parkiran

"Kau keberatan menjemputku?" tanya King. Ia memegang pelipisnya yang sakit.

"Tentu saja tidak." Felicia menjawab singkat.

"Menepi dulu sebentar! Aku mau muntah!' ujar King. Felicia menuruti. Setelah mobil menepi, King dengan cepat keluar dan berlari ke tempat sepi lalu muntah-muntah. Felicia menyusulnya dan menenteng sebotol air di tangannya.

"Kau tidak apa-apa?" Felicia menyodorkan botol minum. King yang baru selesai muntah masih pada posisi jongkoknya hanya menganggukkan kepala. Ia bangkit dari jongkoknya dan menerima botol minum dari Felicia sambil berjalan ke sebuah bangku yang tidak jauh dari posisi mereka.

Felicia tersenyum dan mengikutinya. Ia duduk di sebelahnya.

"Felice!" lirih King.

"Eh?" Wajah Felicia terlihat kaget.

"Kenapa kau memanggilku seperti itu?" tanya Felicia sambil mengernyitkan alisnya. Tapi, ia terlihat lebih santai, sangat berbeda dengan ketika Leon yang memanggilnya.

"Kau percaya takdir?" tanya King tidak menjawab pertanyaan Felicia.

Felicia merenung sebentar kemudian ia menganggukkan kepalanya.

"Aku juga." King berkata dengan tenang.

"Ada apa denganmu? Kenapa kau tiba-tiba berfilosofi?" Felicia tertawa kecil.

King melirik ke arah Felicia.

"Aku hanya merasa Hera hanyalah jalan untukku agar bisa bertemu denganmu," ujar King.

Felicia memicingkan matanya.

"Baiklah! Apa yang sebenarnya ingin kau bicarakan?" tanya Felicia.

"Tapi logikanya masuk kan?" tanya King.

"Logika apa?" tanya Felicia.

"Yang kukatakan barusan," jawab King.

"Oh!" Felicia diam.

King masih menatapnya dan akhirnya ia menganggukkan kepalanya.

"Apakah kau pernah berpikir bahwa mungkin saja kau dan aku, uh, ... tidak hanya kenal atau sekadar berteman? Maksudku, jika kita punya waktu yang lebih banyak, bisa saja kita mengubah pemikiran dan hati kita, uhm ... kau tahu kan?" King mulai berbelit-belit.

"Kau masih mabuk?" Felicia mengangkat kedua alisnya.

"Tipsy, yes! Tapi, aku masih sadar dengan yang kukatakan," ujar King.

"Kau dan Hera, sudah berbicara?" Felicia memastikan.

"Yap and it does not work! Sampai dia mati aku yakin dia tidak akan mau mengakuinya," ujar King.

"Kau tahu hal yang paling lucu adalah ia balik menyerangku dan mengatakan bahwa telah terjadi sesuatu di antara kita," ujar King.

"Iya, itu juga tidak aneh. Aku sering mendengar tentang kita dari para suster dan staf lainnya. Tapi aku mengabaikannya. Tidak pernah terjadi sesuatu di antara kita. Jadi, kenapa harus khawatir," ujar Felicia.

King diam. Dia tersenyum.

"Yang lebih penting lagi. Bagaimana jadinya kau dan Hera?" tanya Felicia.

"Aku tidak tahu. Dia hanya bilang dia tidak ingin melihatku," ucap King.

"Dan tadi pagi, orang tuamu mengancam akan memecatku jika aku tidak melanjutkan pernikahan. Mereka jelas tahu perbuatan anaknya, tapi masih melindunginya," ujar King.

"Kau terlihat sangat kacau!" Felicia tertawa.

"Kau malah menertawakanku," ujar King kesal.

"Aku tidak tahu sejak kapan kau berubah. Meskipun hanya lima bulan bersama, aku tidak akan percaya kau takut dengan ancaman orang tuaku. Terlebih jabatanmu. Orang sepertimu, King banyak membutuhkan. Jika kau tidak berhasil di sini, kau bisa mencari tempat lain dan memulai lagi kehidupanmu. Kalau kau masih waras, kau tahu apa yang harus kau lakukan," ujar Felicia. Dia berdiri dan berjalan menuju mobil.

King diam sejenak. Hampir setengah jam dia berada di sana. Dia berjalan menuju mobil dan Felicia sudah duduk di balik kemudi. Ia memasuki mobil.

"Felice," ujar King.

"Uhm," jawab Felicia. Dia melirik ke arah King.

"Thank you," ujarnya.

Felicia tersenyum.

***

Tujuh bulan sudah berlalu. Felicia kembali pada kehidupannya sebagai guru SD tapi di sekolah yang berbeda. Ia kembali pada kesehariannya yang dipenuhi dengan celoteh anak-anak. Ia terlihat bahagia khususnya karena perutnya yang membesar sekarang. Dia hamil dengan usia kandungan sekitar enam bulan. Setiap kali siswa-siswa kecilnya bertanya tentang ayah bayi itu, ia hanya tersenyum.

Pikirannya melayang pada sebuah episode saat ia berangkat ke bandara O'Hare. Ia pergi sendirian ke sana dan berangkat sangat awal. Penerbangannya masih tujuh jam lagi, tapi ia sudah tidak tahan berada satu rumah dengan orang tuanya, khususnya karena sindiran ibunya yang terlalu kejam kepadanya dengan mengatakan bahwa dirinya-lah penyebab hubungan Hera dan King retak. Ia baru saja memasuki sebuah lounge di bandara itu saat seseorang menarik lengannya dari belakang.

"King?" Felicia terkejut.

"Ikut denganku,"ujar King. Ia membawa kopor Felicia di satu tangan dan menuntun tangan Felicia di yang lainnya.

"Mau ke mana?" Felicia bingung. Mereka menghentikan langkahnya. King berbalik sehingga mereka kini berhadapan.

"Aku ingin berbicara denganmu," ujar King.

"Tentu saja. Kita bisa bicara di lounge, kan?" Felicia tersenyum.

"Aku tidak mau. Ayo kita ke hotel sebentar," ucap King.

"Hotel?" Felicia melotot.

"Kenapa melakukan ini?" Felicia menatap wajah King dengan ekspresi serius.

King mendekati Felicia. Ia mendekatkan wajahnya ke telinga Felicia.

"Walaupun hanya setengah ons saja, apa kau tidak merasa kau menyukaiku?" bisik King.

Felicia tercengang.

"Aku menyukaimu. Aku sangat menyukaimu! Aku tahu urusanku dengan Hera belum selesai, tapi kurasa perasaan cintaku kepadanya sudah lama hilang bahkan jauh sebelum ia berselingkuh. Malam itu, saat di pertunangan, aku memperhatikannya baik-baik. Aku kagum kepadanya karena dia begitu mudah berbaur dengan orang-orang, tidak sepertiku. Jika saja aku tak punya kemampuan dalam bidangku, aku yakin takkan ada yang mengajakku bicara. Tapi, aku sendiri tak yakin bahwa aku benar-benar untuknya. Aku berpikir, waktu itu, mungkin karena aku belum siap atau aku gugup. Tapi, semuanya membuatku yakin saat pertama kali Alano memperkenalkanmu kepadaku. Aku lelaki bajingan karena saat itu aku berharap bisa membatalkan semuanya dan menggantikan Hera denganmu," jelas King.

"Tolong katakan sesuatu. Kau tahu aku gugup sekarang," ujar King lagi.

Wajahnya memang terlihat gugup.

Felicia menatapnya lalu menyunggingkan senyum.

"Ayo kita ke hotel," lirih Felicia. Ia mengalengkan tangannya di lengan King dan mereka berjalan bersama.

***

Siang itu, Felicia duduk di perpustakaan menikmati bacaan dan makan siangnya. Kelasnya sudah selesai, tapi ia selalu berada di perpustakaan dan tidak pernah langsung pulang. Di satu waktu ia sendirian, tetapi di waktu yang lain ia ditemani oleh beberapa anak, sama seperti siang itu. Dan seperti biasanya, anak-anak itu tidak pernah duduk manis saja tetapi lebih sering bolak-balik dan berlarian.

Tidak apa-apa. Meskipun mereka berlarian, itu tidak membahayakan sebab ruangannya sangat luas. Mereka ribut juga tidak masalah karena sudah tidak ada kelas. Anak-anak yang bermain di sana biasanya anak-anak yang jarak rumahnya memang dekat dengan sekolah dan jika mereka bolak-balik keluar, mereka juga aman karena perpustakaan itu berada di lantai satu yang langsung menuju ke taman.

Tidak jauh dari sana seorang lelaki berjalan menuju sekolah. Ia melihat beberapa anak bermain di taman tak jauh dari sana dan menghampiri mereka.

"Permisi," ujarnya dengan bahasa Italia yang terbata-bata. Jelas dari aksennya, dia bukan orang Italia.

Salah satu anak perempuan menghampirinya dan tersenyum.

"Ada yang bisa dibantu?" ujarnya dengan ramah dan ia memelankan bicaranya sebab ia menangkap kesan bahwa lelaki itu tengah mencoba memahami yang dia katakan.

"Nona Felicia ada di sini?" tanya lelaki itu masih dengan bahasa Italia yang terbata-bata.

"Iya, dia ada di dalam perpustakaan. Aku akan mengantar Tuan," ujar anak itu sambil tersenyum dan menunjuk ke dalam perpustakaan.

Lelaki itu tampak tidak mengerti, tapi setelah tangannya ditarik agar ia mengikutinya, ia mulai paham. Anak itu membuka pintu dan membawa lelaki itu masuk.

"Ibu, ada tamu untuk Ibu," ujar anak perempuan itu dan menunjuk ke arah sang lelaki yang berdiri di belakangnya. Felicia mengangkat kepalanya dan ia tersentak kaget.

"King," lirihnya. Ia hampir akan berdiri tapi tetiba kembali pada posisinya.

"Baiklah, kalian semua keluar dulu, Ibu ada tamu," ujar Felicia kepada semua anak yang berada di sana dengan bahasa Italia. Anak-anak mengiyakan dan mereka berhamburan keluar.

"Apa kabar?" tanya King. Mereka duduk berhadapan.

"Baik!" jawab Felicia singkat.

"Kau terlihat agak gemuk! Tapi aku bukan sedang menghinamu. Hanya saja kau terlihat agak berbeda, maksudku ... tidak berarti kau jelek. Sebaliknya, kau terlihat sangat cantik ... uhm malah lebih cantik daripada biasanya." King melantur.

King tidak akan pernah menyadari bahwa Felicia tengah hamil sebab perut besarnya terhalang meja.

Felicia tertawa kecil.

"Kau sendiri?" tanya Felicia.

"Iya," jawab King dengan ekspresi wajah yang kikuk.

Felicia tersenyum sambil menganggukkan kepala.

Mereka diam sejenak. Beberapa kali mereka bertatapan sambil saling menyunggingkan senyum.

"Kau sedang apa di sini?" tanya Felicia.

"Sedang memperbaiki takdirku," ujar King.

"Kata-katamu selalu saja membuatku berpikir," ujar Felicia. Ia melipat kedua tangannya di dada.

King tersenyum.

"Aku sudah mendapatkan pekerjaan di Florence dan membeli rumah di sana. Tidak terlalu besar tapi cukup untuk sebuah keluarga kecil. Semuanya bagus, kecuali aku belum menemukan orang yang tepat untuk mengurus rumah itu," ujar King.

"Oh, kau memerlukan seorang asisten rumah tangga rupanya? Kau bisa memasang iklan!" ujar Felicia.

"Astaga!! Bukan itu maksudku!" King tersentak kaget.

Felicia tertawa kecil.

"Di sana ada kamar untuk bayi?" tanya Felicia.

"Untuk bayi?" King mengernyitkan alisnya.

"Tentu saja bisa diusahakan. Ada dua kamar di sana," ujar King lagi. Dia menjawab pertanyaan Felicia tapi sebenarnya dia juga bingung.

"Kalau begitu, aku mau menjadi asisten rumah tanggamu," ujar Felicia sambil tersenyum.

"Eh!!!" King menatap Felicia yang sekarang berusaha berdiri dan matanya membelalak saat ia menatap perut Felicia yang buncit.

"Kau hamil?" King masih dalam kekagetannya.

"Aku bahagia," ujar Felicia sambil tersenyum.

"Anakku?" King memastikan.

"Anak kita," jawab Felicia.

"Kau hitung saja sendiri. Kau dokter, kan?" sambungnya.

"Enam bulan?" tanya King memastikan.

"Iya," jawab Felicia sambil melebarkan senyumannya.

"Waw!" King terlihat terkesima.

"Ayo kita pulang," ujar Felicia. Ia menyodorkan tangannya dan King dengan senyuman lebar menerimanya.

Mereka berjalan bersama keluar perpustakaan sambil saling menyunggingkan senyuman.

"Kau sudah bertemu kakek dan nenek?" tanya Felicia.

"Iya. Ada Alano dan Camile juga." King menjelaskan.

"Kau bilang kau sendirian?"

Suara mereka yang tengah berdebat semakin samar seiring langkah mereka yang menjauhi sekolah.

Tamat

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar